BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Begitu besarnya dampak krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat secara tidak langsung menghantam perekonomian hampir seluruh negara di dunia bahkan membuat Indonesia ikut merasakan dampaknya. Menurut IMF, sekitar 1% penurunan pertumbuhan ekonomi di AS akan menurunkan pertumbuhan ekonomi di Asia sebesar 0,5%-1%. Dampak dari resesi global yang berasal dari resesi di AS akan mempengaruhi proyeksi perekonomian Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Perekonomian global diperkirakan akan mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 0,4%, yang sebelumnya sebesar 5,2% pada tahun 2007 menjadi 4,8% pada tahun 2008. Negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan akan mengalami tekanan yang paling parah akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di AS. Resesi di AS akan mempengaruhi neraca pembayaran Indonesia dari sisi ekspor maupun impor, serta pasar saham dan pasar uang. Sektor yang paling terbebani adalah neraca pembayaran ekspor Indonesia khususnya sektor manufaktur. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2008 mencapai angka 6,1% masih positif bila dibandingkan Negara-negara lain di ASEAN. Contohnya pertumbuhan ekonomi di Singapura telah turun dari 8% menjadi 2%, sedangkan ekonomi Indonesia dapat mencapai 4%. Kemampuan daya tahan ekonomi Indonesia dalam menghadapi resesi global tergantung pada upaya pemerintah. Pemerintah diminta perlu lebih mengoptimalkan pasar domestik sebagai kekuatan tersembunyi guna memperkuat daya tahan perekonomian nasional dari dampak resesi, salah satunya adalah dengan meningkatkan angka pendapatan nasional.
Salah satu sektor yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan pemerintah adalah sektor industri rokok terutama dibidang penerimaan pajak. Disamping itu industri rokok masih menjadi andalan pemerintah dalam penyerapan tenaga kerja dan motor pengerak perekonomian nasional, meskipun kampanye anti merokok tetap gencar dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan terkait dengan industri tersebut. Pemerintah mengubah kebijakan tarif cukai rokok yang menyebabkan beban pembayaran perusahaan rokok meningkat rata-rata 7%. Hal Ini akan menaikkan harga jual rokok dan menahan pertumbuhan konsumsi rokok dari 7% pada tahun 2008 menjadi 5% pada tahun 2009. Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau tanggal 9 Desember 2008 dan berlaku mulai 1 Februari 2009. mengenai harga jual rokok diserahkan kepada masing-masing perusahaan. Kenaikan harga inilah yang menjadi sarana pemerintah untuk menurunkan konsumsi rokok. Meski demikian, penerimaan pemerintah dari cukai rokok akan meningkat menjadi Rp 48,2 triliun. Angka tersebut Rp 2,7 triliun lebih tinggi dari perkiraan realisasi penerimaan cukai pada tahun 2008. Pada tahun 2009 konsumsi rokok dipatok 240 miliar batang, naik 5% dibandingkan dengan tahun 2008. Dari target penerimaan cukai itu, pemerintah mengalokasikan Rp 960 miliar untuk dana bagi hasil (DBH) cukai yang diberikan kepada daerah penghasil rokok. Dana ini akan digunakan untuk memperkuat balai latihan kerja dan memperkuat operasi cukai atau rokok ilegal. Pada tahun 2008, pemerintah menutup sekitar 2.000 pabrik rokok di Jawa karena tidak membayar cukai. Namun menurut Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran menegaskan, kebijakan baru pemerintah itu tidak berpihak pada industri padat karya. Hal itu terlihat dari perubahan tarif cukai di setiap golongan. Tarif
cukai untuk sigaret kretek tangan (SKT) naik paling tinggi, yakni 11,32% untuk golongan I, 9,09% untuk golongan II, dan naik 33,33-150% untuk golongan III. Bandingkan dengan tarif pada kelompok sigaret kretek mesin (SKM) yang naik 3,23-4,88% pada golongan I; naik 0,52-2,49% untuk golongan II, dan naik 14-44,98% untuk golongan III. Artinya, tarif untuk industri padat karya (SKT) justru naik paling tinggi. Ini belum memperhitungkan perlemahan rupiah dan kenaikan UMK (upah minimum) kabupaten/kota. Untuk itu diperlukan analisis perhitungan hasil kinerja keuangan perusahaan yang bergerak di industri rokok agar dapat diketahui kondisi keuangan perusahaan, meramalkan laba dimasa yang akan datang serta menilai kesehatan suatu perusahaan melalui seberapa besar keuntungan (profit) yang dicapainya. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk merencanakan laba dimasa yang akan datang adalah pengukuran kinerja keuangan berdasarkan nilai (value based). Pengukuran tersebut dapat dijadikan dasar bagi manajemen perusahaan dalam pengelolaan modalnya, rencana pembiayaan, wahana komunikasi dengan pemegang saham serta dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan intensif bagi karyawan. Dengan value based sebagai alat pengukur kinerja perusahaan, manajemen dituntut untuk meningkatkan nilai perusahaan. Konsep value based mendorong manajemen lebih termotivasi dan fokus pada penciptaan arus kas di masa mendatang bagi pemegang saham. Value based yang diterapkan secara berkelanjutan, pada kondisi pasar yang efisien akan merefleksikan kinerja pada prospek terbaik dari harga saham. Value based memiliki dua elemen kunci. Pertama, penciptaan nilai bagi pemegang saham (shareholder value) sebagai tujuan utama perusahaan. Kedua, sebagai ukuran kinerja internal perusahaan yang mampu memotivasi manajemen untuk mengerjar tujuan secara maksimal.
Peningkatan nilai perusahaan dapat dilihat dari berbagai indikator keuangan seperti earning per share (EPS) dan price earning ratio (PER), book value (BV) dan price to book value (PBV), return on equity (ROE), harga saham dan kapitalisasi pasar, free cash flow (FCF), maupun economic value added (EVA) dan market value added (MVA). (Fakhruddin, Hendy M, 2008, p5). Dengan memanfaatkan metode analisis yang mengukur kinerja keuangan perusahaan berdasarkan nilai dalam menilai kesehatan perusahaan dan melakukan perencanaan laba, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada perusahaan rokok yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang berjumlah 4 perusahaan dengan menggunakan metode economic value added (EVA), market value added (MVA) dan return on investment (ROI). Keempat perusahaan rokok tersebut antara lain PT. BAT Indonesia Tbk, PT. Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Bentoel Internasional Investama Tbk. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Perencanaan Laba dengan Metode Percentage of Sales, EVA, dan ROI Pada Industri Rokok DI Bursa Efek Indonesia. 1.2 Identifikasi Masalah 1) Berapa besar nilai Economic Value Added (EVA) dalam periode tahun 2000-2008 (Q3) pada perusahaan rokok yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia? 2) Berapa besar nilai Market Value Added (MVA) dalam periode tahun 2000-2008 (Q3) pada perusahaan rokok yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia? 3) Berapa besar nilai Return On Investment (ROI) dalam periode tahun 2000-2008 (Q3) pada perusahaan rokok yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?
4) Berapa besar perencanaan laba tahun 2008 (Q4) dan 2009 (Q1) pada perusahaan rokok yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui kinerja perusahaan rokok yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2000-2008 (Q3) melalui metode EVA, MVA dan ROI. 2) Untuk membantu perusahaan membuat perencanaan laba diwaktu yang akan datang. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis: a) Mendapatkan gambaran tentang kinerja perusahaan rokok yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2000-2008 (Q3) secara nyata. b) Sebagai proses pelatihan mengenai aplikasi EVA (Economic Value Added), MVA (Market Value Added) dan ROI (Return On Investment) dalam penilaian kinerja keuangan suatu perusahaan. c) Lebih memahami dan mengerti tentang penggunaan metode persentase penjualan, EVA (Economic Value Added), dan ROI (Return On Investment) dalam merencanakan laba. 2. Bagi Perusahaan: a) Sebagai informasi mengenai penilaian kinerja keuangan perusahaan. b) Sebagai pertimbangan dalam memperhatikan kebijakan struktur modalnya.
c) Membantu perusahaan dalam menghitung dan memproyeksikan laba di tahun 2008. 3. Bagi Pembaca Lain dan Masyarakat Luas: Sebagai bahan referensi dalam memahami metode dan implementasi dari EVA (Economic Value Added), MVA (Market Value Added), dan ROI (Return On Investment) untuk menilai kinerja keuangan pada suatu perusahaan dan menerapkan perencanaan laba di masa yang akan datang dengan menggunakan aplikasi metode persentase penjualan, EVA (Economic Value Added), dan ROI (Return On Investment).