Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional.

dokumen-dokumen yang mirip
Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 7/Sep/2016. TATA CARA PEMERIKSAAN SENGKETA ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN Oleh : Gideon Hendrik Sulat 2

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Oleh Helios Tri Buana

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE 1 Oleh : Hendhy Timex 2

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

TENTANG DUDUK PERKARANYA

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

hal 0 dari 11 halaman

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, agar tercipta kehidupan yang aman, tertib, dan adil.

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGATURAN UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan proses penyusunan revisi PERMA tersebut.

J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

ww.hukumonline.com PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena

Kecamatan yang bersangkutan.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ELIZA FITRIA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN. terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam karya ini, yaitu: 1. Pertimbangan hukum penerimaan dan pengabulan permohonan

SEKITAR PENYITAAN. Oleh A. Agus Bahauddin

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015

BAB II KEBERADAAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUTANG PIUTANG

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

Transkripsi:

EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Reza A. Ngantung 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana prosedur eksekusi putusan arbitrase nasional dan bagaimana pengaturan tentang eksekusi putusan arbitrase oleh pengadilan negeri. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan: 1. Prosedur untuk eksekusi suatu putusan arbitrase dahulu dipersilakan pihak yang kalah untuk sukarela melaksanakan sendiri putusan arbitrase tersebut. putusan tersebut didaftarkan terlebih dahulu dalam akta pendaftaran di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak putusan diucapkan. Kewajiban pendaftaran putusan dibebankan kepada salah seorang arbiter. Bila para pihak mengetahui selesainya pendaftaran, maka dapat diajukan exequatur. Sebelum ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi, haruslah dahulu diberikan exequatur terhadap putusan. Kemudian langsung dikeluarkan penetapan perintah eksekusi. 2. Ketentuan tentang eksekusi atas putusan Arbitrase yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dengan sebelumnya dilakukan terlebih dahulu pengujian atas kebenaran syarat formil dan materiil serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena putusan Arbitrase adalah suatu putusan dari lembaga peradilan negara selain Pengadilan Negeri, bagaimana mungkin putusannya dikoreksi lagi oleh lembaga peradilan lainnya. Pengaturan eksekusi putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri, berpotensi akan menghambat perkembangan lembaga Arbitrase nasional. Apabila putusan Arbitrase dinyatakan tidak dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, maka putusan Arbitrase tersebut dinyatakan tidak memiliki nilai hukum. 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Christine S. Tooy, SH, MH; Meiske Mandey, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 120711453 Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum positip kita memberi alternatif lain bagi mereka untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui lembaga Arbitrase atau melalui Alternatif Penyelesaian Perkara (APS) atau dalam istilah lain Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui arbitrase atau ADR bukanlah merupakan hal yang baru dalam nilai-nilai budaya kita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa yang bersifat kekeluargaan serta tidak mencuatkan konflik ke permukaan, lebih diutamakan dan sangat dihargai hasilnya. 3 Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa-sengketa perdata bidang bisnis atau perdagangan baik dalam skala nasional maupun berskala internasional. Akhir-akhir ini peranan arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis atau bidang perdagangan semakin menjadi penting. Banyak kontrak nasional ataupun internasional mencantumkan klausula arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase diyakini oleh kalangan bisnis memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri daripada melalui badan peradilan konvensional. Sedangkan pengakuan serta efektifitas dari putusan arbitrase akan sangat tergantung dari sikap gentlemen dari para pihak yang telah memilih lembaga arbitrase tersebut. Penyelesaian sengketa melalui lembaga Arbitrase, diakui memiliki beberapa kelebihankelebihan yang tidak didapati pada proses penyelesian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri. Secara umum kelebihan proses penyelesaian sengketa di Arbitrase dapat berjalan secara lebih cepat karena putusannya bersifat final and binding. Proses penyelesaian sengketa dilakukan oleh tenaga ahli (expert) dibidangnya serta dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda 3 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm.1. 59

dengan proses penyelesaian di Pengadilan Negeri, dapat berjalan bertahun-tahun karena adanya upaya hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali. Selain itu proses penyelesaiannyapun harus dilakukan secara terbuka. 4 Satu hal yang kurang disukai oleh kalangan bisnis yaitu terbukanya sengketa diantara mereka, apalagi dipublikasikan melalui masa media. Demikian pula sifat bisnis yang menghendaki penyelesian sengketa dalam tenggang waktu yang relatif cepat tidak berkepanjangan menempatkan Arbitrase sebagai tempat yang lebih disukai untuk menyelesaiakan sengketa dikalangan pebisnis. Namun terdapat permasalahan yang sangat krusial sekali, manakala putusan arbitrase nasional tidak dilaksanakan oleh pihak yang dinyatakan kalah secara suka rela, maka putusan Arbitrase tersebut harus dimintakan pelaksanaannya (eksekusi) di Pengadilan Negeri. Jika seandainya menurut pandangan Ketua Pengadilan Negeri putusan Arbitrase tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1 dan 2) dan 5 dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. Dengan kewenangan yang ditentukan oleh UU tersebut Ketua Pengadilan Negeri sebelum melaksanakan putusan arbitrase melakukan pengkajian ulang tentang telah dipenuhinya syarat formil ataupun syarat materiil dalam putusan Arbitrase. Karena perintah Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tersebut Ketua Pengadilan Negeri sebelum menyatakan apakah putusan Arbitraase dapat dilaksanakan atau tidak, diharuskan meneliti terlebih dahulu apakah putusan arbitrase telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak atau bertentangan dengan kesusilaan dan rasa ketentraman masyarakat. Manakala setelah dilakukan pengkajian dan ternyata menurut Ketua Pengadilan Negeri putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan hukum (melanggar Pasal 4 dan 5 tersebut), maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dengan tidak dipenuhinya segala persyaratan tersebut maka kandaslah harapan akan mendapatkan penyelesaian sengketa 4 Ibid, hlm. 269. secara cepat, dan bersifat final and binding. 5 Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis sangat tertarik dalam mengangkat judul Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana prosedur eksekusi putusan arbitrase nasional? 2. Bagaimana pengaturan tentang eksekusi putusan arbitrase oleh pengadilan negeri? C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakan (library research). Suatu metode penelitian yang digunakan dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur mengenai eksekusi putusan arbitrase nasional. PEMBAHASAN A. Prosedur Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional Prosedur untuk eksekusi atau pelaksanaan suatu putusan arbitrase lebih dahulu dipersilahkan pihak yang kalah untuk sukarela melaksanakan sendiri putusan arbitrase tersebut. akan tetapi dalam praktik, pihak yang kalah terutama pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase, tidak akan melaksanakan putusan itu secara sukarela. 6 Bahkan, mungkin akan memperlambat atau menghambat pelaksanaan putusan itu. Oleh karena itu, dalam putusan terhadap permohonan arbitrase yang bersangkutan ditentukan juga jangka waktu pemenuhan (pelaksanaan) putusan. Jika para pihak tidak bersedia memenuhi pelaksanaan putusan arbitrase nasional tersebut secara sukarela. Maka putusan arbitrase nasional itu dilaksanakan secara paksa, berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Supaya putusan arbitrase nasional dapat dilaksanakan, putusan tersebut harus didaftarkan dahulu dalam akta pendaftaran dikepaniteraan pengadilan negeri yang secara lengkap akan diuraikan di bawah ini: 5 Ibid, hlm. 270. 6 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 273. 60

1. Kewenangan pengadilan negeri Apabila para pihak tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka eksekusi dapat dilakukan melalui pengadilan negeri. adapun pejabat yang bertindak memerintahkan dan memimpin eksekusi ialah ketua pengadilan negeri. lembaga arbitrase yang memutus sengketa tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi. Adapun pengadilan negeri yang bertindak memerintahkan dan memimpin eksekusi ialah Ketua Pengadilan Negeri. lembaga arbitrase yang memutus sengketa tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi. Adapun Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengeksekusi berpedoman kepada ketentuan kewenangan kompetensi relatif. Patokan untuk menentukan kewenangan relatif didasarkan pada Pengadilan yang berwenang untuk mengeksekusi ialah pengadian yang daerah hukumnya meliputi tempat di mana putusan arbitrase diambil. Pendapat penulis, bahwa putusan arbitrase dapat dilaksanakan apabila kedua belah pihak menyetujui pelaksanaanya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu mereka menyetujui agar dapat dilakukan melalui arbitrase, harus dimuat dalam dokumen yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak kemudian sengketa tersebut masuk dalam bidang hukum dagang, serta tidak bertentangan dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan kesusilaan serta ketertiban umum yang berlaku dalam masyarakat. 2. Kewajiban Pendaftaran Putusan Arbitrase Ketentuan batas jangka waktu tindakan pendaftaran di atur dalam Pasal 59 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999, yang menentukan bahwa, dalam waktu paling lama 30 hari sejak tangggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase di serahkan dan didaftarkan oleh arbitrase atau kuasanya pada panitera Pengadilan Negeri. 7 Permohonan eksekusi baru mempunyai nilai yang sah apabila putusan arbitrase telah 7 Lihat, Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. didaftarkan terlebih dahulu. Tujuan perndaftaran agar terhadap putusan dapat dimintakan eksekusi, apabila para pihak tidak mau menjalankan putusannya secara sukarela. Pendaftaran putusan arbitrase bersifat imperatif tanpa pendaftaran putusan, permintaan eksekusi tidak dapat diterima. Dengan demikian, tindakan pendaftaran putusan arbitrase nasional bukan hanya merupakan tindakan pendaftaran yang bersifat administrasi belaka, melainkan telah bersifat konstitutif, dalam arti merupakan suatu rangkaian dalam mata rantai proses arbitrase. 8 3. Pemberitahuan pendafataran kepada para pihak Mengenai perlu atau tidaknya pendaftaran diberitahu kepada para pihak tidak diatur dalam undang-undang. Namun ditinjau dari segi yang digariskan berbagai rules, seperti yang tersirat pada Pasal 2 UNCITRAL, tindakan atau hal-hal yang terjadi pada semua tingkat provinsi harus diberitahukan kepada para pihak. Malah kita berpendapat, pemberitahuan pendaftaran kepada para pihak msih merupakan satu rangkaian lanjutan pemberitahuan putusan. Selain dari pada itu, pemberitahuan pendaftaran sangat penting kaitannya dengan permintaan pelaksanaan eksekusi yang didahului dengan proses permintaan exequatur. Bila pihak yang berkepentingan mengetahui selesainya pendaftaran, maka dapat diajukan permintaan exequatur. Di satu sisi, demikian besar urgensi pemberitahuan pendaftaran kepada para pihak, terutama kepada pihak yang berkepentingan, tetapi dari segi lain ditinjau dari segi fungsi pelayanan yang diemban pengadilan, panitera pun memikul kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan pendaftaran kepada para pihak. 9 4. Permohonan Exequatur Adapun makna exequatur adalah permintaan kepada ketua pengadilan negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap 8 Gunawan Widjajah, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 141. 9 Ibid, hlm. 277. 61

putusan yang dijatuhkan oleh majelis arbitrase. Sebelum ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi, harus lebih dahulu diberikan exequatur terhadap putusan. Ketentuan ini agak berbeda dengan permintaan eksekusi terhadap putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan, yang tidak diperlukan proses exequatur langsung dapat dimintakan eksekusi. Sebaliknya, terhadap putusan arbitrase, harus lebih dahulu dimohonkan permintaan, mendapat exequatur. Jadi, makna pemberian exequatur ialah permintaan kepada ketua pengadilan negeri agar putusan arbtrase yang bersangkutan dapat dieksekusi. Memang, apabila ketua pengadilan negeri telah memberi exequatur terhadap putusan arbitrase, maka dapat langsung dikeluarkan penetapan perintah eksekusi. 5. Pengawasan pemberian exequatur oleh Mahkamah Agung Setelah diteliti, Mahkamah Agung berpendapat, penilaian ketua pengadilan negeri atas aturan formil tersebut keliru. Karena ternyata dalam perjanjian arbitrase para pihak telah sepakat sistem pengambilan putusan dapat dilakukan oleh umpire. Maka berdasar fakta ini Mahkamah Agung mengeluarkan petunjuk atau fatwa, agar penetapan penolakan exequatur dicabut, dan berbarengan dengan itu menyatakan atau memerintahkan ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan baru berupa pengabulan pemberian exequatur. Tindakan pengawasan ini tidak berarti mempunyai kewenangan untuk membatalkan suatu surat penetapan yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri. Karena tindakan pengawasan, bukan tindakan proses pemeriksaan pengadilan, melainkan merupakan tindakan pengawasan terhadap jalannya peradilan. Itu sebabnya, pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung tidak mungkin membatalkan penetapan pengabulan atau penolakan pemberian exequatur yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri. 10 Dapat dilakukan hanya memberi petunjuk atau instruksi agar ketua pengadilan negeri membatalkan sendiri penetapan yang 10 Susanti Adi Nugroho, Loc.Cit. dibuatnya, dan pengeluaran penetapan baru. Landasan hukum tindakan pengawasan jalannya peradilan yang diperankan oleh Mahkamah Agung maupun yang didelegasi kepada pengadilan tinggi dalam masalah eksekusi. Bermuara dari ketentuan Pasal 32 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 (Undang- Undang Mahkamah Agung) Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Pasal 32 Undang-Undang Nomorr 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Pasal-Pasal dimaksud menegaskan: Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. B. Peraturan Tentang Eksekusi Putisan Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase mengandung konsekuensi yuridis, bahwa manakala putusan dari badan Arbitrase ini tidak ditaati secara suka rela oleh para pihak, maka pelaksanaan putusan tersebut dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian pelaksanaan putusan badan Arbitrase tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya (execution force) melalui mekanisme eksekusi sebagaimana layaknya terhadap putusan Pengadilan Negeri. Pelaksanaan putusan Hakim (termasuk Hakim Arbitrase) atau eksekusi tersebut pada hakekatnya adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan dimaksud. Dalam setiap putusan Arbitrase selalu diberi tenggang waktu untuk melaksanakan secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersengketa, tenggang waktu tersebut tidak diatur secara limitatif diserahkan kepada kebijakan Arbiter. 11 Sebagaimana bunyi Pasal 61 UU No. 30 / 1999, dan secara umum diatur dalam BAB VI Pasal 59 sampai dengan 69. Manakala para 11 Sudikno Mertoksumo, Arbitrase Bank Dunia Tentang Penanaman Modal Asing Di Indonesia Dan Yurisprudensi Indonesia Dalam Perkara Perdata, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 193. 62

pihak tidak mau melaksanakan putusan Arbitrase secara suka rela, maka para pihak dapat meminta pelaksanaan putusan Arbitrase tersebut secara paksa kepada Ketua Pengadilan Negeri (eksekusi). Pelaksanaan eksekusi putusan Arbitrase Nasional oleh Pengadilan Negeri ini digantungkan pada suatu syarat, bahwa putusan Arbitrase dalam tenggang waktu 30 hari sejak putusan diucapkan harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Apabila dalam waktu 30 hari tersebut putusan Arbitrase tidak didaftarkan atau terlambat mendaftarkannya, maka putusan Arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan atau non executable. Berbeda halnya dengan putusan Arbitrase Internasional tenggang waktu pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Jakarta Pusat tidak dibatasi dengan waktu. Hanya saja dipersaratkan sebelum memohon eksekusi putusan Arbitrase Internasional tersebut putusan harus didaftarkan dulu. Kesepakatan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini, Alternatif Penyeselesaian Sengketa hanya diatur dalam BAB II Pasal 6 terdiri dari 9 ayat, tidak ada satu ayatpun yang menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa manakala tidak dilaksanakan secara suka rela oleh para pihak dapat dipaksakan pelaksanaannya seperti Arbitrase. Pendaftaran kesepakatan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam ayat 7 tidak memiliki nilai eksekutorial (dapat dipaksakan). Pendaftaran tersebut setidak-tidaknya dapat dijadikan rujukan atau petunjuk bagi Hakim di Pengadilan Negeri manakala menangani masalah tersebut. 12 Prosedur pelaksanaan eksekusi atas putusan Arbitrase tersebut diatur atau ditentukan dalam Pasal 59 sampai dengan 64 dari Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 untuk Arbitrase Nasional, dan Pasal 65 sampai 69 untuk Arbitrase Internasional. Sebelum eksekusi dilaksanakan Undang-Undang memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri (eksekusi putusan Arbitrase Nasional) dan Ketua Mahkamah Agung (putusan Arbitrase Internasional). Sebelum melaksanakan eksekusi tersebut untuk melakukan pengujian apakah putusan badan Arbitrase tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Yang dimaksudkan dengan syarat formil adalah, kesepakatan para pihak bahwa sengketa mereka akan diselesaikan di Arbitrase, kesepakatan tersebut harus tertuang dalam dokumen tertulis. Serta apakah sengketa mereka termasuk dalam sengketa bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Selanjutnya yang disebut syarat materiil adalah, bahwa putusan Arbitrase tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Permasalahan akan muncul bila Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mahkamah Agung menyatakan bahwa seluruh atau sebagian dari putusan badan Arbitrase tersebut tidak memenuhi persyaratan formil dan materiil, sehingga tidak dapat di eksekusi. Kandaslah harapan bahwa penyelesaian sengketa melalui badan Arbitrase yang cepat karena bersifat final and binding atau mengikat para pihak dan tidak ada upaya hukum lagi. 13 Terhadap putusan Arbitrase Nasional yang dinyatakan tidak dapat dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka tidak ada upaya hukum terhadap penolakan Ketua Pengadilan Negeri tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa masalah Arbitrase telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terhitung sejak tanggal 12 Agustus 1999. Undang-Undang ini tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 dengan Nomor 138. Walaupun masalah Arbitrase baru dituangkan dalam Undang-Undang sejak tahun 1999, namun demikian eksistensi Arbitrase ini telah lama ada di Indonesia, dan selama ini eksistensi Arbitrase tersebut dilandaskan pada Pasal 130 HIR /154 Rbg, 377 HIR/705 Rbg, kemudian Pasal 615-651 Rv. Juga dalam Pasal 12 Ibid, hlm. 164. 13 Gunawan Widjajah, Op.Cit, hlm. 98. 63

108-111 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung, demikian pula dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan. 14 Akan tetapi putusan Arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari Pengadilan. Dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, maka sumber hukum utama dalam masalah Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa hanya berlandaskan pada undang-undang tersebut, dan segala peraturan yang selama ini dijadikan pedoman dalam penanganan Arbitrase dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebaik apapun putusan Arbitrase, manakala para pihak tidak mau melaksanakannya dengan suka rela, maka akan sia-sialah putusan tersebut. Maka untuk melaksanakan putusan Arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela terutama oleh pihak yang dinyatakan kalah dalam perkaranya. Undang-Undang memberikan satu bentuk pemaksaan kepada pihak yang tidak mau secara sukarela melaksanakan putusan Arbitrase tersebut, yaitu berupa eksekusi. Eksekusi Arbitrase adalah upaya negara (dalam hal ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri) Herzeine Indonesich Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) hukum acara yang diciptakan oleh Belanda untuk diberlakukan bagi golongan masyarakat Indonesia pribumi yang berdomisili di pulau jawa dan Madura. Pelaksanaan putusan (eksekusi) Arbitrase, sesungguhnya merupakan produk hukum dari suatu lembaga (Institusi) dilaksanakan oleh lembaga (Institusi) lain. Dalam hal ini putusan badan Arbitrase dilaksanakan oleh badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri. Dalam praktek pelaksanaan eksekusi ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan hukum atau yuridis. 15 Karena secara umum Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan hak dan kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengontrol atau mengoreksi putusan badan Arbitrase Nasional atau Internasonal sebelum dinyatakan apakah putusan Arbitrase tersebut dapat dilaksanakan atau tidak. Selain dari pada itu, menurut Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 para pihak masih diperbolehkan mengajukan permohonan pembatalan atas putusan badan Arbitrase tersebut ke Ketua Pengadilan Negeri. Sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, putusan badan Arbitrase bersifat final and binding. Tidak ada upaya hukum atas putusan Arbitrase, mengikat para pihak, efisiensi dan efektifitas merupakan karakteristik dari proses Arbitrase. Dengan diperkenankannya upaya kontrol atau pengujian serta permohonan pembatalan atas putusan Arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat berakibat sifat putusan yang final dan binding kehilangan maknanya. Manakala Ketua Pengadilan Negeri dalam proses eksekusi menyatakan putusan Arbitrase tidak dapat dieksekusi karena telah melanggar syarat formil mupun materiil. Maka kandaslah segala atau sebagian dari proses penyelesaian sengketa Arbitrase dan pemeriksaan harus diulang seluruhnya atau sebagiannya. Demikian pula dalam permohonan pembatalan putusan Arbitrase, manakala permohonan tersebut dikabulkan, maka kandas pula putusan Arbitrase tersebut. Hal semacam ini pernah juga terjadi pada setiap putusan Pengadilan Agama sebelum munculnya Undang-Undang Peradilan Agama Tahun 1989, setiap putusan Hakim Agama harus mendapatkan fiat Ketentuan Pasal 62 memberikan hak kepada Ketua Pengadilan Negeri, untuk meneliti apakah putusan Arbitrase telah memenuhi ketentuan Pasal 4 dan 5 dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. 16 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Prosedur untuk eksekusi suatu putusan arbitrase dahulu dipersilakan pihak yang 14 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op.Cit, hlm. 56. 15 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hlm. 212. 16 Ibid, hlm. 213. 64

kalah untuk sukarela melaksanakan sendiri putusan arbitrase tersebut. putusan tersebut didaftarkan terlebih dahulu dalam akta pendaftaran di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak putusan diucapkan. Kewajiban pendaftaran putusan dibebankan kepada salah seorang arbiter. Bila para pihak mengetahui selesainya pendaftaran, maka dapat diajukan exequatur. Sebelum ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi, haruslah dahulu diberikan exequatur terhadap putusan. Kemudian langsung dikeluarkan penetapan perintah eksekusi. 2. Ketentuan tentang eksekusi atas putusan Arbitrase yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dengan sebelumnya dilakukan terlebih dahulu pengujian atas kebenaran syarat formil dan materiil serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena putusan Arbitrase adalah suatu putusan dari lembaga peradilan negara selain Pengadilan Negeri, bagaimana mungkin putusannya dikoreksi lagi oleh lembaga peradilan lainnya. Pengaturan eksekusi putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri, berpotensi akan menghambat perkembangan lembaga Arbitrase nasional. Apabila putusan Arbitrase dinyatakan tidak dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, maka putusan Arbitrase tersebut dinyatakan tidak memiliki nilai hukum. B. Saran 1. Sudah seharusnya lembaga arbitrase dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi untuk melaksanakan putusan-putusannya. 2. Mengingat tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase agar penyelesaiannya dapat lebih cepat dan putusannya bersifat final and binding, maka tidak seharusnya lagi putusan arbiter melalui fiat eksekusi oleh Pengadilan Negeri. DAFTAR PUSTAKA Adi Nugroho Susanti, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Prenada Media Group, Jakarta, 2015. Emirzon Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Faisal Salam, Moch, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Cetakan I, Cv. Mandar Maju, Bandung, 2007. Fuady Munir, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cetakan II. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Gautama Sudargo dan Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004., Undang-Undang Arbitrase Baru, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Goodpaster, Gary, Suatu Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Elips Project, Medan, 1995. Khoidin M., Hukum Arbitrase Bidang Perdata, Cetakan III, Cv. Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013. Mertoksumo, Sudikno, Arbitrase Bank Dunia Tentang Penanaman Modal Asing Di Indonesia Dan Yurisprudensi Indonesia Dalam Perkara Perdata, Alumni, Bandung, 1997. Muhammad, Abdulkadir, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1981. Sudiarto, H dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 165. Syarifuddin, Hafni dkk, Abstract Teaching Materials Arbitrase, Program Pencangkokan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Elips Project, 1996. Gunawan Widjajah dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Huku Arbitrase, Edisi I Cetakan I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. SUMBER-SUMBER LAIN Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 65