BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. manajer (agent) dengan pemilik perusahaan (principal) ( Jensen dan Meckling,

dokumen-dokumen yang mirip
Peran Praktek Corporate Governance Sebagai Moderating Variable dari Pengaruh Earnings Management Terhadap Nilai Perusahaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. merupakan sebuah kontrak, dimana pemilik perusahaan (principal) tidak mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. antara pihak agent dengan pihak principal. Jensen dan Meckling (1976)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh dari komponen corporate

PENDAHULUAN Laba merupakan komponen yang penting dalam sebuah laporan keuangan. Laba dapat digunakan sebagai evaluasi bagi pihak internal dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. memahami hubungan tata kelola dalam suatu organisasi atau perusahaan. Pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori keagenan adalah teori yang timbul dari adanya suatu hubungan

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan mekanisme yang di dalamnya terdiri dari berbagai partisipan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Perusahaan adalah sebuah unit kegiatan produksi yang mengolah sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. manajer dalam memilih kebijakan akuntansi yang mempengaruhi laba untuk

Bab 1 PENDAHULUAN. sebuah perusahaan. Manajer dapat dikatakan sebagai agent dan pemegang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pemisahan pengelolaan perusahaan. Pemilik (principal) melimpahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Principal (pemegang saham) dengan Agent (manajerial) dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Akhir-akhir ini laporan keuangan telah menjadi isu sentral, sebagai

BAB I PENDAHULUAN. return atas investasinya dengan benar. Corporate governance dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori agensi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (2013) tujuan laporan keuangan. pengambilan keputusan ekonomi. Laporan keuangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Perbankan adalah suatu industri yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda

I. PENDAHULUAN. menilai kinerja perusahaan dalam proses pengambilan keputusan. Laporan keuangan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. principal dengan agent yaitu wewenangan yang diberikan principal kepada agent

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. suatu perusahaan dengan pihak pihak yang berkepentingan dengan data atau

II. LANDASAN TEORI. Tujuan ini merupakan salah satu yang paling dikejar oleh perusahaan. Manajer dan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. menyatakan bahwa teori keagenen mendeskripsikan pemegang saham sebagai principal

BAB I PENDAHULUAN. pendanaan. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan di Indonesia dewasa ini mulai

RINGKASAN MATERI KULIAH EARNING MANAGEMENT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Komite Audit terhadap Manajemen Laba dan Good Corporate Governance

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen (agent) di bahas dalam Teori Agensi. Teori agensi

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Teori agensi berkaitan dengan hubungan antara manajemen perusahaan (agent)

BAB I PENDAHULUAN. manajemen (Schipper dan Vincent, 2003). Menurut Standar Akuntansi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian-penelitian terdahulu. Adapun penelitian terdahulu yang berhubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. manajemen dan menjamin akuntanbilitas manajemen terhadap stakeholder

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Landasan teori merupakan penjelasan mengenai definisi teori

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Laporan keuangan menjadi sarana bagi perusahaan untuk menyampaikan. informasi keuangan mengenai pertanggungjawaban pihak manajemen

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menyiapkan laporan keuangan untuk pihak pihak yang berkepentingan seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mengambil keputusan. Kewenangan ini akan membawa konsekuensi logis yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. antara manajemen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan informasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pembahasan yang dilakukan oleh peneliti merujuk penelitian-penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kreditor dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan investasi dana

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sedangkan laporan keuangan penting bagi para pihak eksternal

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori keagenan mengungkapkan hubungan antara pemilik (principal) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena teori ini merupakan teori yang menjelaskan praktik manajemen laba dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diambil dalam rangka proses penyusunan laporan keuangan akan. mempengaruhi penilaian kinerja perusahaan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan teori keagenan sebagai grand theory, serta

I. PENDAHULUAN. corporate governance. Bukti menunjukkan lemahnya praktik corporate

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Industri yang bergerak di bidang keuangan (sektor perbankan),

Bab 2 Telaah Pustaka dan Pengembangan Model

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dalam menjalankan usahanya perusahaan dihadapkan pada kebutuhan dana, baik untuk

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

SUATU TINJAUAN ASIMETRI INFORMASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP MANAJEMEN LABA. Oleh; Tri Handayani Amaliah Dosen Akuntansi FEB UNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Teori kontrakting atau bisa disebut juga teori keagenan (agency

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. antara pihak pemilik perusahaan dengan pihak manajemen. Menurut Jensen dan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori keagenan muncul ketika pemilik perusahaan (principal) tidak mampu

BAB 1 PENDAHULUAN. laporan laba rugi, menurut Financial Accounting Standard Board atau FASB

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori agensi menggambarkan hubungan kontrak kerjasama antara

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. digunakanuntukmemahamimanajemenlabadan

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Prespektif agency theory merupakan dasar yang digunakan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Laba merupakan sekumpulan angka yang berisi informasi, dimana laba juga merupakan bagian penting dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Laporan keuangan merupakan suatu gambaran mengenai kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dengan pengendalian oleh agent

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan didalam teori agensi bahwa

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori agensi menjelaskan tentang pemisahan kepentingan atau

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan suatu perusahaan didirikan adalah untuk meningkatkan nilai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal

BAB I PENDAHULUAN. adalah laporan keuangan. Laporan keuangan selain merupakan media

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Berikut akan dibahas mengenai teori keagenan, teori sinyal, manajemen

BAB II LANDASAN TEORI. Teori pensinyalan (signaling theory) mengasumsikan bahwa terdapat asimetri

BAB I PENDAHULUAN. eksternal untuk menilai kinerja perusahaan. Laporan keuangan harus

ISNI WIYATMI B

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II RERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. beberapa hal yang berkaitan dengan Komite Audit dalam perusahaan:

BAB I PENDAHULUAN. keuangan. Laporan keuangan merupakan media komunikasi bagi perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya dunia ekonomi ditandai dengan banyaknya alternatif perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. Laba merupakan salah satu informasi potensial yang terkandung di

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. penelitian ini sebagai berikut: Ulfah (2013) dan Sumomba (2012) melakukan

BAB II LANDASAN TEORI. Adanya praktik manajemen laba dapat dikaitkan dengan teori keagenan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep Good Corporate Governance (GCG) diperlukan untuk memastikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami isu corporate governanace dan earnings management. Adanya

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan publik atau perusahaan terbuka adalah perusahaan yang sebagian atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JURNAL PENDIDIKAN AKUNTANSI INDONESIA Vol. VIII. No. 1 Tahun 2010 Hal EARNINGS MANAGEMENT DALAM HUBUNGAN KEAGENAN. Oleh: Amanita Novi Yushita*)

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan(Agency Theory) Hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi antara manajer (agent) dengan pemilik perusahaan (principal) ( Jensen dan Meckling, 1976). Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen. Dengan adanya delegasi otoritas ini, para manajer memiliki insentif untuk membuat keputusan-keputusan strategik, taktikal dan operasional yang dapat menguntungkan mereka sendiri. Akibatnya, munculah konflik agensi (agency conflict) yang sulit diselaraskan. Teori keagenan menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi (Widyaningdyah, 2001). Di satu sisi, pemilik menginginkan manajer bekerja keras 10

untuk memaksimalkan utilitas pemilik. Namun di sisi lain, manajer juga cenderung berusaha keras memaksimumkan utilitasnya sendiri. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai principal, dan CEO sebagai agen mereka. Teori keagenan menyatakan bahwa praktik manajemen dipengaruhi oleh konflik kepentingan yang timbul ketika setiap pihak baik itu manajemen (agent) ataupun pemilik (principal) berusaha untuk mencapai dan mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas CEO sehari-hari untuk memastikan bahwa CEO bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham. Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent (Nasution dan Setiawan, 2007). Dengan lebih banyaknya informasi yang dimiliki oleh agen, menjadikan agen termotivasi menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk memenuhi kepentingannya secara sepihak, misalnya perekayasaan kinerja perusahaan oleh CEO lama untuk dapat memaksimumkan bonus pada periode akhir masa jabatannya atau perekayasaan kinerja oleh CEO baru untuk dapat mempertahankan posisinya. 2.1.2 Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory) Teori Akuntansi Positif dapat diartikan untuk menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan, dan untuk memprediksi kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh perusahaan dalam kondisi tertentu. Teori 11

akuntansi positif berargumentasi bahwa dalam pemilihan prosedur akuntansi yang digunakan oleh setiap perusahaan tidak harus sama, karena perusahaan diberi kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang ada untuk meminimalkan biaya kontrak dan memaksimalkan nilai perusahaan. Dengan adanya kebebasan tersebut membuat manajer cenderung melakukan suatu tindakan yang menurut teori ini disebut tindakan oportunis (Scott, 2000) Watts dan Zimmerman (1986) dalam Widyaningdyah (2001) menjelaskan teori akuntansi positif mengusulkan tiga hipotesis yang mendorong perusahaan untuk melakukan manajemen laba, yaitu: a) Hipotesis Program Bonus (The bonus plan hypothesis) Hipotesis ini menjelaskan bahwa perusahaan yang menggunakan bonus plan, agar dapat meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan akan cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi. Hal ini dilakukan untuk memaksimumkan bonus yang akan mereka peroleh, karena seringkali dalam mengukur keberhasilan kinerja didasarkan pada seberapa besar tingkat laba yang dihasilkan. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode tersebut. b) Hipotesis Perjanjian utang (The debt covenant hypothesis) Hipotesis ini berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahaan di dalam perjanjian utang. Sebagian perjanjian utang mempunyai syaratsyarat yang harus dipenuhi peminjam selama masa perjanjian. Dinyatakan pula perusahaan tersebut akan berusaha menghindari terjadinya (debt 12

covenant) dengan cara memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba apabila perusahaan mulai mendekati suatu pelanggaran terhadap (debt covenant). Pelanggaran terhadap (debt covenant) dapat menimbulkan suatu biaya serta dapat menghambat kinerja manajemen. Sehingga dengan meningkatkan laba perusahaan berusaha untuk mencegah atau setidaknya menunda hal tersebut. c) Hipotesis biaya politik (The political cost hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba. Biaya politis muncul karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis. 2.1.3 Manajemen Laba Manajemen laba merupakan masalah keagenan yang seringkali dipicu oleh adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan manajemen persahaan. Manajemen laba memberikan gambaran perilaku para manajer dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur data keuangan yang dilaporkan. Beneish (2001) menyatakan bahwa earnings management terjadi ketika manajemen menggunakan keputusan 13

tertentu dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi-transaksi yang mengubah laporan keuangan, hal ini bertujuan untuk menyesatkan para stakeholders tentang kondisi kinerja ekonomi perusahaan, serta untuk mempengaruhi penghasilan kontraktual yang mengendalikan angka akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri (Setiawati dan Naim, 2000). Manajemen laba dapat diartikan sebagai suatu proses pengambilan langkah yang disengaja dalam batas prinsip akuntansi yang berterima umum baik didalam maupun diluar batas General Accepted Accounting Principles (GAAP). Menurut Sugiri (1998) dalam Widyaningdyah (2001) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu: 1) Definisi sempit Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk bermain dengan komponen discretionary accrual dalam menentukan besarnya laba. 2) Definisi luas Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit usaha dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut. 14

Metode akrual diskresioner merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menilai tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan (Murhadi, 2009). Jumlah akrual diskresioner yang negatif menunjukkan bahwa perusahaan melakukan penurunan laba (income decreasing). Di sisi lain, jumlah positif dari akrual diskresioner menunjukkan peningkatan laba (income increasing). Scott (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa pola dalam manajemen laba,yaitu: a) Taking a Bath, pola ini terjadi pada saat pengangkatan CEO baru dengan cara melaporkan kerugian dalam jumlah besar yang diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang. b) Income Minimization, pola ini dilakukan pada saat perusahaan memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada masa mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. c) Income Maximization, tindakan ini bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. d) Income Smoothing, dilakukan perusahaan dengan tujuan dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar dengan cara meratakan laba yang dilaporkan karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. 15

Scott (2000) juga mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba,yaitu : a) Bonus Purpose, untuk dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan compensation plans perusahaan, manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk mengatur laba bersih tersebut. b) The debt covenant hypothesis, demi menjaga nama baik dan reputasi mereka, manajemen akan berusaha untuk meningkatkan laba agar tidak melangar perjanjian kredit yang telah dilakukan. c) Political Motivations, perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. d) Taxation Motivations, motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan. e) Pergantian CEO, CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. f) Initital Public Offering (IPO), perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. 16

2.1.4 Pergantian Chief Executive Officer (CEO) Chief Executive Officer (CEO) merupakan eksekutif yang berada di puncak perusahaan dan yang bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan perusahaan. Di Indonesia CEO lebih popular dengan istilah direktur. Secara umum direktur merupakan sebutan bagi pemimpin suatu perusahaan dalam Perseroan Terbatas (PT). Pengaturan terhadap direktur (CEO), terdapat dalam UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. UU No. 40 Tahun 2007 Bab VII mengatur fungsi, wewenang, dan tanggung jawab direksi. Tugas-tugas yang dimiliki Dewan Direktur yang terkandung dalam Bab VII, yaitu: 1) Memimpin perusahaan dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan perusahaan 2) Memilih, menetapkan, mengawasi tugas dari karyawan dan kepala bagian (manajer) 3) Menyetujui anggaran tahunan perusahaan 4) Menyampaikan laporan kepada pemegang saham atas kinerja perusahaan CEO akan berusaha mencapai laba yang ditargetkan apabila kinerjanya dinilai berdasarkan laba. CEO akan berhadapan dengan risiko penilaian buruk atas kinerjanya saat laba yang dicapai lebih rendah dari laba yang ditargetkan. Untuk mengatasi risiko ini, CEO akan berusaha memperoleh tambahan laba dengan cara mengubah metode akuntansi dan non-akuntansi. Pergantian CEO dilakukan bagi perusahaan yang sedang turun,strategi ini baik untuk menentukan masa depannya. Tetapi, perusahaan dapat dikatakan tidak stabil jika terlalu sering mengalami pergantian CEO tiap tahunnya. Pergantian CEO juga dapat terjadi karena masa waktu jabatan kerjanya sudah 17

habis dan karena masa non aktif atau pensiun, dapat dikatakan pergantian ini disebut normal (Adiasih dan Kusuma, 2011). Pergantian CEO ini dibagi menjadi dua yaitu ada pergantian CEO Rutin maupun Non-Rutin : 1) Pergantian CEO Rutin Pergantian CEO rutin didefinisikan sebagai proses yang terencana, dimana CEO yang akan berhenti dari jabatannya dan CEO baru yang akan menggantikan telah mengetahui hal tersebut (Wells, 2002). 2) Pergantian CEO Non Rutin Pergantian CEO nonrutin dideskripsikan sebagai tindakan yang relatif tidak direncanakan dan perusahaan memiliki waktu yang sedikit untuk memilih CEO pengganti yang cocok (Wells, 2002). pergantian CEO tersebut terjadi karena pengunduran diri secara sukarela (voluntary regisnation) ataupun pengunduran diri karena dipaksa (forced resignation). 2.1.5 Corporate Governance Corporate governance merupakan suatu tata kelola perusahaan yang didasarkan pada teori keagenan. Dengan adanya corporate governance diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberi keyakinan kepada para investor dan kreditur bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan di suatu perusahaan. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, pentingnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) masih menjadi fokus utama pengembangan iklim usaha di Indonesia. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2003) Corporate governance didefinisikan sebagai susunan aturan yang menentukan 18

hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan, dan stakeholder internal dan eksternal yang lain sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya. Di samping itu, Forum for Corporate Governance Indonesia juga menjelaskan, bahwa tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Corporate governance berkaitan dengan cara atau mekanisme untuk meyakinkan para pemilik modal dalam memperoleh return yang sesuai dengan investasi yang telah ditanam (Shleifer and Vishny, 1997). Manfaat yang diberikan dengan diterapkannya corporate governance diantaranya, yaitu: (1) mengontrol konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara principal dengan agen sehingga dapat meminimalkan agency cost; (2) Menciptakan sinyal positif kepada para penyedia modal sehingga meminimalkan cost of capital; (3) meningkatkan citra perusahaan; (4) meningkatkan nilai perusahaan yang dapat dilihat dari cost of capital yang rendah; dan (5) peningkatan kinerja keuangan dan persepsi stakeholder terhadap masa depan perusahaan yang lebih baik (Herawaty, 2008). Komite Nasional Kebijakan Governance mengeluarkan lima prinsip dasar Good Corporate Governance, yaitu: 1) Transparansi, yaitu informasi yang disediakan oleh perusahaan harus material dan relevan dalam artian mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil insentif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya. 19

2) Akuntabilitas, yaitu perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu, dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan. 3) Responsibilitas, yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundangundangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai good corporate citizen. 4) Independensi, yaitu perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan pihak lain tidak dapat mengintervensi. 5) Kewajaran dan Kesetaraan, yaitu perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. 2.1.6 Dewan Komisaris Dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan atas kebijakan perusahaan dan memberikan nasihat kepada Direksi. Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris yang terafiliasi dan komisaris yang tidak terafiliasi atau dikenal sebagai komisaris independen. Komisaris yang terafiliasi maksudnya adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta 20

dengan perusahaan itu sendiri. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Secara umum, dewan komisaris independen bertanggung jawab mengawasi kinerja manajemen perusahaan, dan terwujudnya akuntabilitas. Collier dan Gregory (1999) menyatakan bahwa semakin besar jumlah komisaris independen, semakin mudah untuk melakukan monitoring atas kegiatan perusahaan. Tugas dewan komisaris independen adalah mensupervisi dan memberi nasihat kepada dewan direksi, dan memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan tanggung jawab kepada para stakeholder. Dalam peraturan BAPEPAM-LK, secara rinci diatur kriteria komisaris independen, yaitu: a) Berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik b) Tidak mempunyai saham Emiten atau Perusahaan Publik baik langsung maupun tidak langsung c) Tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Komisaris, Direksi dan Pemegang saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik d) Tidak mempunyai hubungan usaha dengan Emiten atau Perusahaan Publik baik langsung maupun tidak langsung 21

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/ POJK. 04/ 2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik menyatakan bahwa jumlah komisaris independen wajib paling kurang 30% dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris. Semakin besar proporsi komisaris independen pada jumlah seluruh komisaris, maka semakin baik peran sebagai mekanisme kontrol atas tindakan direksi dapat dilakukan (Puteri, 2013). Wallace dan Peter dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki proporsi dewan komisaris independen, akan mengurangi tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba karena pengawasannya ditingkatkan. 2.1.7 Komite Audit Komite audit sesuai dengan Kep-643/BL/2012, didefinisikan sebagai komite yang dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada dewan komisaris dalam membantu melaksanakan tugas dan fungsi dewan komisaris. Komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen. Berdasarkan Keputusan ketua BAPEPAM dan LK Nomor Kep- 643/BL/2012 yang mengatur mengenai pembentukan dan pelaksanaan kerja komite audit mengharuskan komite audit paling kurang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota yang berasal dari komisaris independen dan pihak luar dari emiten atau perusahaan publik dan diketuai oleh seorang komisaris independen. 22

Komite audit memberi pendapat profesional kepada dewan komisaris untuk meningkatkan kualitas kerja dan mengurangi penyimpangan pengelolaan perusahaan. Dengan menjaga sistem pengawasan yang memadai, komite audit mempunyai peran penting dan strategis dalam memelihara kredibilitas penyusunan laporan keuangan. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, komite audit dapat mengadakan rapat sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat dewan komisaris yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Selain itu, kontrol terhadap perusahaan akan semakin baik dengan berjalannya fungsi komite audit secara efektif, sehingga diharapkan dapat mengurangi agency problems. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Dewan Komisaris Independen pada Manajemen Laba Komisaris independen dibutuhkan pada dewan komisaris untuk mengawasi dan mengontrol tindakan-tindakan direksi, sehubungan dengan perilaku oportunistik mereka (Jensen dan Meckling, 1976).Siagian dan Tresnaningsih (2011) menyatakan bahwa dewan komisaris yang independen dapat meningkatkan sistem pelaporan perusahaan dan kualitas pelaporan laba karena mereka tidak terkait pada potensi konflik kepentingan yang dapat mengurangi fungsi pengawasan yang mereka lakukan. Dewan komisaris yang independen dapat mengurangi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang mungkin dilakukan manajemen, karena pengawasan yang dilakukan oleh 23

anggota komisaris lebih baik dan bebas dari berbagai kepentingan intern dalam perusahaan (Chtourou et al., 2001). Penelitian yang dilakukan Rahmawati (2013) menunjukkan bahwa perusahaan dengan persentase dewan komisaris independen yang lebih tinggi akan mampu mengurangi praktek manajemen laba. Beasley (1996) menyatakan bahwa masuknya dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dapat meningkatkan efektivitas dewan tersebut dalam mengawasi manajemen untuk mencegah kecurangan laporan keuangan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Dewan komisaris independen berpengaruh negatif pada manajemen laba. 2.2.2 Pengaruh Aktivitas Dewan Komisaris pada Manajemen Laba Rapat dewan komisaris merupakan hal penting dalam menentukan efektivitas dewan komisaris dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian. Menurut Roma (2012), rapat dewan komisaris dapat digunakan sebagai media untuk mendapatkan semua informasi mengenai perkembangan perusahaan yang bisa digunakan untuk pengawasan internal selanjutnya. Suripto (2012) menyatakan bahwa ketekunan anggota dewan komisaris dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk melakukan pengawasan terhadap pelaporan keuangan dapat dilihat dari jumlah rapat yang lebih tinggi. Dewan yang jarang bertemu mungkin hanya memiliki waktu untuk menyetujui rencana manajemen dan mendengarkan presentasi sehingga waktu untuk fokus pada isuisu seperti manajemen laba akan terbatas (Xie et al., 2003). Hal ini menunjukkan 24

bahwa aktivitas dewan mempengaruhi kinerja, dan ini merupakan faktor penting untuk menghambat manajemen laba. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Aktivitas dewan komisaris berpengaruh negatif pada manajemen laba. 2.2.3 Pengaruh UkuranKomite Audit pada Manajemen Laba Dalton et al. (1999) dalam Rahmat et al. (2009) menemukan bahwa komite audit menjadi tidak efektif jika ukurannya terlalu kecil atau terlalu besar. Komite audit dengan jumlah anggota besar cenderung kehilangan fokus dan menjadi kurang partisipatif dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil. Di sisi lain, komite audit dengan jumlah anggota kecil kekurangan keterampilan dan pengetahuan yang beragam, sehingga menjadi tidak efektif. Ukuran komite audit yang tepat akan memungkinkan anggota untuk menggunakan pengalaman dan keahlian mereka bagi kepentingan terbaik stakeholder. Lin et al. (2006) membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif antara ukuran komite audit dengan manajemen laba (discretionary accrual). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa semakin besar ukuran komite audit maka kualitas pelaporan keuangan semakin terjamin. Sehingga besarnya ukuran komite audit dapat meminimalisasi terjadinya manajemen laba. Pierce dan Zahra (1992) dalam Rahmat et al. (2009) menunjukkan hubungan positif antara ukuran komite audit dan kinerja keuangan perusahaan. Bahwa efektivitas komite audit meningkat ketika ukuran komite bertambah, karena memiliki sumber daya lebih untuk ditujukan pada isu atau masalah yang dihadapi oleh perusahaan. Singkatnya, 25

dengan ukuran komite audit yang lebih besar maka pengawasan pelaporan keuangan menjadi lebih efektif. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 : Ukuran komite audit berpengaruh negatif pada manajemen laba. 2.2.4 Pengaruh Aktivitas Komite audit pada Manajemen Laba Efektivitas komite audit dalam mengawasi manajemen agar tidak berusaha mengoptimalkan kepentingannya sendiri dapat ditingkatkan dengan semakin tingginya jumlah pertemuan yang diadakan. Beasley et al. (2000) menemukan bahwa komite audit perusahaan yang melakukan kesalahan dalam pelaporan keuangan memiliki frekuensi pertemuan lebih sedikit daripada komite audit perusahaan yang tidak melakukan kesalahan dalam pelaporan keuangan. Xie et al. (2003) melaporkan bahwa jumlah pertemuan komite audit berhubungan negatif dengan tingkat manajemen laba. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa komite audit yang melakukan pertemuan secara teratur akan menjadi pengawas yang lebih baik dalam mengawasi proses pelaporan keuangan. Sharma et al. (2009) membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki komite audit dengan tingkat frekuensi pertemuan yang kecil akan cenderung menghasilkan laporan keuangan yang kurang berkualitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi jumlah pertemuan komite audit dapat meminimalisasi terjadinya manajemen laba. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4 : Aktivitas komite audit berpengaruh negatif pada manajemen laba 26