BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian Pajak menurut Resmi (2013) adalah kontribusi wajib kepada negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

BAB II LANDASAN TEORI. Ilyas dan Richard Burton (2010:6), Pajak adalah prestasi yang dapat dipaksakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

Repositori STIE Ekuitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa : bahwa dalam sengketa banding ini terdapat sengketa mengenai Tarif Pajak, dengan rincian sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

Modul Perpajakan PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26 DEFINISI

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB 2 LANDASAN TEORI

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

TABEL KODE AKUN PAJAK DAN KODE JENIS SETORAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23/26

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Pertemuan 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23, 25, & 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Praktik Kerja Lapangan Mandiri adalah kegiatan yang dilakukan

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENERAPAN PENGHITUNGAN, PEYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ATAS WAJIB PAJAK BADAN.

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan negara. Karena pajak mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN. Para ahli di bidang perpajakan mendefinisikan pengertian pajak dengan berbagai pendapat yang berbeda antara lain :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR dan BUPATI LUWU TIMUR MEMUTUSKAN :

MINGGU KE LIMA PPH PASAL 23, 26, DAN 25 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

BAB II LANDASAN TEORI

PENGERTIAN DAN DEFINISI CIRI CIRI YANG MELEKAT PADA DEFINISI PAJAK ISTILAH-ISTILAH PERPAJAKAN

PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II URAIAN TEORITIS

EVALUASI PENERAPAN PPH PASAL 23 PADA PT. BIN (PERSERO) DI TAHUN 2012

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2010 NOMOR : 4 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BURU,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS II.1. Aturan Perbankan II.1.1. Pengertian Bank Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang perbankan adalah: Bank adalah bidang usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan pengertian bank menurut Global Association of Risk Professionals (GARP) dan Badan Sertifikasi Manajemen Risiko bank adalah suatu lembaga yang telah memperoleh izin untuk melakukan kegiatan utama menerima deposito, memberikan pinjaman, menerima dan menerbitkan cek. II.1.2. Fungsi Bank Fungsi bank secara umum menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Adapun fungsi bank secara khusus, antara lain: 1. Agent of trust

Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal menghimpun dana maupun penyalur dana. Masyarakat akan bersedia menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. 2. Agent of development Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat. 3. Agent of services Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan. II.1.3. Jenis Penggabungan Usaha Perbankan

Jenis penggabungan usaha perbankan menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998, antara lain: 1. Merger Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi. 2. Konsolidasi Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut dengan atau tanpa melikuidasi. 3. Akuisisi Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank. II.2. Ketentuan Umum Perpajakan II.2.1. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Pasal 1 Undang-undang No.28 Tahun 2007 adalah: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja: Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa

berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. II.2.2. Fungsi Pajak Fungsi pajak antara lain: 1. Fungsi Budgeter Fungsi budgeter adalah fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan Undang-undang yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada surplus akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah. 2. Fungsi Regulerend Fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. 3. Fungsi Demokrasi Fungsi demokrasi adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Apabila seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. 4. Fungsi Redistribusi

Fungsi redistribusi adalah fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tarif progresif yang mengenakan pajak yang lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih kecil. II.2.3. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dibagi atas 4 macam, sebagai berikut: 1. Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh seseorang. 2. Semi self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terutang. 3. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. 4. Withholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang. II.2.4. Jenis-jenis Pajak A. Jenis pajak menurut sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Pajak langsung Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu. Misalnya Pajak penghasilan. 2. Pajak Tidak Langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai. B. Jenis pajak pusat, antara lain: 1. Pajak Penghasilan (PPh), seperti: a. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 b. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 d. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24 e. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 f. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 g. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29 2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3. Pajak Bumi dan Bangunan 4. Pajak/Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 5. Bea Materai

II.2.5. Sanksi Pajak Jenis-jenis sanksi pajak dalam UU KUP diantaranya sebagai berikut: 1. Sanksi denda Sanksi administrasi berupa denda dikenakan berkaitan dengan pelanggaran ketentuan formal. Seperti terlambat melaporkan SPT Masa dan Tahunan. 2. Sanksi bunga Sanksi administrasi berupa denda dikenakan berkaitan dengan pelanggaran kewajiban pembayarann pajak. Seperti terlambat membayar PPh Masa dan Tahunan. 3. Sanksi kenaikan Sanksi administrasi berupa denda dikenakan berkaitan dengan pelanggaran ketentuan materiil. Seperti pembetulan SPT yang menimbulkan kurang bayar. 4. Sanksi pidana Sanksi pidana dikenakan karena pelanggaran pajak yang sengaja dilakukan. II.3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 II.1.1. Definisi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 menurut UU PPh No.36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat 1 yaitu penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan. II.1.2. Penghasilan yang Terkait PPh Pasal 23 Penghasilan yang terkait Pph Pasal 23 terbagi dua, yaitu: 1. Active Income Active income adalah penghasilan yang berasal dari pemanfaatan jasa yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Dalam Negeri, termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) dimana subjek pemotongannya dilakukan oleh Badan. 2. Passive Income Passive income adalah penghasilan yang berasal dari pemanfaatan modal/aktiva yang diterima atau diperoleh Subjek Pajak Dalam Negeri, termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) dimana subjek pemotongannya identik dilakukan oleh Badan. II.1.3. Subjek Pajak PPh Pasal 23

Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap. II.1.4. Pemotong PPh Pasal 23 Menurut UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pemotong PPh Pasal 23 antara lain: 1. Badan Pemerintah; Badan pemerintah yang dimaksud adalah setiap unit tertentu dari Pemerintah baik pusat maupun daerah. 2. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri; Menurut UU KUP Pasal 1, Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). 3. Penyelenggara kegiatan; 4. Bentuk Usaha Tetap; Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1a) UU PPh, BUT merupakan Subjek Pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak

Badan. Meskipun demikian, status BUT sebenarnya adalah WP Luar Negeri akan tetapi pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan kewajiban perpajakan WP Dalam Negeri. Untuk itu, apabila WP BUT membayarkan penghasilan kepada pihak lain yang merupakan objek PPh Pasal 23 maka wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23. II.1.5. Tarif dan Objek Pajak PPh Pasal 23 Menurut UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23, tarif dan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah: a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas: 1. dividen 2. bunga 3. royalti; dan 4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan. b. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai atas: a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; b. imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan; c. Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan

tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen). II.1.6. Objek Pajak PPh Pasal 23 yang Dikecualikan Menurut UU no. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 ayat 4, yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah: a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank; b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi; c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c); d. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i; e. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; f. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. II.1.7. Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23 berikut: Saat terutang, penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23 adalah sebagai

a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak. c. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. II.1.8. Bukti Pemotong PPh Pasal 23 Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23. II.4. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 II.4.1. Pengertian PPh Pasal 26 PPh Pasal 26 adalah PPh yang dipotong atas penghasilan yang diterima/diperoleh Subjek Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT). II.4.2. Objek dan Tarif PPh Pasal 26

Adapun yang menjadi objek dan tarif atas PPh Pasal 26 menurut UU No.36 Tahun 2008 Pasal 26 adalah sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan: a. dividen; b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. hadiah dan penghargaan; f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya; g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau h. keuntungan karena pembebasan utang. II.4.3. Tarif PPh Pasal 26 atas P3B (Tax Treaty) Sesuai dengan UU PPh Pasal 32A, Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah Negara lain untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak yang biasa disebut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty. Perhitungan besarnya PPh Pasal 26 yang didasarkan pada P3B (Tax Treaty) tersebut biasanya dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 26 atau dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah.

II.5. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 II.5.1. Pengertian PPh Pasal 4 ayat 2 Pengertian PPh Pasal 4 ayat 2 yaitu pajak atas penghasilan yang diberikan perlakuan tersendiri pengenaan pajaknya (final) yang meliputi sifat, besarnya tarif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. II.5.2. Objek PPh Pasal 4 ayat 2 Yang menjadi objek PPh Pasal 4 ayat 2 menurut UU No.36 Tahun 2008 yaitu: 1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; 2. Penghasilan berupa hadiah undian; 3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; 4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan 5. Penghasilan tertentu lainnya,