Sabda Pembuka Sesungguhnya segala puji adalah hak Allah Swt. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Karena hidayah-nya pula, Alhamdulillah, Amirul Ulum (mas Amir) dapat menyelesaikan novel yang saat ini berada ditangan pembaca sebagai bentuk ketulusannya berdakwah melalui niat yang besar sebagai seorang penulis. Semenjak proses penciptaan dimulai, cinta adalah common sense yang menjadi ruh sebuah mekanisme alam semesta dan kehidupan manusia. Dimana setiap jengkal peristiwa yang terjadi disekitar kita tak lepas dari rahmat Allah Swt. Karena cinta juga, novel ini terurai dan terajut menjadi sebuah kisah islami yang dapat memisahkan dan mencerahkan keyakinan dan aturan beragama yang ambigu. Sigit Sugiharto Bengkel Sabda Foundation
BAB I Pulang dari Pesantren Al-Huda Malam itu udaranya begitu dingin. Musim sudah memasuki kemarau, bulan Agustus tepatnya. Belum waktunya tengah malam, Angin Malam yang sepoi-sepoi sudah menari ke sana ke mari. Udaranya begitu dingin menyengat ke tulang Sumsum. Seperti di kota Sarang 1 ketika aku masih menjadi santri di sana. Kalau di siang hari panasnya bukan main dan kalau di malam hari dinginnya membuat tantangan bagi yang belum pernah merasakan. Bajuku yang di dalamnya dirangkapi dengan kaos Oblong saja masih terasa dingin. Malam itu kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu. Ada ummiku 2, abahku 3, adikku, Subba Ilaina Rahmah dan sikecil yang masih di pangkuan ummi, Ulya Nadhifah. Kami masih dalam situasi kangen. Sudah lama aku meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu. Diriku dilarang kembali ke kampung oleh abahku sampai aku menamatkan pesantren yang aku tempati. Untuk kebutuhanku sehari-hari, abahku mengirimkan 1 Salah satu kecamatan di kota Rembang Jateng. 2 Ummi adalah panggilan untuk ibu. 3 Abah adalah panggilan untuk bapak.
uang kepadaku. Kadang lewat rekening atau wesel. Kadang juga, beliau datang ke pesantren untuk mengantarkan uang itu sendiri sembari sowan 4 kepada kiaiku. Pertama kali aku nyantri adalah di pesantren Mbareng Kudus, ponpes Al-Hanafiyyah. Aku mengaji di pondok ini selama tiga tahun. Mulai umur dua belas tahun sampai lima belas tahun. Ketika aku berumur lima belas tahun abahku menyowankan diriku kepada Kiai Yahya supaya memberikan restu kepadaku, sebab diriku ingin dipindah ke Sarang, salah satu tempat di mana disemayamkannya ilmu. Sarang terkenal dengan kajian kitab salafnya. Bukan hanya di Indonesia bahkan sampai manca negara. Dengan penuh rasa gembira kiai Yahya memberiku restu dan mendoakan diriku supaya menjadi anak yang saleh serta mendapatkan ilmu yang manfaat. Bahagianya hatiku mendengar doa dari Kiai Yahya. Harapan dari seorang santri kepada kianya bukan semata-mata ilmu kiainya, namun restu yang diberikan kiai kepada santri itu juga nilainya sangat berharga bagi seorang santri. Di Sarang aku mondok di PP. Al-Huda. Pondok ini baru berdiri sekitar empat puluh tahun yang lalu. Pondok ini termasuk baru bila dibandingkan dengan yang lainnya. Seperti 4 Berkunjung atau Silaturrahim.
halnya PP. Sirojut Thalibin, Al-Amin, Al-Taqwa dan lain-lain dari ponpes di Sarang. Ponpes Al-Huda diasuh oleh Kiai Ahmad, putra Kiai Anwar. Meskipun sederhana, tetapi pondok ini sudah mengeluarkan alumnus yang tangguh dalam urusan syariat Islam. Seperti KH. Nasiruddin pengasuh PP. Daruttauhid Al-Hasaniyyah, KH. Imam Mahrus pengasuh PP. Lirboya, KH. Arwani Ma mun pengasuh PP. Quluubul Quran dan lain-lain yang tidak tidak bisa dihitung dengan jari sebab saking banyaknya dan tersebar di nusantara. Selama di pesantren ini, aku mengikuti terus pengajian Kiai Ahmad. Jikalau Kiai Ahmad mengaji 5, aku selalu berada di baris depan. Di samping aku menuntut ilmu kepada beliau, aku juga ikut belajar di lembaga Muhadloroh Al-Huda 6. Muhadloroh adalah salah satu cabang pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren Al-Huda. Ijazahnya sudah disetaran oleh pemerintah. Namun, meskipun ada ijazahnya aku selalu mengingat pesan abahku, Jangan ngaji karena 5 Mengaji adalah sebuah istilah belajar mengajar di pesantren dengan memakai pelajaran agama. 6 Muhadloroh adalah sejenis sekolah yang diselenggarakan di pondok pesantren.
kertas. Tetapi ngajilah karena Allah. 7 Oleh sebab itu, abahku menginginkan agar diriku tetap mengaji. Baik kepada Kiai Ahmad atau kepada ulama setempat. Dua belas tahun aku nyantri di PP. Al-Huda hingga tiba saatnya abahku memintakan restu kepada Kiai Ahmad supaya aku diberi izin untuk beristiqomah di rumah guna menularkan ilmu yang aku timba selama nyantri di Sarang. Sebelum aku meninggalkan PP. Al-Huda, Kiai Ahmad berpesan, Jika engkau meninggalkan pesantren ini, hendaknya jangan lupa ngaji, nguri-nguri 8 warisan ulama salaf. Ngaji adalah kunci hidupnya agama Islam. Kalau mengaji hilang, maka hancurlah agama Islam di Indonesia ini. Aku mencium tangan Kiai Ahmad dengan penuh ketawaduan supaya aku mendapatkan keberkahan dari ilmunya. Kiai Ahmad mengelus-elus pundakku dengan tangan kirinya sembari meneteskan air matanya, karena aku adalah salah satu santri yang beliau cintai. Beliau memejamkan matanya, lalu mengangakat tangannya guna mendoakan diriku. Aku ucapkan, Amiin dengan nada yang pelan yang keluar dari bibirku 7 Jangan belajar ilmu agama karena kertas (ijazah) akan tetapi balajarlah karena Allah. 8 Menjaga dan melestarikan
seraya menengadahkan tanganku sebagaimana adabnya orangorang yang berdoa. Semoga doa yang dibacakan oleh Kiai Ahmad dikabulkan oleh Allah. Selain aku yang mengamini doa ini, abahku juga ikut mengamini bersama orang-orang yang di waktu itu sedang sowan kepada Kiai Ahmad, jumlahnya sekitar sepuluh orang yang umurnya sekitar empat puluh tahunan.