Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Banjir di Perkotaan Banjir pada dasarnya adalah surface runoff yang merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. The Hydrologic Cycle Sun Rain Clouds Rain Formation PRECIPITATION Surface Runoff while failling from vegetation from vegetation tranpiration from streams Evaporation from soil tranpiration from ocean Infiltration Soil Percolation Rock Deep Percolation Water Table Ground water Ocean Gambar II.1 Siklus hidrologi (Kusuma, M. S. B., 005) Ilustrasi di atas menggambarkan secara sederhana siklus hidrologi. Kondisi yang terjadi sebenarnya di alam lebih kompleks. Pada gambar terlihat hujan yang turun sebagian akan mengalami proses infiltrasi dan sebagian lagi mengalir diatas permukaan. Aliran yang ada di permukaan akan tereduksi juga dengan adanya evaporasi dan transpirasi oleh tumbuhan. Pemodelan aliran limpasan permukaan akibat hujan telah dilakukan oleh Dantje K., et. al., (005). Model numerik yang dikembangkan dapat mensimulasikan aliran limpasan permukaan dengan baik. Hal ini terbukti melalui perbandingan yang dilakukan dengan solusi analitik. Hasil yang diperoleh melalui simulasi numerik mendekati dengan solusi analitiknya. Di samping itu juga, penerapan II-1
pada kontur alam dapat mewakili kondisi sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi, model-model ini belum memiliki kemampuan untuk mensimulasikan adanya daerah kering dan basah. Simulasi banjir dengan menggunakan adanya batasan kering basah dilakukan oleh Tawatchai Tingsanchal (1999) untuk kasus banjir akibat dambreak dengan hasil yang baik. Jika dikaitkan dengan siklus hidrologi, maka banjir merupakan surface runoff yang tidak lagi tertampung di dalam saluran. Parameter penting dari banjir adalah luas genangan, durasi genangan, kedalaman, dan arah aliran. Besarnya parameter tersebut tergantung dari volume dan waktu banjir yang terjadi dan lahan yang tergenang. Untuk daerah perkotaan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Arah aliran yang terjadi tidak sepenuhnya bergantung kepada topografi lahan dikarenakan adanya bangunan. Gambar II. Siklus hidrologi pada urban area Besarnya infiltrasi sangat tergantung pada faktor penutup lahan. Di daerah perkotaan dimana kondisi penutup lahan pada umumnya adalah beton atau aspal, nilai infiltrasi sangat kecil. Demikian juga halnya dengan nilai transpirasi. Minimnya jumlah tanaman di daerah perkotaan menyebabkan nilai transpirasi sangat kecil. Evaporasi sendiri nilainya sangat kecil. Oleh karena itu, nilai II-
infiltrasi, transpirasi, dan evaporasi pada daerah perkotaan dapat diabaikan. Pada kota-kota yang dilintasi oleh sungai-sungai besar, seringkali air meluap akibat besarnya debit dari hulu dan menyebabkan terjadinya banjir. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa besarnya banjir di daerah perkotaan dipengaruhi oleh: - Hujan - Debit dari luar, dalam hal ini outflow dari upper catchment Salah satu permasalahan dalam memodelkan banjir di perkotaan adalah pengaruh adanya bangunan terhadap rambatan banjir. Pemodelan banjir akibat debit di sungai di daerah perkotaan telah dilakukan oleh C. Beffa (1998). Bangunan dimodelkan sebagai syarat batas dinding. Skema numerik yang digunakan adalah finite volume. Skema ini dipilih agar grid dapat menyesuaikan dengan dinding bangunan. Hasil dari studi ini menunjukkan komparasi yang baik dengan data lapangan. Pada studi yang dilakukan oleh Alemseged Tamiru Haile, et. al (005), dilakukan beberapa alternatif pemodelan bangunan, yang pertama sebagai dinding, dalam hal ini kecepatan arah tegak lurus bangunan diberi nilai nol. Model ini serupa dengan model yang dikembangkan oleh C. Beffa. Alternatif lainnya dalam memodelkan bangunan adalah sebagai suatu area dengan nilai manning sangat tinggi (>1) dan nilai kontur yang diberikan adalah elevasi tanah. Alternatif terakhir dalam memodelkan bangunan adalah sebagai kontur dengan memberikan elevasi bangunan, dan nilai manning sesuai dengan kondisi bangunan. Model disimulasikan dengan adanya debit banjir dari hulu. Ketiga tipe model yang bangunan memberikan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda. II. Banjir Akibat Hujan Pada umumnya, banjir akibat hujan terjadi akibat saluran drainase yang ada tidak dapat menampung beban akibat hujan yang terjadi. Banjir yang terjadi akibat hujan tergantung dari besarnya volume hujan (curah hujan) yang turun pada II-
daerah tangkapan dan tingkat intensitasnya. Karakteristik banjir yang terjadi akibat hujan dengan intensitas kecil dalam durasi yang lama tidak akan sama dengan banjir yang terjadi akibat hujan dengan intensitas besar dalam durasi yang sebentar. II..1 Curah Hujan Curah hujan yang terjadi pada suatu daerah pada umumnya diwakili oleh nilai rata-rata dari beberapa titik pengukuran di daerah tersebut dan sekitarnya. Ada tiga cara pendekatan untuk menghitung hujan rata-rata wilayah sebagai berikut: 1. Rata-rata Aljabar. Poligon Thiessen. Isohyet Metoda isohyet merupakan metoda terbaik akan tetapi memerlukan banyak titik pengukuran, sedangkan metoda polygon thiessen pada umumnya digunakan di daerah pegunungan. Metoda rata-rata aljabar adalah metoda yang paling sederhana dan dapat diterapkan di daerah perkotaan. Berdasarkan metoda ini, hujan rata-rata dapat dihitung sebagai berikut.: R H i n = 1 n = 1 H i dimana: H i = hujan pada masing-masing stasiun 1,,., n dalam areal yang ditinjau, n = jumlah stasiun stasiun pengamat R H = rata-rata hujan II-4
Salah satu masalah dalam besarnya hujan yang turun adalah sebaran pola distribusi hujan yang terjadi. Masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan kurva intensitas hujan. II.. Intensitas Hujan Intensitas hujan diperlukan untuk mendapatkan gambaran besarnya hujan diskrit yang terjadi. Untuk memperolehnya, diperlukan data curah hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 0 menit, 60 menit dan jam-jaman. Data curah hujan jangka pendek ini biasanya hanya didapatkan dari data pengamatan curah hujan otomatik. Seandainya data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian, maka dapat digunakan pendekatan yang disampaikan oleh Dr. Mononobe sebagai berikut : I = R 4 4 4 t / dimana : I t = intensitas curah hujan (mm/jam) = lamanya curah hujan (jam) R 4 = curah hujan maksimum dalam 4 jam (mm) IDF I (mm/jam) 700.000 600.000 500.000 400.000 00.000 00.000 100.000 0.000 0 50 100 150 00 50 00 t (menit) Gambar II. Kurva IDF II-5
II. Banjir Akibat Debit dari Hulu (Upper Catchment) Ada kalanya banjir terjadi ketika besar debit dari hulu melebihi kapasitas saluran. Banjir ini sering kali kita kenal dengan sebutan banjir kiriman. Besarnya banjir yang terjadi akan ditentukan oleh volume banjir dari hidrograf banjir yang terjadi. Secara garis besar, volume banjir yang terjadi akan sama dengan volume hidrograf yang memiliki debit lebih besar dari kapasitas saluran.besarnya debit yang masuk akan ditentukan oleh luas daerah tangkapan di bagian upper cathment, kondisi penutup lahan, dan besarnya hujan yang terjadi. II..1 Kurva Hidrograf Aliran Salah satu paramater banjir di perkotaan adalah debit yang datang dari hulu (upper catchment). Besarnya debit dapat didekati dengan menggunakan hidrograf aliran sungai. Pada dasarnya, hidrograf aliran sungai terdiri atas baseflow dan hidrograf akibat hujan. Gambar II.4 Hidrograf Adanya source dari upper catchment dapat diwakili oleh hidrograf aliran sungai yang membawanya. Hidrograf dapat diperoleh dari pengukuran maupun dari pendekatan dengan menggunakan metoda-metoda yang sudah ada. Beberapa parameter yang menentukan dari hidrograf aliran adalah : - Debit puncak, maksimum debit yang terjadi II-6
- Time peak, waktu saat terjadinya debit puncak - Time base, durasi pengaruh hidrograf dari mulai naik hingga kembali ke normal - Kurva naik, kurva dari mulai naik hingga debit puncak - Kurva turun, kurva dari mulai debit puncak hingga kembali ke normal Volume banjir yang terjadi dapat dihitung dengan menggunakan integral dari kurva hidrograf. Saluran meluap pada saat debit yang terjadi melebihi kapasitas saluran. Hal ini berarti, dalam pemodelan banjir dengan adanya pengaruh debit dari luar, hidrograf source dapat diambil sebagian saja dari mulai besarnya debit saat ketinggian air di saluran sudah berada di bibir saluran (debit masuk lebih besar dari pada kapasitas saluran). II.. Hidrograf Sintetik Metoda Rasional Salah satu formula hujan-limpasan yang banyak digunakan untuk keperluan desain drainase adalah Metoda Rasional, yang merupakan formula untuk memprediksikan debit puncak (Qp) akibat suatu kejadian hujan. Q = k C I A Dimana : k = koefisien konversi = 0,78 C I = koefisien aliran (non dimensional) = intensitas hujan (mm/jam) A = luas daerah aliran sungai (km ) Q = debit puncak (m /det) II-7
Dalam metoda rasional ini diasumsikan bahwa hujan adalah konstan dalam ruang dan waktu. Dengan demikian, metoda ini hanya berlaku pada DAS yang kecil. Menurut Weather Bureau US Deptartment of Commerce, luas DAS yang masih dianggap homogen berkisar antara 0,65 1,5 km, dan menurut Subarkah 0,4 0,8 km. Penggunaan Metoda Rasional untuk area yang lebih luas dapat dilakukan dengan membagi DAS menjadi beberapa Sub-DAS, dengan tetap mempertimbangkan ruas saluran eksisting yang ada. Koefisien aliran (C) merupakan harga yang konstan, merupakan perbandungan antara hujan yang mengalir di permukaan dan hujan yang jatuh. Hujan yang mengalir di permukaan diperoleh dari dari hujan yang jatuh dikurangi infiltrasi, evaporasi, intersepsi, penurunan tampungan air dalam tanah, dsb. Nilai C dapat diasumsikan menurut tata guna lahan yang ada di DAS. Tabel II.1 Koefisien runoff Keadaan Daerah Aliran Koefisien Runoff bergunung dan curam pegunungan tersier sungai berhutan dibagian atas dan bawahnya tanah datar yang ditanami sawah waktu diairi sungai bergunung sungai dataran 0,75-0,90 0,70-0,80 0,50-0,75 0,45-0,60 0,70-0,80 0,75-0,85 0,45-0,75 II-8
Tabel II. Kondisi Ground Cover Koefisien Manning dari beberapa bahan ground cover n d Cement Concrete and asphalt concrete Smooth and imprevious surface Smooth and tight surface Poor grassland, cultivated land, and bare lot with a suitable surface roughness Meadow land and ordinary grassland Deciduous forest land Coniferous forest land, and dense deciduous forest land with dese or spares undergress 0.01 0.0 0.10 0.0 0.40 0.60 0.80 II.. Hidrograf Sintetik Metoda Nakayasu Untuk memprediksi unit hidrograf dari suatu DAS berdasarkan data-data karakteristik fisik DAS sungai yang bersangkutan, dapat digunakan metoda unit hidrograf sintetik. Salah satu metoda yang umum dipakai adalah metoda Nakayasu. Rumus dari hidrograf satuan sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut: dimana: Q p C. A. R0 =,6(0,. T + T p 0, ) Q p = debit puncak banjir (m /det) Ro = hujan satuan (mm) T p = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam) T 0, = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai 0% dari debit puncak II-9
A = luas daerah pengaliran sampai outlet C = koofisien pengaliran Untuk menentukan T p dan T 0, digunakan pendekatan rumus sebagai berikut. T p = tg + 0,8 t r T 0, = α tg tr = 0,5 tg sampai tg tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam) dimana tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut: - Sungai dengan panjang alur L > 15 km : tg = 0,4 + 0,058 L. - Sungai dengan panjang alur L < 15 km : tg = 0,1 L 0,7. dimana tr = satuan waktu hujan (jam) α = parameter hidrograf, untuk α = pada daerah pengaliran biasa α = 1,5 pada bagian naik hidrograf lambat dan turun cepat α = pada bagian naik hidrograf cepat, dan turun lambat Pada waktu kurva naik : 0 < t < T p dimana Q t = ( t T p,4 ) Q p Q (t) = limpasan sebelum mencari debit puncak (m ) t = waktu (jam) II-10
Pada waktu kurva turun a. Selang nilai: t Tp + ) ( T 0, Q ( t Tp ) T0, ( t ) = Q p.0, b. Selang nilai: T + T ) t ( T + T 1,5 ) ( p 0, p 0, + T0, Q ( t Tp + 0,5T0, ) 1,5T0. ( t) = Q p.0, c. Selang nilai: t > (T p +T 0, + 1,5 T 0, ) Q ( t) = Q p.0, ( t T + 0,5T p T 0, 0, ) i tr t Q 0,8 tr tg lengkung naik lengkung turun Q P 0, Q P 0, Q P T P T O. 1,5 T O. Gambar II.5 Hidrograf sintetik Nakayasu II-11
II.4 II.4.1 Persamaan Pengatur Persamaan Kontinuitas (Hukum Kekekalan Massa) Konsep control volume (ruang tilik) digunakan dalam menurunkan persamaan kontinuitas mengikuti Hukum Kekekalan Massa dimana: Laju massa air yang masuk RT Laju massa air yang keluar RT = Laju akumulasi massa air dalam RT. Pada gambar II.6 dapat dilihat ilustrasi yang menggambarkan definisi dari Hukum Kekekalan Massa. v 4 y u 1 u x v Gambar II.6 Ruang tilik Volume air pada kotak hanya dapat berubah jika kedalaman air berubah, maka laju perubahan volume adalah: A. h ; dimana A = x. y Dari gambar diatas, laju massa masuk adalah h u y h u y + h v x h v x = 1 1 4 4 Penerapan kekekalan massa dapat ditulis sebagai berikut II-1
x y h t = h u y h u y + h v x h v x 1 1 4 4 Persamaan diatas ditulis kembali ke dalam bentuk h ( h u h u h v h v = + ) 1 1 ) ( 4 4 t x y Atau h ( hu) ( hv) + + t x y = 0 Untuk t 0 h ( hu) ( hv) + + t x y = 0 II.4. Persamaan Momentum (Hukum Kekekalan Momentum) M4 F 4 P 1 P F b y M 1 M P b F 5 F 6 M x F Gambar II.7 Titik kontrol P 1 dan P adalah gaya akibat tekanan air pada sisi kubus, P b gaya tekan akibat kemiringan dasar. M 1,M adalah flux momentum pada arah y dan M, M 4 adalah flux momentum pada arah x. F b adalah gaya friksi dasar. F, F 4 adalah gaya geser II-1
dan F 5, F 6 adalah gaya normal. Pada gambar diatas, gaya akibat angin dan coriolis diabaikan. Berdasarkan hokum kekekalan momentum, laju perubahan momentum pada arah x adalah: M t x = ( M + P F + F F + F F 1 M ) + ( M M 4) + ( P1 P ) b b 4 6 5 Momentum adalah massa dikalikan dengan kecepatan (M. V) sedangkan massa adalah volume dikalikan dengan massa jenisnya, maka laju perubahan momentum dapat ditulis sebagai: M x ( HU = ρ x y ) t t Dengan asumsi bahwa tidak ada perbedaan kecepatan dalam arah vertical (depth average), maka: M yh 1 = ρ 1U 1 M yh = ρ U M xh U = ρ V M xh U 4 = ρ 4 4V4 Dengan mengasumsikan tekanan sebagai tekanan hidrostatis akibat kedalaman, maka: H1 P1 = ρ g y P H = ρ g y Pb = ρ g x yhs0x II-14
Sox adalah kemiringan dasar dalam arah x. Gaya geser pada sisi dan dasar kotak serta gaya normal dapat dihitung sebagai: F b = τ x y bx F = xh τ xy F = xh τ 4 4 xy4 F = yh τ 5 5 xy5 F = yh τ 6 6 xy6 Suku-suku F, F 4, F 5, dan F 6 dalam hal ini disebut juga sebagai suku-suku turbulen yang dalam hal ini diabaikan. Dengan mensubstitusikan semua persamaan diatas kedalam persamaan kekekalan momentum arah x dengan t 0 U t + U U + V x U + gh y ( h + z) x = ghs fx Dimana n U U + S fx = 4 / H V Dengan cara yang sama maka untuk arah y didapatkan V t + U V + V x V + gh y ( h + z) y = ghs fy II-15
Bab II II.1 II. Tinjauan Pustaka... II-1 Banjir di Perkotaan... II-1 Banjir Akibat Hujan... II- II..1 Curah Hujan... II-4 II.. Intensitas Hujan... II-5 II. Banjir Akibat Debit dari Hulu (Upper Catchment)... II-6 II..1 Kurva Hidrograf Aliran... II-6 II.. Hidrograf Sintetik Metoda Rasional... II-7 II.. Hidrograf Sintetik Metoda Nakayasu... II-9 II.4 Persamaan Pengatur... II-1 II.4.1 Persamaan Kontinuitas (Hukum Kekekalan Massa)... II-1 II.4. Persamaan Momentum (Hukum Kekekalan Momentum)... II-1 Gambar II.1 Gambar II. Gambar II. Gambar II.4 Gambar II.5 Gambar II.6 Gambar II.7 Siklus hidrologi (Kusuma, M. S. B., 005)... II-1 Siklus hidrologi pada urban area... II- Kurva IDF... II-5 Hidrograf... II-6 Hidrograf sintetik Nakayasu... II-11 Ruang tilik... II-1 Titik kontrol... II-1 II-16
Tabel II.1 Tabel II. Koefisien runoff... II-8 Koefisien Manning dari beberapa bahan ground cover... II-9 II-17