BELASAN KEMENTERIAN TERINDIKASI RUGIKAN KEUANGAN NEGARA seknasfitra.org Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) i menilai banyaknya menteri yang maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) ii di tahun 2014, berpotensi merugikan keuangan negara karena disalahgunakan untuk kepentingan partai politik iii yang menaungi mereka. Seharusnya para menteri yang menjadi caleg harus mundur. Kalau tidak, pasti membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) iv. Memakai fasilitas dan uang negara untuk kepentingan pribadi dan partai politik bisa masuk kategori korupsi, ujar Koordinator Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi, dalam keterangan persnya, Jakarta, Kamis (2/5). Uchok Sky Khadafi mengatakan, para menteri ini akan sangat besar menggunakan fasilitas negara untuk melakukan kampanye politik. Sebab, ada dana operasional setiap menteri dari APBN. Dana ini harusnya digunakan untuk kegiatan kementerian, bukan untuk kepentingan partai politik. Menteri yang sudah menjadi caleg segera mengundurkan diri saja. Supaya fasilitas negara dan uang negara seperti uang operasional menteri yang setiap tahun diberikan negara menimal sebesar Rp1,2 miliar tidak dimanfaatkan dan salahgunakan untuk kepentingan pribadi dan partai mereka, tegas Uchok Sky Khadafi. Menurut Uchok Sky Khadafi, menteri yang menjadi caleg membuktikan bukan saja yang bersangkutan haus kekuasaan, tapi juga dibayang-bayangin oleh ketakutan mereka sendiri, takut berhadapan atau diperiksa aparat hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) v kalau tidak berada dalam kekuasaan lagi. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) vi sebanyak 15 kementerian terindikasi merugikan negara. Kementerian yang terindikasi gagal mengelola pos anggaran negara itu sebagian besar dipimpin menteri dari partai politik.
Kerugian negara kata Uchok Sky Khadafi, ditemukan dalam audit vii BPK tahun 2012 semester II. BPK mencatat kerugian negara sebesar Rp8,3 triliun lebih (Rp8.311.534.656.000,00) untuk 1.950 kasus. Yang dimaksud dengan kerugian negara ada dua kategori. Yang pertama adalah kementerian sudah memberikan laporan keuangan tetapi belum sesuai dan dalam proses tindak lanjut. Oleh karena laporan tidak sesuai standar auditor, maka uang negara belum dikembalikan ke kas negara. Yang kedua pemerintah sama sekali belum menindaklanjuti hasil temuan auditor negara tersebut, dan berarti pemerintah belum mengembalikan uang negara ke kas Negara, jelas Uchok Sky Khadafi. Adapun 15 kementerian yang berdasarkan hasil pemeriksaan BPK berpotensi merugikan keuangan negara adalah: 1. Kementerian Kehutanan, 278 kasus, kerugian negara sebesar Rp7,1 triliun dan 36.138.280,00 dollar AS; 2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 72 kasus, kerugian negara sebesar Rp379,1 miliar dan 28.035.280,00 dollar AS; 3. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), 76 kasus, kerugian negara sebesar Rp268,9 miliar; 4. Kementerian Pertanian, 127 kasus, kerugian negara sebesar Rp200,4 miliar; 5. Kementerian Komunikasi dan Informatika, 198 kasus, kerugian negara sebesar Rp174 miliar dan 13.720,00 dollar AS, serta 3.075.010,00 won Korea; 6. Kementerian Agama, 572 kasus, kerugian negara sebesar Rp79 miliar dan 149.510,00 dollar AS; 7. Kementerian Sosial, 84 kasus, kerugian negara sebesar Rp17,6 miliar; 8. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 115 kasus, kerugian negara sebesar Rp17 miliar dan 186.800,00 dollar AS; 9. Kementerian Perhubungan, 167 kasus, kerugian negara sebesar Rp11 miliar dan 145.130,00 dollar AS; 10. Kementerian Perumahaan Rakyat, 15 kasus, kerugian negara sebesar Rp7,9 miliar; 11. Kementerian Kelautan dan Perikanan, 138 kasus, kerugian sebesar Rp7,6 miliar; 12. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, 17 kasus, kerugian negara sebesar Rp5,7 miliar; 13. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 71 kasus, kerugian negara sebesar Rp2,4 miliar; 14. Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, 14 kasus, kerugian negara sebesar Rp888 juta;
15. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 6 kasus, kerugian negara sebesar Rp566 juta. Terhadap pemberitaan tersebut tersebut, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) langsung memberikan bantahan. "Anggaran Kemenko Kesra saja tidak sampai segitu," tangkis Menko Kesra HR. Agung Laksono, Kamis (2/5/2013). Menko Kesra menuturkan semua laporan keuangan Kemenko Kesra sudah beres. Sehingga tidak ada yang menggantung dan berpotensi merugikan keuangan negara. Sedangkan Plt. Sekretaris Menko Kesra, Prof. Dr. Agus Sartono kepada pers di Kemenko Kesra Jakarta, Kamis (2/5) juga membantah hal yang sama. "Berita itu tidak benar dan sangat tidak realistis karena anggaran Kemenko Kesra saja tidak sebesar itu. Audit BPK pun baru disampaikan pada 30 April 2013 lalu, belum ada hasilnya. Jadi bagaimana bisa dikatakan ada kerugian negara begitu banyak," kata Agus Sartono. Menurut Agus Sartono, bagaimana terjadi kerugian negara Rp268,9 miliar, sedangkan realisasi belanja Kemenko Kesra hanya Rp221,1 miliar. "Apakah seluruh realisasi belanja menjadi kerugian negara? Tentu tidak. Jelas pernyataan Fitra ini sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hasil dari audit BPK atas laporan keuangan Kemenko Kesra tahun 2012 belum terbit dan saat ini audit masih dilaksanakan, sehingga sumber data adanya 76 kasus kerugian negara tidak jelas," ungkap Agus Sartono. Agus Sartono menegaskan, Fitra seharusnya dapat mengoreksi data tersebut, karena akan menyesatkan apalagi jumlah angkanya bombastis. Meski demikian, pihaknya belum berencana melakukan somasi viii. Namun hal ini diharapkan segera diluruskan. "Kalau datanya tidak akurat seperti itu, tentunya akan menurunkan kredibilitas Fitra sendiri. Fitra diharapkan bisa segera mengoreksi," tegas Agus Sartono. Dikemukakan, dari anggaran tahun 2012 lalu yang sebesar Rp221,1 miliar, terbanyak dipakai untuk pembangunan gedung, di samping kegiatan rutin di masing-masing ke-deputian. "Kepada BPK pun sudah dijelaskan dan tidak ada masalah, jadi tinggal menunggu hasil akhir laporannya saja," kata Agus Sartono. Sumber: http://harian-pelita.pelitaonline.com, Kamis, 2 Mei 2013. http://rakyataceh.com, Jumat, 3 Mei 2013. http://www.jurnalinfo.com, Senin, 6 Mei 2013.
Catatan: Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK diberikan kewenangan melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jenis pemeriksaan yang dilaksanakan BPK meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dalam hal penyelesaian kerugian negara/daerah, berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 22 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta ketentuan Pasal 10 ayat (1), ayat (3) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK mempunyai kewenangan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, melakukan pemantauan atas penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain, pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada, bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK, dan pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap serta memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Pengertian kerugian negara/daerah menurut Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung kerugian keuangan negara. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian KPK berdasarkan 15 sampel putusan hakim atas kasus tindak pidana korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan penelitian KPK, terdapat lima konsep atau metode penghitungan kerugian keuangan negara yaitu: 1. Kerugian Keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian; 2. Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi; 3. Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu; 4. Penerimaan yang menjadi hak negara tapi tidak disetorkan ke kas negara;
5. Pengeluaran yang tidak sesuai dengan anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu. Pertanyaannya adalah apakah metode penghitungan kerugian keuangan negara dapat dibakukan atau distandardisasi? Sisi positif standardisasi adalah ada kepastian mengenai metode atau pola penghitungan yang bermutu, andal, dan dapat diterima dalam persidangan. Namun, terdapat sisi negatif apabila dilakukan standardisasi metode penghitungan kerugian negara yaitu: 1. Membatasi pemikiran yang kreatif, yang mungkin diperlukan dalam kasus yang rumit; 2. Menghilangkan fleksibilitas. Pertimbangan mengenai standardisasi metode penghitungan kerugian keuangan negara bergantung pada: 1. Bentuk-bentuk kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. 2. Apakah bentuk kerugian keuangan negara yang beraneka ragam itu memiliki kesamaan, sehingga pola-pola penghitungan dapat ditemukan? Atau justru sebaliknya dimana bentuk kerugian keuangan negara terlalu bervariasi. 3. Apakah ada tingkat kerumitan yang berbeda dalam merumuskan tindak pidana korupsi yang secara interaktif dan reiterative mempengaruhi penghitungan kerugian keuangan negara. i Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) adalah lembaga non-profit independen yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas anggaran dan mendorong proses anggaran berdasarkan prinsip good governance terutama transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan kesetaraan gender. ii Calon anggota legislatif (caleg) adalah anggota partai politik yang namanya telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan umum (pemilu) sebagai calon anggota legislatif untuk mengikuti pemilu legislatif di daerah pemilihan masing-masing. iii Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingankepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik. iv Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). v Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. vi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. vii Audit atau pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
viii Somasi adalah peringatan kepada pihak yang lalai melakukan kewajibannya. Bisa dilakukan melalui pengadilan negeri dimana orang yang lalai berdomisi, bisa melalui surat langsung atau bahkan langsung bicara pada pihak yang lalai.