EKSPLORASI WISATA TENUN IKAT SUMBA TIMUR

dokumen-dokumen yang mirip
V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

III.TATA CARA PENELITIAN

Matahari dan Kehidupan Kita

BAB I PENDAHULUAN. dari serangga atau hewan-hewan tertentu. Rumput, bambu, kupasan kulit dan otot-otot

Hidup Sehat. Peta Konsep. Halaman 1 dari 8

Membuat Tekstil Dengan Teknik Rekalatar

Danau Toba: Pesona Sumatera Utara

PROLOG. Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia

IV. ANALISIS KARYA. di kota Surakarta. Penulis tertarik memvisualisasikan tradisi upacara minum teh

Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi)

Untuk siapa pun yang meyakini, kalau semua dapat dirubah.

TATA LAKSANA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilakukan di daerah Minggir, Sleman, Yogyakarta dan di

tips: Menyimpan Tahu Segar

tips: Menyimpan Tahu Segar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Simalungun adalah salah satu kabupaten yang berada di

PANDUAN TEKNIK PEMBUATAN DAN PENCELUPAN. Riyandoko, William Ingram, I Made Maduarta, I Wayan Sukadana, I Komang Sujata

merupakan transpormasi dari naskah/kitab sastra, seeperti: kakawin, kidung dan sebagainya,

1 Curahan Hati Sebatang Pohon Jati

Kura-kura dan Sepasang Itik

JMSC Tingkat SD/MI2017

Bayangan Merah di Laut dan Tempat Untuk Kembali:

PENJAGAL ANGIN. Tri Setyorini

Arsitektur Dayak Kenyah

Artikel Liburan ke Pulau Pari

KOPI DI CANGKIR PELANGI..

SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 4. BERBAGI PEKERJAAN Latihan Soal 4.2

Bahan Ajar Keaksaraan Usaha Mandiri Tema Pertanian

4 PENGETAHUAN BAHAN DAN ALAT

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.9

berjalan, mungkin karena posisi memboncengnya atau bagaimana. Motor yang dikendarai mengalami kecelakaan setelah menabrak sebuah mobil di tengah

Dimana saja tempat yang bisa dikunjungi di surabaya?

Ragam Hias Tenun Ikat Nusantara

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

3. Untuk mempermudah bagi mereka mereka yang berminat untuk mendirikan industri rumah tangga yang mengspesialisasikan pembuatan tempe. C.

Ketika mimpi menjadi sebuah bayangan, aku menanyakan "kapan ini akan terwujud?" Mungkin nanti, ketika aku telah siap dalam segalagalanya

Ergonomic Assessment Pada Home Industri (Studi Kasus Industri Tempe)

Berlatih Membuat dan Mengetahui Sesuatu

Cara Paling Ampuh Merawat Wajah Secara Alami, Sehat dan Agar Awet Muda. Cara Paling Ampuh Merawat Wajah Secara Alami, Sehat dan Agar Awet Muda

3. Sekitar pukul 18.00, kakak korban meminta Isak untuk tidak tidur di rumahnya karena takut akan didatangi lagi oleh Anggota Yalet.

Kecamatan Salahutu. 1. Pantai Natsepa

BAB I PENDAHULUAN. tinggal masing-masing dengan kondisi yang berbeda. Manusia yang tinggal di

Eliora. orang yang sedang menjalaninya. 1 Artinya, seberat-berat kami melihat sesuatu terjadi, lebih menyakitkan lagi bagi

UKDW BAB LATAR BELAKANG MASALAH

Di Unduh dari : Bukupaket.com

Siapkan air hangat (tidak terlalu dingin atau panas)

László Hankó: Kebahagiaan Marina

Perkembangbiakan Tanaman

Dasar-Dasar Rumah Sehat KATA PENGANTAR

Seni Rupa. (Sumber: Dok. Kemdikbud)

Memelihara kebersihan lingkungan merupakan salah satu contoh aturan yang ada di masyarakat.

Dari Bukit Turun Ke Sawah PLPBK di Kawasan Heritage Mentirotiku dan Lakessi

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

Siang itu terasa sangat terik, kami merasa lelah

BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS

Setelah para penyamun pergi, Alibaba memberanikan diri keluar dari tempat

dengan penuh hormat. rumah. mata.

Written by Dr. Brotosari Monday, 31 August :06 - Last Updated Sunday, 22 November :29

10 Tempat Wisata di Manado yang Wajib Dikunjungi

Berikut obyek wisata yang bisa kita nikmati:

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

Seru sekali lomba lari itu! Siapa yang lebih dulu tiba di lapangan, dialah yang menjadi pemenang...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. adalah salah satu tekstil tradisi yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

Workshop Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kab. Sumba Barat Daya Prov. Nusa Tenggara Timur

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG OSHIBANA. musim gugur, dan musim dingin. Di Jepang orang-orang sangat menyukai bunga

Kunci Jawaban. Evaluasi Bab 2 A. Pilihan Ganda 2. d 8. a 4. a 10. c

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II IDENTIFIKASI DAN PRIORITAS MASALAH

MENULIS ITU BERCERITA!

berada di bagian timur danau, berlawanan dengan Emporium. Aku bertanya-tanya apakah mereka menemukan sesuatu disana. Aku mengenakan pakaian selam dan

"Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini". Saya takut, tetapi saya tertantang. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus mati.

: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Peter Swanborn, The Netherlands, Lima Portret Five Portraits

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

SINOPSIS. Universitas Darma Persada

BAB III TINJAUAN DATA, EKSPERIMEN, DAN ANALISA. Pohon kapuk berbunga tiga atau empat kali dalam setahun dengan selang

PELUANG BISNIS MAKANAN TENTANG KRIPIK TEMPE

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

ADAPTASI TEKNOLOGI DI RUMAH ADAT SUMBA

BAB VI RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS DAMPAK SOSIO-EKOLOGI HADIRNYA INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan, Laboratorium Penelitian

Pelesir. Menemukan Sisi Lain. Hutan. Travel 3Sixtyo Indonesia/Januari 2015


LAPORAN WAWANCARA Judul Tujuan Topik Pelaksanaan Hari, Tanggal Pukul Tempat Pewawancara . Narasumber Latar Belakang

Kehidupan itu terlalu penuh dengan kebahagian bagi orang yang menyadarinya Tommy membaca kalimat terakhir dari sebuah novel yang diterbitkan melalui

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

Sebuah kata teman dan sahabat. Kata yang terasa sulit untuk memasuki kehidupanku. Kata yang mungkin suatu saat bisa saja meninggalkan bekas yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

14 Cara Menghilangkan Komedo Secara Alami dan Terbukti Ampuh

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG KETERTIBAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG,

Kierkegaard dan Sepotong Hati

NGOPI SEPULUH EWU. Ide festival ini terinspirasi dari kebiasaan minum kopi warga Kemiren, yakni tradisi ngopi bareng.

Misi:Menjelajah ke Luar Kelas

Wilangan 17 Kota Emas

BAB VI DINAMIKA PROSES MERENCANAKAN TINDAKAN DAN AKSI PERUBAHAN

(Aku Melihatnya & Dia Melihatku)

Petunjuk ~ wacana yang berisi penjelasan suatu proses pembuatan sesuatu / penggunaan sesuatu. ~ Wacana eksposisi proses yang menggunakan pilihan kata

Sepotong Matahari dan Awan untuk Ibu* :ibuku

B A B 4 A N A L I S I S

Transkripsi:

LAPORAN PERJALANAN EKSPLORASI WISATA TENUN IKAT SUMBA TIMUR 30 SEPTEMBER 20 OKTOBER 2016 A. Pendahuluan B. Aktivitas dan temuan di lapangan 1. Eksplorasi proses pembuatan tenun ikat 2. Eksplorasi proses pembuatan pewarna alam 3. Eksplorasi proses pembuatan shibori 4. Pengalaman Menginap di Rumah Warga (homestay) C. Potensi wisata di Lambanapu & Mauliru D. Pertemuan dengan pemuda-pemudi lokal E. Usulan paket wisata F. Rekomendasi G. Daftar Pustaka H. Lampiran 1. Perlengkapan yang digunakan dalam proses membuat kain tenun ikat 2. Daftar hadir pertemuan dengan pemuda/i lokal 3. Paket wisata

A. Pendahuluan Selamat plesir ya kalian di Sumbawa, ujar seorang teman ketika kami menyiapkan keberangkatan ke Sumba. Sumba, pulau yang masuk gugus Kepulauan Sunda Kecil ini acapkali dikira sebagai Sumbawa. Padahal mereka berdiri sendiri dan terpisah pulau. Mungkin karena sama-sama sohor dengan kudanya maka orang sering terpeleset mengira Sumba sebagai Sumbawa. Di kalangan para pejalan, Sumba jelas masuk ke dalam daftar impian tempat yang harus dikunjungi di kawasan timur Indonesia. Padang sabana dengan kuda, sapi, dan kerbau yang merumput sudah mengisi imajinasi jauh sebelum mendarat di pulau ini. Juga kain tenun ikat dengan motif-motif yang raya (aneka fauna, flora, dan ornamen geometris) senantiasa menari-nari di kepala. Namun, agen perjalanan hingga saat ini masih menjadikan Sumba Barat sebagai pintu masuk utama ke Pulau Sumba. Mungkin karena maskapai Garuda yang membuka jalur lewat Waikabubak. Mungkin juga karena keberadaan resort Nihiwatu. Sementara Sumba Timur masih belum banyak dilirik oleh agen perjalanan sebagai satu destinasi khusus. Hingga akhirnya film Pendekar Tongkat Emas meramaikan pandangan mata orang-orang di luar Sumba. Film yang di luar inti cerita sebenarnya lebih banyak mempromosikan alam dan budaya Sumba Timur serta kekayaan ragam motif tenun ikat yang memesona. Ada pejalan yang menyatakan bahwa jika ingin melihat megahnya tinggalan budaya megalitik maka tujulah Sumba Barat. Namun, jikalau ingin menyelami keragaman motif tenun ikat yang jauh dari kesan monoton berangkatlah ke Sumba Timur. Kehadiran kami di Sumba Timur pada 30 September 20 Oktober 2016, berada di bawah naungan proyek Kemakmuran Hijau Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA-Indonesia) yang dijalankan oleh Konsorsium Samdhana, Yayasan Sekar Kawung, dan Kelompok Paluanda Lama Hamu. Adapun misi perjalanan kami ke lapangan yaitu untuk mendesain paket wisata minat khusus dan paket pendidikan bertema tenun di Desa Lambanapu, Mauliru, dan Kadumbul. Untuk itu, kami melakukan studi lapangan selama 20 hari untuk: 1) Belajar tentang cara membuat tenun dan pewarna alam 2) Mengeksplorasi berbagai potensi wisata di desa 3) Berjejaring dengan pemuda-pemudi lokal untuk kebutuhan mencari pemandu wisata lokal Wisata minat khusus tenun yang nantinya akan kami rancang masuk dalam kategori wisata budaya. Menurut data dari UN World Tourism Organization (UNWTO) pada 2012, ekoturisme, wisata alam, heritage, dan budaya diprediksi akan meningkat cepat dalam dua dekade mendatang. Prediksi itu jadi sebuah harapan bagus dalam upaya mengembangkan wisata minat khusus bertema tenun di Lambanapu, Mauliru, dan Kadumbul. Untuk mendesain paket wisata minat khusus bertema tenun kami melakukan studi lapangan dengan menggunakan pendekatan menjadi turis. Kami hadir sebagai turis dengan minat yang spesifik dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh para seniman tenun. Agar mendapatkan rasa dan pengalaman menjadi seniman tenun, kami mengalokasikan waktu untuk menginap di salah satu rumah warga di Praikundu, Desa Lambanapu. Pilihan jatuh pada rumah keluarga Pak Kornelis. Kebetulan untuk saat ini rumah yang siap menerima tamu baru rumah beliau saja. Pengalaman yang didapatkan selama menginap di sana menjadi dasar yang kuat dalam penyusunan desain paket wisata minat khusus bertema tenun.

Menurut Justin Francis, direktur pengelola di situs www.responsibletraveler.com 1, adapun cara baru yang dianut para pejalan lewat perjalanan ialah dengan perjalanan yang mendalam atau deep travel. Pada tahun 2020 pola perjalanan diperkirakan akan lebih menekankan pada apresiasi terhadap kekhasan dan keistimewaan lokal serta pada detil yang menyebabkan suatu daerah menjadi unik dan spesial. Para pejalan akan lebih mencari pengalaman yang sebenarnya atau alamiah ketimbang paket budaya yang dibuat-buat hanya untuk kepentingan turis. Pernyataan Justin Francis itu sejalan dengan apa yang kami yakini selama ini, bahwa keaslian alam dan budaya sebuah tempat justru menjadi magnet tersendiri. Kami sangat beruntung karena bekerja bersama kelompok Paluanda Lama Hamu yang konsisten menggunakan pewarna alam dalam tiap kain yang dibuat. Tentunya hal ini menjadi nilai tambah yang menguntungkan mengingat tak banyak lagi daerah penghasil tenun di Sumba Timur yang setia menggunakan pewarna alam. Sisi otentisitas dalam rangkaian proses penciptaan selembar kain tenun ikat masih terjaga rapi. Perancangan desain paket wisata minat khusus bertema tenun ini dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan warga lokal yang menjadi target sasaran proyek. Sedari awal kami menjaga agar jangan sampai aktivitas baru berupa wisata tenun ini merusak tatanan yang dipegang oleh warga lokal. Oleh sebab itu kami menekankan prinsip pariwisata yang bertanggung jawab dalam tiap paket yang dihasilkan. Pariwisata yang bertanggung jawab tidak hanya menyasar penyedia jasa wisata dalam hal ini warga lokal yang akan menjadi pelaksana di lapangan. Namun, para pejalan yang tertarik dengan paket wisata minat khusus bertema tenun ini juga jadi target edukasi terkait pariwisata yang bertanggung jawab. Hal-hal yang berhubungan dengan upaya-upaya untuk menciptakan pariwisata yang bertanggung jawab akan hadir di dalam poin-poin rekomendasi. Di dalam laporan ini akan dijabarkan langkah-langkah dalam proses pembuatan tenun ikat Sumba Timur. Seluk beluk tentang pewarna alam yang meliputi warna biru, merah, kuning, coklat, dan hitam juga akan diulas khusus. Persepsi warga khususnya kaum muda terhadap isu pariwisata tak luput dari hal yang disajikan. Juga pengalaman menginap di rumah warga menjadi cerita yang ditampilkan. Selain menggali berbagai hal terkait tenun ikat di Lambanapu dan Mauliru, kami juga mengeksplorasi kampung-kampung adat dan destinasi wisata lainnya di luar kedua desa tersebut. Namun satu hal yang disayangkan bahwa dikarenakan keterbatasan waktu dengan banyaknya materi yang harus dieksplorasi menyebabkan kami tak sempat untuk menggali potensi wisata tenun di Desa Kadumbul. Di sisi lain, aktivitas tenun ikat kelompok Paluanda Lama Hamu hampir seluruhnya dilakukn di Desa Lambanapu dan Mauliru. Walau begitu, jika ada kesempatan lain, penggalian potensi wisata tenun di Desa Kadumbul dapat dilakukn. Selanjutnya produk berupa paket wisata minat khusus dan pendidikan bertema tenun terlampir bersama laporan ini. 1 http://www.responsibletravel.com/resources/future-of-tourism/travel-trends.htm

B. Aktivitas dan temuan di lapangan I. Eksplorasi proses pembuatan tenun ikat Sebagian besar waktu kami di sini diprioritaskan untuk mencoba dan mendokumentasikan hampir tiap tahapan membuat tenun ikat. Metode yang kami lakukan adalah dengan mengikuti aktivitas para seniman tenun ikat di banyak tempat. Hal ini membuat kami berkeliling dan berkenalan dengan banyak seniman tenun di Lambanapu dan Mauliru. Di bawah ini hasil dokumentasi kami mengenai tahapan membuat kain tenun ikat. TAHAPAN MEMBUAT KAIN TENUN IKAT 1. PEMINTALAN KAPAS a. Lamini Proses memisahkan biji dari kapas. Kapas terbaik untuk dipintal ialah yang baru dipanen. b. Pandi Kapas diurai menggunakan pandi agar lebih mudah untuk dipintal. Mengurai kapas menggunakan 'Pandi' yang berbentuk seperti busur.

c. Kanuhu Kapas yang sudah terurai, digulung, dibentuk menyerupai kepompong Menggulung kapas untuk membuat kanuhu Kindi dan kanuhu d. Pahudur Proses memintal kapas menjadi benang dengan menggunakan alat bernama kindi atau ndatar. Pahudur dengan menggunakan 'Ndatar'. Pahudur menggunakan 'Kindi'.

2. KABUKUL Benang digulung dengan menggunakan piyapak agar berbentuk bola atau oval. Menggulung benang dengan menggunakan piyapak. Menggulung benang tanpa menggunakan piyapak. Benang yang sudah dikabukul. 3. PAMENING a. Menghani Kegiatan ini dilakukan oleh dua orang. Benang yang berbentuk bola, diurai pada kayu rangka bernama wanggi pamening, dengan ukuran panjang dan lebar sesuai ukuran kain yang ingin dibuat. Untaian benang yang telah dibentangkan seukuran kain disebut hiamba.

b. Karandi Rumata Membuat simpul untuk tiap 8 utas benang dengan menggunakan tali kasur atau kalita (tali dari daun gewang). Tahap ini dilakukan untuk tiap 1 liran hiamba. c. Puha Wanggu Memasukkan karuma, atau tali panduan, di antara tiap karandi.

d. Pandapil Tahap ini berfungsi untuk menumpuk dan menyatukan beberapa liran hiamba yang sudah dimenghani. Tahap ini dibagi menjadi dua langkah, yaitu utu dan upu. Utu Menggabungkan 2 liran atau lebih. Bisa hingga 10 liran. Upu Menyisipkan karuma/ tali panduan di antara tiap gabungan karandi dari beberapa liran. Cara kerjanya serupa dengan tahap puha wanggu. e. Kawari Untaian benang dirapikan susunannya. 4. GAMBAR MOTIF a. Walah Hiamba di wanggi pamening (struktur kayu yang digunakan untuk menyanggah untaian benang saat di tahap pemening) dipindah ke wanggi walahu atau kapala hondung. Wanggi atau kapala ini nantinya akan digunakan terus sejak proses persiapan gambar motif hingga proses ikat selesai.

b. Patangi Memastikan bahwa benang yang direntangkan sudah kencang pada wanggi/kapala, sebelum digambar motif.

c. Karandi (Siap Gambar) Untuk membuat kolom-kolom gambar, hiamba dibagi dalam beberapa bagian dengan cara membuat ikat karandi pada sebilah bambu. Kolom-kolom ini nantinya akan menjadi ruang gambar untuk menggambar motif. Sementara ikat karandi berfungsi agar benang tidak bergeser saat sedang atau sesudah digambar motif. Karena hiamba yang dikarandi terdiri dari beberapa liran, nantinya untuk satu kali gambar akan menghasilkan beberapa kain dengan motif yang sama.

d. Menggambar motif Tahap ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang ahli menggambar motif di atas untaian benang (hiamba). Perlengkapan yang diperlukan adalah pensil merah-biru, mistar dan wadah kecil berisi air. Motif gambar bisa hasil imajinasi seniman motif atau berdasarkan gambar dari pemesan. 5. IKAT & WARNA a. Hondung Tahap mengikat hiamba untuk motif yang nantinya akan berwarna putih. Tujuannya agar saat dicelup warna biru, maka motif yang ditutup oleh tali tidak akan terkena pewarna biru. Untuk mengikat hiamba bisa menggunakan kalita (tali dari daun gewang) atau tali rafia.

b. Tapu Mengikat hiamba untuk motif yang nantinya akan diberi warna merah, sehingga saat dicelup warna biru, bagian yang telah diikat tidak akan terkenan pewarna biru. c. Nggiling Tahap ini merupakan proses pencelupan hiamba untuk warna biru dan kemudian dijemur (lihat: Proses Membuat Pasta Biru dan Proses Pencelupan Warna Biru ). Proses ini biasanya hanya boleh dilakukan oleh perempuan dan ada berbagai pantangan yang perlu dijaga agar tidak gagal. d. Katahu Mau Setelah pencelupan biru (biasanya 4x pencelupan), maka ikatan untuk motif yang nantinya akan berwarna biru tua dibuka. e. Puha Mau Di tahap ini, hiamba kembali mengalami pencelupan warna biru (biasanya 4x), sehingga mencapai warna biru yang jauh lebih tua dari sebelumnya. f. Katahu Parara Ini merupakan tahap sebelum pencelupan warna merah. Setelah dijemur selama beberapa hari, hingga hiamba benar-benar kering, kemudian semua ikatan pada motif yang nantinya akan berwarna merah, dibuka.

g. Hondung Mau [Hondung Mau Kangurak & Hondung Mau Matua) Sebaliknya, motif yang nantinya akan berwarna biru muda (mau kangurak) dan biru tua (mau matua) diikat. Agar ketika dicelup pewarna merah, motif yang sudah berwarna biru tidak berubah warna karena bercampur dengan warna merah. h. Hiamba dicuci hingga benar-benar bersih untuk hilangkan sisa warna biru. Lalu dijemur hingga benar-benar kering.

i. Kawilu Tahap ini dikenal dengan nama perminyakan, yaitu hiamba dicelup pada ramuan kemiri yang ditumbuk halus hingga menghasilkan minyak. Tujuannya agar saat hiamba dicelup ke dalam pewarna merah, maka warnanya akan melekat (lihat: Proses Perminyakan ). Foto di bawah menunjukkan benang yang mengalami perminyakan. j. Penjemuran & pengembunan hiamba Setelah dicelup dan hiamba telah terkena ramuan kemiri secara merata, maka hiamba dijemur dan diangin-angin, minimal selama 2 minggu. Setelah terasa cukup lemas, tidak kaku, berarti hiamba siap dicelup ke dalam pewarna merah. Foto di bawah menunjukkan kumpulan benang, bukan hiamba, yang sedang dijemur.

k. Celup merah Setelah melalui proses perminyakan, hiamba siap untuk dicelup merah. Biasanya hiamba mengalami 2x pencelupan (lihat: Proses Pencelupan Warna Merah ). l. Katahu Setelah hiamba benar-benar kering, maka saatnya untuk membuka semua ikatan motif. Di tahap ini akan terlihat bentuk keseluruhan motif dan hasil pencelupan semua warna. 6. BENTANG a. Biara Memisahkan tiap liran yang sebelumnya digabung menjadi satu (saat pewarnaan).

b. Walah Membentangkan hiamba pada wanggi (struktur bambu) dan merapikan posisi benang agar sesuai dengan gambar motif yang diinginkan. c. Merapikan Motif Hiamba yang telah dibentangkan di wanggi, dirapikan posisi tiap karandi agar membentuk motif yang diinginkan.

d. Karandi Kembali mengikat karandi pada sebilah bambu, agar benang tidak bergeser saat sebelum dan sedang ditenun. e. Kanji (Kawu) Proses pengolesan kanji pada hiamba agar kain kaku saat ditenun. Setelah itu, hiamba dijemur hingga kering. f. Kawari Untaian benang setelah dikanji akan melekat satu sama lainnya. Tahap ini bertujuan untuk memisahkan tiap karandi yang menempel dengan menggunakan tangan.

g. Hira Proses memisahkan untaian benang yang masih melekat di bagian atas dan bawah. h. Hura Memisahkan tiap helaian benang yang melekat dengan menyelipkan sebilah bambu tipis yang berujung runcing di antara helaian benang. Kemudian diakhiri dengan diselipkannya sebilah bambu panjang, sebagai alat bantu untuk membuat pawunang. i. Pawunang Membuat benang panduan yang akan digunakan untuk memasukkan kayu wunang saat proses menenun.

7. TENUN a. Hawulur Pamawang Benang pakan untuk tenun disiapkan dengan digulung pada sebilah tongkat yang dinamakan pamawang. b. Pababat Dimasukkannya sebilah bambu tipis (kambilla patu) di sela-sela benang sebagai pertanda dimulainya proses tenun.

c. Tenun (tinung) Proses menenun hanya dilakukan oleh perempuan. Biasanya untuk menenun 1 liran butuh waktu sekitar 2 hari (jika dikerjakan intensif) atau 4-5 hari (jika dikerjakan sambil urus keluarga). (Sumber: Mama Getrin) d. Katahu Wunang Pada tahap ini proses tenun berakhir dengan ditandai dipotongnya tali wunang. 8. JAHIT Tahap ini khusus untuk pembuatan kain hinggi, di mana dua liran kain dengan motif yang sama dijahit menjadi selembar hinggi. Atau untuk menyatukan tepian kain sarung (lau). Ada 3 jenis teknik jahit, yaitu: tulang ikan, uttu tepu, dan uttu hiru. Jenis jahitan uttu tepu. Jenis jahitan tulang ikan.

9. KABAKIL Pada tahap ini kain dibawa ke pengrajin kabakil di Pameti Mahu, tak jauh dari bandara. Di sini ujung kain (bagian atas dan bawah) yang berupa untaian benang, ditutup dengan tenun lurik yang ditenun secara horisontal. Untuk proses kabakil, biasanya pemilik kain (dari kelompok PLH) membawa benang sendiri yang sudah dicelup dengan pewarna alam. 10. PLINTIR Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki. Pada tahap ini tiap rumbai pada kain dirapikan dengan cara diplintir menggunakan tangan. Setelah itu, menggunakan kayu bernama wari, rumbai yang telah diplintir, dihaluskan. Proses ini dinamakan wari rumata. Ai wari atau kayu untuk me-wari benang. Proses menghaluskan benang yang sudah diplintir dengan menggunakn kayu wari. Catatan: Tahapan Kabakil dan Plintir bisa digantikan dengan jahit teknik HIRU

II. Eksplorasi proses pembuatan pewarna alam TAHAP PEMBUATAN PEWARNA ALAM DAN PROSES PEWARNAAN KAIN UNTUK TIAP PEWARNA Sejatinya proses pembuatan pewarna alam di Sumba Timur merupakan proses yang diajarkan turun temurun oleh leluhur mereka. Adapun pewarna alam khas Sumba Timur hanyalah tiga macam, yaitu, merah, biru dan hitam/kapihak. Sementara untuk pewarna coklat dan kuning dipelajari baru-baru saja dari daerah luar Sumba. Untuk pewarna merah, hampir seluruh pembuat tenun mengetahui proses pembuatannya dan bisa membuatnya secara mandiri. Namun untuk pewarna biru hanya keluarga tertentu yang mengetahui dan bisa membuatnya. Ini pun disertai berbagai persyaratan, seperti harus perempuan yang melakukannya; tidak boleh ada laki-laki dalam proses pembuatannya; tidak boleh ada keturunan kabihu Anakapu dalam proses pembuatannya; dsb. Sementara untuk pewarna kapihak, tak banyak lagi keluarga atau pembuat tenun yang bisa membuatnya. Pewarna ini telah lama ditinggalkan oleh warga setempat karena dianggap bisa digantikan dengan campuran pewarna biru dan merah. 1. PROSES PENCELUPAN WARNA BIRU/INDIGO A. MEMBUAT PASTA BIRU POTONG DAUN NILA [KATTAH WUARA] Daun nila merupakan bahan utama pembuatan pewarna biru. Proses memangkas daun nila sebaiknya dilakukan di pagi hari, sebelum sinar matahari menyengat.

DAUN NILA DIJEJERKAN DI TEMPAT TEDUH Dibiarkan hingga sore hari RENDAM NILA DENGAN AIR [PALOMUNG WUARA] Dilakukan sore harinya. Lalu, air rendaman dibiarkan semalam PERAS NILA [POHU WUARA] Dilakukan keesokan harinya. Daun nila yang telah direndam, diperas untuk mengeluarkan pewarna biru yang terkandung di dalamnya.

SETELAH DIPERAS, AIR NILA DIBERI KAPUR [TUNYA KAPU] Saat diberi kapur, air nila dikocok-kocok hingga busa berkurang. Warna air nila yang semula berwarna kebiruan perlahan-lahan berubah menjadi coklat, lalu hijau tosca, dan kemudian biru kembali. Air nila dibiarkan 1 malam. SARING AIR NILA Setelah dibiarkan bermalam, tercipta air endapan. Air lapisan atas yang berwarna jernih di buang. Baru kemudian air nila disaring untuk membuang sisa-sisa daun nila.

AIR NILA DIMASUKKAN DALAM KARUNG Ketika dimasukkan ke dalam karung tebal, perlahan-lahan air keluar, sehingga yang tersisa hanya endapan kapur berwarna biru. Proses ini berlangsung selama 1-2 malam. ENDAPAN AIR NILA/ PASTA DIJEMUR DI ATAS SENG Pasta nila yang berbentuk bongkahan besar, dipotong-potong. Kemudian dijemur di atas seng selama 2-3 hari hingga mengeras. PASTA NILA SUDAH JADI

B. MEMBUAT KAPUR Kapur merupakan bahan yang penting yang digunakan dalam proses pembuatan pasta indigo/biru. Kapur sendiri diproduksi oleh mereka yang sehari-hari membuat pewarna indigo. Proses pembuatannya cukup rumit dan memiliki beberapa persyaratan agar berhasil. BAHAN YANG DIBUTUHKAN: - KERANG LAUT (YANG SUDAH MATI) - KOTORAN SAPI - DAUN KOSAMBI - KAYU BAKAR - GARAM - AIR CARA PEMBUATANNYA: 1. SIAPKAN KAYU BAKAR. Titip api disiapkan di empat sudut. Ukuran bidang untuk pembakaran kerang sekitar 2 x 2 meter. 2. MENUMPUK KERANG Tumpukan kayu, kotoran sapi dan kerang disusun seperti ini: lapisan kayu bakar, kotoran sapi, kerang, kotoran sapi, dan kayu bakar. 3. BAKAR KERANG Proses pembakaran biasanya dilakukan malam hari dan memakan waktu semalaman. 4. PILIH KERANG Di pagi hari dilakukan pemilihan kerang. Kerang yang dianggap berhasil dibakar adalah yang berwarna putih dengan berbagai ukuran. Ada yang utuh dan hancur. Kerang yang hangus dibuang. 5. KERANG DITITI/DITUMBUK DENGAN BATU HINGGA HALUS 6. MASAK AIR HINGGA MENDIDIH DAN BERI GARAM 7. TARUH KERANG YANG SUDAH HALUS KE DALAM BAK 8. SIRAM KERANG DENGAN AIR MENDIDIH DAN DIADUK Kerang diaduk dengan air hingga merata. 9. SIAPKAN DRUM YANG SUDAH DIBERI ALAS KERTAS SEMEN & DAUN KOSAMBI ATAU DAUN PISANG 10. TUANG KERANG HALUS/KAPUR KE DALAM DRUM 11. TUTUP DRUM DENGAN DAUN KOSAMBI DAN KERTAS SEMEN 12. KAPUR SIAP DIGUNAKAN CATATAN: Pencarian dan pemilihan cangkang kerang di tepi pantai biasanya dilakukan secara berkelompok dengan menyewa pick up. Pembakaran dilakukan di Haumara, Mauliru, karena daerahnya lebih kering dan panas. Proses pembakaran kapur dilakukan satu atau dua tahun sekali. Biasanya pada musim kering.

C. MEMBUAT AIR ABU BUAT ABU DARI KAYU KOSAMBI, KAYU ASAM, KAYU LAMTORO DAN KAYU JATI. Bisa gabungan atau salah satu dari jenis kayu tersebut. ABU DICAMPUR AIR, LALU DITIRISKAN ABU KEMBALI DICAMPUR DENGAN AIR TIRISAN D. MEMBUAT AIR OBAT AKAR GANDARUSA, AKAR PANETANG, KUNYIT, KULIT KAYU RITA, AKAR PAHAURA, RUMBA RARA (sejenis rumput). Seluruh bahan direndam selama 1 minggu E. PROSES CELUP BIRU [NGGILING] SIAPKAN AIR ABU PASTA KERING DIRENDAM DI DALAM AIR ABU ± 2 MINGGU. Jika pasta terlalu kering/keras, direndam ± 1 bulan SETELAH PASTA LUNAK, PINDAHKAN KE EMBER TEMPAT PENCELUPAN (YANG SUDAH DICAMPUR AIR OBAT) CELUP HIAMBA KE DALAM EMBER Lamanya pencelupan maks. 3 jam. Jika terlalu lama, benang akan cepat putus karena air nila mengandung kapur PERAS & JEMUR HIAMBA / BENANG SETELAH HIAMBA KERING, KEMBALI DICELUP BIRU. Ulangi beberapa kali, hingga warna biru yang diinginkan tercapai. Untuk mendapatkan warna biru tua, min. 8x pencelupan CATATAN: Tiap sore harus selalu memasukkan pasta nila yang sudah lunak dan air obat ke dalam ember pencelupan. Tiap pagi/sore air di dalam ember pencelupan harus dikocok-kocok agar kapur tidak mengendap. Biasanya warna air akan berubah menjadi kekuningan. 2. PROSES PENCELUPAN WARNA MERAH Untuk proses pencelupan warna merah, sebelumnya benang/hiamba harus melalui proses perminyakan terlebih dahulu. Proses ini berperan untuk memudahkan penyerapan warna merah oleh benang atau kain, sehingga warna merah akan tampak kuat. A. PROSES PERMINYAKAN [KAWILU] KUMPULKAN BAHAN-BAHAN YANG DIPERLUKAN Bahan yang dibutuhkan: kemiri, kunyit, kulit kayu dadap, kulit kayu randu alas, & akar kecubung. Bisa juga ditambah daun kecubung, agar campuran bahan tidak didatangi semut.

CACAH SEMUA BAHAN, KECUALI KEMIRI [LATAK WAILANGA] TUMBUK SEMUA BAHAN HINGGA HALUS, KECUALI KEMIRI [BAI KAWILU]

MASUKKAN SEMUA BAHAN YANG SUDAH DITUMBUK KE EMBER BERISI AIR PERAS CAMPURAN BAHAN Saring semua bahan yang sudah dicampur air, kemudian peras. Bisa gunakan tangan atau saringan. TUMBUK ULANG BERSAMA KEMIRI. Campuran bahan yang telah ditumbuk, kembali ditumbuk bersama kemiri, agar lebih halus. MASUKKAN BENANG/HIAMBA/KAIN KE DALAMNYA. Setelah semua bahan yang ditumbuk halus dicampur dengan air, maka air terasa mengandung minyak kemiri. Benang/hiamba/kain perlu dikucek-kucek dan dipastikan bahwa larutan perminyakan telah mengenai permukaan benang/hiamba/kain secara merata.

RENDAM BENANG/HIAMBA SELAMA DUA MALAM KEESOKAN PAGINYA, BENANG/HIAMBA/KAIN DIJEMUR DAN DIANGIN-ANGIN SELAMA 2 MINGGU B. MEMBUAT PEWARNA MERAH POTONG AKAR MENGKUDU [AKI KOMBU] Cari pohon mengkudu yang memiliki akar cukup besar. Gali dan potong untuk mendapatkan akarnya.

CACAH AKAR MENGKUDU [LATAK KOMBU] TUMBUK AKAR MENGKUDU [BAI KOMBU] AKAR YANG SUDAH HALUS DIMASUKKAN KE DALAM AIR Air yang bening perlahan berubah menjadi merah

PERAS AKAR [POHU KOMBU] AKAR YANG SUDAH DIPERAS, DITUMBUK KEMBALI [BAI KOMBU] Ulangi proses penumbukan hingga 3x, agar akar benar-benar halus. AKAR YANG SUDAH HALUS DICAMPUR DENGAN AIR MASUKKAN BUBUK SIMPLOCUS ATAU DAUN LOBA KE DALAM AIR Untuk daun Loba, lebih baik ambil yang gugur, bukan yang dipetik. C. PROSES CELUP MERAH 1. CELUP PEWARNA MERAH [LABBU KOMBU] Benang/hiamba/kain yang dicelup adalah yang telah mengalami proses perminyakan. Tujuannya agar pewarna merah melekat dengan sempurna di bidang benang/hiamba/kain. 2. JEMUR [DENGI] Benang/hiamba/kain dijemur selama min. 4 hari.

3. PENCELUPAN KE-2 Ulang kembali ke proses no.1 3. PROSES PENCELUPAN WARNA HITAM [KAPIHAK] A. MEMBUAT PEWARNA HITAM SIAPKAN BAHAN YANG DIPERLUKAN Kulit bakau jenis pamuhu, ru ngu /daun sidowayah, kulit pohon kosambi, kulit pohon jarak, kulit pohon kom, kulit pohon kunjur. Ramuan dari tumbuh-tumbuhan. SEMUA BAHAN DICACAH. DAUN DIRONTOKKAN DARI RANTING

MASUKKAN SEMUA BAHAN DAN BENANG/HIAMBA KE DALAM BELANGA MASAK HINGGA MENDIDIH Perlahan-lahan air berubah warna menjadi merah kecoklatan AMBIL ENDAPAN LUMPUR HITAM DI PINGGIR SUNGAI Mengambil lumpur di tepi sungai. Lumpur dari endapan sungai.

SIAPKAN LUBANG UNTUK LUMPUR HITAM Lumpur hitam dibersihkan dari kotoran - seperti daun, akar, ranting sebelum dituang ke dalam lubang CAMPUR AIR REBUSAN DARI BELANGA DENGAN LUMPUR Ambil sebagian air rebusan di belanga dan dicampur dengan lumpur di lubang hingga merata. Air ramuan yang direbus turut dituang ke dalam lumpur. B. PROSES CELUP HITAM BENANG DARI BELANGA DILETAKKAN DI LUBANG BERSAMA CAMPURAN LUMPUR DAN AIR REBUSAN. Benang/hiamba dimasukkan ke dalam lumpur.

BENANG DIKUCEK-KUCEK DENGAN LUMPUR HINGGA MERATA. BENANG DIBILAS DENGAN AIR BERSIH. BENANG KEMBALI DIMASAK BERSAMA AIR DI DALAM BELANGA

PROSES DIULANG KEMBALI DARI AWAL SEBANYAK 3-4x Agar mendapatkan warna yang lebih gelap, maka sebaiknya proses diulangi hingga 4x. 4. PROSES PENCELUPAN WARNA COKLAT A. MEMBUAT PEWARNA COKLAT KULIT KAYU BAKAU (NDONGU) DIAMBIL DARI PANTAI KULIT BAKAU DICACAH KULIT BAKAU DIREBUS HINGGA MENDIDIH BIARKAN HINGGA DINGIN B. PROSES CELUP COKLAT TAWAS DIREBUS HINGGA AIR MENDIDIH BENANG/HIAMBA/KAIN DIMASUKKAN KE DALAM AIR REBUSAN TAWAS Fungsi benang/kain direbus adalah untuk melepas lapisan lilin pada benang/kain, sementara tawas berfungsi untuk membuka pori pada benang/kain. BENANG/HIAMBA/KAIN DIJEMUR HINGGA KERING BENANG/HIAMBA/KAIN DICELUP KE PEWARNA COKLAT BEBERAPA SAAT, KEMUDIAN DIJEMUR Proses pencelupan dilakukan min. 2x agar mendapatkan tingkat warna yang diinginkan. 5. PROSES PENCELUPAN WARNA KUNING A. MEMBUAT PEWARNA KUNING KULIT KAYU KUNING DIJEMUR HINGGA KERING KULIT KAYU KUNING DICACAH

KULIT KAYU KUNING DIREBUS HINGGA MENDIDIH BIARKAN HINGGA DINGIN B. PROSES CELUP KUNING TAWAS DIREBUS HINGGA AIR MENDIDIH BENANG/HIAMBA/KAIN DIMASUKKAN KE DALAM AIR REBUSAN TAWAS Fungsi benang/kain direbus adalah untuk melepas lapisan lilin pada benang/kain, sementara air tawas berfungsi untuk membuka pori pada benang/kain. BENANG/HIAMBA/KAIN DIJEMUR HINGGA KERING BENANG/HIAMBA/KAIN DICELUP KE DALAM PEWARNA KUNING BEBERAPA SAAT. KEMUDIAN DIJEMUR. Proses pencelupan dilakukan min. 2x agar mendapatkan tingkat warna yang diinginkan.

III. Eksplorasi proses pembuatan shibori Shibori sendiri merupakan jenis kriya tekstil yang dihasilkan oleh leluhur di Jepang, bukan Sumba Timur. Jenis kriya ini meliputi teknik mengikat, melipat, memelintir, menggulung kain serta mencelup kain pada pewarna untuk mendapatkan motif-motif unik. Dalam proses pewarnaannya, shibori menggunakan metode tie-dye atau ikat celup. Seniman tenun ikat di Lambanapu mempelajari teknik shibori ini sebagai bagian dari aktivitas bereksperimen dengan pewarna alam. Mengingat butuh waktu sangat lama jika bereksperimen dengan menggunakan kain tenun ikat, maka shibori dapat menjadi sebuah media yang mudah dan cepat untuk dapat dicelup ke dalam larutan pewarna alam. Dengan menggunakan teknik shibori, seniman tenun ikat dapat menciptakan motif-motif kain yang unik dengan tingkat pewarnaan yang berbeda-beda. Dan di shibori sendiri tidak mengenal kata motif yang salah atau karya yang gagal, karena keunikan dan keindahannya justru terdapat dalam ketidaksempurnaan motif yang dibuat. Bagi mereka yang ingin belajar membuat pewarna alam, maka membuat shibori menjadi sebuah kegiatan pelengkap untuk merancang media yang akan dicelup ke dalam pewarna alam. Adapun cara membuat shibori tidaklah rumit jika sebatas ingin membuat motif-motif sederhana. Bagi mereka yang tahu teknik membuat ikat celup, maka otomatis sudah dapat membuat shibori dengan motif-motif tertentu. Di bawah ini adalah beberapa langkah sederhana yang kami coba saat di Lambanapu untuk membuat shibori. Adapun pewarna alam yang kami coba di sini adalah pewarna kuning dan coklat. 1. Melipat atau memelintir Untuk proses yang lebih kompleks, bisa dijepit, ditekan/ditindih, dijahit, dsb.

2. Mengikat 3. Mencelup

4. Menjemur 5. Membuka ikatan 6. Menjemur

IV. Pengalaman Menginap di Rumah Warga (homestay) Menjadi Warga Lokal: Pengalaman Menginap di Rumah Warga Desa Lambanapu, terlebih Kampung Praikundu tak akan ditemukan di buku babon para pejalan seperti Lonely Planet atau Rough Guides. Pun jarang diulas di dalam blog para pejalan. Padahal dari lokakarya singkat yang kami peroleh sebelum ke sini, Lambanapu, khususnya Praikundu menjadi satu daerah yang unik. Anomali lanskap dengan lingkungan yang lebih hijau karena dialiri Sungai Kambaniru mematahkan imajinasi tentang kondisi alam Sumba Timur. Namun yang paling mengejutkan ialah bahwa Lambanapu menjadi satu dari sedikit kawasan yang masih memegang teguh penggunaan pewarna alami dalam produksi kain tenun ikatnya. Jadi, kain tenun ikat Sumba yang sudah masuk dalam daftar warisan budaya tak benda (urgent safeguarding list) pada 2013 itu menggunakan pewarna jenis apa? Wilayah mana saja yang masuk sebagai contoh untuk pengajuan ke UNESCO itu? Mengapa Lambanapu yang masih setia memelihara pewarna alami seakan tenggelam dalam peta pariwisata tenun di Sumba Timur? Beberapa pertanyaan itu menempel di kepala. Kami mencoba menemukan jawabannya dengan menyelami kehidupan para penenun di sana. Jauh hari sebelum tiba di Lambanapu, kami sudah membayangkan akan tinggal di rumah warga. Sebuah pilihan yang lebih sering kami ambil ketika bepergian ke luar kota. Dengan tinggal di rumah warga, kami jadi punya kesempatan untuk mengenal mereka lebih dekat. Kami bisa mengikuti aktivitas keseharian dan berinteraksi lebih intim dengan mereka. Selain itu alasan anggaran juga sering jadi pertimbangan. Menginap di rumah warga pasti jauh lebih murah dan itu media untuk mengalami dan merasakan langsung menjadi warga lokal. Sebuah pengalaman yang harganya tak ternilai. Keluarga Pak Kornelis menjadi tuan rumah kami selama menginap di Praikundu. Mereka memberikan kamar terbaiknya untuk kami tempati selama delapan hari. Kamar yang nyaman itu dilengkapi dengan tempat tidur berkelambu dengan dua jendela menghadap ke halaman rumah. Membuat kami tak was-was lagi dengan serangan nyamuk bahkan ketika ingin membuka jendela sepanjang malam. Pohon delima di depan kamar tampaknya jadi bonus hiburan selama kami di sini. Ayam-ayam yang memilih tidur di pohon itu ternyata memberikan kesenangan tersendiri untuk kami. Meskipun kadang mereka berkokok lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Namun, itu menyebalkan sekaligus hal yang lucu. Kehadiran mereka bisa jadi satu cerita tersendiri untuk menyentil sebuah kebiasaan salah satu anggota keluarga Kornelis. Itu menarik! Nyaris selama menginap di sini kami selalu bangun pagi. Bangun yang diikuti dengan gerakan langkah ke luar kamar. Berbeda dengan ketika menginap di hotel yang lebih sering diikuti dengan bangun untuk tidur kembali. Suasana pagi di Praikundu terlalu sayang untuk dilewatkan. Lagipula kami ingin tahu ritme kehidupan para penenun. Pagi di Lambanapu Praikundu sudah sibuk sedari pagi. Meski demikian, kesibukan mereka tidak terasa terburu-buru. Kesibukan yang mengalir tenang, bukan kesibukan yang dihantui oleh tenggat-tenggat tuntutan pekerjaan.

Mulai pukul 06.00 ayam-ayam di pohon delima sudah mencari nafkah. Beberapa anggota rumah Pak Kornelis sudah sibuk dengan rutinitas masing-masing. Di hari awal menginap kami memilih untuk jalan pagi ke arah persawahan. Jika tak ada kuda yang dibiarkan merumput di atas lahan yang akan diolah jadi sawah, rasanya ini seperti di Jawa saja. Meskipun kami jalan pukul 06.30, namun sudah ada orang di sawah. Biasanya mereka melepaskan sapi atau kuda untuk merumput. Sebagian yang lain mengecek aliran air yang masuk ke areal sawahnya. Yang lainnya harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan ringan dari turis seperti kami. Pagi itu Pak Daniel tampak sudah ada di sawah. Sebagai ketua kelompok tani, Pak Daniel memberikan banyak informasi seputar kehidupan pertanian di Lambanapu. Tentang perubahan drastis yang justru menurunkan kualitas hasil pertanian seperti penggunaan pupuk kimia. Juga tentang pergeseran persepsi petani tentang benih-benih lokal. Cerita tentang pertanian lokal ini bagi kami jadi pemanis setelah selama ini berkutat dengan dunia tenun ikat. Selain sawah, suasana yang juga kami nikmati ialah rutinitas anak-anak di sekolah. Mereka datang dengan berjalan kaki atau harus berboncengan dengan lima orang di satu motor. Anak-anak kelas besar terlihat hilir mudik mengangkat air dalam ember-ember. Katanya untuk menyiram tanaman di depan kelas. Sebagian anak memanfaatkan kesempatan itu dengan melepas sepatu dan merendam kaki mereka ke dalam selokan lanjutan saluran irigasi. Mereka akan dipanggil masuk ke kelas dengan panggilan bak di stasiun kereta. Panggilan itu berbahasa Indonesia dan Inggris. Mungkin program sama rata sama rasa pemerintah untuk memanggil para siswa ke dalam kelas di seluruh Indonesia. Ada juga cerita lucu ketika waktu upacara bendera. Para siswa atau bahkan guru yang telat akan bersembunyi sebentar di bangunan tempat mudika Lambanapu biasanya berkumpul. Pemandangan itu terlihat jelas dari rumah Pak Kornelis. Nanti, ketika upacara selesai dan para siswa serta guru berpindah tempat untuk misa di gereja barulah rombongan yang terlambat ini keluar dari persembunyian. Aktivitas pagi hari yang juga kami sukai ialah membantu Okta (pemuda tekun asal Tabundung yang magang tenun di tempat Pak Kornelis) menyiram halaman depan rumah. Setelah itu, Bu Ika (istri Pak Kornelis) akan mengeluarkan cangkir-cangkir teh dan kopi untuk kami. Duduk di bawah pohon waru, menyeruput secangkir kopi, dan sapaan selamat pagi dari tiap orang yang lewat di jalan, jadi momen indah selama menginap di rumah Pak Kornelis. Kuda dan Helir Sang Penghias Senja Ketika sore, kuda-kuda sandel nan memikat gagah melintas di jalan di depan rumah Pak Kornelis. Mereka dibawa oleh para pemiliknya, tak jarang anak-anak, untuk mandi di saluran irigasi. Sebuah aktivitas yang sekurang-kurangnya harus kami lihat satu kali. Ada banyak bahan obrolan ketika mereka memandikan kuda. Mulai dari gosip-gosip di pacuan hingga asal usul penamaan seekor kuda. Lebih banyak percakapan yang tidak kami pahami karena mereka menggunakan bahasa lokal. Tapi, rasanya dengan keterbukaan mereka untuk ditonton cukup jadi jembatan untuk kami paham apa yang mereka bicarakan. Sore hari di saat matahari siap untuk lengser jadi saat yang tepat untuk berendam di Sungai Kambaniru yang bersih. Apalagi kalau ada sesuatu yang bisa dikerjakan sembari berendam. Beberapa hari sebelum kepulangan, tak sengaja kami bertemu dengan spesies kerang sungai yang dikenal sebagai helir. Lalu topik helir jadi naik daun karena keinginan kami untuk ikut merasakan mencari helir dengan tangan sendiri. Ternyata isu itu memanggil ingatan-ingatan warga tentang

proses pencariannya ketika mereka muda dulu. Sekarang tak banyak warga Lambanapu yang mencari helir. Tak seperti tetangganya, Mauliru, yang masih menikmati mencari helir di sore hari. Wah, kami tak sabar untuk menggali helir sebanyak-banyaknya. Gayung bersambut. Keinginan kami mencari helir di sungai direspon oleh beberapa pemudi dari Mauliru. Maka di suatu sore kami masuk ke sungai, bermain di sana sembari menggali helir. Kami diajari bagaimana cara mendapatkan helir. Khusus hal tentang helir, pemudi Mauliru jauh lebih jado ketimbang Lambanapu. Ternyata tak mudah dan butuh kepekaan untuk menentukan lokasi penggalian helir. Namun, tak mengapa. Kegiatan itu tak bikin bosan dan justru menimbulkan efek candu. Udara yang panas diredam dengan kesegaran aliran Sungai Kambaniru. Kami ditemani latar cantik perbukitan khas Sumba. Juga dengan para warga yang asyik dengan galiannya masing-masing. Sesekali kawanan sapi dan kerbau melintas menyeberangi sungai untuk pulang ke rumahnya. Di mana lagi bisa menikmati kemewahan dalam balutan kesederhanaan seperti ini? Babi Seturut Persepsi Beberapa kali warga lokal bertanya pada kami tentang babi. Apakah Mbak tidak masalah dengan kehadiran babi di sini? Di sini babi serupa ayam di Jawa. Mereka dijumpai di mana-mana, sama seperti manusia yang hidup di sini. Di dalam rumah, di halaman, di dapur, di bawah pohon, di manamana. Merujuk pada kepercayaan yang kami anut, beberapa warga ternyata penasaran dengan isi kepala kami tentang babi. Babi jadi salah satu mata rantai kebudayaan masyarakat Sumba. Sebagai hewan, babi oleh mereka dibagi lagi ke dalam golongan-golongan sesuai dengan postur dan penampakannya. Babi hadir di dalam jamuan upacara adat, hatinya dibaca, dagingnya disantap. Babi muncul sebagai ornamen hias di reti, penji, dan kain tenun. Bagaimana mungkin kami akan protes dengan itu? Jika dari babi kami bisa mendapatkan cerita melimpah tentang masyarakat Sumba menjalankan ritual-ritualnya. Juga orkestra sore hari para babi yang minta makan jadi hiburan tersendiri bagi kami. Sejauh ini kami tidak ada masalah dengan itu. Warga pun mengusung toleransi yang sangat tinggi. Mereka menanyakan perihal itu dengan sangat hati-hati. Juga ketika ada pesta yang mengundang kami, mereka tak akan melibatkan babi di dalam hidangan yang disajikan. Namun, kami menyadari bahwa persepsi tentang babi tidak akan sama antar kepala. Hal ini harus diinformasikan di muka ketika ada wisatawan yang berminat dengan paket wisata yang disusun nanti. Kehangatan di Meja Makan Kami percaya bahwa makanan menjadi duta yang sangat baik di dalam pertukaran kebudayaan. Terkadang bahkan makanan turut jadi alat diplomasi antar budaya. Begitu pula selama tinggal di rumah Pak Kornelis, makanan jadi perekat kedekatan kami. Awalnya kami makan siang hanya dengan Pak Kornelis. Tetap menyenangkan namun terasa ada yang kurang. Kami selalu meminta Bu Ika untuk bergabung bersama kami di meja makan. Lambat laun permintaan kami pun dipenuhi oleh Ibu Ika. Di hari-hari lainnya, kami pun mengajak Okta, Lita, Kak Esi, atau siapa pun yang ada di rumah, untuk makan bersama. Bersama masakan dengan menu-menu lokal berbahan lokal (kadang dari kebun sendiri) sesi makan kami tak hanya selesai di makan. Akan ada percakapan tambahan setelahnya. Usai makan siang kami akan melanjutkan percakapan di bale-bale di bawah pohon waru. Lebih sejuk di sana ketimbang di

ruang makan. Dari sini kami jadi paham mengapa di hampir tiap rumah, pasti memiliki pohon besar yang rindang serta bale-bale di bawahnya. Makan malam bagi kami jadi hal yang paling dinanti, karena biasanya lebih santai. Saat itu kami bisa berbincang lebih banyak dengan topik-topik yang lebih personal. Semisal topik pernikahan dalam budaya Sumba Timur. Pak Kornelis dan Bu Ika lancar menceritakan kisah perjalanan mereka bertemu satu sama lain. Juga sejarah pernikahan mereka. Dari cerita mereka kemudian kami mengetahui jenis-jenis pernikahan dan proses yang terjadi di dalamnya. Secara tidak langsung kami mendapat gambaran tentang tenun sebagai belis dan mamuli sebagai simbol pernikahan. Nah, tak perlu membaca buku kalau begitu. Juga, kisah mereka terasa lebih personal dan akan awet dalam ingatan. Di meja makan, dengan balutan kelezatan masakan Bu Ika, kami bisa bersenda gurau lepas. Bu Ika yang di awal perjumpaan tampak lebih pendiam ternyata memunculkan sisi humornya yang tak terduga. Banyak cerita-cerita serupa mop Papua yang dihadirkan Ibu Ika di meja makan. Sembari bercanda kami tak lupa menyelipkan beberapa pertanyaan serius seputar tahapan proses tenun yang sedang kami jalani. Jadi, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Malam yang Meriah Sejak awal kami menduga bahwa rumah Pak Kornelis ini menjadi titik temu banyak orang. Namun demikian, hal yang menarik ialah bahwa di rumah ini hanya satu dari tiga anak lelaki (Deki, Boy, dan Erik) Pak Kornelis yang tinggal. Boy tinggal di rumah Pak Daniel (kakak Pak Kornelis), sementara Deki tinggal di Mama Dan (ibu Pak Kornelis). Pola bertukar anak antar saudara jadi hal yang lazim di sini. Jika sebuah keluarga hanya memiliki anak perempuan saja maka keluarga itu akan meminjam anak lelaki saudaranya untuk tinggal bersama mereka. Begitu pula sebaliknya. Terkadang anak-anak Pak Kornelis akan berkumpul lengkap di malam hari. Kadang mereka membawa serta teman-teman mereka. Kadang pula kawan-kawan atau saudara-saudara Pak Kornelis singgah hanya untuk duduk dan berbincang ringan. Tetangga terdekat seperti Mama Lita (populer dengan sebutan Mama Luna) dan Lita (anaknya) sudah seperti tinggal di rumah ini. Hampir dipastikan setiap malam Mama Lita mampir di rumah Pak Kornelis. Kadang kala ia membantu Bu Ika menyelesaikan tenun kecil atau melakukan kabukul sembari nonton televisi. Malam hari selalu meriah di sini. Kami masih bisa melanjutkan praktik kabukul atau menenun selendang kecil sembari berbincang dan bersenda gurau. Pernah juga Bu Ika mengajak untuk memipil jagung sebagai bahan dasar membuat mandawa (makanan khas). Pengalaman memipil jagung itu termasuk yang paling berkesan. Ibu Ika mengajari kami teknik memipil jagung yang efektif. Di sela-sela itu kami mendapatkan kisah bagaimana kearifan masyarakat Sumba menyimpan jagung. Mereka akan mengikat jagung-jagung yang belum dikupas pada batang pohon yang tinggi. Sesuatu yang unik menurut kami. Jagung yang dipanen tidak langsung dihabiskan, melainkan disimpan untuk dipergunakan secukupnya sesuai dengan kebutuhan dalam satu tahun. Meskipun rumah Pak Kornelis ramai di malam hari, namun kami tetap bisa menikmati tidur pada waktunya. Jelang pukul 11.00 malam biasanya kami sudah masuk kamar. Begitu pula anggota rumah yang lain. Halaman jadi senyap. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing. Hanya suara ayam yang sesekali terdengar.

Jelajah Desa Satu kelebihan yang kami dapatkan ketika menginap di Lambanapu ialah kesempatan untuk mengeksplorasi desa. Dalam hal ini kami tidak ingin melihat sesuatu yang dipersiapkan khusus untuk kunjungan kami. Kami melihat hal-hal yang tampak sewajarnya terjadi di Lambanapu maupun Mauliru. Tantangan awal ketika berkeliling desa ialah kesiapan untuk mengunyah sirih pinang ketika singgah ke rumah warga. Pengalaman kali pertama mengunyah sajian untuk tamu di Sumba itu tak begitu menyenangkan. Karena tak sempat bertanya teknik mengunyahnya, kami menelan air sirih pinang di dalam mulut. Seharusnya kami mengeluarkannya. Namun, hal itu justru jadi latihan berarti untuk sirih pinang selanjutnya. Mengunyah sirih pinang merupakan tradisi yang menurut kami harus dicoba. Itu salah satu cara untuk menjadi warga lokal. Tanpa sirih pinang yang singgah di mulut rasanya ada ruang yang belum terisi dalam perjalanan ke Sumba ini. Di suatu sore, dengan pengalaman pertama kami bertemu sirih pinang, kami diajak Pak Kornelis melihat prosesi handakilung di RT.06. Prosesi itu dilakukan pagi dan sore hari untuk jenazah yang masih menganut marapu. Gong dan tambur akan dibunyikan selama prosesi itu berlangsung. Bebunyian ini bahkan sampai terdengar di rumah Pak Kornelis. Seekor kuda dengan pita merah di kaki depan, kepala, dan ekor diberi kain tenun (sarung, untuk perempuan ; hinggi, untuk laki-laki) di atas punggungnya. Kuda itu diajak berkeliling sebentar di halaman depan rumah si mati. Sembari itu makanan (biasanya dengan lauk telur) diletakkan di dekat jenazah. Ketika berkunjung melihat prosesi handakilung di sebuah rumah duka kami mencicip peci. Peci merupakan minuman fermentasi khas lokal. Awalnya agak takut untuk mencoba. Namun, setetes saja itu sudah cukup untuk merasakan sensasi panas nya. Pernah juga di suatu siang ketika kami ikut Pak Kornelis mencari bahan untuk perminyakan, kami tak sengaja singgah ke rumah Apu Yustina dan Mama Silda. Tampak Mama Silda sedang menenun. Sementara itu Apu Yustina yang jago pahudur sedang melakukan hawulur (menggulung benang pakan untuk tenun). Kami pun mencoba hawulur, tanpa perencanaan. Spontanitas menjadi kejutankejutan yang jadi bumbu penyedap perjalanan kami. Semua mengalir lebih alami dan itu mengesankan. C. Potensi wisata di Lambanapu, Mauliru, & Sekitarnya 1. Lambanapu a. Jejak megalitik di Hibundu Jejak tradisi megalitik di Desa Lambanapu salah satunya bisa dijumpai di Kampung Hibundu. Kampung ini dihuni oleh dua kabisu (baca: kabihu), yaitu kabisu Kokur Pandak dan kabisu Huangga. Kehadiran dua rumah adat yang masing-masing dilengkapi dengan katuada menjadi penandanya. Kompleks reti (kubur batu atau dolmen) berada di halaman sisi utara dari masing-masing rumah adat. Terdapat beberapa tipe reti di sini, di antaranya reti biasa (ditopang oleh dua batu, berukuran pendek), reti yang ditopang oleh empat tiang dengan atap menara, dan reti yang ditopang empat tiang beratap datar. Hanya satu reti yang dihias dengan pahatan hewan-hewan seperti buaya, kakatua, babi, dan kuda. Sisanya hanyalah batu polos.

Selain reti dijumpai pula tiga buah penji (menhir). Penji berfungsi sebagai penanda atau nisan. Penji dianggap sebagai pengawal arwah si mati agar selamat sampai ke tujuan. Dua penji dibentuk menyerupai bentuk manusia dengan hiasan mamuli. Sementara satu penji berupa tugu dengan pahatan anatau dan mamuli di dalamnya. Di Hibundu, selain reti dan penji, kita juga bisa berbincang dengan Umbu Jaka dan Kak Ros yang menempati rumah kabisu Kokur Pandak. Mereka memiliki keahlian di bidang pengobatan alternatif. Umbu Jaka masih menganut marapu. Jadi kita bisa menggali lebih banyak tentang marapu di sini. Hibundu cocok bagi mereka yang menyenangi sejarah dan budaya lokal. b. Bendungan Kambaniru Bendungan Kambaniru dibangun untuk menunjang program pengairan sawah di Sumba Timur. Di atas bendungan yang dibangun pada 1992 ini kita bisa menyaksikan Sungai Kambaniru dengan delta-delta kecil merayap menelusuk ke perbukitan di depannya. Tempat ini sangat ideal untuk melarikan diri sejenak dari teriknya matahari. Hembusan angin dan suara air yang jatuh kembali ke sungai menjadi teman yang sempurna untuk mengabadikan sungai berlatar perbukitan kecokelatan. c. Sungai Kambaniru Sungai Kambaniru jadi oase di tengah gersangnya tanah Sumba. Kehadiran sungai ini menyebabkan sebagian wilayah desa Lambanapu dan Mauliru berada dalam kondisi hijau dan subur. Jauh dari kesan gersang seperti ketika membayangkan tentang Sumba untuk kali pertama. Meski demikian, desas-desus tentang kakek moyang orang Sumba dalam wujud buaya santer terdengar di seantero penjuru desa. Bahkan beberapa orang sudah pernah melihatnya. Di tengah kengerian imajinasi tentang buaya-buaya di Sungai Kambaniru, ada aktivitas menarik yang sudah turun temurun dilakukan warga di sini. Beberapa warga akan turun ke sungai untuk mencari helir (sejenis kerang sungai) di sore hari. Mereka akan duduk di dalam sungai yang dangkal dengan wadah atau ember kecil di atas kepalanya. Tangan-tangan terampil mereka akan menggali sungai dan menemukan helir di antara lumpur. Kemudian helir akan dibawa pulang, direndam semalam, dan menjadi santapan di keesokan harinya. Menurut penuturan

beberapa warga, dahulu helir menjadi salah satu sumber makanan alternatif hampir sebagian besar warga yang bermukim di dekat sungai. Aktivitas mencari helir di Sungai Kambaniru ini sangat menarik untuk disaksikan oleh pengunjung. Sinar mentari sore yang mulai teduh, langit biru, dan perbukitan kecokelatan nun jauh di sana menjadi latar pemandangan yang elok saat mencari helir. Warga lokal dengan baik hati akan memandu kita untuk cara mendapatkan si kerang nan lezat ini. d. Bukit Kapel Berada di Kampung Palumarung, bukit ini dikenal sebagai bukit kapel. Di atasnya berdiri sebuah bangunan dengan patung Bunda Maria di dalamnya. Oleh sebab itu, warga lokal menyebutnya dengan sebutan Bukit Kapel. Tempat ini sangat cocok untuk menutup hari. Di sini kita bisa bersantai menikmati momen matahari terbenam. e. Atraksi memandikan kuda Kuda menjadi hewan penting dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur. Kuda mencerminkan kesejahteraan dan prestis si pemilik. Tidak hanya simbolik, kuda juga merupakan komoditas yang diperjualbelikan dan menjadi benda yang dipertukarkan saat penikahan dan kematian. Untuk kematian bangsawan biasanya kuda menjadi hewan yang dikorbankan (dangangu, hewan-hewan yang dikorbankan). Meskipun kuda menjadi korban saat upacara kematian, namun dagingnya tidak dikonsumsi. Hati dan jantungnya biasanya dimasak untuk dipersembahkan kepada orang yang mati dan kepada marapu. Darah kuda dan kerbau yang tertumpah di sekitar kubur batu si mati dipercaya membuat jiwa si mati dapat melakukan perjalanan ke dunia kematian. Maka tak heran jika kuda jadi hewan yang setiap hari kita lihat jika ada di Sumba. Kuda hadir di kain tenun, penji, reti, tato, sabana, sungai, bukit-bukit, lapangan, saluran irigasi, dan halaman rumah. Aktivitas memandikan kuda di pagi atau sore hari menjadi hal yang menarik untuk diamati. Kita akan melihat interaksi antara pemilik dan kudanya. Kita juga bisa berbincang dengan para pemilik kuda, semisal tentang cerita di balik nama-nama kuda.

f. Pemandangan dari bukit di belakang rumah Pak Kornelis Sore hari jadi waktu yang pas untuk bersantai di atas bukit ini. Dari sini lanskap Lambanapu dan Mauliru bisa terlihat cukup jelas. Selain menikmati keindahan alam, kita juga disuguhi dengan folklor tentang nenek moyang orang-orang Prai Yawang. Konon, sekitar 10 generasi yang lampau, seorang cikal bakal kabisu Ana Mburungu (kabisu di Prai Yawang) dibunuh oleh musuh dari kabisu Palamidu. Kemudian kabisu Ana Mburungu yang tersisa pindah ke Prai Kukundu (sekarang masuk Desa Lambanapu). Warga Prai Kundu juga percaya bahwa di atas bukit terdapat kubur batu yang menjadi jejak kehadiran nenek moyang orang Prai Yawang. g. Ritual-ritual marapu Ritual yang masih dilakukan oleh pemeluk marapu menjadi satu hal menarik yang bisa disaksikan oleh wisatawan. Contohnya ialah handakilung atau membunyikan musik berupa gong dan tambur saat memberi makan orang yang sudah meninggal. Prosesi handakilung dilakukan pagi dan sore hari. Saat itu berlangsung ada seekor kuda (kalitinjara) dengan pita merah di kepala, kaki depan, dan ekornya. Di atas pundaknya diletakkan kain (untuk laki-laki) dan sarung (untuk perempuan), lalu diajak berkeliling sebentar di halaman depan rumah. Di sini pengunjung dapat melihat langsung penggunaan tenun dalam ritual kepercayaan marapu. Selain itu kita juga bisa berbincang dengan warga lokal untuk menggali lebih dalam cerita tentang upacara kematian dalam kepercayaan marapu.

h. Situs Lambanapu Situs Lambanapu berada di belakang rumah adat baru kabisu Kokur Pandak. Di sekitarnya banyak dijumpai reti tanpa penji dan ukiran. Kita masih bisa melacak bekas kotak gali penggalian tersebut. Menurut warga, penggalian arkeologis di sini dilakukan secara periodik. Awalnya, penggalian dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 1900-1930. Saat itu ditemukan tempayan sebagai wadah kubur, periuk, kendi, buyung, rangka manusia, kerang (moluska), karang, dan arang. Tempayan pada umumnya polos yang diberi warna merah atau hitam. Selain kubur di dalam tempayan, ditemukan juga kubur tanpa wadah yang diletakkan di dekat tempayan. Kubur tempayan merupakan sistem penguburan sekunder. Tulang belulang manusia yang sudah disimpan dalam kurun waktu tertentu kemudian dimasukkan ke dalam wadah tempayan. Kubur tempayan ini biasanya ditemukan berdekatan dengan sumber air. Dalam hal ini, lokasi situs Lambanapu hanya berada beberapa meter saja dari tepi Sungai Kambaniru. Temuan kubur tempayan di Lambanapu ini terbilang cukup padat. Kubur tempayan disusun berbaris atau menumpuk satu sama lain. Menurut penuturan Umbu Balanggadung, daerah di sekitar Situs Lambanapu memang memiliki tinggalan arkeologi yang kaya. Kawasan ini dipercaya menjadi pusat kerajaan Kambera sebelum berpindah ke Prai Liu. Sebelum 1970an di bawah permukaan kawasan ini tersimpan banyak peninggalan berupa piring & mangkuk keramik, guci, manik-manik, dan gelang. Namun, terjadi penjarahan besar-besaran pada awal 1970 karena adanya makelar barang antik yang masuk ke sini. Banyak penduduk kemudian ditangkap karena tindakan pencurian ini. 2. Mauliru a. Bukit Pinu Palapang Dahulu, derap kaki kuda ramai terdengar di atas bukit ini. Kuda-kuda Sandel berlatih mempersiapkan diri untuk pacuan. Saat itu belum ada lapangan pacuan di Prailiu. Orang banyak yang datang kemari untuk memacu kuda mereka. Pinu yang berarti bukit, dan palapang yang berarti pacuan merupakan tempat untuk pacuan kuda.

Sekarang kuda-kuda yang singgah di sini hanya untuk merumput saja. Bukit ini lebih banyak dikunjungi oleh anak muda atau orang-orang yang memanfaatkan keindahannya untuk foto pra nikah. Memang, dari sini kita bisa melihat Mauliru dari atas. Petak-petak sawah nan hijau terhampar luas. Sungai Kambaniru meliuk-liuk mengalir tenang. Dari sini kita bisa menikmati momen matahari lengser ke peraduannya dari sudut yang berbeda. b. Kampung Keramat di Tanao Di kampung ini kita bisa menyaksikan aktivitas para mama menenun di bawah rumah. Masih banyak warga yang menyimpan jagung dengan cara tradisional, yaitu mengikatnya pada batang pohon. Masih terdapat kubur batu tanpa hiasan di tengah kampung. Seorang wunang (juru bicara) akan menemani kita saat mengeksplorasi kampung ini. Namun, jaraknya yang cukup jauh dengan keterbatasan moda transportasi membuat kampung ini seakan terisolir dari Lambanapu maupun Mauliru. c. Talang Tempat ini populer di kalangan pemburu foto buaya. Banyak yang mengatakan bahwa jika ingin melihat buaya maka cukup pergi saja ke talang. Talang merupakan saluran air yang melintas di atas Sungai Kambaniru. Talang menjadi lalu lintas air antara Mauliru dan Lambanapu. Tak jauh dari talang, terdapat sebuah bukit yang jadi salah satu titik favorit anak muda Mauliru dan Lambanapu untuk nongkrong. Di bukit ini tumbuh ru ngu, salah satu tanaman yang digunakan dalam proses pewarnaan hitam. Dari sini kita bisa mengabadikan lanskap Lambanapu

yang hijau berlatar perbukitan kering kecoklatan dengan Sungai Kambaniru yang mengalir di tengahnya. Kita bisa piknik untuk menikmati momen matahari terbit/terbenam di atas bukit talang. d. Kapel Mauliru Di sini, saat jelang senja kita bisa menyaksikan lanskap persawahan di Mauliru dari atas. Sawahsawah dengan sebuah bukit sebagai latar akan bermandikan cahaya matahari sore. 3. Kawasan Sekitar a. Bukit Morinda Masih belum jelas mengapa bukit ini dinamakan Bukit Morinda. Mungkin karena di atasnya berdiri restoran dan resort bernama Morinda. Di sini kita bisa bersantai menikmati makanan dan minuman dari resto sembari menyaksikan Sungai Kambaniru dikepung perbukitan kecoklatan. b. Malumbi Desa Malumbi menjadi salah satu sentra penghasil dinding dari bambu. Aktivitas ini bisa kita saksikan setiap hari. Para perempuan akan duduk di bawah pohon asem yang rindang untuk menganyam bambu. Di sini kita bisa ikut mencoba menganyam bambu. c. Pacuan kuda Prailiu Tiap minggu pagi, terutama detik-detik jelang hari lomba pacuan kuda, lapangan Prai Liu ramai dengan kuda, pemiliknya, dan orang-orang yang hanya sekedar ingin menonton. Kuda-kuda sandel dan keturunan berlatih di sini untuk mempersiapkan diri jelang perlombaan. Kuda akan dikemudikan oleh seorang joki anak-anak dengan usia maksimal 8 tahun. Tubuh joki yang ringan sangat dibutuhkan di sini agar kuda bisa lari maksimal. Tak sedikit orang-orang yang menyewa joki anak dari Bima untuk kepentingan pertandingan.

Menyaksikan kuda-kuda berlatih jadi satu aktivitas yang bisa dilakukan di sini. Selain itu, bagi pecinta fotografi ada banyak objek menarik di lapangan ini. d. Dermaga Waingapu Dermaga Waingapu menyimpan banyak kisah karena menjadi pintu gerbang bagi hubunganhubungan Sumba Timur dengan dunia luar. Pada 1750, VOC mengirim sebuah ekspedisi ke Sumba untuk membuat sebuah perjanjian dagang dengan raja-raja lokal. Sejak 1757, Sumba menjadi sumber penting bagi perdagangan budak yang langsung dijual ke VOC dan diekspor ke Bali, Sulawesi, Jawa, hingga ke Afrika Selatan, Mauritius, dan Madagaskar. Setelah VOC bangkrut maka pemerintah Kolonial Belanda menghentikan perdagangan itu pada 1838. Pada 1839, pemerintah Kolonial Belanda menempatkan seorang pedagang Arab, Sjarief Abdulrachman Al Gadrie, untuk mengontrol perdagangan, terutama kuda dan kerbau di Pulau Sumba. Kemudian pada 1843 dibangunlah dermaga di Waingapu untuk menunjang kegiatan perdagangan antar pulau. Kisah tentang perjalanan kain tenun ikat Sumba Timur ke luar pulau pun dimulai dari dermaga ini. Terutama sejak 1913 ketika Koninklijke Pakketvaart Maatschappij (KPM) membuka jalur ke sini. Saat itu setidaknya setiap tahun seratus kain tenun ikat Sumba Timur berlayar menuju tempat-tempat persinggahan baru di benua yang berbeda. Di dermaga ini, meskipun jejak masa lalu tak begitu kentara, kita bisa bersantai menikmati matahari tenggelam, sambil menikmati sekelompok ikan terbang yang lompat ke udara serta siluet perbukitan yang cantik. Selanjutnya makanan laut yang tersaji di warung-warung di dalam dermaga bisa jadi pilihan untuk makan malam. e. Pasar Matawai Pasar tradisional menjadi tempat klasik yang wajib masuk ke dalam daftar kunjungan selama berada di Sumba Timur. Di sini kita bisa melihat beragam komoditas, tak hanya dari Sumba Timur melainkan dari seantero pulau Sumba dan pulau-pulau terdekatnya.

Ada banyak hal menarik di sini, mulai dari umbi-umbian dan pisang yang banyak ragamnya, sirih dan pinang, aneka jenis ikan laut, kerajinan tangan dari lontar, tenun, ikan asin, hingga cabai rawit khas Sumba yang bisa dipertimbangkan jadi oleh-oleh untuk dibawa pulang. Para pedagang dengan ramah akan menanyakan kebutuhan kita. Toh, kalau hanya melihat-lihat dan mengambil gambar pun mereka tidak keberatan selama kita meminta izin. f. Pasar Ikan Waingapu Singgah ke pulau dengan kualitas laut yang masih terjaga tentunya menjadi kemewahan tersendiri. Selama berada di sini, pasar ikan Waingapu menjadi hal yang tak boleh dilewatkan. Pasar ini ramai saat malam. Namun bukan berarti kita tak bisa datang pagi hari. Beberapa pedagang menggelar ikan-ikan segar di pagi hari. Ikan-ikan karang, udang, ikan laut dalam, cumi, dan kepiting tersedia siap untuk dibeli. Jika tak hendak membeli ikan, kita bisa merekam aktivitas penjual dan pembeli di sini. D. PERTEMUAN DENGAN PEMUDA/I LOKAL Pada hari Senin, 17 Oktober 2016, berkat bantuan Rudi (Rudolf Petang), kami mengadakan pertemuan dengan kelompok pemuda-pemudi Lambanapu dan Mauliru, di teras Kapel Mauliru. Di luar dugaan pemuda-pemudi yang datang cukup banyak, sejumlah 20 orang, terdiri dari 18 perempuan dan 2 laki-laki. Sayangnya yang hadir sebagian besar dari Mauliru, sementara dari Lambanapu hanya 4 orang saja, yaitu Okta, Lita, Silvi dan Linda. Kemungkinan dikarenakan lokasi pertemuan di kapel Mauliru dianggap jauh bagi pemuda/i Lambanapu. Seluruh hadirin tergabung dalam kelompok Mudika. Menikmati minum dan kudapan (tanpa sampah) sambil menunggu kawan yang lain. Pertemuan dimulai dengan perkenalan.

Adapun tujuan pertemuan ini untuk: 1) Mengidentifikasi secara kasar, sejauh mana pemuda/i mengenali potensi wisata di kampungnya; 2) Mencari tahu sejauh mana mereka paham akan proses tenun dan upacara adat di kampungnya; 3) Mengeksplorasi pemuda/i yang potensial untuk menjadi pemandu lokal. Pertemuan berlangsung sangat hidup. Secara umum, semua aktif berbicara dan mengungkapkan pendapat, walau ada 1-2 orang yang sangat mendominasi percakapan. Untuk mengatasi agar diskusi tidak hanya dikuasai oleh 2 orang tersebut, kami melemparkan pertanyaan-pertanyaan dan memberikan kesempatan kepada hadirin yang lain untuk berbicara. Selain juga kami melemparkan 3 pertanyaan dan meminta mereka untuk menjawabnya pada selembar kertas yang kami bagikan. Pertanyaan yang kami lemparkan antara lain: Apakah pendapat kalian tentang tenun ikat? Apakah itu sesuatu yang biasa saja, prosesnya panjang memakan waktu atau kalian puny a pandangan lain terhadap tenun ikat? Manakah tahapan membuat tenun ikat yang bisa kalian lakukan? Jika suatu hari kampung kalian menjadi daerah wisata yang dikunjungi banyak orang, hal apa yang kalian inginkan dan tidak inginkan terjadi? Berdasarkan diskusi dan tanya jawab, dapat disimpulkan bahwa mereka cukup mengenali kawasan di Lambanapu & Mauliru yang potensial untuk dikunjungi karena memiliki pemandangan yang indah. Bagi mereka, upacara adat kaum marapu seperti peristiwa penguburan orang mati, bukanlah hal yang menarik untuk diketahui. Tapi ketika ada satu-dua yang dapat menceritakan hal ini, ternyata membuat yang lainnya tertarik untuk mengetahui lebih dalam. Beberapa peserta berbagi cerita tentang upacaraupacara adat yang mereka ketahui. Bercengkerama dan bergurau sambil berbagi cerita.

Jadi sekarang siapa yang tertarik ingin tahu tentang budaya marapu? Secara umum menganggap bahwa tenun merupakan aktivitas penting dan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Tapi tak banyak yang benar-benar tahu prosesnya dan bisa melakukannya. Yang menarik, saat ditanya mengenai dampak pariwisata yang tidak mereka inginkan, banyak yang menyampaikan masalah sampah (9 peserta). Mereka tidak ingin kampung mereka jadi banyak sampah yang dibuang sembarangan akibat kegiatan pariwisata. Padahal, tanpa ada kegiatan pariwisata pun, kami menemui beberapa titik sampah tempat orang membuang sampah sembarangan. Keluhan mereka tentang sampah menjadi titik masuk kami untuk sedikit membahas tentang sumber sampah itu sendiri. Kebetulan kami menyediakan makan kudapan dan minuman untuk pertemuan ini yang tidak menghasilkan sampah sama sekali. Hal ini kami angkat sebagai contoh kasus tentang bagaimana mengurangi sampah dari hal yang kecil dan dari diri sendiri. Namun ke depannya perlu ada diskusi lanjutan tentang bagaimana pemuda/i mengatasi masalah sampah di kampung, sebelum masuknya wisatawan. Dampak buruk pariwisata lainnya yang tidak mereka ingin terjadi antara lain, pakaian wisatawan yang tidak sesuai; masuknya nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai di Sumba Timur; wisatawan yang hanya ingin berfoto, tidak ingin mengetahui lebih dalam tentang budaya setempat; serta motif-motif yang dicuri oleh pihak luar.

Walau hari telah gelap, tapi peserta masih semangat untuk menuliskan pendapat mereka di sehelai kertas. Pertemuan berlangsung cukup lama, hingga hari gelap, pk. 16.30-20.00. Padahal pencahayaan di kapel sangat minim, namun tidak menyurutkan keinginan mereka untuk berbagi pikiran. Dari pertemuan ini kami mendapatkan cukup informasi menarik tentang potensi wisata di Lambanapu/Mauliru serta pendapat mereka tentang penyelenggaraan wisata di kampung mereka. Pendapat mereka tentang tenun ikat No 1 Suka dengan tenun karena prosesnya sederhana & bisa dikerjakan hanya dalam beberapa hari. Poin-poin pendapat peserta tentang tenun ikat Motif yang bermacammacam dan warnanya yang berbeda-beda, membuat tenun menarik. Dari proses tenun bisa mendapatkan uang. Saat ini saya tidak melanjutkan kuliah karena ingin belajar membuat proses kain Sumba Timur sejak awal, agar bisa mengembangkannya dengan baik. 2 3 Suatu proses dari benang yang dibuat sesuai tahapan2 sehingga menjadi kain. Tenun sangat istimewa karena cara pembuatannya yang panjang dan lama. Tenun mempunyai unsur-unsur tertentu, lambang, motif dan arti dari lambang-lambang tersebut. Saya tertarik untuk mengikuti (red: belajar?) proses pembuatan tenun ikat. Suatu adat-istiadat dan turun-temurun. Dipakai oleh lelaki/wanita saat upacara-upacara adat. 4 Tenun ikat adalah sebuah harta yang paling berharga. Punya nilai sangat tinggi. 5 Tenun ikat perlu dilestarikan, terutama oleh generasi muda. Punya banyak fungsi, yaitu dibuat baju, celana dan tas. Bagi orang Sumba Timur tenun sebagai pembungkus mayat. Ingin mempelajari proses pembuatan sejak awal hingga akhir, untuk dikenalkan kepada banyak orang. Yang paling menarik adalah motif/gambarnya.

6 7 8 Melalui kegiatan tenun ikat kita dapat mempelajari tentang kerajinan tangan tersebut. Produk budaya yang perlu dilestarikan dan dipertahankan oleh masyarakat Sumba. Tenun ikat itu menarik dan perlu dipelajari. Tenun ikat sangat bermodal atau lebih bermotivasi kita ke depannya untuk lebih mengenalnya, khususnya kita sebagai generasi muda. Di dalam tenun ikat itu menceritakan tentang Sumba itu sendiri, dan juga budaya dari luar. Bertenun ikat butuh kemauan untuk mempelajarinya. 9 10 11 Tenun ikat merupakan warisan turun temurun. Salah satu adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang untuk diteruskan kepada anak-cucu. Motifnya bermacammacam berupa hewan. Memberikan cerita melalui motifnya. Kain tenun ikat dapat menarik perhatian orang dari luar Sumba Timur. Butuh waktu yang lama untuk proses menenunnya. Proses pembuatannya sangat panjang. Tidak mudah untuk menggambar di atas kain. Tidak semua orang bisa melakukannya, sehingga memilik nilai yang sangat tinggi. Saya berminat untuk berlatih menenun. Nilai jualnya tinggi. 12 13 14 Saya senang dengan motifnya yang bagus. Misalnya gambar ayam, burung, dll. Tenun ikat merupakan salah satu tradisi yang berada di dalam suku dan juga salah satu alat tenun nenek moyang sehingga dilanjutkan oleh keturunannya. Tertarik pada motifnya yang menyajikan cerita, termasuk cerita tentang daerah di luar Sumba. Saya juga ingin mengembangkan salah satu bakat dan keahlian orang tua saya.

15 Tenun ikat adalah warisan nenek moyang. 16 Tenun ikat salah satu yang diwariskan oleh orang tua saya. 17 Tenun ikat merupakan warisan daerah yang harus dikembangkan oleh kita, anak daerah. 18 Saya tertarik dengan motifnya, seperti kuda dan ikan. Juga berbagai macam warnanya, yaitu putih, merah, biru, biru tua. 19 Tenun ikat menarik karena motif di dalamnya banyak menceritakan tentang adat istiadat. Mis, motif ayam melambangkan seorang perempuan yang akan berumah tangga. Saya tertarik pada motifnya, baik itu yang bercerita tentang Sumba 20 Timur atau pun yang menceritakan tentang daerah di luar Sumba. Saya suka dengan berbagai motifnya yang menarik. Tertarik karena motifnya yang menarik. Di antaranya motif buaya, kuda, ayam, dan mamuli. Saya harus meneruskan tradisi (membuat tenun ikat?) agar berkembang dan dikenal berbagai daerah. Tenun ikat memegang peranan penting bagi orang Sumba, misalnya untuk mengunjungi orang mati harus membawa kain. Saya ingin belajar membuat tenun ikat untuk meneruskan budaya tenun. Cat: = Tidak dipahami maksudnya

Apa kata mereka, jika kampung mereka menjadi daerah tujuan wisata? No Hal yang diinginkan Hal yang tidak diinginkan 1 Para pendatang yang membuang sampah sembarangan. 2 Dapat saling bertukar pengalaman & belajar (bahasa). Menaati peraturan yang ada di kampung. Turis menggunakan pakaian yang sangat seksi. 3 Mereka sangat mempertanggung jawab yang diperbudayakan dalam hal memperindah dan memperbaiki kebudayaan dan perusaha memperbaiki tempat tinggal dan memperkuat khas dalam lingkungan. 4 Pariwisata akan membantu menyebarkan dan mempublikasikan hal-hal menarik di kampung. 5 Pariwisata dapat mempromosikan barang-barang seperti kain atau keindahan Sumba Timur ke pihak luar. Dapat membuat Sumba Timur lebih terkenal dengan adat istiadat dan kerajinannya. 6 Pariwisata di Lambanapu akan mengeksplorasi budaya, seperti tenun ikat, makanan lokal dan juga tempat-tempat menarik, seperti bukit-bukit di sekitar. 7 Senang mendapat kesempatan untuk mengenalkan kebudayaan di kampung dan menunjukkan adat istiadat dan proses membuat tenun ikat. Menggunakan pakaian yang tidak layak (seksi). Motif-motif yang kami punya ditiru pihak luar. Sampah yang dibuang di sembarang tempat, khususnya sampah plastik. Tidak membuang sampah sembarangan. Tidak membuat dokumentasi seperti foto-foto di tempat wisata yang tidak senonoh. Orang yang datang membuang sampah sembarangan. 8 Jadi punya kesempatan untuk bertanya tentang adat istiadat pada orang tua. Tidak suka jika ada yang menjelek-jelekkan budaya Sumba dan motif kain Sumba Timur. Dapat memperlihatkan kain Sumba Timur pada orang asing. Bisa memperkenalkan budaya Sumba. 9 Dapat bertemu dan berbincang dengan orang asing. Jika tamu tidak suka budaya Sumba, hanya ingin foto-foto dan tidak ingin tahu proses (red: pembuatan tenun ikat?). Dapat memperlihatkan kain Sumba Timur melalui pariwisata. Dapat memperkenalkan budaya orang Sumba.

10 Pariwisata akan mengenalkan Sumba lebih dalam pada turis. Tamu hanya ingin lihat tanpa ada keinginan untuk mengenal Sumba lebih dalam. Turis akan memperkenalkan Pulau Sumba kepada orang-orang di tempat tinggal mereka. 11 Senang jika ada yang datang ke Sumba, apalagi datang untuk meneliti tentang tenun ikat. 12 Pariwisata akan mendorong saya untuk menceritakan proses dan jug mengerjakan hal-hal yang ditanya oleh orang asing. Membuang sampah tidak pada tempatnya. Membawa minuman keras. Membawa barang yang aneh, yang bisa merugikan orang lain. Membuang sampah tidak pada tempatnya. 13 Saya ingin pariwisata berbasiskan kearifan lokal, mencakup produk budaya di Mauliru dan Lambanapu. Jangan menjadikan tempat wisata sebagai tempat sampah. Jangan mempengaruhi tempat-tempat wisata dgn nilai-nilai modernitas yang tidak sejalan dengan nilai 'kesumbaan'. 14 Pariwisata bisa membantu menyebarluaskan kekhasan dan keunikan tenun ikat ke dunia luar. 15 Pariwisata dapat membangun wilayah Lambanapu dan Mauliru jadi lebih baik sehingga turi yang datang dapat menikmati keindahaan yang ada di sekitarnya. 16 Para wisatawan membantu dan mengembangkan budaya yang ada di sini. Wisatawan juga melakukan pencarian, jelajah, jalan-jalan ke tempat-tempat wisata yang ada di sini seperti Walakiri dan Londa Lima. Saya takut turis atau orang asing akan menguasai kampung saya. Orang -orang yang ada di sekitarnya jangan merusak segala yang sudah ada dan menjadi idaman para wisatawan. Wisatawan tidak datang untuk mengambil salah satu kebudayaan yang ada di sini. 17 Tidak boleh buang sampah sembarangan. 18 Para wisatawan dapat mencoba dan merasakan makanan lokal Sumba Timur. Tidak merusak keindahan yang ada di pantai dan keindahan alam lainnya. Tidak ingin turis datang dengan pakaian yang tidak sesuai dengan lingkungannya. 19 Jangan buang sampah sembarangan. 20 Agar wisatawan paham akan kebudayaan Sumba Timur. Catatan: = Tidak dipahami maksudnya

Identifikasi kemampuan pemuda/i dalam tahapan membuat tenun ikat No Nama Pahu dur Kab ukul Pame ning Gam bar Ikat Buka ikat Kombu Nila Bent ang Pawu nang Haw ulur Tenun Tenun lurik Jahit 1 Okta Andunara v v v v v 2 Antonia Ata Ambu/Nia v v v v v v v 3 Rudolf Petang/ Rudi v v v v v 4 Melania Hana Nida v v v v Yustina D Lestari 5 v v v v Doko/ Lestari 6 7 Dewi Dembi Tamar/ Dewi Yosefina Pura Tanya/ Vin v v v v v v v v 8 Skolastika Agul/ Gesa v v 9 Sesilinda Rambu Noti/ Linda v v v v 10 v v v v 11 Yulita L Tamar/ Lita v v v 12 Silvya Hamu Ndjawa v v v v Sisilia R L Kaborang/ 13 Sisi v v v v 14 Ermelinda Danga Kori v v v v 15 Marselina Pura Tanya/ Ella v v v v v 16 Antonia Praing/ Rini v v v 17 Agatha Imanuella Maukonda v v 18 Diana Timoria/ Dian v v 19 Blandina Ervini/ Evi????????????? 20 Melani Ata Ranja????????????? E. Usulan paket wisata [TERLAMPIR]

F. Rekomendasi 1. Fasilitas dan aktivitas bagi wisatawan saat berwisata kampung a. Fasilitas: o o o o o o o o o o o Makan bersama tuan rumah beserta anggota keluarga lainnya. Pemberitahuan tentang pantangan makanan/minuman wisatawan, jika ada. Misal, untuk vegetarian atau penderita diabetes. Tidak menggunakan MSG dalam bumbu makanan yang dimasak bagi wisatawan. Minuman-minuman dingin sebagai penyegar di saat panas atau waktu jeda/bersantai, seperti es kelapa muda, es gula asam, es jeruk nipis, jus timun, jus tomat + gula lontar, dsb. Sesekali menyediakan rujak dengan menggunakan gula sabu sebagai penyegar di siang hari. Penyediaan air infus jeruk nipis atau timun untuk air minum sehari-hari akan terasa menyegarkan. Ini sudah coba dilakukan oleh Ibu Ika saat kami menginap di rumahnya. Peralatan makan dan minum saat piknik akan lebih menarik jika mengacu pada peralatan tempo dulu, salah satunya menggunakan batok kelapa. Perlu ada pemberitahuan bahwa seprei dan sarung bantal tidak perlu dicuci selama masa menginap satu minggu (atau kurang) untuk alasan menghemat air. Sanitasi: 1) Bak mandi akan lebih baik jika ada lubang saluran pembuangan di bagian bawah, untuk memudahkan memberihkan dan menyikat bak mandi; 2) Perlu ada lubang saluran air buangan dari kamar mandi, agar tidak menggenang di bagian luar kamar mandi; 3) Yang terpenting kamar mandi selalu bersih. Walau tidak ada masalah akan kekurangan air bersih di Lambanapu, tetapi perlu ada semacam himbauan yang ditempel di kamar mandi atau sumur agar wisatawan senantiasa menghemat air. Perlu menjadi perhatian bahwa Sumba bukanlah Jawa yang memiliki pasokan listrik berlimpah. Untuk itu, wisatawan perlu dihimbau untuk menghemat listrik dan membawa gadget seperlunya saja, walau menginap di hotel sekali pun. b. Aktivitas o Upacara adat atau ritual marapu merupakan hal sangat menarik yang bisa disaksikan selama tinggal bersama warga (live-in). Pemandu atau tuan rumah perlu menginformasikan pada wisatawan untuk menyaksikan acara tersebut o Di waktu senggang, wisatawan dapat melakukan atau sekedar mengamati aktivitas petik buah mangga, kelapa, asam, memipil jagung, menumbuk kacang, mengumpulkan kapuk, memberi makan ternak, dll. o Membuat makanan lokal atau obat-obatan tradisional merupakan pilihan aktivitas yang menarik bagi wisatawan. o Wisatawan dapat melakukan kegiatan kabukul, menghani, tenun lurik, dll, sambil bercengkerama dengan anggota keluarga tempat menginap. o Wisatawan dapat diajak berkeliling kampung untuk mengenali vegetasi-vegetasi yang ada di kampung, yang digunakan dalam proses membuat tenun ikat. o Di malam hari, kami mengajak Okta untuk berjalan kaki menuju rumah Pak Pete. Menurutnya, selama ini ia tidak pernah berjalan kaki di malam hari. Dan ia baru tahu bahwa di malam hari, kita dapat melihat banyak cahaya bintang yang berpendar di langit. Mengingat di sini polusi cahaya di malam hari sangatlah minim. Hal ini bisa jadi pilihan aktivitas saat menginap di kampung.

2. Kelompok Paluanda Lama Hamu Dalam struktur kepengurusan PLH, terdapat divisi pariwisata. Perlu diperjelas mengenai wewenang dan tanggung jawab divisi ini. Apakah mereka yang berada di divisi pariwisata nantinya akan berkoordinasi dengan pemandu dan fasilitator lokal dalam penyelenggaraan paket wisata? Dalam paket wisata, terdapat aktivitas bagi wisatawan belajar membuat pewarna alam, termasuk indigo yang menjadi rahasia tiap keluarga. Kelompok perlu mendiskusikan mengenai pemberian informasi terkait proses membuat larutan pewarna indigo & proses pencelupannya kepada wisatawan. Jika kelompok sepakat untuk tidak membuka rahasia keluarga kepada wisatawan, maka tidak akan ada paket wisata khusus tentang proses pembuatan pewarna alam indigo. Atau di dalam materi promosi paket perlu dijelaskan bahwa ada beberapa bahan yang tidak bisa diinformasikan secara gamblang atas alasan adat. Banyak anggota kelompok yang belum pernah berkunjung ke daerah penghasil tenun lainnya di Sumba Timur, seperti ke Pao, Rindi atau Kaliuda. Hal ini perlu, selain untuk rekreasi, juga untuk: o 1) meningkatkan wawasan anggota kelompok tentang kualitas kain tenun ikat di tempat lain; o 2) berjejaring dengan penenun dari kampung-kampung tenun lainnya; o 3) belajar tentang penyelenggaraan wisata tenun di tempat lain di Sumba Timur. Untuk kegiatan ini bisa menggunakan uang kas kelompok. Di kemudian hari, jika pariwisata kampung berjalan lancar dalam tahun pertama, maka perlu dibentuk semacam Kelompok Sadar Wisata (pokdarwis) yang bertugas mengurus semua hal terkait pariwisata di kampung. Misal, persiapan untuk datangnya tamu, penentuan pemandu/fasilitator yang bertugas, pemeliharaan guest house, penentuan harga paket wisata, mengelola uang kas yang didapat dari kegiatan pariwisata, dsb. Sejauh ini kelompok lebih berfungsi sebagai agen pemasaran kain tenun ikat yang dibuat oleh anggota kelompok. Mungkin perlu dipertimbangkan adanya biaya pemasaran (mis. 10% dari harga penjualan) dari tiap kain yang berhasil dijual bagi kelompok. Uang ini nantinya berfungsi sebagai uang kas untuk memenuhi berbagai kebutuhan kelompok. Bisa saja uang kas ini nantinya digunakan sebagai modal untuk membentuk koperasi simpan-pinjam untuk bahan-bahan & perlengkapan membuat kain, misalnya. 3. Pengembangan wisata tenun & wisata desa a. Paket wisata: Di kalangan praktisi tekstil terdapat pertentangan mengenai penggunaan pewarna alam dan pewarna sintetis. Ada pemikiran bahwa penggunaan pewarna alam juga berdampak pada lingkungan dalam hal harus menebang pohon dan menggunakan banyak air. Untuk itu di tiap paket wisata, perlu penekanan atau penjelasan tersendiri bahwa praktik penggunaan pewarna alam oleh kelompok PLH selaras dengan konservasi alam. Perlu dikembangkan paket wisata khusus pewarna alam sebagai bagian dari kearifan lokal di Sumba Timur. Selain prosesnya yang sangat menarik, juga pewarna alam sedang menjadi perhatian di kalangan para praktisi tekstil, seniman kriya dan anak muda.

Paket wisata tentang belajar pewarna alam akan lebih menarik bagi orang-orang dari kota besar (Jabodetabek dan Bandung) dan asing, jika ada pihak yang bisa membantu membuat penjelasan ilmiah terkait proses pembuatan pewarna alam di sini. Perlu dikembangkan paket di mana wisatawan akan benar-benar belajar proses membuat kain tenun ikat dari awal hingga akhir. Di sini wisatawan akan difasilitasi untuk membuat kainnya sendiri, sehingga ia memahami setiap proses dalam pembuatan kain tenun ikat. Paket ini juga untuk melawan arus utama kegiatan-kegiatan workshop di mana proses pembuatan karya ternyata dibuatkan/diselesaikan oleh penyelenggara, bukan peserta. Dalam merealisasikan paket wisata tenun, warga setempat serta anggota PLH harus menjadi pemain utama, agar warga mendapatkan manfaat yang paling besar dalam pengembangan pariwisata di kampung. Kegiatan wisata tenun hanyalah bersifat tambahan, sementara kegiatan yang utama adalah membuat kain tenun ikat. Jadi nantinya jika wisata tenun telah berjalan, perlu dihitung berapa banyak tamu yang bisa dilayani dalam seminggu/sebulan sehingga tidak mengganggu jam kerja mereka menenun dan berladang. Saat pergi ke beberapa desa adat, sulit untuk menemukan narasumber lokal tepercaya yang bisa menceritakan tentang adat dan budaya. Untuk tiap paket wisata yang akan dikembangkan, perlu ada kisah atau informasi yang tepercaya berdasarkan kisah turun temurun atau penelitian-penelitian yang sudah ada. Untuk aktivitas membuat shibori, perlu ditanyakan terlebih dahulu apakah wisatawan familiar/ sudah pernah mencoba buat shibori atau belum. Materinya akan berbeda antara yang sudah tahu dan yang baru pertama kali mencoba. Dan perlu ada buku saku tentang pilihan motif-motif shibori serta petunjuk cara membuat tiap motif. Makanan adalah hal penting dalam kegiatan wisata. Perlu didata para anggota kelompok yang pintar memasak (laki atau perempuan). Agar nantinya yang memasak atau menyiapkan makanan bagi wisatawan tidak bergantung pada satu orang saja. Sangat penting untuk diinformasikan di dalam paket wisata bahwa daerah yang dikunjungi mayoritas beragama Nasrani. Termasuk bahwa sebagian besar warga lokal memelihara babi yang diikat di kebun serta anjing yang dibiarkan berkeliaran. Harapannya agar para wisatawan muslim tidak gegar budaya saat tiba di Sumba Timur. Atau sejak awal memilih untuk tidak membeli paket jika dirasa bertentangan dengan kepercayaannya. b. Pemandu dan fasilitator lokal: Warga lokal harus menjadi tuan rumah bagi kegiatan wisata tenun dan wisata pendidikan di Lambanapu & Mauliru. Untuk itu, kegiatan wisata tenun & wisata pendidikan akan menggunakan tenaga pemandu dan fasilitator dari pemuda/i lokal. Pemandu berperan untuk menemani wisatawan keliling kampung untuk belajar membuat tenun ikat dan juga untuk mengeksplorasi Lambanapu & Mauliru. Sementara fasilitator berperan untuk memfasilitasi siswa/i dalam membangun keingintahuan dan tingkat pemahaman siswa/i terkait tenun ikat. Para anggota Mudika Mauliru & Lambanapu merupakan target potensial untuk digali minatnya sebagai pemandu ataupun fasilitator. Para anggota kelompok yang juga pengrajin tenun perlu untuk meningkatkan kemampuannya berkomunikasi agar dapat menjelaskan kepada wisatawan mengenai proses membuat kain tenun yang sedang ia lakukan.

Pemandu lokal perlu mengetahui potensi-potensi wisata dan berbagai kisah di desanya masing-masing. Sebagai cara untuk mengeksplorasi potensi wisata & kisah setempat, para calon pemandu perlu dikenalkan dengan metode peta hijau atau PRA. Pemandu lokal dirangsang untuk banyak menggali kisah terkait adat dan budaya mereka, tidak hanya berdasarkan tuturan dari para sepuh atau ahli setempat, tapi juga berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada. Pemandu dan fasilitator lokal perlu mengenali vegetasi-vegetasi yang ada di kampung, yang digunakan dalam proses membuat tenun ikat. Tak banyak generasi setelah Mama Dan yang memiliki kemampuan untuk Pahudur. Suatu hari ketika kami mencoba belajar pahudur dari Apu Yustina, Mama Lita yang ikut serta mencoba ternyata cukup berbakat. Untuk itu, Mama Lita perlu didorong untuk mendalami teknik pahudur agar kelak dapat menjadi fasilitator/mentor khusus Pahudur. 4. Upaya meminimalisir dampak negatif akibat pariwisata: Tiap wisatawan yang akan datang, perlu diinformasikan sebelumnya agar: o (Khusus wisatawan perempuan) tidak menggunakan pakaian minim, seperti pakaian tanpa lengan atau dengan bahan yang tipis menerawang, serta celana pendek di atas lutut. o Meminimalisir dihasilkannya sampah anorganik sebagai akibat kegiatan wisata. Misalnya dengan menyediakan botol minum isi ulang bagi wisatawan; menggunakan perlengkapan piknik yang minim sampah; tidak membeli makanan/minuman yang dibungkus plastik (termasuk minuman sachet); membuat es batu untuk wisatawan tanpa menghasilkan sampah kantong plastik; o Wisatawan membawa pulang sampah plastik yang dihasilkan selama berwisata di Sumba Timur sebagaai bentuk tanggung jawabnya (perlu jadi pertimbangan). o Hemat menggunakan listrik dan membawa gadget seperlunya, mengingat minimnya pasokan listrik di Sumba Timur. o Langkanya transportasi umum dan maraknya penggunaan sepeda motor merupakan potensi masalah di masa depan. Semakin hari warga lokal lebih memilih menggunakan motor daripada berjalan kaki untuk perjalanan jarak dekat. Wisatawan dihimbau dan diajak berjalan kaki saat berkeliling kampung atau mengunjungi destinasi di kampung. Ini sekaligus menularkan hal baik kepada warga setempat untuk kembali berjalan kaki. o Sebagai upaya untuk mengurangi dampak polusi udara dan suara serta kecelakaan lalu lintas di kampung, kelompok PLH & SK perlu menyediakan 1-2 buah sepeda agar wisatawan dapat mengekplorasi kampung, untuk jarah yang lebih jauh, tanpa harus menggunakan sepeda motor. Ini bisa membuka mata warga lokal akan pilihan alat bertransportasi. o Menghargai budaya dan kepercayaan setempat. Diupayakan tidak ada ucapan miring terkait dengan budaya dan kepercayaan lokal, mengingat wisatawan sedang bertamu di kampung orang. Terkait upaya pengurangan sampah, beberapa hal yang perlu dilakukan penyelenggara wisata dan pengelola homestay, antara lain: o Tidak menyediakan/membeli makanan yang dibungkus plastik/styrofoam, selain juga tidak sehat untuk makanan panas. Perlu tersedia rantang jika ada kebutuhan untuk membeli makanan di warung.

o o o o o o Tidak menyediakan minuman yang dibungkus plastik (termasuk minuman sachet) Perlu mencari cara agar dapat membuat es batu untuk wisatawan tanpa menghasilkan sampah kantong plastik; Saat bepergian/wisata keluar Lambanapu, perlu disediakan air galon untuk isi ulang agar wisatawan tidak perlu membeli air kemasan selama perjalanan. Saat piknik di jalan, tidak membawa bekal yang dikemas dengan plastik. Makanan berat bisa dibawa dalam wadah mbola. Sebisa mungkin makanan yang dibawa merupakan hasil bumi setempat, atau bahannya dibeli di pasar. Penyediaan tas belanja bagi tuan rumah atau wisatawan yang hendak belanja ke pasar/warung/toko bagi wisatawan. Perlu ada anggota kelompok yang survei ke Waingapu untuk mencari tahu tentang pengepul sampah anorganik. Nantinya sampah anorganik yang dihasilkan selama kegiatan wisata, dapat dikumpulkan dan dijual ke pengepul untuk didaur ulang. Sekaligus uang hasil penjualan sampah dapat menambah uang kas kelompok. Perlu kesepakatan anggota kelompok agar wisatawan dihimbau untuk tidak memberikan uang tip kepada warga lokal. Hal seperti ini bertujuan agar nilai-nilai setempat tidak bergeser, mengubah sifat warga lokal menjadi komersil. G. Daftar Pustaka Adams, M. 1974. Symbols of the organized community in East Sumba, Indonesia dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 130, no: 2/3, 324-247. Leiden: KITLV Adams, M. 1972. Classic and Eccentric Elements in East Sumba Textiles: A Field Report. Washington D.C: Textile Museum. Anas, Biranul. 2007. Design Metamorphosis in the Ikat Cloth of East Nusa Tenggara: East Sumba Hinggi Motifs, Past, Present and Future, hlm. 15-31 dalam Proceedings of The International Conference on Traditional Textiles of Indonesia: Today and in The Future. Jonathan Zilberg (ed). Jakarta. Bintarti, D.D. 2000. More On Urn Burials In Indonesia dalam Indo-Pacific Prehistory Association Bulletin 19 Volume 3. Melaka Papers. Forshee, Jill. 2006. Culture and Customs of Indonesia. London: Greenwood Press. Holmgren, Robert J & Anita E. Spertus. 1989. Early Indonesian Textiles From Three Island Cultures: Sumba, Toraja, Lampung. Newyork: The Metropolitan Museum of Art. Website: www.ikat.us www.responsibletravel.com

G. Lampiran I. PERLENGKAPAN DIGUNAKAN DALAM PROSES MEMBUAT KAIN TENUN IKAT Bahan-bahan perlengkapan tenun di bawah ini perlu dipertimbangkan untuk dipajang di bengkel tenun yang sedang dibangun (jika belum berhasil membuat museum tenun). Bahan-bahan tersebut potensial untuk menjadi materi pengenalan bagi pelajar atau wisatawan tentang proses tenun ikat di Sumba Timur. 1. PAHUDUR: PANDI KINDI & TEMPURUNG KELAPA NDATAR MBOLA / TEMPAT KAPAS 2. KABUKUL PIYAPAK KERIKIL KECIL 3. PAMENING WANGGI TEMPURUNG KELAPA TALI GEWANG [KALITA] 4. GAMBAR MOTIF WANGGI WALAHU / KAPALA HONDUNG TALI GEWANG [KALITA] PENSIL MERAH-BIRU MISTAR MANGKUK 5. IKAT TALI GEWANG [KALITA] PISAU [KAHIDI] WANGGI / KAPALA 6. PROSES PEWARNAAN ALU & LESUNG KUMBANG / WADAH UNTUK PENCELUPAN PARANG TALENAN / ALAS UTK MENCACAH GAYUNG, SARINGAN, KARUNG & SENG (UNTUK INDIGO) 7. WALAH WANGGI EMBER & KUAS (UNTUK KANJI) PISAU [KAHIDI]

8. PAWUNANG WANGGI BENANG 9. TINUNG PAMAWANG KAMBILA TUKA WUNANG NGUADA RADA KALIRA & LILIN KAWIHILIU NGANDU LIU POLU GUNGGUL NDINGI 10. KABAKIL KALIRA NGUADA WUNANG 11. PLINTIR AI WARI

II. DAFTAR HADIR PERTEMUAN DENGAN PEMUDA/I LOKAL