adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

Oleh. Firmansyah Gusasi

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN Latar Belakang

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

1. Pengantar A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan. MenurutHadi(2014), menyebutkan bahwa lingkungan adalah tempat manusia hidup dan bergantung, lingkungan bisa ada tanpa manusia, akan tetapi manusia tidak dapat hidup tanpa sumber daya alam yang merupakan bagian dari lingkungan.selanjutnya pasal 70 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama serta seluasluasnya untuk berperan aktif dalam perlingdungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan tersebut mempunyai makna bahwa setiap orang atau masyarakat dapat melakukan perlindungan terhadap lingkungan dan berperan aktif secara sukarela. Pemanfaatan kondisi lingkugan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan (pasal 2 7 undang-undang nomor 5 tahun 1990). Pengelolaan lingkungan wilayah pesisir merupakan upaya pelestarian dan keberlanjutan wilayah pesisir yang diwujudkan dengan pengelolaan yang memperhatikan karakter yang spesifik.pengelolaan wilayah pesisir dilakukan untuk mengetahui hubungan antara manusia dengan wilayah pesisir sesuai tujuanya menurut batas-batas wilayah pesisir sebagai upaya mewujudkan kelestarian. Menurut Dahuri dkk., (2001) menyatakan bahwa batas batas fisik pesisir tidak terlalu rigid dalam pengelolaan lingkungan wilayah pesisir. Batas-batas tersebut ditentukan apabila dalam pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir memiliki tujuan yang berdeda. Apabila pengelolaan bertujuan untuk mencegah pencemaran dan sedimentasi maka batas wilayah pesisir ke arah darat adalah mencakup Daerah Aliran Sungai (DAS) serta daerah laut yang masih mengalami pencemaran dan sedimentasi. Jika tujuanya 1

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, sedangkan untuk batas laut adalah daerah yang terkena distribusi sedimen abrasi yang biasanya sampai pada daerah pemecah gelombang (breakwater zone). MenurutUndang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menyebutkan bahwa untuk mendukung kelestarian dan keberlanjutan lingkungan pesisir maka dalam pengelolaanya dilakukan sesuai tujuan pengelolaan pesisir sebagai berikut: (a) melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, (b) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, (c) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan Pulau-Pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan, dan (d) meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan Pulau- Pulau kecil. Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, dimana ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup proses-proses yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar (Dahuri dkk,2001). Maksud dari pengertian tersebut adalah ekosistem pesisir merupakan wilayah yang dinamis, memiliki keanekaragaman habitat yaitu di darat dan di laut serta saling interaksi antar habitat.selanjutnya menurut Djunaedi & Basuki (2002), menyebutkan bahwa ekosistem pantai/pesisir merupakan gabungan dari komponen biologi, ekologi dan fisik pantai termasuk 2

interaksinya. Binatang, tumbuhan dan organisme termasuk dalam komponen biologi/ekologi, selanjutnya perairan pantai, muara sungai, karang pantai merupakan komponen fisik pantai/pesisir. Interaksi yang ada adalah pertukaran energi dan zat yang dimulai dengan konversi cahaya matahari, nutrien dasar, karbon dioksida dan mineral oleh tumbuhan sebagai produser primer menjadi bahan dasar makanan untuk binatang. Dari segi regulasi, seiring dengan adanya otonomi daerah tahun 1999 pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia telah mengalami perubahan. Kewenangan pengelolaan wilayah pesisir telah berganti dari pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sejalan dengan hal tersebut maka sejak tahun 2001 Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang jelas dalam mengelola sumberdaya pesisir secara bertanggung jawab sesuai Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pelaksanaanya undangundang dan peraturan daerah yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya serta kesadaran nilai pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu,berbasis masyarakat relatif kurang sehingga menimbulkan kerusakan fisik dan ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pantai/pesisir masih terbatas (Rudiyanto, 2004). Kerusakan yang umum terjadi di wilayah pesisir adalah akibat adanya abrasi. Abrasi merupakan mundurnya garis pantai yang disebabkan oleh perpindahan sedimen yang digerakan oleh gelombang air laut yang berakibat pada perubahan garis pantai, kerusakan tambak maupun kegiatan lainya yang berbatasan langsung dengan air laut (Hakim & Krisna, 2012). Menurut Dahuri et al., (2001) menyebutkan bahwa sebab dari abrasi pantai dapat dikarenakan oleh proses alami, kegiatan manusia atau kombinasi keduanya. Proses alami yang dimaksud adalah gelombang air laut sedangkan kegiatan manusia seperti penebangan 3

hutan (mangrove) dan pertanian yang mengabaikan konservasi tanah menyebabkan aliran sedimen. Satuan (2010), menyebutkan bahwa pantai utara (Pantura) Jawa Tengah terus digerus abrasi hingga mencapai 4.000 Ha dengan rata-rata daratan terseret arus mencapai 5-30 hektar per tahun yang mengakibatkan hilangnya hutan bakau, areal pertambakan dan pemukiman penduduk. Kabupaten Pemalang turut serta dalam mensubsidi luasan abrasi di Jawa Tengah yaitu seluas 445 Ha.Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pemalang menyebutkan bahwa pada tahun 1999 abrasi menggerus pantai wilayah pesisir Desa Pesantren seluas 2 km² dan hingga kini masih terkena abrasi seluas 0,02 0,025 km²/tahun yang menyebabkan beberapa kerusakan seperti hilangnya area pertanian, pemukiman penduduk dan tambak ikan milik penduduk. Angka tersebut dapat terus bertambah apabila pengelolaan lingkungan wilayah pesisir tidak menghiraukan penerapan kelestarian sumberdaya alam. Semakin berkembangnya pemanfaatan area mangrove untuk kegiatan perikanan tambak, baik secara intensif maunpun tradisional turut andil dalam semakin bertambahnya abrasi. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pemalang (2014) menyebutkan bahwa luas tambak di wilayah Kabupaten Pemalang seluas 1728.3 Ha dan kecamatan Ulujami menduduki posisi luas tambak tertinggi yaitu 1534,2 Ha. Kecamatan Ulujami merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Pemalang yang terletak di wilayah pesisir. Wilayah ini memiliki luas 60,55 km², dan merupakan daerah dataran terdiri dari 18 desa. Desa Pesantren merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Ulujami yang memiliki wilayah terluas diantara desa-desa pesisir se-kabupaten Pemalang yaitu seluas 14,04 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 12.995 jiwa yang tersebar di 7 (tujuh) dukuh dan memiliki kepadatan sebesar 926 jiwa/km². Secara administratif Desa Pesantren berbatasan dengan Laut Jawa disebelah Utara, Desa Kendalrejo Kec. Petarukan disebelah Barat, Desa Kandang Kec. Petarukan sebagai batas sebelah 4

Selatan, dan Desa Mojo Kec. Ulujami di sebelah Timur (BPS Pemalang, 2015). Desa Pesantren memiliki garis pantai sepanjang 3.150 meter, dan terdapat berbagai kegiatan di sepanjang pantai seperti pertanian, perikanan, perumahan, perkebunan, dan penambangan pasir (DKP Pemalang, 2014). Salah satu upaya mengatasi kerusakan yang ada di wilayah pesisir adalah dengan rehabilitasi hutan mangrove. Menurut Keeley (2007), menyebutkan bahwa kata mangrove dalam bahasa Inggris merupakan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Selanjutnya menurut Dahuri, dkk(2001), menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan pendukung ekosistem yang penting di wilayah pesisir dan memiliki fungsi ekologis penting sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin dan juga sebagai pemecah gelombang. Selain itu hutan mangrove juga memiliki manfaat ekonomis yaitu sebagai penyedia kayu, bahan bangunan maupun kayu bakar. Hasil pemetaan satelit resolusi tinggi satelit QuickBird-61cm Color tahun 2009 memperlihatkan bahwa Kecamatan Ulujami memiliki hutan mangrove terluas diantara empat kecamatan pesisir (Kec. Pemalang, Kec. Petarukan, Kec. Taman, Kec. Ulujami) yaitu seluas 120.39 Ha, selanjutnya pada tahun 2010 Desa Pesantren memiliki hutan mangrove yang paling luas diantara 18 desa pesisir di Kabupaten Pemalang yakni seluas 92.17 Ha dan namun pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi72.75 Ha (KLH Kab. Pemalang, 2015). Tanaman tersebut pada awalnya tumbuh secara alami di sekitar wilayah pesisir Desa Pesantren, namun mangrove yang tumbuh secara alami jumlahnya cenderung sedikit sekitar 250 m² sehingga memiliki potensi kerentanan terhadap perubahan ekosistem menjadi lebih besar apabila terdapat tekanan ekologis. Dinas Kelautan dan Perikanan (2014), menyebutkan bahwa luas abrasi di Kab. Pemalang mencapai 231,04 Ha dan kerusakan 5

mangrove di Kabupaten Pemalang mencapai 32.02 Ha dari total luas wilayah hutan mangrove yaitu 314.5 Ha. Upaya rehabilitasi mangrove telah dilakukan baik oleh pemerintah dan masyarakat di Desa Pesantren dimulai sejak sekitar tahun 1999. Meskipun demikian, bentuk pengelolaan kurang berkelanjutan karena tidak adanya keterpaduan diantara dimensi pembangunan. Kerusakan hutan mangrove yang pernah terjadi berupa penebangan tegakan / akar mangrove oleh masyarakat dimulai sejak tahun 1995, dan intensitas makin bertambah ketika masyarakat melakukan alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak (Dipertanhut Pemalang, 2010). Dalam rangka mengatasi adanya degradasi tersebut, Pemkab Pemalang telah melaksanakan berbagai upaya pengelolaan lingkungan guna mengembalikan/ menjaga kelestarian lingkungan wilayah pesisirnya. Pengelolaan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga mengikutsertakan partisipasi dari masyarakat sebagai pengambil manfaat sumberdaya pesisir maupun sebasgai penerima dampak pengelolaan wilayah pesisir yang kurang bertanggung jawab. Tujuan melibatkan masyarakat adalah agar mereka mampu mengatasi dan mencari solusi dari masalah yang mereka hadapi secara mandiri. Berkaitan dengan hal tersebutmaka diperlukan kajian mengenai strategi dalam upaya pengelolaan lingkungan hutan mangrove meliputi dimensi utama pengelolaan lingkungan yaitu secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya. 1.2 Perumusan Masalah Terjadinya abrasi di Desa Pesantren belum dapat diatasi secara optimal dengan rehabilitasi mangrove yang telah dilakukan. Tidak optimalnya upaya rehabilitasi mangrove dikarenakan adanya faktor alam dan faktor manusia (penebangan, penambangan pasir,konversi lahan). Diketahui bahwa luas hutan mangrove di Desa Pesantren mengalami penurunan yaitu 92.17 Ha pada tahun 2010 menjadi 72,75 Ha pada tahun 6

2014 (KLH Kab. Pemalang, 2015). Sebagai upaya untuk menanggulangi masalah tersebut maka perlu diterapkan strategi pengelolaan yang sesuai. Selanjutnya berdasarkan dengan keadaan tersebut, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi beberapa hal meliputi: 1. Bagaimana kondisi hutan mangrove yang ada di Desa Pesantren ditinjau dari struktur komunitas mangrove dan biodiversitas? 2. Bagaimana upaya pengelolaan lingkungan hutan mangrove di Desa Pesantren berdasarkan persepsi dan partisipasi masyarakat? 3. Bagaimana strategi yang dapat diterapkan dalam upaya pengelolaan hutan mangrove di Desa Pesantren dalam rangka pengelolaan lingkungan wilayah pesisir secara berkelanjutan? 1.3 Tujuan Penelitian Atas rumusan masalah yang ada, maka tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan strategi upaya pengelolaan lingkungan hutan mangrove di Desa Pesantren dalam rangka pengelolaan lingkungan wilayah pesisir secara berkelanjutan, kemudian untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tujuan antara berupa: 1. Mengkaji kondisilingkungan hutan mangrove di wilayah pesisir Desa Pesantren Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang berdasarkan struktur komunitas mangrove dan biodiversitas 2. Mengkaji upaya pengelolaan hutan mangrove di Desa Pesantren berdasarkan persepsi dan partisipasi masyarakat 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam rangka mengelola lingkungan wilayah pesisir serta memberikan kontribusi pemikiran dalam hal : 1. Manfaat akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah berdasarkan temuan di lapangan sebagai penunjang (acuan) penelitian selanjutnya. 7

2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi stakeholder terkait, khususnya pemerintah daerah Kabupaten Pemalang dan masyrakat dalam mengelola wilayah pesisir di Kabupaten Pemalang. 1.5 Penelitian Terdahulu Penelitian tentang pengelolaan wilayah pesisir sebenarnya telah banyak dilakukan, akan tetapi penelitianya lebih banyak dilankukan pada lingkungan biologi dan ekologi. Penelitian dengan aspek-aspek lingkungan lainya disamping ekologi yaitu sosial, ekonomi dan peran serta kelompok tani meliputi strateginya merupakan penelitian lanjutan dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, kemudian untuk lokasi penelitian, penelitian sejenis belum pernah dilakukan. Penelitian ini terutama ditekankan pada hubungan peran manusia dengan lingkungan pesisir, menganalisis kondisi lingkungan mangrove di Desa Pesantren,menganalisispersepsi dan partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan hutan mangrove di Desa Pesantren, serta strategi apa yang diterapkan dalam upaya untuk meningkatkan pengelolaan lingkunganhutan mangrove di Desa Pesantren sebagai upaya pengelolaan lingkungan wilayah pesisir yang berkelanjutan.sebagai perbandingan terhadap penelitian yang telah ada dan untuk menunjukan keaslian, maka disajikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada Tabel 1. No Nama dan Tahun 1. Indarjo et al, 2003, Tabel 1. Penelitian Terdahulu Judul dan Lokasi Penelitian Kesesuaian Rehabilitasi Mangrove di Desa Mojo, Desa Pesantren dan Desa Lawangrejo Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pemalang Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kesesuaian rehabilitsi mangrove di Desa Mojo, Desa Pesantren dan Desa Lawangrejo Hasil Desa Mojo dan Pesantren termasuk katergori sesuai untuk tanaman mangrove Rizhophora Mucronata, tetapi tidak demikian dengan desa Lawangrejo 8

2. Ismail, 2012 Dinamika Perubahan Garis Pantai Pekalongan dan Batang, Jateng 3. (Ganis, dkk., 2013) 6. (Syawala, 2013) 7. Suyono (2015) Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Mojo Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang Komposisi Vegetasi Mangrove di Pantai Desa Mojo Kabupaten Pemalang Pemetaan Degradasi Ekosistem Mangrove dan Abrasi Berbasis Geographic Information System di Kabupaten Brebes _ Jawa Tengah 1. Menganalisis angkutan sedimen sepanjang pantai 2. Menganalisis perubahan garis pantai Pekalongan dan Batang dalam kurun waktu 14 (empat belas) tahun 1. Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat mengenai jenis, manfaat dan pola sebaran mangrove di Desa Mojo 2. Untuk mengetahui persepsi masyarakat Dsa Mojo Mengenai ekosistem Mangrove? 3. Untuk mengetahui keterlibatan masyarakat Desa Mojo dalam mengelola hutan mangrove Untuk mengatahui komposisi vegetasi hutan mangrove di Desa Mojo Kabupaten Pemalang Untuk mengetahui Kondisi Degradasi Mangrove dan Abrasi di Kabupaten Brebes 1. Angkutan sedimen yang dominan ke Barat laut daripada ke Tenggara 2. Terjadi perubahan garis pantai karena adanya abrasi dan akresi 1. Sebagian besar masyarakat mengetahui tentang mangrove 2. Persepsi masyarakat Desa Mojo cukup baik terhadap mangrove 3. Keterlibatan masyarakat Desa Mojo dalam pengelolaan mangrove tergolong rendah Terdapat 2 (dua) spesies mangrove di Desa Mojo yaiyu Rhizophora mucronata dan Avicennia marina, dengan keragaman jenis yang rendah. Kerapatan vegetasi mangrove di Kabupaten Brebes terdapat pada posisi : sangat jarang sedang, dan laju degradasi mangrove sebesar 63.35 Ha/ tahun 1.6 AlurPikir Penelitian Kelestarian lingkungan pesisir perlu dijaga untuk keberlangsungan dalam pengelolaanya. Salah satu upaya dalam pengendalian kerusakan pesisir adalah dengan penghijauan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka langkah awal untuk penelitian dilakukan menganalisis data terkait kondisi hutan mangrove di Desa Pesantren, mengetahui mengenai persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, dan kemudian dilakukan analisis faktor internal dan eksternal yaitu kekuatan dan peluang 9

sebagai pendukung dan kelemahan serta hambatan sebagai pembatas sehingga dapat diidentifikasi hal-hal yang mempengaruhi dalam upaya pengelolaan hutan mangrove sehingga dapat ditentukan strategi pengelolaan mangrove secara terus menerus. Secara rinci kerangka pemikiran tersebut dalam Gambar 1. 10

- Abrasi yang masih terjadi di pesisir Desa Pesantren - Penurunan luasan mangrove di Desa Pesantren Korelasi - Kerusakan mangrove oleh faktor manusia dan alam - Peran serta masyarakat terbatas pada keanggotaan kelompok - Peran stakeholder belum sepenuhnya - Belum ada peraturan perlindungan mangrove Pengelolaan Lingkungan Hutan Mangrove Belum Optimal Latar Belakang Pengelolaan Lingkungan Hutan Mangrove secara optimal dan berkelanjutan Rumusan Masalah Strategi Pengelolaan Lingkungan Hutan Mangrove di Desa Pesantren Tujuan Analisis Vegetasi Mangrove Penilaian Persepsi-Partisispasi Masyarakat Analisis Deskriptif Kualitatif dan Kuantitatif Analisis Internal IFAS Analisis Eksternal EFAS Metode Analisis Faktor(SPSS) SWOT Strategi Pengelolaan Lingkungan Hutan Mangrove di Desa Pesantren Hasil Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran 11