PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA"

Transkripsi

1 PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Oleh : Imas Rosidawati Wiradirja 1 Abstrak Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase bukanlah suatu hal yang baru bagi Indonesia, namun sejauh ini pelaksanaan putusan arbitase masih menghadapi kendala di dalam praktek, karena penyelesaian sengketa melalui Arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah para pihak yang bonafide dan gentlemen, pihak yang menang berusaha supaya putusan Arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum, dan pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalanghalangi eksekusi. Tidak adanya sikap tersebut mengakibatkan kegagalan penyelesaian sengketa melalui arbitase, pihak yang kalah seringkali tidak mau dieksekusi secara sukarela, sehingga terpaksa harus melibatkan pengadilan padahal keterlibatan pengadilan eksekusi ini akan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit sehingga akhirnya penyelesaian sengketa melalui arbitase yang diyakini lebih cepat dan hemat biaya tidak tercapai. Abstract The disputes settlement through arbitration is not a new thing in Indonesia. So far, in its practice the implementation of the arbitration decision still face obstacles. It is due to the settlement of disputes through arbitration that will only be effective if the parties involved in the dispute are bona fide and gentlemen parties. The winning party tried to keep the decision of the Arbitration filed in state court in order to have legal force, and the losing party still respects and does not hinder the execution. The absence of such attitudes lead to the failure of the settlement of disputes through arbitrarion. The losing party often reject to be executed voluntarily, so it had to involve the courts. In fact, the involvement of the execution court will be costly and time consuming so that eventually the settlement of disputes through arbitrarion that are believed to be more fast and cost-effective is not reached. Key words: Arbitrarion, Execution, Settlement. Key words : Arbitase, Eksekusi, Penyelesaian Sengketa. 1. Pendahuluan 1 Senior Lecturer, Nusantara Islamic University (UNINUS), Bandung. Indonesia 1

2 Penyelesaian sengketa yang sifatnya efektif merupakan idaman setiap pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis. Salah satu alasan yang menjadi dasar pertimbangan hal demikian adalah bahwa suatu sengketa hampir mutlak merupakan faktor penghambat perwujudan prediksi-prediksi bisnis. Suatu sengketa dapat menghadirkan resiko-resiko merugikan yang tidak dikehendaki, hal ini menjadi sangat perlu diperhatikan terutama dalam kaitan dengan visi bisnis yaitu efisiensi dan profit. 2 Dalam rangka mengantisipasi keadaan itu hukum positip kita telah memberikan alternatif pilihan penyelesaian sengketanya. Penyelesaian utama, mereka dapat menyelesaikannya melalui proses litigasi atau Peradilan umum. Namun selain proses litigasi melalui Pengadilan, hukum positip kita memberi alternatif lain bagi mereka untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui lembaga Arbitrase 3 atau melalui Alternatif Penyelesaian Perkara (APS) atau dalam istilah lain Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun Arbitrase berasal dari kata Arbitrare yaitu berasal dari bahasa latin yang mengandung makna kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara kebijaksanaan 4. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pengertian Arbitrase adalah sebagai berikut : Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Priyatna Abdurrasyid memberikan pengertian Arbitrase dalam pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), karena Arbitrase merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai berikut : 5 Alternatif Penyelesaian Sengketa (termasuk Arbitrase) dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau 2 Sudargo Gautama, Capita Seleta Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1983, hlm Joni Emirson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm Jean Robert Course Material pada pelatihan penyegaran ADR/PPS. Fakultas UI dan Departemen Kehakiman dan Asia Foundation hlm 1. 5 Priyatna Abdurrasyid, Alternative Disputes Resolution-ADR/Arbitration, Rineka Tama, Jakarta, Agustus, 2000, hlm 7. 2

3 pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/Arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut. Jean Robert berpendapat sebagai berikut : Arbitration means instituting a private jurisdiction in order to be resolved by individuals vested, for a given case, with power to judge such litigation. 6 Black s Law Dictionary menyatakan ; Arbitration,The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation. Untuk memilih penyelesaian secara Arbitrase, harus dipenuhi beberapa persyaratan formal yang harus dilakukan diantara para pihak. Dalam penyusunan kontrak diawal hubungan bisnis dimulai, para pihak sudah dapat membuat perjanjian khusus diluar kontrak utama mereka, yang berisi tentang pilihan lembaga Arbitrase tempat menyerahkan penyelesaian sengketa bila kelak dalam perjalanan bisnis terjadi perselisihan tentang isi kontrak yang telah ditandatangani tersebut. Pilihan tempat menyelesaikan sengketa tersebut lazim disebut dengan pilihan forum. Masalah pilihan forum didalam penyusunan suatu kontrak atau suatu perikatan merupakan suatu masalah yang sangat penting untuk diperhatikan, dimana para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan dan mereka dapat memilih sendiri forum yang 6 Jean Robert, Op.,Cit, hlm. 2 3

4 harus dipakai dalam kontrak 7. Para pihak di dalam menyusun suatu kontrak atau perikatan harus benar-benar mengetahui konsekuensi yang akan dihadapi dalam pilihan forum terutama apabila yang dipilih adalah badan arbitrase. Proses penyelesaian sengketa dengan arbitrase atau ADR adalah proses penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui suatu mekanisme lain yang tidak melalui jalur Pengadilan. Konsep ini berasal dari Amerika Serikat di awal tahun 1970-an sebagai reaksi ketidak puasan pada sistem peradilan atau budaya litigasi 8. Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui arbitrase atau ADR bukanlah merupakan hal yang baru dalam nilai-nilai budaya kita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa yang bersifat kekeluargaan serta tidak mencuatkan konflik ke permukaan, lebih diutamakan dan sangat dihargai haslnya 9. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketasengketa perdata bidang bisnis atau perdagangan baik dalam skala nasional maupun berskala internasional. Akhir-akhir ini peranan arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis atau bidang perdagangan semakin menjadi penting. Banyak kontrak nasional ataupun internasional mencantumkan klausula arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase diyakini oleh kalangan bisnis memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri daripada melalui badan peradilan konvensional. Sedangkan pengakuan serta efektifitas dari putusan arbitrase akan sangat tergantung dari sikap gentlemen dari para pihak yang telah memilih lembaga arbitrase tersebut 10 Penyelesaian sengketa melalui lembaga Arbitrase, diakui memiliki beberapa kelebihan-kelebihan yang tidak didapati pada proses penyelesian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri. Secara umum kelebihan proses penyelesaian sengketa di Arbitrase dapat 7 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta hlm Lebih lengkap baca M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, Priyatna Abdurrasyid, Alternative Dispute Resolution-ADR/Arbitration, tp, Jakarta, 2000hlm Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 3 berpendapat sebagai berikut : Arbitrase hanya akan bermanfaat dalam praktek jika berlangsung antara saudagar-saudagar yang bonafid, arbitrase hanya akan menguntungkan, daripada berpekara di muka pengadilan apabila dapat dipastikan bahwa orang yang akan dikalahkan, memang secara sukarela akan taat dalam pelaksanaan keputusan arbitrase itu. Jika demikian halnya, apabila pihak yang dikalahkan mencari jalan untuk mengelakkan pelaksanaan dari keputusan arbitrase ini, maka perkara melalui arbitrase akan justru membawa lebih banyak pengeluaran biaya dan sama sekali tidak akan lebih cepat dari pada langsung berpekara di pengadilan. 4

5 berjalan secara lebih cepat karena putusannya bersifat final and binding 11. Proses penyelesaian sengketa dilakukan oleh tenaga ahli (expert) dibidangnya serta dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda dengan proses penyelesaian di Pengadilan Negeri, dapat berjalan bertahun-tahun karena adanya upaya hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali. Selain itu proses penyelesaiannyapun harus dilakukan secara terbuka. Satu hal yang kurang disukai oleh kalangan bisnis yaitu terbukanya sengketa diantara mereka, apalagi dipublikasikan melalui mass media. Demikian pula sifat bisnis yang menghendaki penyelesian sengketa dalam tenggang waktu yang relatif cepat tidak berkepanjangan menempatkan Arbitrase sebagai tempat yang lebih disukai untuk menyelesaiakan sengketa dikalangan pebisnis. Namun terdapat permasalahan yang sangat krusial sekali, manakala putusan arbitrase (baik arbitrase nasional maupun arbitrase internasional) tidak dilaksanakan oleh pihak yang dinyatakan kalah secara suka rela, maka putusan Arbitrase tersebut harus dimintakan pelaksanaannya (eksekusi) di Pengadilan Negeri. Jika seandainya menurut pandangan Ketua Pengadilan Negeri putusan Arbitrase tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1 dan 2) dan 5 dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui Arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka Arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka. Pasal 4 ayat (2) berbunyi sebagai berikut : Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandai oleh para pihak. Sedangkan bunyi Pasal 5 ayat (1) sebagai berikut : Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 11 Tercantum dalam Pasal 60 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditegaskan bahwa putusan arbitrase adalah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak ( final dan binding). Hadirnya pasal 60 ini, secara teori memperkuat pengertian dari alternatif sebagai langkah bersama dari para pihak untuk menyelesaikannya di luar ketentuan peradilan. 5

6 Pasal 5 ayat (2) berbunyi sebagai berikut : Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui Arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan kewenangan yang ditentukan oleh UU tersebut Ketua Pengadilan Negeri sebelum melaksanakan putusan arbitrase melakukan pengkajian ulang tentang telah dipenuhinya syarat formil ataupun syarat materiel dalam putusan Arbitrase. Karena perintah Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tersebut Ketua Pengadilan Negeri sebelum menyatakan apakah putusan Arbitraase dapat dilaksanakan atau tidak, diharuskan meneliti terlebih dahulu apakah putusan arbitrase telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak atau bertentangan dengan kesusilaan dan rasa ketentraman masyarakat. Manakala setelah dilakukan pengkajian dan ternyata menurut Ketua Pengadilan Negeri putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan hukum (melanggar Pasal 4 dan 5 tersebut), maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dengan tidak dipenuhinya segala persyaratan tersebut maka kandaslah harapan akan mendapatkan penyelesaian sengketa secara cepat, dan bersifat final and binding. Dari uraian di atas maka permasalahan yang akan dibahas adalah, apakah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang eksekusi putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat?, apakah pengaturan eksekusi putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri ini akan dapat menghambat perkembangan lembaga Arbitrase di Indonesia?, dan bagaimana eksistensi putusan Arbitrase manakala dinyatakan tidak dapat dieksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri?. 2. Pembahasan a. Ketentuan-Ketentuan Hukum Yang Mengatur Tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri (Analisis Terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999 Berkaitan dengan Eksekusi ) Dalam kebijakan pembentukan hukum arbitrase ini, terkandung didalamnya 3 (tiga) aspek pokok kebijakan hukum yaitu : Pertama aspek kebijakan formulatif, berupa penyusunan dan pembentukan perundangundangan oleh legislator. Kedua aspek kebijakan aplikatif, berupa proses pelaksanaan atau 6

7 proses operasionalisasi dari ketentuan perundang-undangan tersebut, dan Ketiga adalah aspek kebijakan eksekusi atau pemaksaan pelaksanaan dari kebijakan aplikatif, manakala putusan yang telah diberikan kepada para pihak yang bersengketa tidak dilaksanakan secara suka rela oleh yang dinyatakan kalah. Pada aspek pertama, disinilah mulai dirancang segala sesuatu yang berkaitan dengan akan dibentuknya suatu undang-undang. Sebelum suatu rancangan undang-undang disahkan berlaku sebagai UU, seharusnya telah melalui pengkajian yang komprehensip, holistik dan sistimatis, sudah dipertimbangkan aspek filosofis dan sosiologisnya agar suatu UU apabila kelak dioperasionalkan tidak banyak mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain diharapkan suatu UU yang digoalkan oleh legislator akan meminimalisir perosalan-persoalan hukum yang muncul setelah UU di undangkan. Harus dipertimbangkan pula fungsi-fungsi hukum, baik hukum berfungsi sebagai social control (sebagai perwujudan rasa hukum masyarakat), maupun hukum berfungsi sebagai law as a tool of social enggineering (hukum berfungsi sebagai pengarah atau pembentuk masyarakat). Aspek kedua yaitu aspek kebijakan aplikatif, yaitu berupa proses pelaksanaan atau proses operasionalisasi dari ketentuan perundang-undangan tersebut. Pada tataran aplikatif ini terkadang muncul permasalahan yang tidak sempat terpikirkan ketika dirancangnya suatu UU. Hal ini wajar karena perubahan perkembangan permasalahan manusia bergerak begitu cepat, padahal hukum tertulis atau suatu UU tidak dapat secepat itu mengalami perubahannya. Sehingga sering kita dengar suatu pemeo, yaitu begitu suatu peraturan perundang-undangan disyahkan setelah melalui pembahasan yang panjang dan lama, maka sejak disyahkan tersebut perundang-undangan itu telah ketinggalan zaman atau out of date. Pada tataran aplikatif inilah permasalahan hukum baru muncul, karena para pihak yang berkepentingan dengan hukum tersebut mulai memaknai atau menafsirkan makna yang tersurat maupun makna tersirat dari suatu UU. Suatu UU yang kurang tegas atau samar maknanya, dalam perjalanannya pasti akan banyak mengundang debatable atau perdebatan atau akan dapat menimbulkan multi tafsir. Perbedaan pendapat yang beragam dalam kalangan masyarakat sesungguhnya harus diakhiri manakala telah sampai putusan Hakim, karena Hakimlah akhir dari perjalanan perbedaan penafsiran tersebut. Namun permasalahan tidak sesederhana itu, karena dikalangan Hakim sendiri terdapat juga berbagai mazhab atau 7

8 pendapat dalam menafsirkan suatu peraturan. Minimal dikenal aliran legalistik (legal justice) yang memaknai hukum semata dari bunyi eksplisit dari suatu UU (tekstual). Serta aliran moral justice yaitu aliran yang memaknai hukum sesuai dengan kontekstual, hukum tidak hanya ditafsirkan semata dari bunyi UU-nya saja, namun harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Dan terakhir adalah aspek atau tataran kebijakan eksekusi atau pemaksaan pelaksanaan dan kebijakan aplikatif manakala putusan yang telah diberikan kepada para pihak yang bersengketa tidak dilaksanakan secara suka rela oleh yang dinyatakan kalah. Putusan arbitrase sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, artinya putusan tersebut adalah putusan yang terakhir tanpa ada upaya hukum lagi. Hal ini dimaksudkan bahwa proses pemeriksaan sengketa para pihak dapat berlangsung secara cepat, efisien, efektif dan dapat segera diketahui hasilnya, karena bagi para pengusaha atau industriawan sesuai dengan karakteristik para pedagang, waktu adalah sangat berharga bagi mereka. Kelemahan utama dalam tataran formulatif dari UU Nomor 30 Tahun 1999 ini khususnya tentang eksekusi dan permohonan pembatalan, menurut penulis minimal terdapat 3 kelemahan utama, yaitu : a). Tidak lengkap atau tidak tuntasnya pembentuk UU dalam membentuk UU Nomor 30 Tahun 1999 ini khususnya tentang eksekusi. Sebagai layaknya suatu sistem hukum, sudah seharusnya dilengkapi pula dengan seperangkat kelengkapan dalam menjalankan sistem tersebut. Sebagai suatu sistem penyelesaian sengketa perdata melalui badan Arbitrase, seharusnyua dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi. Karena eksekusi merupakan proses akhir dari penyelesaian suatu sengketa manakala para pihak tidak mau melaksanakan putusan secara suka rela. Tanpa adanya perangkat eksekusi sulit diharapkan proses pelaksanaan putusan Arbitrase dapat berjalan lancar dan cepat sebagaimana yang diharapkan dari proses penyelesaian suatu sengketa di badan Arbitrase ini. Bukankah pada peradilan pajak serta penyelesaian piutang negara melalui PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) telah dilengkapi dengan perangkat eksekusi sendiri. 8

9 b). Pembentuk UU Nomor 30 Tahun 1999 terkesan kurang percaya pada kemampuan atau capability dari para Arbiter atau Arbitrator. Bukankah lembaga atau badan Arbitrase ini merupakan suatu lembaga yang diberi kewenangan mutlak untuk menyelesaikan suatu sengketa dagang yang dipilih oleh para pihak sendiri. Dan ini berkonsekuensi yuridis bahwa Pengadilan Negeri terlarang memeriksa suatu perkara yang terdapat klausula Arbitrasenya (kompetensi absolut). Namun pada akhirnya justru Pengadilan Negeri mengontrol putusan Arbitrase tersebut pada saat eksekusi, suatu hal yang kontradiktif.oleh karena itu seharusnya putusan dari badan Arbitrase ini betul-betul bersifat final and binding, yang terakhir dan tidak ada upaya hukum serta mengikat para pihak. UU Nomor 30 Tahun 1999 memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, rasa kesusilaan dan ketertiban umum demikian juga untuk putusan arbitrase internasional apakah putusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Dengan pengujian putusan badan Arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri ini, jelas akan menghapuskan atau menghilangkan makna final and binding, karena apabila suatu putusan Arbitrase dinyatakan tidak dapat dieksekusi maka habislah sudah makna final and binding tersebut. Walaupun dalam penjelasan Pasal 62 ayat (2) Ketua Pengadilan Negeri tidak boleh memeriksa alasan atau pertimbangan putusan Arbitrase agar putusan Arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final dan mengikat. Namun demikian dapat saja dengan pertimbangan bahwa putusan Arbitrase tidak memenuhi syarat formil maupun materiil, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka akan kandaslah sifat final and binding dari putusan Arbitrase. c). Tidak konsistennya sikap dari para pembuat UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, disatu sisi menyatakan putusan badan Arbitrase bersifat final and binding, sementara disisi yang lain membuka peluang untuk menguji atau mengoreksi putusan Arbitrase tersebut baik melalui eksekusi maupun permohonan pembatalan putusan Arbitrase. Terhadap permohonan pembatalan suatu putusan Arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat dimintakan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.bukankah hal semacam diatas merupakan satu sikap yang ambivalen atau mendua dari pembentuk UU. Disatu sisi menyatakan putusan Arbitrae final and binding, 9

10 namun disisi yang lain membuka kesempatan menguji melalui lembaga eksekusi dan permohonan pembatalan putusan Arbitrase. Dari kelemahan tataran formulatif diatas, jelas akan menimbulkan pula permasalahan dalam tataran aplikatifnya. Kewenangan yang diberikan oleh UU nomor 30 Tahun 1999 ini kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengoreksi dan menguji apakah putusan badan Arbitrase telah memenuhi syarat formil atau materiil, dan apabila ternyata Ketua Pengadilan Negeri menyatakan bahwa suatu putusan Arbitrase yang dimintakan eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena putusan tersebut tidak memenuhi syarat, maka ini berarti bahwa putusan Arbitrase tersebut dianggap tidak pernah ada dan ini jelas akan merugikan banyak pihak, dan terutama merusak sistem hukum yang dibangun dalam penyelesaian sengketa perdata melalui Arbitrase. b. Pengaturan Eksekusi Putusan Arbitase Oleh Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase mengandung konsekuensi yuridis, bahwa manakala putusan dari badan Arbitrase ini tidak ditaati secara suka rela oleh para pihak, maka pelaksanaan putusan tersebut dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian pelaksanaan putusan badan Arbitrase tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya (execution force) melalui mekanisme eksekusi sebagaimana layaknya terhadap putusan Pengadilan Negeri 12. Pelaksanaan putusan Hakim (termasuk Hakim Arbitrase) atau eksekusi tersebut pada hakekatnya adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan dimaksud 13. Dalam setiap putusan Arbitrase selalu diberi tenggang waktu untuk melaksanakan secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersengketa, tenggang waktu tersebut tidak diatur secara limitatif diserahkan kepada kebijakan Arbiter. 12 Sebagaimana bunyi Pasal 61 UU No. 30 / 1999, dan secara umum diatur dalam BAB VI Pasal 59 sampai dengan Soedikno Mertoksumo, Op cit, hlm

11 Manakala para pihak tidak mau melaksanakan putusan Arbitrase secara suka rela, maka para pihak dapat meminta pelaksanaan putusan Arbitrase tersebut secara paksa kepada Ketua Pengadilan Negeri (eksekusi) 14. Pelaksanaan eksekusi putusan Arbitrase Nasional oleh Pengadilan Negeri ini digantungkan pada suatu syarat, bahwa putusan Arbitrase dalam tenggang waktu 30 hari sejak putusan diucapkan harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Apabila dalam waktu 30 hari tersebut putusan Arbitrase tidak didaftarkan atau terlambat mendaftarkannya, maka putusan Arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan atau non executable. Berbeda halnya dengan putusan Arbitrase Internasional tenggang waktu pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Jakarta Pusat tidak dibatasi dengan waktu. Hanya saja dipersaratkan sebelum memohon eksekusi putusan Arbitrase Internasional tersebut putusan harus didaftarkan dulu. Berbeda halnya dengan kesepakatan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 ini, Alternatif Penyeselesaian Sengketa hanya diatur dalam BAB II Pasal 6 terdiri dari 9 ayat, tidak ada satu ayatpun yang menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa manakala tidak dilaksanakan secara suka rela oleh para pihak dapat dipaksakan pelaksanaannya seperti Arbitrase. Pendaftaran kesepakatan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam ayat 7 tidak memiliki nilai eksekutorial (dapat dipaksakan). Pendaftaran tersebut setidak-tidaknya dapat dijadikan rujukan atau petunjuk bagi Hakim di Pengadilan Negeri manakala menangani masalah tersebut. Prosedur pelaksanaan eksekusi atas putusan Arbitrase tersebut diatur atau ditentukan dalam Pasal 59 sampai dengan 64 dari UU Nomor 30 Tahun 1999 untuk Arbitrase Nasional, dan Pasal 65 sampai 69 untuk Arbitrase Internasional. Sebelum eksekusi dilaksanakan UU memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri (eksekusi putusan Arbitrase Nasional) dan Ketua Mahkamah Agung (putusan Arbitrase Internasional), sebelum melaksanakan eksekusi tersebut untuk melakukan pengujian apakah putusan badan Arbitrase tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil.yang dimaksudkan dengan syarat formil adalah, kesepakatan para pihak bahwa 14 Periksa Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 11

12 sengketa mereka akan diselesaikan di Arbitrase, kesepakatan tersebut harus tertuang dalam dokumen tertulis. Dan apakah sengketa mereka termasuk dalam sengketa bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Selanjutnya yang disebut syarat materiel adalah, bahwa putusan Arbitrase tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Terhadap putusan Arbitrase Internasional, sebelum dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus didaftarkan dulu dan diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Arbitrase Internasional baru dapat dilaksanakan di Indonesia apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan purtusan Arbitrase Internasional. 2. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. 3. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 4. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan 5. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permasalahan akan muncul bila Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mahkamah Agung menyatakan bahwa seluruh atau sebagian dari putusan badan Arbitrase tersebut tidak memenuhi persyaratan formil dan materiil, sehingga tidak dapat di eksekusi. Kandaslah harapan bahwa penyelesaian sengketa melalui badan Arbitrase yang cepat karena bersifat final and binding atau mengikat para pihak dan tidak ada upaya hukum lagi. Terhadap 12

13 putusan Arbitrase Nasional yang dinyatakan tidak dapat dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka tidak ada upaya hukum terhadap penolakan Ketua Pengadilan Negeri tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa masalah Arbitrase telah dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terhitung sejak tanggal 12 Agustus UU ini tercatat dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 1999 dengan nomor 138. Walaupun masalah Arbitrase baru dituangkan dalam UU sejak tahun 1999, namun demikian eksistensi Arbitrase ini telah lama ada di Indonesia, dan selama ini eksistensi Arbitrase tersebut dilandaskan pada Pasal 130 HIR 15 /154 Rbg 16, 377 HIR/705 Rbg, kemudian Pasal 15, Rv 17, juga dalam Pasal UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung, demikian pula dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari Pengadilan. Dengan telah diterbitkannya UU nomor 30 Tahun 1999 tersebut, maka sumber hukum utama dalam masalah Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa hanya berlandaskan pada UU tersebut, dan segala peraturan yang selama ini dijadikan pedoman dalam penanganan Arbitrase dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebaik apapun putusan Arbitrase, manakala para pihak tidak mau melaksanakannya dengan suka rela, maka akan sia-sialah putusan tersebut. Maka untuk melaksanakan putusan Arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela terutama oleh pihak yang dinyatakan kalah dalam perkaranya, UU memberikan satu bentuk pemaksaan kepada pihak yang tidak mau secara sukarela melaksanakan putusan Arbitrase tersebut, yaitu berupa eksekusi. Eksekusi Arbitrase adalah upaya negara (dalam hal ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri) 15 Herzeine Indonesich Reglement (HIR) atau Reglemen Indonsia yang Diperbaharui (RIB) hukum acara yang diciptakan oleh Belanda untuk diberlakukan bagi golongan masyarakat Indonesia pribumi yang berdomisili di pulau jawa dan Madura. 16 Rechstreglement Buitengwesten (RBG), hukum acara yang diciptakan oleh Belanda untuk diberlakukan bagi golongan masyarakat Indonesia pribumi yang berdomisili di luar pulau jawa dan Madura. 17 Reglementop de Bergerlijke Rechtvordering (RV) hukum acara yang berlaku bagi golongan penduduk Timur Asing an Eropa. 13

14 untuk melaksanakan putusan dari badan Arbitrase (merupakan hukum privat) yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, terutama pihak yang dinyatakan kalah. Pelaksanaan putusan (eksekusi) Arbitrase, sesungguhnya merupakan produk hukum dari suatu lembaga (Institusi) dilaksanakan oleh lembaga (Institusi) lain. Dalam hal ini putusan badan Arbitrase dilaksanakan oleh badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri. Dalam praktek pelaksanaan eksekusi ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan hukum atau yuridis, karena secara umum UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan hak dan kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengontrol atau mengoreksi putusan badan Arbitrase Nasional atau Internasonal sebelum dinyatakan apakah putusan Arbitrase tersebut dapat dilaksanakan atau tidak 18. Selain dari pada itu, menurut UU Nomor 30 tahun 1999 para pihak masih diperbolehkan mengajukan permohonan pembatalan atas putusan badan Arbitrase tersebut ke Ketua Pengadilan Negeri. Sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 30 tahun 1999 tersebut, putusan badan Arbitrase bersifat final and binding. Tidak ada upaya hukum atas putusan Arbitrase, mengikat para pihak, efisiensi dan efektifitas merupakan karakteristik dari proses Arbitrase. Dengan diperkenankannya upaya kontrol atau pengujian serta permohonan pembatalan atas putusan Arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat berakibat sifat putusan yang final dan binding kehilangan maknanya. Manakala Ketua Pengadilan Negeri dalam proses eksekusi menyatakan putusan Arbitrase tidak dapat dieksekusi karena telah melanggar sarat formil mupun materiel, maka kandaslah segala atau sebagian dari proses penyelesaian sengketa Arbitrase dan pemeriksaan harus diulang seluruhnya atau sebagiannya. Demikian pula dalam permohonan pembatalan putusan Arbitrase, manakala permohonan tersebut dikabulkan, maka kandas pula putusan Arbitrase tersebut. Hal semacam ini pernah juga terjadi pada setiap putusan Pengadilan Agama sebelum munculnya UU Peradilan Agama Tahun 1989, setiap putusan Hakim Agama harus mendapatkan fiat 18 Ketentuan Pasal 62 memberikan hak kepada Ketua Pengadilan Negeri, untuk meneliti apakah putusan Arbitrase telah memenuhi ketentuan Pasal 4 dan 5 dari Undang-Undang Nomor 30 tahun Ketentuan Pasal 4 yaitu : apakah putusan Arbitrase telah didasarkan pada pilihan forum yang tertuang secara tertulis. Ketentuan Pasal 5 apakah sengketa tersebut termasuk dalam bidang perdagangan dan mempunyai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Demikian pula sengketa yang tidak dapat diperiksa dan diputus dalam Arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan peundang-undangan tidak dapat diadakan pedamaian. Dan Ketua Pengadilan Negeri berhak menilai apakah putusan badan Arbitrase ini betentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum atau tidak. 14

15 eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Setelah tahun 1989 tersebut, putusan Hakim Agama mandiri dan Pengadilan Agama dilengkapi dengan perangkat eksekusi. Permasalahan seputar eksekusi putusan Arbitrase ini akan coba dianalisis secara yuridis, baik berlandaskan pada UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya terutama yang berkaitan dengan hukum formal atau hukum acara perdata. Badan Arbitrase adalah salah satu badan yang melaksanakan tugas penyelesaian sengketa antara anggota masyarakat, maupun badan-badan hukum (hukum privat) diluar Pengadilan (non litigation) yang kedudukannya sama dengan badan peradilan, karena putusannyapun berkepala DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Badan ini merupakan alternatif dari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa privat, dimana para pihak dapat memilih menyelesaikan sengketanya di badan Arbitrase karena ada beberapa kelebihan atau keuntungan yang tidak dapat diberikan oleh proses litigasi biasa/konvensional. Hal ini dapat kita baca dari sejarah pembentukan badan Arbitrase internasional. Maksud dan tujuan lain dibentuknya badan Arbitrase ini adalah dalam rangka mencari bentuk penyelesaian sengketa (terutama sengketa bisnis atau perdagangan) yang efektif, efisien dan sederhana. Terasa janggal manakala putusan dari suatu badan penyelesaian sengketa yang diakui eksistensinya secara formal dalam perundang-undangan harus mendapat koreksi dari badan peradilan lainnya. Seyogyanya badan Arbitrase ini dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi agar tidak tergantung pada Pengadilan Umum, bukankah Pengadilan Agama saat ini dapat berkembang baik setelah dihilangkannya lembaga fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri. Atau paling tidak eksekusi putusan badan Arbitrase tidak lagi merupakan sarana kontrol dan pengujian oleh Pengadian Negeri terhadap putusan badan Arbitrase. Seakanakan badan pembentuk Undang-Undang (legislator) kurang meyakini keahlian atau ketrampilan para Arbiter. c. Hak Menguji Ketua Pengadilan Atas Putusan Arbitrase Yang Diajukan Eksekusi 15

16 Pengadilan Negeri sesuai dengan salah satu fungsinya yaitu penanganan secara litigasi, sudah sejak awal dilengkapi dengan perangkat eksekusi 19. Ketika putusan arbitrase dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri, maka permasalahan dapat muncul karena Pengadilan Negeri diberi wewenang menguji baik terhadap putusan arbitrase nasional maupun terhadap arbitrase internasional (sebagaimana telah diuraikan diatas). Perbedaan pemahaman atau pendapat atas bunyi teks suatu perundang-undangan antar manusia adalah suatu hal yang manusiawi atau merupakan sunnatullah. Namun masalah lumrah dan manusiawi inilah yang dapat memunculkan problema terhadap putusan arbitrase. Dapat saja dengan argumen yuridisnya, Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mahkamah Agung menyatakan putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan, musnahlah sudah makna dari putusan arbitrase yang sifat final and binding. Sebagaimana telah diuraikan diatas, walaupun telah dinyatakan bahwa putusan arbitrase ini bersifat final and binding, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak, ternyata dalam UU No. 30 Tahun 1999 ini membuka kemungkinan dilakukan pengkajian ulang oleh Pengadilan Negeri sebagai eksekutor dari putusan arbitrase manakala putusan arbitrase itu dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Pengkajian ulang oleh Pengadilan Negeri ini dimaksudkan oleh pembentuk UU (legislator) sebagai kontrol apakah putusan arbitrase ini telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan UU. Seperti apakah sebelum ditangani oleh arbiter para pihak telah membuat kesepakatan secara tertulis baik sebelum atau setelah terjadi sengketa diantara para pihak untuk menyerahkan perselisihan mereka kepada arbitrase. Selanjutnya apakah perselisihan ini termasuk bidang hukum perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Demikian pula apakah perselisihan para pihak ini tidak termasuk kedalam sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan pedamaian. Dengan kata lain apakah putusan arbitrase tersebut telah memenuhi persyaratan formil dari penyelesaian suatu sengketa di arbitrase. Maka apabila putusan arbitrase tersebut menurut pengkajian Ketua Pengadilan Negeri dimana putusan arbitrase itu dimintakan eksekusi tidak memenui 19 Ketentuan Pasal UU No. 30 Tahun Undang-undang No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, 16

17 persaratan formil, tentulah permohonan eksekusi ini tidak dapat dilaksanakan. Juga apakah putusan Arbitrase ini tidak bertentangan dengan rasa kesusilaan dan ketertiban umum (syarat materiil). Bertentangan dengan rasa kesusilaan dan ketertiban umum, merupakan dua terminologi yang sangat mudah mengundang perbedaan pendapat. Karena bangsa Indonesia yang heterogen sifatnya, terdiri dari bermacam suku bangsa, agama dan beragam budayanya membuka kemungkinan untuk sulit sekali melakukan pengukuran rasa kesusilaan itu. Demikkian pula halnya dengan ketertiban umum, karena tidak ada penjelasan sama sekali dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 ini tentang apa yang dimaksudkan dengan rasa kesusilaan dan ketertiban umum itu. Demikian pula terhadap putusan arbitrase internasional, sebelum dilaksanakan eksekusi yang pengajuannya harus diajukan ke Pengadilan Jakarta Pusat, akan dilakukan pengkajian terlebih dahulu apakah diantara negara Indonesia dengan negara dimana putusan arbitrase tersebut dilakukan telah terdapat ikatan perjanjian baik secara bilateral maupun secara multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Juga dipersyaratkan bahwa sengketa tersebut menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup bidang hukum perdagangan. Persyaratan lain adalah putusan arbitrase internasional tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Dan terakhir apabila salah satu pihak dalam sengketa tesebut adalah pemerintah Indonesia, maka eksekusi tersebut harus mendapatkan eksekuator (persetujuan) terlebih dahulu dari Mahkamah Agung. Oleh karenanya, seyogyanya pada BANI sebagai institusi yang menangani perkara perdata diluar Pengadilan (non litigasi) dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi. Sebagaimana bunyi Pasal 24 dari UUD 45 yang menyatakan bahwa peradilan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain. Membaca pasal ini menurut penulis harus diterjemahkan bahwa muara dari segala badan peradilan harus berpuncak pada Mahkamah Agung. Selama ini baru Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berpuncak di Mahkamah Agung. Dalam perkembangan hukum Indonesia ternyata berkembang penyelesaian sengketa diluar peradilan (peradilan khusus), seperti penyelesaian perburuhan dilakukan di 17

18 P4D dan P4P, penyelesaian sengketa pajak diselesaikan di Peradilan Pajak, demikian juga dengan penyelesaian sengketa perdata yang dilakukan di badan Arbitrase. Semua bentuk penyelesaian sengketa khusus tersebut seharusnya semuanya tetap bemuara pada Mahkamah Agung. Peradilan khusus tersebut merupakan kekhususan dari Pengadilan Negeri bidang perdata, seperti Peradilan Niaga adalah peradilan khusus yang menangani masalah kepailitan. Keberadaannya tetap di Pengadilan Negeri hanya saja penanganan masalah kepailitan ditangani oleh Hakim khusus. Oleh karena itu seharusnya semua bentuk peradilan tersebut harus terintegrasi kedalam satu puncak peradilan yaitu Mahkamah Agung. Khusus untuk badan Arbitrase menurut hemat penulis sebaiknya diberikan upaya hukum terakhir ke Pengadilan Negeri, hal ini dimaksudkan sebagai kontrol terakhir atas putusan Arbitrase (karena senyatanya walau dikatakan putusannya bersifat final and binding ternyata masih ada upaya kontrol yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri). Hal ini dimaksudkan karena tidak ada manusia yang sempurna, manusia penuh dengan kekhilafan dan kekurangan. Segala kekurangan ini melekat pada setiap manusia, oleh karenanya terhadap putusan Arbitrase diberikan satu upaya kontrol yang terang dan jelas yaitu ke Pengadilan Negeri. Dengan terintegrasi kedalam sistem Pengadilan Negeri maka secara otomatis eksekusi merupakan satu bagian tak terpisahkan dari penanganan Arbitrase. 3. Penutup Dari uraian diatas maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Ketentuan tentang eksekusi atas putusan Arbitrase yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dengan sebelumnya dilakukan terlebih dahulu pengujian atas kebenaran syarat formil dan materiel serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena putusan Arbitrase adalah suatu putusan dari lembaga peradilan negara selain Pengadilan Negeri, bagaimana mungkin putusannya dikoreksi lagi oleh lembaga peradilan lainnya. 18

19 2. Pengaturan eksekusi putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri, berpotensi akan menghambat perkembangan lembaga Arbitrase nasional. 3. Apabila putusan Arbitrase dinyatakan tidak dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, maka putusan Arbitrase tersebut dinyatakan tidak memiliki nilai hukum. Saran / rekomendasi dapat kami kemukakan sebagai berikut : 1. Sudah seharusnya lembaga arbitrase dilengkapi pula dengan perangkat eksekusi untuk melaksanakan putusan-putusannya. 2. Mengingat tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase agar penyelesaiannya dapat lebih cepat dan putusannya bersifat final and binding, maka tidak seharusnya lagi putusan arbiter melalui fiat eksekusi oleh Pengadilan Negeri. 3. Namun bila belum memungkinkan diadakan lembaga eksekusi, maka eksekusinya dapat dilakukan langsung oleh Pengadilan Negeri tanpa harus melalui proses pengujian lagi. Daftar Pustaka a. Buku-Buku Akhmad Ichsan, Kompendum Tentang Arbitrase Perdagangan Intenasional, Pradnya Paramita, Jakarta, Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, Gay B Born, International Civil Litigation in United Statas Court, Kluwe Law International, Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Raja Grafindo, Jakarta, Hadi Setia Tunggal, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Harvindo Jakarta, Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Pesada Indonesia, edisi kesembilan. Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

20 Mahkamah Agung RI, Cara Penyelesaian Perkara Perdata Dengan Sistem Putusan Sela, Jakarta, M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997., Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, , Perlawanan Terhadap Eksekusi Grosse Akta Serta Putusan Pengadilan Dan ArbitraseDan Standar Hukum Eksekusi, Citra Aditia Bakti, Bandung, Priyatna Abdurrasyid, Alternative Dispute Resolution-ADR/Arbitration, tp, Jakarta, R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Binacipta, 1987.,Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional Di Indonesia, Oresco, Bandung, 1989., Aneka Hukum Arbitrase (Kearah hukum Arbitrase yang baru), Citra Aditya Bakti, Bandung, Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981.,Arbitrase Bank Dunia Tentang Penanaman Modal Asing Di Indonesia Dan Yurisprudensi Indonesia Dalam Perkara Perdata, Alumni, Bandung, b. Makalah Course Material pada pelatihan penyegeran ADR/PPS Fakultas Hukum UI dan Departemen Kehakiman dan Asia Faoundation, Hartini Mochtar, Memahami Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Seminar Tentang Arbitrase (ADR) dan E-Commerce, Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Dispute Resolution-ADR/Arbitration), Makalah Seminar, Jakarta Agustus, Sutan Remy Sjahdeini, E-Commerce Tinjauan Dari Aspek Pengamanan Dan Perspektif Hukum, Makalah Seminar Tentang Arbitrase (ADR) Dan E-Commerce, Surabaya, 6 September c. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengekta. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional. EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Reza A. Ngantung 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana prosedur eksekusi putusan

Lebih terperinci

ISSN JMJN Vol. 1 No. 8 Hal September Different and Dis nc ve

ISSN JMJN Vol. 1 No. 8 Hal September Different and Dis nc ve ISSN 2085-8884 Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional Dalam Sistem Hukum Indonesia Kajian Hukum Mengenai Perlindungan Pemilik Merek Terda ar Akibat Penggunaan Nama Domain Secara Tanpa Hak Berdasarkan

Lebih terperinci

Oleh: Hengki M. Sibuea *

Oleh: Hengki M. Sibuea * Perbandingan Efektivitas Penyelesaian Sengketa Komersial Melalui Pengadilan dan Arbitrase, Ditinjau dari Jangka Waktu, Pasca Diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Martin Surya 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kegiatan bisnis yang terjadi saat ini tidak dapat dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian saja, tetapi juga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin kompleksnya permasalahan dalam bidang ekonomi dan semakin hiterogennya pihak yang terlibat dalam lapangan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) G. Prosedur Pemeriksaan Perkara Prosedur pemeriksaan di arbitrase pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di pengadilan karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme

Lebih terperinci

Arbitrase. Pengertian arbitrase

Arbitrase. Pengertian arbitrase Arbitrase Miko Kamal S.H., Bung Hatta LL.M., Deakin Ph.D Macquarie ireformbumn (institut untuk Reformasi Badan Usaha Milik Negara) Anggrek Building Lt. 2 Jl. Permindo No. 61-63 Padang 25111 Phone: 0751-24552

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama di bidang bisnis. Apabila kegiatan bisnis meningkat, maka sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan sangat pesat dan tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Pelaku bisnis bebas dan cepat untuk menjalani transaksi bisnis secara

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 Oleh : Aryani Witasari,SH.,M.Hum Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Abstrak Arbitrase sebagai salah

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA 1 of 27 27/04/2008 4:06 PM UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Oleh: Hengki M. Sibuea, S.H., C.L.A. apple I. Pendahuluan Arbitrase, berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

ARBITRASE. Diunduh dari :

ARBITRASE. Diunduh dari : ARBITRASE Diunduh dari : http://ualawyer.ru/id/media/95/ A. Latar Belakang Dalam suatu perjanjian antara para pihak atau suatu hubungan bisnis, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang

Lebih terperinci

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *) Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *) Ketentuan ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Lebih terperinci

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pendahuluan Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani Pendahuluan Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum terdapat suatu kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah masalah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di dunia bisnis, perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya, namun dalam penyelesaiannya

Lebih terperinci

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI Peranan Dinas Tenaga Kerja Dalam Penyelesaian Hubungan Industrial Di Kota Pematangsiantar Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI Abstrak Beragam permasalahan melatarbelakangi konflik Hubungan

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN Oleh : Ni Komang Wijiatmawati Ayu Putu Laksmi Danyathi, S.H., M.Kn Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Mediation is the one of

Lebih terperinci

ELIZA FITRIA

ELIZA FITRIA EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR KLAS II (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NO. 02/Pdt.G/2007/PN.BS) SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 Afrik Yunari Mahasiswa S-2 IAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung Email: afrik.yunari@yahoo.com ABSTRACT

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh : SHAFIRA HIJRIYA

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE 20 FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE Oleh : Suphia, S.H., M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember Abstract Disputes or disagreements can happen anytime and anywhere without being limited space and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional dewasa ini merupakan kebutuhan dari setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam mengadakan perubahan-perubahan

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN SELA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SUATU PERKARA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN SELA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SUATU PERKARA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR) 1 UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN SELA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SUATU PERKARA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR) Oleh : Wagner Engelenburg Gunther I Ketut Artadi I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Sebagaiman telah dikemukakan di awal, bahwa lembaga arbitrase adalah forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan dan ketidakpuasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 ABSTRAK Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2000).

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2000). 145 DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2000). Ashshofa, Burhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka

Lebih terperinci

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Oleh: Anastasia Maria Prima Nahak I Ketut Keneng Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kekayaan alam atau sumber daya alam yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia adalah tanah. Manusia hidup

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai BAB IV PENUTUP Setelah melakukan penelitian dan analisis mengenai bagaimanakah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di indonesia, maka dalam bab IV yang merupakan bab penutup ini, Penulis

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN A. Pendahuluan Pokok bahasan III ini mengandung sub-sub pokok bahasan tentang putusan, upaya hukum terhadap putusan dan pelaksanaan putusan. Penguasaan materi pada

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 135-151. PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ROLE OF COURTS IN THE IMPLEMENTATION OF THE DECISIONS OF INTERNATIONAL ARBITRATION

Lebih terperinci

PERAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

PERAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF PERAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF Oleh I Gst Agung Istri Oktia Purnama Dewi A. A. Ngr. Wirasila Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sudah berjalan dua dekade lebih. Hal ini ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI OLEH PARA PIHAK DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR DALAM PERKARA PERDATA. oleh

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI OLEH PARA PIHAK DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR DALAM PERKARA PERDATA. oleh PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI OLEH PARA PIHAK DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR DALAM PERKARA PERDATA oleh I GUSTI AYU DIAN NINGRUMI DEWA NYOMAN RAI ASMARAPUTRA NYOMAN A. MARTANA Bagian Hukum Acara

Lebih terperinci

PRESPEKTIF SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA

PRESPEKTIF SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA PRESPEKTIF SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA Abstrak Sengketa bisnis memerlukan penyelesaian secara cepat dan sederhana sehingga biaya perkara relatif lebih sedikit dengan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN Oleh : I Dewa Ayu Maheswari Adiananda Putu Gede Arya Sumerthayasa Bagian Hukum Peradilan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : I Gusti Ngurah Adhi Pramudia Nyoman A Martana I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati Bagian Hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional I. PEMOHON PT. Indiratex Spindo, yang diwakili oleh Ongkowijoyo Onggowarsito

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif mengkaji data-data sekunder di bidang

Lebih terperinci

EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK

EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK Oleh I Putu Wahyu Pradiptha Wirjana I Gusti Nyoman Agung Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Decisions that legally

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Sengketa Bisnis & Penyelesaiannya

STIE DEWANTARA Sengketa Bisnis & Penyelesaiannya Sengketa Bisnis & Penyelesaiannya Hukum Bisnis, Sesi 9 Timbulnya Sengketa Transaksi dalam dunia bisnis, termasuk bisnis syariah mengandung risiko Salah satu risiko yang mungkin dan sering terjadi adalah

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN MELALUI PROSES PENGADILAN DAN DILUAR PENGADILAN

KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN MELALUI PROSES PENGADILAN DAN DILUAR PENGADILAN 1 KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN MELALUI PROSES PENGADILAN DAN DILUAR PENGADILAN Oleh : I Putu Agus Supendi Pembimbing Akademik Suatra Putrawan,SH.,MH, Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL OLEH PENGADILAN NEGERI *

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL OLEH PENGADILAN NEGERI * PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL OLEH PENGADILAN NEGERI * Muhammad Andriansyah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Waste4change Blok B A2 No. 1-2 Jl. Raya H. Djole Mustika Jaya Bekasi E-mail: mandrian040991@gmail.com

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING DI BALI

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING DI BALI PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING DI BALI Oleh Ni Komang Desi Miari I Wayan Wiryawan I Ketut Westra Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Judul dari penelitian hukum ini adalah

Lebih terperinci

Maulidiazeta Wiriardi: Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian

Maulidiazeta Wiriardi: Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian Maulidiazeta Wiriardi: Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian 71 PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERJANJIAN DALAM KESEPAKATAN PARA PIHAK YANG BERSENGKETA ATAS PERMOHONAN INTERVENSI PIHAK KETIGA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE

PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE Satrio Wicaksono Adi (satriowicaksono_29@yahoo.co.id) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 6 M E D I A S I A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 6 M E D I A S I A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 6 M E D I A S I A. Pengertian dan Karakteristik Mediasi Mediasi berasal dari bahasa Inggris mediation atau penengahan, yaitu penyelesaian

Lebih terperinci

Al-Bayyinah: Journal of Islamic Law-ISSN: (p); (e) Volume VI Number 2, pp

Al-Bayyinah: Journal of Islamic Law-ISSN: (p); (e) Volume VI Number 2, pp Al-Bayyinah: Journal of Islamic Law-ISSN: 1979-7486 (p); 2580-5088 (e) Volume VI Number 2, pp. 99-113 ALTERNATIF DALAM PENYELESAIAN SENGKETA (LITIGASI DAN NON LITIGASI) Rosita (Dosen Tetap STAIN Watampone,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk hutang merupakan hal yang lumrah dalam menjalankan bisnis bagi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk hutang merupakan hal yang lumrah dalam menjalankan bisnis bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan ekonomi saat ini, kebutuhan akan pinjaman dalam bentuk hutang merupakan hal yang lumrah dalam menjalankan bisnis bagi para pelaku ekonomi.

Lebih terperinci

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama? PANDUAN WAWANCARA Mediator: 1. Apa saja model-model Pendekatan Agama dalam proses mediasi terhadap perkara perceraian? a. Bagaimana cara menerapkan model-model pendekatan agama dalam proses mediasi terhadap

Lebih terperinci

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1 54 BAB IV KEKUATAN YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURWOREJO NO. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/ Pdt.G/2011/PTA.Smg. TENTANG CERAI TALAK A. Kekuatan Yuridis

Lebih terperinci

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Abstrack Execution decision necessarily well often cause problems related to the rules that govern which SEMA

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015 KLAUSUL ARBITRASE DAN PENERAPANNYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS 1 Oleh : Daru Tyas Wibawa 2 ABSTRAK Dari segi tipe penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

PERAN PENGADILAN NIAGA SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN

PERAN PENGADILAN NIAGA SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN PERAN PENGADILAN NIAGA SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN Oleh: Ni Putu Agustini Ari Dewi A.A. Ngr Yusadarmadi Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRAK Pengadilan Niaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERANAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERANAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERANAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG MOH. SANDI / D 101 08 109 Abstrak Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah Penelitian Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. Sengketa merupakan sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan

Lebih terperinci

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 101 kepemilikannya, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah dan perlindungan terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. Namun kepastian hukum dan perlindungan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci