BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang merusak sel-sel hati (liver)

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan ibu berperan di dapur

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang saat ini

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus mendebarkan hati. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan tugas pemerintah untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas ( Pendidikan

Angket Optimisme. Bayangkan anda mengalami situasi yang tergambar dalam setiap. persoalan, walaupun untuk beberapa situasi mungkin anda belum pernah

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sejak tahun 2004 hingga 2010,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan anak yang sehat secara fisik dan mental. Pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Kartu kredit diberikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang penting bagi manusia, namun tidak semua

BAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang

Abstrak. iii Universitas Kristen Maranatha

II. TINJAUAN PUSTAKA. Meningkatkan optimisme siswa menguasai materi pelajaran matematika di Kelas

BAB I PENDAHULUAN. netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif semakin sering terdengar dan dialami oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lembaga pembinaan atau sering disebut LAPAS yaitu tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. otak atau ke bagian otak tertentu. Stroke dapat menyebabkan kerusakan permanen

BAB I PENDAHULUAN. Kusta atau Leprae merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Catatancatatan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat beberapa jenjang pendidikan, mulai dari Play Group

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tahap perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. dianggap penting. Melalui pendidikan, individu dapat belajar. pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masyarakat modern yang sangat kompleks dan heterogen,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dari golongan ekonomi kelas atas saja, tapi juga sudah masuk kedalam

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa era globalisasi ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Penyesuaian..., Nice Fajriani, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wanita mempunyai kecenderungan untuk mencari dan menemukan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang diharapkan oleh orang tua, terlebih

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENGARUH HARAPAN TERHADAP KECENDERUNGAN RESIDIVIS PADA NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I MALANG

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan seiring dengan itu, angka kemiskinan terus merangkak. Kenaikan harga

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fase perkembangannya memiliki keunikan tersendiri. Papalia (2008) menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menggunakan waktu dengan efektif sehingga efisiensi waktu menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. terhadap masa depan seseorang. Seperti yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, cakupan dan batasan yang dipakai

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. psikis, maupun secara social (Sudarsono, 2004). Inilah yang disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemasyarakatan mengalami keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PEDAHULUAN. Banyak orang rela mengeluarkan dana yang jumlahnya tidak sedikit untuk

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. Pembahasan kriminalitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. membagi lansia ke dalam 3 tahapan yaitu young old, old-old, dan oldest old.

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

lampiran 1 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan segala usia (Soedijarto,2008). Di Indonesia, pendidikan terdiri

BAB I PENDAHULUAN. orang, yaitu adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penghuni lapas ini biasa disebut dengan narapidana. Di dalam UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan, pengertian narapidana adalah terpidana yang hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. Sedangkan pengertian terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2003) tindak kriminal tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa namun dilakukan juga oleh anak-anak. Setiap tahun terjadi 4.000 kasus pelanggaran hukum dilakukan oleh anak terutama di kota besar dan sejumlah 3.722 anak tersebar di 14 LP Anak. Anak yang dijatuhi pidana penjara akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Undang- undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Lembaga pemasyarakatan anak ini dibagi menjadi 2 yaitu, anak pria dan anak wanita. Berdasarkan survey yang dilakukan di Tangerang, diperoleh data mengenai jumlah penghuni lapas anak wanita yang jauh lebih sedikit dibanding dengan lapas anak prianya. Pada anak wanita jumlahnya adalah 5 orang, sedangkan pada anak pria 178 orang. Selain itu dalam 1

2 buku Kaplan dan Sadock (Edisi ketujuh, 1997), angka kenakalan remaja pada pria lebih tinggi daripada remaja wanita. Berdasarkan informasi dari Pembina di LAPAS Anak Pria Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang ini merupakan tempat untuk anak didik pemasyarakatan dari usia 8 18 tahun yang berasal dari beberapa daerah di Tangerang, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Pengertian anak didik pemasyarakatan ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu, Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil. Pengertian Anak Pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjadi pidana. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan karena melakukan tindak pidana. Sedangkan Anak Sipil adalah anak atas permintaan orang tua atau walinya yang memperoleh penetapan pengadilan untuk dibina agar menjadi lebih baik lagi. Pada kasus anak sipil biasanya orang tua atau wali tidak sanggup membina anaknya yang terbilang nakal menjadi lebih baik. Dari 178 orang anak yang menghuni lapas anak pria, Anak Sipil sudah tidak ada karena sudah jarang orang tua yang menitipkan anaknya untuk dibina di lapas, sehingga penghuni lapas ini adalah Anak Negara yang berjumlah 14 orang dan Anak Pidana 164 orang. Berdasarkan informasi dari pembina anak didik pemasyarakatan di lapas anak pria Tangerang, seluruh anak didik pemasyarakatan ini mendapatkan perlakuan, pembinaan dan fasilitas yang sama tanpa membedakan kategori Anak Pidana maupun Anak Negara. Dalam lapas anak pria Tangerang setiap masing-masing Anak Pidana dan Anak Negara memiliki usia yang berbeda-beda. Berdasarkan ketentuan UU no.3

3 Tahun 1997, seorang anak ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak sampai batas usia 18 tahun, namun berdasarkan hasil perolehan data survey awal, LAPAS Anak Pria Tangerang ini menampung beberapa Anak Pidana dan Anak Negara yang berusia diatas 18 tahun, yaitu usia 19 tahun 21 tahun. Dalam Santrock (2003), masa remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir usia 18-22 tahun. Masa remaja akhir menunjuk pada usia 15 tahun keatas. Masa remaja diartikan sebagai masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial emosional. Minat pada karir, pacaran, dan eksplorasi identitas lebih sering terlihat pada remaja akhir (Santrock 2003). Berbeda dengan remaja yang berada di luar lapas, remaja yang berada di dalam lapas akan lebih terbatas dalam mengembangkan dan mengeksplorasi minat-minat tersebut. Hal tersebut terjadi karena status mereka yang sering disebut masyarakat sebagai narapidana membuat mereka sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada 10 (100%) Anak Didik Pemasyarakatan (ADP), 10% ADP yang putus dengan pacarnya berkeyakinan bahwa pacarnya pasti malu dengan statusnya sebagai narapidana. Sebanyak 70% orang ADP lainnya juga merasa jauh dari teman dan keluarga selama mereka berada di lapas. Keberadaan mereka di lapas dan tidak pernah dikunjungi oleh keluarga maupun teman-temannya membuat mereka berkeyakinan bahwa keluarga dan teman-temannya pasti malu menjenguk seorang penghuni lapas. Para anak didik pemasyarakatan ini merasa statusnya sebagai seorang penghuni tahanan di lapas masih dipandang negatif oleh masyarakat.

4 Menanggapi pandangan negatif dari masyarakat yang dirasa oleh ADP, 100% ADP di lapas anak pria Tangerang berkata bahwa pandangan negatif terhadap para narapidana itu salah. Mereka merasa yakin dapat berubah menjadi lebih baik, tidak akan mengulang kesalahan, dan melakukan tindakan kriminal lagi seperti membunuh, memakai narkoba, mencuri atau memperkosa setelah mereka terbebas dari masa hukumannya sehingga masyarakat tidak perlu takut dengan mereka. Hukuman berupa penahanan ini bagi anak didik pemasyarakatan sudah membuat mereka jera untuk mengulangi kesalahan mereka. Sebanyak 30% ADP berkeyakinan bahwa keberadaan mereka di lapas bukan merupakan akhir dari segalanya dan masih dapat bersosialisasi dengan bebas dan meraih cita-cita serta karir setelah bebas dari tahanan kelak. Namun, 70% ADP berkata bahwa mereka tidak yakin dengan penerimaan secara sosial di masyarakat. Mereka juga tidak yakin akan perolehan karir pada masa mendatang setelah mereka bebas dari masa hukuman tahanan. Ketidakyakinan mereka dalam memperoleh karir pada masa mendatang setelah mereka bebas dari masa hukuman tahanan ini selalu ada dalam pikiran mereka walaupun mereka memiliki keahlian dalam IT, musik, matematika. Dua keyakinan ini sangat berbeda. Keyakinan ketiga anak didik pemasyarakatan menggambarkan adanya kecenderungan optimistic sedangkan tujuh lainnya dapat diindikasikan adanya kecenderungan pessimistic. Menurut Seligman (1990), optimistic atau pessimistic yang ada dalam diri seseorang itu dapat terlihat melalui bagaimana mereka menjelaskan kejadian buruk atau baik yang telah terjadi pada dirinya. Cara menjelaskan tersebut, Seligman katakan sebagai explanatory style. Explanatory style ini memiliki 3

5 dimensi yaitu Permanence, Pervasiveness, dan Personalization. Melalui ketiga dimensi ini dapat menggambarkan apakah seseorang itu optimistic atau pessimistic. Dalam dimensi permanence yang membicarakan mengenai waktu, orang yang optimis akan menjelaskan penyebab kejadian buruk sebagai sesuatu yang bersifat sementara (temporary) dan kejadian baik sebaliknya yaitu bersifat selamanya (permanent). Pervasiveness mengenai ruang (space), orang optimistic akan menjelaskan penyebab kejadian buruk adalah spesific dan kejadian baik adalah universal. Dimensi Personalization menjelaskan siapa penyebab kejadian baik atau buruk, apakah external atau internal. Orang optimistic menjelaskan kejadian buruk akibat faktor external dan kejadian baik akibat faktor internal. Gambaran mengenai orang yang pessimistic berbanding terbalik dengan orang yang optimistic (Seligman, 1990) Berdasarkan penjelasan di atas yang dikaitkan dengan fenomena, kecenderungan 30% ADP yang digambarkan sebagai optimistic memiliki keyakinan bahwa lapas bukanlah akhir dari segalanya dan masih dapat bersosialisasi secara luas serta meraih karir dan cita-cita. Hal lain yang menggambarkan mereka memiliki kecenderungan optimistic adalah keyakinan mereka untuk mencapai pendidikan dan pekerjaan setelah terbebas dari masa tahanan. Mereka juga meyakini proses nama baik akan diperoleh cepat karena melihat mantan teman di lapas mendapat pekerjaan yang layak dan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik tanpa menyandang sebutan mantan narapidana setelah keluar dari lapas. Semangat mereka untuk berprestasi dengan memaksimalkan fasilitas yang ada di lapas untuk mengembangkan potensi dalam

6 diri juga menjadi salah satu bentuk optimistic. Mereka rajin mengerjakan tugas sekolah, belajar sebelum ujian, bertanya dengan teman-teman mengenai pelajaran yang sulit dimengerti, mengikuti program pengembangan keahlian dengan serius. Semua ini mereka lakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki potensi dan kemampuan yang sama dengan anak-anak yang yang berada di luar lapas sehingga layak memiliki karir dan cita-cita seperti anak lainnya di luar lapas. Sebanyak 70% menunjukkan adanya kencenderungan pessimistic. Kecenderungan ini terlihat dari ketidakyakinan tiga dari tujuh ADP yang memiliki kemampuan dalam bermain musik. Tiga ADP ini berhasil melakukan performance musik di sebuah pusat perbelanjaan namun mereka menjelaskan bahwa hal tersebut keberuntungan yang merupakan fasilitas dari lapas, mereka tidak yakin setelah keluar lapas akan mudah mencapai hal tersebut (Permanencetemporary). Sehingga 3 orang ADP yang berhasil melakukan performance music ini merasa bahwa semaksimal apapun dalam mengasah kemampuan yang ada dalam diri melalui kegiatan di lapas, mereka tidak dapat mengubah label negatif narapidana pada masyarakat. Ketujuh ADP yang memiliki kecenderungan kearah pesimis ini juga meyakini urusan perolehan kembali nama baik pun akan berlangsung lama hingga bertahun-tahun. Mereka berpikir hanya orang beruntung yang dapat meraih cita-cita dan memperoleh nama baik kembali setelah keluar dari lapas. Saat mereka putus dengan pacar dan tidak pernah dijenguk oleh keluarga ataupun teman, mereka menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena diri mereka yang berstatus sebagai seorang ADP (personalization-internal).

7 Mereka juga merasa bahwa keluarga, teman, atau pacar pasti malu dengan status mereka sebagai penghuni lapas. Ketidakyakinan tersebut membuat mereka menjadi termenung, putus asa, merasa diabaikan, dan tidak berguna. Hal ini terlihat, ketujuh ADP tersebut menjadi kurang memaksimalkan potensi mereka terhadap fasilitas yang ada di lapas seperti fasilitas sekolah, pengembangan skill pada musik, otomotif, maupun komputer. Mereka juga sering mengabaikan tugas sekolah yang diberikan oleh guru, tidak belajar, mencotek saat ulangan, dan bolos mengikuti kegiatan pengembangan skill. Selain penurunan minat pada pendidikan, penurunan kondisi kesehatan fisik juga terjadi karena beberapa diantaranya mengalami tekanan atau stress hingga mereka jatuh sakit. Adanya reaksi menyerah, menghentikan segala usaha yang telah dilakukan, dan memiliki keyakinan bahwa apapun yang dilakukan tidak akan dapat mengubah keadaan ini dijelaskan Seligman sebagai helplessness. Seligman mengatakan helplessness berkaitan dan diindikasikan dengan orang yang memiliki pessimistic explanatory style. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa sesama anak didik pemasyarakatan memiliki kecenderungan explanatory style yang berbeda dalam menjelaskan peristiwa baik maupun buruk yang terjadi selama berada di lapas. Berdasarkan fenomena yang telah dijabarkan, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai Explanatory Style pada Anak Didik Pemasyarakatan yang berusia remaja 15-18 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang.

8 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana explanatory style pada anak didik pemasyarakatan berusia 15 18 tahun di lembaga pemasyarakatan anak pria Tangerang. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh bagaimana gambaran explanatory style pada anak didik pemasyarakatan berusia 15 18 tahun di lapas anak pria Tangerang. 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai explanatory style pada anak didik pemasyarakatan berusia 15 18 tahun di lapas anak pria Tangerang melalui dimensi-dimensi explanatory style. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Sebagai bahan masukkan bagi ilmu psikologi khususnya bidang psikologi perkembangan mengenai explanatory style pada anak didik pemasyarakatan yang berusia 15 18 tahun di lapas anak pria Tangerang. Memberikan sumbangan informasi (wawasan) kepada peneliti lainnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai explanatory style

9 dan mendorong dikembangkannya peneliti-peneliti lainnya yang berhubungan dengan topik tersebut. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada ADP kegunaan akan berpikir secara optimis bagi kehidupan mereka. Memberikan informasi kepada keluarga atau pihak yang mendampingi anak didik pemasyarakatan mengenai explanatory style di lapas anak pria Tangerang sehingga dapat berkontribusi dalam memberikan dukungan untuk anak didik pemasyasarakatan. Memberikan informasi kepada psikolog, dan para ahli lainnya mengenai explanatory style pada anak didik pemasyarakatan, sehingga memberikan konstribusi dalam memberikan dukungan kepada anak didik pemasyarakatan di lapas anak pria Tangerang dan dapat menjadi pertimbangan dalam memberikan intervensi. 1.5 Kerangka Pikir Anak didik pemasyarakatan (ADP) memiliki usia yang dikategorikan dalam usia remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa. Masa remaja dimulai dari usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Masa remaja awal dimulai pada usia 10 tahun hingga sebelum usia 15 tahun. Masa remaja akhir dimulai pada usia 15 tahun keatas. Pada masa remaja, mengalami berbagai perubahan yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial emosional. Perubahan yang terjadi

10 tersebut berkisar dari perkembangan seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian. Remaja juga mengembangkan minat pada karir, pacaran, dan eksplorasi identitas. Perkembangan minat-minat tersebut lebih nyata terlihat pada masa remaja akhir (Santrock, 2003). Perkembangan minat tersebut dapat menjadi berbeda pada remaja yang berada di lembaga pemasyarakatan (lapas). Perkembangan minat tersebut menjadi terbatas karena remaja yang berada di lapas tidak dapat berinteraksi secara luas dengan teman sebaya dan masyarakat. Pada setiap remaja memiliki belief mengenai kehidupan termasuk gambaran mengenai belief kehidupan di lapas. Sebelum remaja memperoleh hukuman tahanan di lapas, remaja ini melihat, mengamati, dan mendengar cerita mengenai kehidupan para anak didik pemasyarakatan yang menjalani hukuman. Hasil penglihatan, pengamatan, ataupun mendengar pengalaman teman atau orang lain yang menjadi anak didik pemasyarakatan tersebut akan dijadikan sebagai gambaran bagi diri remaja dan kemudian diolah yang pada akhirnya membentuk belief tentang kehidupan dan kegiatan di lapas sebagai anak didik pemasyarakatan. Setelah remaja mengalami sendiri dan menjalani kehidupan di lapas sebagai anak didik pemasyarakatan, belief remaja yang sudah terbentuk sebelumnya akan memengaruhi bagaimana reaksi remaja terhadap kehidupan dan kegiatan di lapas. Belief mengenai kehidupan dan kegiatan di lapas yang dimiliki sebelum menjalani kehidupan di lapas itu sendiri akan mengalami perubahan perubahan selama proses tinggal di sana dan pada akhirnya akan membentuk belief yang baru mengenai kehidupan di lapas. Pembentukan belief baru diperoleh dari peristiwa-

11 peristiwa yang terjadi saat berada di lapas dan akan menentukan bagaimana ADP menjelaskan dan menghayati penyebab dari peristiwa atau kejadian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan kehidupan di lapas. Cara ADP menjelaskan mengenai penyebab dari suatu peristiwa dapat mencerminkan optimisme atau pesimisme. Menurut Seligman, orang yang optimis adalah orang yang tidak mudah menyerah dan segera mencari jalan keluar saat menghadapi masalah. Orang optimis juga memandang peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sementara dan cenderung tidak menyalahkan diri sendiri. Keadaan itu berbanding terbalik dengan orang yang pesimis. Orang pesimis adalah orang yang mudah menyerah saat menghadapi masalah dan menganggap semua yang dilakukan siasia. Orang pesimis cenderung menyalahkan dirinya sendiri saat peristiwa buruk terjadi. Optimis maupun pesimis yang ada dalam diri seseseorang dapat tercermin melalui explanatory style. Explanatory style adalah bagaimana cara seseorang menjelaskan penyebab dari suatu peristiwa yang terjadi pada diri mereka (Seligman, 1990). Dalam Learned Optimism, Seligman (1990) mengatakan bahwa cara seseorang memandang peristiwa yang dialaminya memiliki keterkaitan dengan pola pikirnya dan keyakinan yang sering diterapkan seseorang dalam berbagai aspek kehidupannya. Pola pikir dan keyakinan ini akan memengaruhi bagaimana individu bertindak dan beraksi terhadap lingkungannya. Explanatory style dijelaskan melalui tiga dimensi yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Permanence berkaitan dengan waktu penyebab saat suatu peristiwa terjadi, apakah bersifat permanent (menetap) atau

12 temporary (sementara). ADP yang optimistic bila dihadapkan pada kejadian buruk akan berpikir bahwa penyebab kejadian buruk itu akan berlangsung sementara. Sedangkan ADP yang pessimistic bila dihadapkan pada kejadian buruk akan berpikir bahwa penyebab kejadian buruk itu akan berlangsung menetap. Contohnya saat ADP tidak dijenguk oleh keluarga, ADP yang optimistic akan berpikir bahwa keluarganya sedang sibuk sehingga tidak sempat menjenguknya pada saat itu (PMB-temporary). ADP yang pessimistic akan berpikir berbeda saat tidak dijenguk oleh keluarganya, mereka akan menganggap keluarganya tidak sayang dengan mereka (PMB-permanent). Sebaliknya pada kejadian baik, ADP yang optimistic akan berpikir bahwa penyebab kejadian baik itu akan berlangsung menetap dan ADP pessimistic akan berpikir bahwa penyebabnya akan berlangsung sementara. Contohnya, saat ADP yang dijenguk oleh keluarganya, ADP yang optimistic akan berpikir bahwa keluarganya memang sayang dan peduli dengannya sehingga sering mengunjunginya (PMG-Permanent). Sedangkan ADP yang pessimistic akan berpikir bahwa keluarganya kebetulan sedang tidak sibuk pada saat itu sehingga dapat menjenguknya (PMG-Temporary). Dimensi kedua yakni pervasiveness adalah dimensi yang berkaitan dengan penyebab ruang lingkup masalah, apakah penyebab kejadian mencakup seluruh aspek kehidupannya (universal) atau hanya sebagian saja aspek kehidupannya (spesific). ADP yang optimistic akan menganggap bahwa kejadian buruk terjadi secara spesifik, sedangkan ADP yang pessimistic akan menganggap penyebab kejadian buruk terjadi secara universal. Contohnya saat ADP mendapat sanksi

13 dari pihak lapas karena tidak menggunakan seragam lapas, anak didik pemasyarakatan yang optimistic akan menjelaskan bahwa dirinya sedang lalai untuk mematuhi peraturan tersebut (PVB-Spesific). Sedangkan ADP yang pessimistic akan menjelaskan bahwa dirinya memang malas mematuhi semua peraturan yang ada di lapas (PVB-Universal). Sebaliknya pada kejadian baik, ADP yang optimistic akan berpikir bahwa penyebab kejadian tersebut terjadi secara universal. Sedangkan ADP yang pesimistic akan berpikir penyebab kejadian baik secara spesifik. Contohnya saat ADP dipercaya oleh pihak lapas untuk membantu mengerjakan pekerjaan tata usaha, ADP yang optimistic akan menjelaskan hal tersebut terjadi karena dirinya memang terampil dan cekatan dalam mengerjakan segala pekerjaan (PVG- Universal). Sedangkan anak didik pemasyarakatan yang pessimistic akan menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi dirinya kebetulan mampu mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan (PVG-Spesific). Dimensi terakhir yakni personalization adalah dimensi yang berkaitan dengan pihak yang menyebabkan kejadian tersebut terjadi. Apakah kejadian tersebut disebabkan faktor internal atau faktor eksternal. ADP yang optimistic akan berpikir bahwa kejadian buruk karena faktor eksternal, sedangkan ADP pessimistic akan berpikir bahwa kejadian buruk terjadi karena faktor internal. Contoh saat ADP yang menjadi ketua kamar tahanan, gagal melerai perkelahian 2 orang teman sesama ADP yang satu tahanan dengannya, ADP yang optimistic akan berpikir bahwa kedua temannya tersebut memang sulit untuk dilerai (PSB-

14 Eksternal). Sedangkan ADP yang pessimistic akan berpikir bahwa dirinya gagal dalam mengajak kedua temannya tersebut untuk berdamai (PSB-Internal). Sebaliknya pada kejadian baik, ADP yang optimistic akan berpikir bahwa penyebab kejadian baik karena faktor internal dan anak didik pemasyarakatan yang pessimistic akan berpikir bahwa kejadian baik karena faktor eksternal. Contohnya saat ADP memeroleh pengurangan masa tahanan di hari raya, ADP yang optimistic akan berpikir bahwa dirinya memang berkelakuan baik selama berada dalam masa tahanan sehingga pantas memeroleh hal tersebut (PSG- Internal). Sedangkan ADP yang pessimitic akan berpikir bahwa pihak lapas kasihan dengan dirinya sehingga dirinya memeroleh hal tersebut (PSG-Eksternal). Explanatory style dalam penelitian ini ada 4 rentang yaitu, explanatory style yang optimis, explanatory style yang cenderung optimis, explanatory style yang cenderung pesimis, dan explanatory style yang pesimis. ADP yang memiliki explanatory style optimis akan menjelaskan kejadian baik maupun buruk dalam dimensi yang menggambarkan kriteria optimis. Kriteria optimis yaitu misalnya saat mengalami kejadian buruk, ADP akan menjelaskan kejadian sebagai akibat dari seseuatu hal yang bersifat sementara atau dapat diubah (temporary), hanya terjadi pada sebagian aspek atau hal tertentu dalam kehidupannya (spesific), dan terjadi akibat faktor lingkungan (external). Sedangkan pada kejadian baik dijelaskan dengan sebaliknya yaitu kejadian buruk diakibatkan oleh sesuatu yang bersifat selamanya (permanent), terjadi pada seluruh bagian hidupnya (universal), dan terjadi akibat faktor di dalam diri (internal).

15 ADP yang memiliki explanatory style yang cenderung optimis akan menjelaskan sebagian besar kejadian baik maupun buruk dalam dimensi yang menggambarkan kriteria optimis, namun ADP ini juga menjelaskan secara pesimis karena terdapat salah satu dimensi yang menggambarkan kriteria pesimis. Misalnya, saat ADP yang memiliki explanatory style cenderung optimis mengalami kejadian buruk seperti memeroleh nilai yang buruk dalam ujian bahasa inggris sekolah, ADP akan menjelaskan kejadian tersebut karena ADP sedang sakit ketika ujian dan kondisi tersebut masih dapat berubah (permenencetemporary), sehingga ada beberapa materi yang tidak dipahami yang belum sempat dipelajari (pervasiveness-spesific), ADP menganggap nilai buruk tersebut juga memang terjadi karena ADP kurang belajar dan berlatih sebelum ujian (personalization-internal). Jadi dari pengertian di atas, ADP yang cenderung optimis saat mengalami kejadian buruk menganggap hal itu terjadi karena dirinya, tetapi penyebab dari kejadian tersebut dapat diubah. Contoh di atas, dapat dilihat saat kejadian buruk dimensi personalization adalah internal. Pada kriteria optimis, saat kejadian buruk dimensi personalization dijelaskan secara external yaitu bahwa kejadian buruk itu akibat dari lingkungan bukan dari faktor dalam diri (internal) dan bila dijelaskan secara internal, itu artinya menggambarkan kriteria pesimis. Namun, walaupun salah satu dimensi pada personalization menggambarkan kriteria pesimis, ADP tetap dikatakan memiliki explanatory style yang cenderung optimis karena sebagian besar dimensi lainnya menggambarkan kriteria optimis.

16 ADP yang memiliki explanatory style yang cenderung pesimis akan menjelaskan sebagian besar kejadian baik maupun buruk dalam dimensi yang menggambarkan kriteria pesimis, namun ADP juga menjelaskan secara optimis karena terdapat salah satu dimensi yang menggambarkan kriteria optimis. Misalnya, saat ADP yang cenderung pesimis mengalami kejadian baik seperti, memeroleh pengurangan masa tahanan (remisi), akan menganggap bahwa penyebab hal tersebut karena hanya faktor keberuntungan dan kondisi tersebut masih dapat berubah (permanence-temporary), dan terjadi karena faktor lingkungan yaitu lapas memberikan remisi (personalization-external) namun ADP mengaggap dirinya pantas mendapatkan remisi karena dirinya telah berkelakuan baik selama berada di lapas (pervasiveness-universal). Dari contoh di atas, dapat dilihat saat kejadian baik dimensi pervasiveness adalah universal yaitu kejadian terjadi akibat dari seluruh aspek dalam hidupnya. Pada kriteria pesimis, saat kejadian baik dimensi pervasiveness dijelaskan secara spesific yaitu kejadian baik terjadi karena hal-hal tertentu dalam hidupnya bukan akibat dari seluruh aspek kehidupannya (universal) dan bila dijelaskan secara universal, artinya menggambarkan kriteria optimis. Namun, walaupun salah satu dimensi pada perrvasiveness menggambarkan kriteria optimis, ADP tetap dikatakan memiliki explanatory style yang cenderung pesimis karena sebagian besar dimensi lainnya menggambarkan kriteria pesimis. Rentang explanatory style yang terakhir adalah pesimis. ADP yang memiliki explanatory style pesimis akan menjelaskan kejadian baik maupun buruk dalam dimensi yang menggambarkan kriteria pesimis yaitu saat mengalami

17 kejadian buruk, ADP akan menganggap penyebab kejadian buruk itu tidak akan dapat diubah (permanent), terjadi pada seluruh aspek dalam hidupnya (universal), dan terjadi karena akibat dirinya sendiri (internal). Contoh, saat ADP tidak dijenguk oleh orangtua, ADP akan mengaggap bahwa orang tuanya tidak pernah peduli dengan keadaanya (permanence-permanent), tidak menyayanginya (pervasiveness-universal), dan menganggap bahwa kejadian tersebut karena dirinya adalah seorang narapidana (personalization-internal). Sedangkan pada kejadian baik dijelaskan dengan sebaliknya yaitu penyebab kejadian baik masih dapat berubah (temporary), terjadi pada hal tertentu dalam hidupnya (spesific), dan akibat dari faktor lingkungan (external). Contoh, saat ADP sering dijenguk oleh orangtuanya, ADP akan menganggap bahwa orangtuanya kebetulan sedang ada waktu untuk menjenguknya (permanencetemporary), dan sekedar ingin tahu kondisinya (pervasiveness-spesific), serta dijenguknya ADP oleh orangtuanya karena orangtuanya telah dihubungi oleh pihak lapas untuk menjenguk ADP (personalization-external) Explanatory style ini terbentuk oleh proses pembelajaran dari pengalaman yang terjadi di sepanjang rentang kehidupan. Seligman mengatakan terbentuknya explanatory style dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu mother s explanatory style, kritik dari orang dewasa baik itu guru maupun orang tua (adult critism), dan krisis yang dihadapi pada masa anak-anak(children s life crisis). Faktor yang pertama adalah mother s explanatory style. Faktor ini membahas bagaimana seorang ibu atau seseorang yang menjadi figur ibu dalam menjelaskan suatu peristiwa kepada anaknya akan diikuti oleh anaknya kelak.

18 Bila seorang ibu memandang peristiwa buruk itu sebagai suatu yang permanent, pervasiveness dan merupakan kesalahan internal, atau secara pesimis maka sang anak akan melakukan proses pembelajaran yang akhirnya membentuk belief pada anak. Belief atau keyakinan tersebut memengaruhi anak untuk memandang suatu peristiwa buruk seperti yang dilakukan oleh figur ibu. Cara bagaimana ibu menjelaskan peristiwa yang terjadi di dunia ini, peristiwa baik maupun buruk, saat anak masih berusia dini akan membekas dan membentuk sebuah keyakinan pada anak sehingga memengaruhi explanatory style anak kelak. Anak didik pemasyarakatan yang memiliki seorang figur yang dianggap ibu dengan karakter pessimistic expanatory style cenderung menjelaskan dan memandang kejadian buruk dengan cara pandang pessimistic juga yaitu sebagai suatu yang menetap (permanent) dan terjadi karena kesalahan diri sendiri (internal). Faktor kedua yang memengaruhi explanatory style adalah adult critism yaitu umpan balik orang yang dianggap sebagai figur dewasa oleh anak, seperti guru maupun orangtua. Saat seorang anak berada di suatu kelas dan melakukan kesalahan, seorang guru akan segera meresponnya. Seorang anak akan mendengarkan dengan seksama apa yang dibicarakan oleh gurunya bukan hanya isi namun bentuk penyampaian dan bagaimana menjelaskan yang terjadi. Perkataan yang dikatakan oleh guru dijadikan anak sebagai sebuah kritik. Kritik tersebut akan disimpan dalam kognisi anak dan berkembang menjadi sebuah belief. Belief ini akan memengaruhi cara pandang anak dalam menjelaskan suatu kejadian di dalam hidupnya (explanatory style). Bagi ADP, figur orang dewasa adalah pembina lapas atau orang-orang disekitar lapas seperti teman yang lebih

19 tua usianya atau penjaga lapas. Apabila ADP sering memeroleh dan mendengarkan umpan balik negatif secara terus menerus dari pembina lapas, contohnya saat ADP terlihat beberapa kali melakukan perkelahian dengan sesama ADP yang lain dan pembina lapas merespon hal tersebut dengan mengatakan kamu memang selalu membuat onar. Maka kata-kata tersebut akan selalu teringat dan tersimpan menjadi sebuah belief. Keyakinan dalam diri mereka bahwa mereka adalah pembuat onar akan memengaruhi terbentuknya explanatory style yang cenderung pesimis. Sebaliknya bila ADP yang sering memeroleh umpan balik positif yang dapat membangun diri, contohnya saat ADP tidak dijenguk keluarga, pembina lapas menenangkan dengan perkataan keluarga kamu itu sayang namun sedang sibuk sehingga tidak sempat menjenguk. Maka kata-kata tersebut akan selalu teringat dan tersimpan sehingga explanatory style yang cenderung terbentuk adalah optimis. Faktor yang ketiga adalah children s life crisis. Faktor ini menjelaskan mengenai seseorang yang mengalami trauma pada masa anak-anak. Trauma tersebut akan membekas dan bila trauma tidak diatasi akan berkembang menjadi sebuah cara pandang mengenai trauma. Cara pandang ini berkaitan dengan explanatory style pada seseorang, yaitu dari bagaimana menjelaskan penyebab trauma atau peristiwa kehilangan orang atau benda kesayangan tersebut. Bila saat masih kecil anak mengalami trauma dan menganggap penyebab trauma sebagai sesuatu yang menetap (permanence-permanent), terjadi secara menyeluruh aspek kehidupannya (pervasive-universal), dan terjadi akibat kesalahan diri sendiri

20 (personalization-internal) maka gaya penjelasan seperti itu dipelajari dan akan tertanam pada diri anak tersebut. Adapun bagan kerangka pemikirannya sebagai berikut :

21 Bagan 1.1 Kerangka Pikir Faktor-faktor yang memengaruhi : 1. Mother s Explanatory Style 2. Adult Cristism 3. Children Life Crisis Explanatory Style Optimis Belief remaja sebelum masuk LAPAS Remaja pria berusia 15-18 tahun yang berada di LAPAS sebagai Anak Didik Pemasyarakatan Belief remaja setelah masuk LAPAS Explanatory Style Dimensi explanatory style : 1. Permanence 2. Pervasiveness 3. Personalization Explanatory Style Cenderung Optimis Explanatory Style Cenderung Pesimis Explanatory Style Pesimis

22 1.6 Asumsi 1. Bagaimana para ADP menjelaskan situasi baik dan situasi buruk yang dialaminya akan mencerminkan optimis, cenderung optimis, cenderung pesimis, dan pesimis dalam dirinya saat menghadapi situasi-situasi dalam kehidupannya. 2. Para ADP yang optimis akan menjelaskan kejadian baik sebagai suatu yang permanen, universal dan berasal dari dirinya sendiri, sedangkan kejadian buruk sebagai suatu yang sementara, spesifik dan berasal dari luar diri. 3. Para ADP yang cenderung optimis akan menjelaskan sebagian besar kejadian baik maupun buruk dalam dimensi yang menggambarkan kriteria optimis, namun dijelaskan juga dalam kriteria pesimis karena terdapat salah satu dimensi yang menggambarkan pesimis. 4. Para ADP yang cenderung pesimis akan menjelaskan sebagian besar kejadian baik maupun buruk dalam dimensi yang menggambarkan kriteria pesimis, namun dijelaskan juga dalam kriteria optimis karena terdapat salah satu dimensi yang menggambarkan optimis. 5. Para ADP yang pesimis akan menjelaskan kejadian buruk sebagai suatu yang permanen, universal dan berasal dari dirinya sendiri, sedangkan kejadian baik sebagai suatu yang sementara, spesifik dan berasal dari luar diri.

23 6. Para ADP yang optimis, cenderung optimis, cenderung pesimis, dan pesimis akan dipengaruhi 3 faktor yaitu: mother s explanatory style, adult critism, dan children life crisis.