BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat merupakan salah satu komponen penting dan tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan primer maupun pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Menurut WHO (2011), belanja obat merupakan bagian terbesar dari anggaran kesehatan. Di beberapa negara maju biaya obat ini berkisar antara 10-20% dari anggaran kesehatan, seperti di Jerman 15% dan Jepang 19%. Sedangkan di negara berkembang biaya ini lebih besar lagi antara 25-65%, seperti di Indonesia sebesar 40%. Keberadaan obat merupakan kondisi pokok yang harus terjaga ketersediaannya karena ketersediaan obat merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pelayanan kesehatan, dan dengan persepsi masyarakat tentang hasil dari pelayanan kesehatan adalah menerima obat setelah berkunjung ke sarana kesehatan. Bila diumpamakan, tenaga medis adalah tentara yang sedang berperang di medan tempur, maka obat adalah amunisi yang mutlak harus dimiliki untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Oleh karena vitalnya obat dalam pelayanan kesehatan, maka pengelolaan yang benar, efektif dan efisien sangat diperlukan oleh petugas di Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota (Depkes RI, 2007). Manajemen pengelolaan obat merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan, penghapusan, sampai monitoring dan evaluasi yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Dalam siklus tersebut,
perencanaan merupakan tahap awal dan sebagai tahap yang penting dan menentukan, karena perencanaan kebutuhan obat akan mempengaruhi pengadaan, pendistribusian dan penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan. Apabila lemah dalam perencanaan maka akan mengakibatkan kekacauan dalam siklus manajemen secara keseluruhan, yang menimbulkan dampak seperti pemborosan, tidak tersedianya obat, tidak tersalurnya obat, obat rusak, dan lain sebagainya (Kemenkes RI, 2010b). Dalam melakukan kegiatan perencanaan obat ini, komponen input juga menjadi penentu berupa struktur organisasi yang jelas, tenaga perencana yang cukup dan berkualitas, prosedur yang tepat, serta anggaran yang tersedia untuk menghasilkan keluaran yang diharapkan, yaitu tersedianya jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai kebutuhan, menghindari terjadinya kekosongan obat, meningkatkan penggunaan obat secara rasional, dan meningkatkan efisiensi penggunaan obat (Febriawati, 2013). Manajemen perencanaan obat yang efektif dan efisien akan mendukung mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan dengan tujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Manajemen obat di rumah sakit dilakukan oleh instalasi farmasi rumah sakit. Instalasi farmasi rumah sakit sebagai satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit tersebut (Siregar dan Amalia, 2004).
Pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang sekaligus menjadi revenue center utama bagi rumah sakit karena hampir 90% pelayanan kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, bahan alat kesehatan, alat kedokteran dan gas medik) dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi (Suciati dan Adisasmito, 2006). Manajemen perencanaan obat di instalasi farmasi rumah sakit merupakan salah satu aspek yang menentukan untuk suksesnya program pengobatan secara rasional di rumah sakit, serta merupakan aspek penting karena ketidakefektifan dan ketidakefisienannya akan memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medik, sosial maupun secara ekonomi, seperti biaya operasional rumah sakit dan keberhasilan manajemen obat di suatu rumah sakit secara keseluruhan (Fakhriadi, dkk. 2011). Oleh karena itu, obat di rumah sakit harus selalu tersedia serta tidak boleh kosong. Jika terjadi kekosongan dapat mengganggu kegiatan operasional rumah sakit. Maka perlu dilakukan penelusuran terhadap gambaran pengelolaan serta pendukung manajemennya agar dapat diketahui permasalahan dan kelemahan dalam pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Fakhriadi, dkk. 2011). Manajemen obat yang kurang baik terjadi di rumah sakit di negara maju seperti Amerika, yang mengakibatkan terjadinya kekosongan stok obat di rumah sakit. Berdasarkan survei yang dilakukan American Hospital Association (2011) pada 820 rumah sakit, menyatakan bahwa 99,5% rumah sakit di negara tersebut
mengalami kekurangan stok obat dalam enam bulan terakhir (Januari-Juni 2011). Hampir setengah dari rumah sakit tersebut melaporkan lebih dari 21 jenis obat yang mengalami kekurangan stok. 82% rumah sakit di negara tersebut telah menunda perawatan pasien akibat kekurangan obat dan lebih dari setengahnya tidak mampu menyediakan obat sesuai dengan resep yang diberikan. Selain itu sebagian besar rumah sakit tersebut melaporkan biaya obat meningkat sebagai akibat dari kekurangan obat. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh McLaughlin, et.al. (2013) di Amerika yang menyatakan bahwa kekosongan obat di rumah sakit dapat mempengaruhi mutu pelayanan yang diberikan. Penelitian ini dilakukan secara online dengan mengirimkan e-mail kepada 1.516 kepala farmasi, tetapi yang berpartisipasi dalam survei ini hanya 193 responden. Berdasarkan survei tersebut diperoleh hasil bahwa kekosongan obat dapat mengakibatkan kelalaian (55,5%), kesalahan dosis (54,8%), kesalahan obat (34,8%), perawatan tertunda (70,8%) dan mengakibatkan keluhan pasien (38%). Di negara berkembang seperti Indonesia, juga terjadi manajemen obat yang kurang baik yang mengakibatkan terjadinya kekosongan stok obat di rumah sakit. Berdasarkan survei yang dilakukan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (2016), ditemukan pihak rumah sakit sering mengalami kekosongan obat. Dari hasil survei kepada 422 peserta JKN di 13 provinsi yang berhasil dihubungi, 20% responden mengeluarkan biaya pribadi untuk membeli obatobatan. Alasan responden antara lain karena kekosongan obat di rumah sakit (30%) dan obat yang diresepkan tidak ditanggung oleh BPJS kesehatan (33%).
Rumah Sakit Umum Daerah Sultan Sulaiman merupakan salah satu rumah sakit milik pemerintah daerah kelas C yang terletak di Kabupaten Serdang Bedagai. Masyarakat sudah banyak menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di rumah sakit tersebut. Hal ini tampak dari jumlah kunjungan pasien yang datang berobat semakin bertambah selama kurun waktu 4 tahun terakhir. Demikian pula dari jenis penyakit yang ditangani di rumah sakit cenderung semakin beraneka ragam. Hal ini menyebabkan rumah sakit harus selalu menyediakan obat yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan agar mendukung pelayanan yang bermutu. Pengelolaan obat di RSUD Sultan Sulaiman di lakukan di instalasi farmasi yang terdiri dari 16 orang dengan pembagian tugas yaitu 1 orang kepala instalasi farmasi yang dikepalai oleh seorang apoteker, 3 orang dibagian gudang farmasi, 9 orang dibagian apotek instalasi farmasi, 1 orang dibagian IGD, 1 orang administrasi dan 1 orang operator. (Profil RSUD Sultan Sulaiman) Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan Agustus 2016 di RSUD Sultan Sulaiman diperoleh informasi bahwa perencanaan obat dilakukan di instalasi farmasi tanpa adanya tim perencanaan obat yang dibentuk di rumah sakit. Perencanaan obat dilakukan oleh kepala instalasi farmasi dan kepala gudang farmasi, yang dilakukan tanpa adanya prosedur perencanaan obat secara tertulis. Gambaran perencanaan obat di instalasi farmasi RSUD Sultan Sulaiman adalah dengan melakukan penentuan jenis obat yang digunakan di rumah sakit berdasarkan data konsumsi obat terbanyak, sepuluh penyakit terbanyak di rumah sakit dan permintaan tertulis dari dokter-dokter. Selanjutnya juga akan dilakukan perhitungan jumlah kebutuhan obat yang akan datang dengan penambahan 10%
dari jumlah kebutuhan obat sebelumnya. Usulan rencana kebutuhan obat yang telah dibuat di instalasi farmasi akan diajukan kepada bagian perencanaan rumah sakit untuk dilakukan pengadaan obat di rumah sakit. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala instalasi farmasi, diketahui terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi di RSUD Sultan Sulaiman, yaitu terjadinya kekosongan stok obat, bahkan ada obat yang jumlah stoknya kosong selama ±6 bulan; adanya obat yang tidak digunakan sama sekali dalam waktu ±3 bulan; adanya obat yang belum dipergunakan dengan jumlah stok pada akhir tahun masih sama jumlahnya dengan stok awal; adanya obat yang mengalami kadaluarsa; dan tidak pernah dilakukan pemusnahan obat yang mengalami kadaluarsa. Dan berdasarkan hasil wawancara dengan pasien rawat jalan, diperoleh informasi bahwa pasien mengeluh karena lamanya waktu pelayanan resep sehingga banyak pasien yang menunggu lama di apotik farmasi; serta pasien mengeluh karena obat yang diresepkan oleh dokter tidak tersedia di rumah sakit sehingga pasien harus membeli obat ke apotik luar. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purba (2011) mengenai manajemen obat di Rumah Sakit Advent Medan, menyatakan bahwa perencanaan obat di IFRS tidak mendekati jumlah kebutuhan yang sebenarnya karena proses pengolahan data dilakukan secara manual, alokasi dana yang tidak mencukupi serta keadaan ruangan penyimpanan stok obat yang tidak cukup luas yang berakibat pembelian obat hampir setiap hari. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmah (2013) di Rumah Sakit Haji Medan, menyatakan bahwa pelaksanaan manajemen obat di instalasi farmasi
belum optimal, terlihat dari instalasi farmasi tidak melaksanakan perencanaan obat, tim perencanaan obat tidak terpadu, tidak memiliki jadwal kegiatan penyusunan rencana kerja operasional, gudang penyimpanan obat belum sesuai dengan persyaratan, sarana penyimpanan obat yang belum lengkap, obat tidak terdistribusi secara teratur karena kekosongan obat sering terjadi, kecepatan dalam menyiapkan obat lama karena pengaturan kerja karyawan belum sesuai dengan beban kerja yang ada, tidak ada tupoksi kerja karyawan dan struktur organisasi yang dimiliki instalasi farmasi belum memenuhi standar. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Sinuraya (2014) di RSUD dr. Hadrianus Sinaga, menyatakan bahwa perencanaan obat tidak berjalan dengan baik karena hanya memakai metode konsumsi sehingga terjadi ketidaksesuaian obat dengan rencana anggaran obat. Proporsi anggaran untuk pengadaan obat rumah sakit juga masih minim karena hanya berdasarkan pada dana yang tersedia dari pemerintah daerah. Akibatnya sering terjadinya kekurangan obat yang dibutuhkan pasien. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan perencanaan obat di RSUD Sultan Sulaiman dengan memperhatikan komponen masukan (input), proses (process), dan keluaran (output) yang diperoleh. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perencanaan obat di RSUD Sultan Sulaiman Kabupaten Serdang Bedagai.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mendapatkan gambaran perencanaan obat di RSUD Sultan Sulaiman Kabupaten Serdang Bedagai. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengidentifikasi unsur-unsur input perencanaan obat (sumber daya manusia, prosedur, metode dan data) di RSUD Sultan Sulaiman. 2. Untuk mengidentifikasi unsur-unsur proses perencanaan obat (pemilihan jenis obat dan perhitungan jumlah obat) di RSUD Sultan Sulaiman. 3. Untuk mengidentifikasi unsur output perencanaan obat (kebutuhan obat tahun yang akan datang) di RSUD Sultan Sulaiman. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi RSUD Sultan Sulaiman, sebagai bahan masukan bagi rumah sakit agar perencanaan obat dapat terlaksana dengan optimal dimasa yang akan datang untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. 2. Bagi instalasi farmasi RSUD Sultan Sulaiman, sebagai bahan masukan dalam melakukan perencanaan obat di masa yang akan datang sesuai dengan pedoman yang berlaku. 3. Bagi peneliti lain, dapat menambah wawasan keilmuan dan pengalaman, serta dapat dijadikan referensi dalam melakukan penelitian yang terkait dengan perencanaan obat di rumah sakit. 4. Bagi perkembangan ilmu administrasi dan manajemen, khususnya mengenai perencanaan obat di rumah sakit.