BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pendahuluan ini dikemukakan beberapa poin di antaranya latar belakang

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGOPTIMALKAN LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSIF

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra

commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. emosional (Nurgiyantoro: 2007:2). Al-Ma ruf (2010:3) berpendapat bahwa,

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan permasalahan yang ada pada manusia dan lingkungannya, Sastra merupakan. lukisan ataupun karya lingkungan binaan/arsitektur.

KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya, dan terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca,

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. dilakukan sebelumnya, di antaranya Nilai-Nilai sosial Novel Miskin Kok Mau

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah alat yang digunakan sastrawan untuk mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia kaya dengan keberagaman, yang masing-masing

METODE PENGENALAN BAHASA UNTUK ANAK USIA DINI*

ANALISIS NILAI MORAL PADA NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARANNYA DI SMA

2015 PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN MELALUI MOD EL D ISCOVERY LEARNING BERBASIS NILAI - NILAI KARAKTER

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ini berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian siswa. Selama ini pembelajaran sastra di sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

Konsep Dasar Pendidikan Berkarakter

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan anak usia dini merupakan penjabaran dari sebuah pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. dipahami anak. Sastra anak secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan

BAB I PENDAHULUAN. pelukisan kehidupan dan pikiran imajinatif ke dalam bentuk dan struktur bahasa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

I. PENDAHULUAN. yang berlangsung sepanjang hari dari zaman ke zaman (Semi, 2002:1). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dipisahkan dengan proses pembelajaran. Di dalam proses pembelajaran, guru

Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dalam hubungannya dengan kehidupan, sastra adalah wujud tertulis yang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa.luxemburg dkk. (1989:23) mengatakan, Sastra dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA. Novi Trisna Anggrayni Program Studi Pendidikan Sekolah Dasar Universitas PGRI Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap, latar belakang dan

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan. terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan karakter merupakan suatu upaya penanaman nilai-nilai karakter

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran adalah sebuah proses, pada proses tersebut adanya perubahan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

BAB I PENDAHULUHAN. detail yang berbeda. Nilai berasal dari bahasa latin, dari kata value

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Karya sastra tidak mungkin tercipta jika para penulis tidak mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kemudian dalam

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

I. PENDAHULUAN. Manusia umumnya mempunyai bidang keahlian untuk menunjang kelangsungan

I. PENDAHULUAN. yang hidup di dalam masyarakat (Esten, 2013: 2). Sastra berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengubah perilaku

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cermin dari kehidupan masyarakat dalam satu

Pengertian Konsep. Suatu kata yang bernuansa abstrak dan dapat digunakan untuk mengelompokan ide, benda, atau peristiwa (Bruner, 1996)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra mempunyai dua manfaat atau fungsi sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari

INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR

PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN SEBAGAI PEMBENTUKKAN KARAKTER SISWA KELAS V SDN NGLETH 1 KOTA KEDIRI

MENDONGENG DI SEKOLAH Oleh: Eko Santosa

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan anak-anak supaya memiliki visi dan masa depan sangat penting

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indri Cahyani

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan menyimpan nilai-nilai pendidikan karakter yang begitu kaya. Begitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. refleksinya terhadap gejala-gejala sosial disekitarnya. Adanya imajinasi pada

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian pembahasan yang telah dipaparkan di atas,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Rohiman Lesmana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

BAB I PENDAHULUAN. Dengan potensi tersebut, seseorang akanmenjadi manfaat atau tidak untuk dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang. memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, ide-ide, nilai-nilai kejadian-kejadian yang membangun cerita,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran

I PENDAHULUAN. pendidikan. Bahkan sistem pendidikan di Indonesia saat ini juga telah banyak. mengubah pola pikir terutama dalam dunia pendidikan.

I. PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan yang terjadi pada bangsa kita saat ini sangatlah

I. PENDAHULUAN. yaitu: sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur utama tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

BAB IV ANALISIS KURIKULUM TAMAN KANAK-KANAK RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN PSIKIS ANAK DI TK AL HIDAYAH NGALIYAN SEMARANG

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian yang membahas mengenai nilai sosial dalam karya sastra sebelumnya dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi. Hal ini menunjukkan sastra sebagai sesuatu yang kompleks, yang tidak bisa didefinisikan, dari satu persepektif saja. Pendefinisian dari suatu perspektif akan menghilangkan perspektif lainnya. Penelitian tentang nilai sosial sebelumnya pernah dilakukan oleh Pujiati (2011), dengan judul Nilai-Nilai Sosial Novel Miskin Kok Mau Sekolah..?! Sekolah dari Hongkong...!!! Karya Wiwid Prasetyo dan Saran Penerapannya sebagai Bahan Pengajaran Sastra SMP. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pujiati, ditemukan nilai-nilai sosial yaitu, nilai material (makan, minum, mandi, dan tidur), nilai vital (kesempurnaan fisik dan pengetahuan yang cukup), dan nilai kerohanian (kaitannya dengan Tuhan). Sementara itu, penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini berjudul Nilai-nilai Budi Pekerti dalam Kumpulan Cerita Kisah Indah Budi Pekerti karya Yoanna F. Turkiyah. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menganalisis tentang nilai pendidikan karakter yang baik yang dimiliki oleh tokoh dalam cerita anak. Kebaikan yang dilakukan oleh tokoh dalam sebuah cerita, akan menjadi panutan bagi anak-anak yang membacanya. Sehingga, buku kumpulan cerita tersebut dapat dijadikan referensi bagi orang tua atau guru dalam mengajarkan pendidikan karakter bagi anak. 6

7 B. Nilai Sosial 1. Pengertian Nilai Sosial Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung. Bertens (2001: 141) menjelaskan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi manusia, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Singkatnya sesuatu yang baik. Nilai selalu mempunyai tiga ciri yaitu: (1) nilai berkaitan dengan subjek, kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai juga; (2) nilai ditampilkan dalam suatu konteks praktis, dimana ingin membuat sesuatu; (3) nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sebuah poin penting yang dimiliki oleh manusia. Sesuatu yang menjadi poin khusus yang dapat diminati oleh orang lain. Nilai-nilai sosial sikap dan perasaan yang diterima oleh masyarakat sebagai dasar untuk merumuskan apa yang benar dan penting. Merumuskan nilai sosial sebagai asumsi yang abstrak dan sering tidak didasari tentang apa yang benar dan apa yang penting. Disamping itu, nilai sosial dapat juga dirumuskan sebagai petunjuk atau tafsiran harga secara sosial terhadap objek, baik bersifat materil, maupun non materil. Dengan susunan ini nilai harga dari masing-masing yang diukur, ditempatkan dalam suasana struktur berdasarkan rangking yang ada dalam masyarakat tertentu, dan

8 sifatnya abstrak. Bila sikap dan perasaan tentang nilai sosial itu diikat bersama dalam satu sistem maka ia disebut sebagai sistem nilai sosial. Sementara itu, pengertian sosial berasal dari bahasa Latin yaitu socius yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan bersama (Salim, 2002). Sedangkan, menurut Sudarno (dalam Salim, 2002) menekankan pengertian sosial pada strukturnya, yaitu suatu tatanan dari hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang menempatkan pihak-pihak tertentu (individu, keluarga, kelompok, kelas) di dalam posisi-posisi sosial tertentu berdasarkan suatu sistem nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat pada waktu tertentu. Sehingga cakupan sosial menurut sudarno ada dua interaksi sosial dan hubungan sosial. Interaksi sosial didefinisikan sebagai interaksi lembaga sosial, individu, dalam tata hubungan yang dikendalikan oleh kepentingan tertentu. Jadi nilai sosial merupakan asumsi tentang baik buruk, benar dan pentingnya suatu petunjuk objek yang ada di dalam suatu tatanan masyarakat tertentu. Sehingga, anggota masyarakat dapat bersikap dengan sebaik-baiknya. Bersikap dan bertutur kata yang baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam suatu kondisi sosial tertentu dan dalam waktu tertentu. Nilai sosial ini sangat penting untuk diketahui oleh tiap individu. Hal itu dapat dijadikan patokan untuk bersikap dan mendapat penilaian dari orang lain. 2. Pendidikan Karakter Menurut Ervitaputri (2015: 125), menjelaskan karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan

9 perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Karakter terbangun berdasar penghayatan atas pengamalan nilai-nilai tertentu yang dinilai baik. Sebagai contoh, hubungan sopan santun interaksi antara anak dengan orang tua. Oleh karena itu, karakter yang baik bukanlah sesuatu yang instan. Hal tersebut perlu menjadi perhatian dari orang tua. Pendidikan karakter bersifat mendasar bagi pendidikan anak. Oleh karena itu, pendidikan karakter hendaknya diberikan sejak dini. Agar saat kelak dia dewasa, memiliki karakter yang baik. Karakter seorang anak tidak serta merta langsung terbentuk. Pembentukan karakter anak harus dibiasakan sejak fase usia dini. Peran serta keluarga dalam hal ini orang tua juga amat penting. Selain keluarga, lingkungan sekitar juga berpengaruh dalam membentuk karakter seorang anak. Lickona (dalam Ervitaputri, 2015: 126) mendefinisikan karakter yang baik sebagai kehidupan yang benar-benar menjalankan perilaku dalam hubungannya dengan orang lain dan hubungannya dengan diri sendiri. Lickona, Menjabarkan pendidikan karakter dalam tiga dimensi yang saling berkaitan. Dimensi pertama yaitu pengetahuan moral (moral knowing), Dimensi kedua yaitu perasaan moral (moral feeling), Dimensi ketiga yaitu tindakan moral (moral action). Bahwa manusia dalam pikiran dan pengetahuannya mempunyai kesadaran yang utuh tentang adanya norma atau nilai-nilai moral yang berlaku dalam lingkugannya. Lebih lanjut penulis memberikan pengulasan singkat tentang ketiga hal diatas sebagai berikut: a. Pengetahuan Moral (Moral Knowing) Moral knowing adalah norma pada ranah pemahaman dan pengetahuan seseorang yang berfungsi sebagai penyuplai data dan informasi bagi pikiran untuk mengambil keputusan. Norma ini antara lain dalam bentuk moral awerenes

10 (kesadaran moral), knowing moral values (memahami atau mengetahui nilai-nilai moral), perspektive taking (perspektif pengambilan keputusan), moral reasoning (penalaran moral), decision making (pengambilan keputusan), dan self knowledge (pengetahuan diri sendiri). Pada bagian ini, seseorang memiliki kesadaran dan pemahaman tentang norma atau nilai-nilai moral. Serta pemahaman pengambilan keputusan tentang nilai-nilai moral yang baik. Selain itu, pengetahuan tentang diri sendiri juga terdapat dalam bagian ini. Karena mengenali diri sendiri amat penting, sebelum seseorang melakukan atau memutuskan tindakannya. Hal itu akan menjadi perhatian dari orang lain. b. Perasaan Moral (Moral Feeling) Moral feeling adalah norma yang terbentuk sebagai kristalisasi dari proses pengalaman pada tahap moral knowing (kognisi) sehingga menubuh pada ranah afeksi yang membentuk dan membangun kepekaan dan kecerdasan emosional. Normanorma ini antara lain dalam bentuk conscience (hati nurani), self-esteem (harga diri), emphaty (empati), self-control (pengendalian diri), dan humility (rendah hati). Perasaan moral ini berkaitan dengan segala sesuatu yang melekat pada nurani seseorang. Isi hati, harga diri, pengendalian diri, serta rendah hati ini secara alamiah berkaitan dengan perasaan seseorang. Perasaan seseorang berkaitan dengan apa yang hendak dilakukan berdasarkan isi hati dan kondisi emosionalnya. c. Tindakan Moral (Moral Action) Cermin dari kedua karakter tersebut (moral knowing dan moral feeling) melahirkan keseluruhan perilaku, sikap dan tindakan yang selaras dengan norma atau

11 nilai-nilai moral. Lebih dari itu, nilai-nilai moral pada tahap ini selalu menjadi dasar dan rujukan dalam setiap pengambilan keputusan atau perbuatan. Sehingga secara utuh akan melahirkan apa yang kita kenal sebagai manusia dengan akhlak sempurna atau insan kamil. Dalam tindakan moral ini merupakan keseluruhan dari pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran tentang sebuah nilai moral yang kemudian dituangkan dalam sebuah tindakan yang dihasilkan oleh sebuah keputusan. Al Amin (2013: 49) menjelaskan bahwa perkembangan merupakan hal yang terjadi pada kehidupan manusia di dalam berbagai aspeknya untuk melengkapi kebutuhan manusia sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan agama untuk membentuk kepribadian manusia sempurna. Sehingga mampu menguasai perkembangan keilmuan teknologi dan sains dengan berpegang pada doktrin-doktrin agama sebagai etika dalam kehidupan sehari-hari. Namun, hal tersebut tidak akan terlepas dari peran keluarga sebagai institusi awal dalam membentuk karakter individu. Dengan demikian, pembentukan karakter seseorang untuk menjadi insal kamil tidak terlepas dari proses pendidikan. Hal tersebut senada dengan pendapat Fauzan (2015: 82), pendidikan karakter, budi pekerti, maupun pendidikan akhlak berarti proses atau upaya pembentukan nilai karakter atau akhlak pada diri peserta didik (dalam hal ini adalah anak). Keberadaannya bukan merupakan kognisi, pengetahuan yang diajarkan dan kemudian dihafal dan diamalkan. Bagi al-ghazali, akhlak itu lebih pada sebuah tindakan riil bahkan spontanitas tanpa dorongan dari pihak mana pun. Jika ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu, religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,

12 menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab yang tertanam kuat pada diri peserta didik (anak), maka butir-butir nilai tersebut tidak bersifat kognitif. Tetapi lebih pada upaya habituasi nilai dalam kehidupan keseharian peserta didik. Misalnya, penanaman nilai jujur seharusnya dilakukan melalui sebuah perilaku dengan indikasi-indikasi seperti, anak tidak pernah melakukan kecurangan, tidak pernah berbohong, dan tidak pernah mencontek. Dalam pendidikan karakter, peran serta orang tua, guru sebagai pendidik, dan lingkungan sangat penting. Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini. Sehingga, seorang anak akan dapat mengaplikasikannya dari kecil hingga dewasa. Adapun nilai agama juga memiliki peran yang tak kalah penting. Seorang anak yang selalu mengingat akan Tuhan, akan selalu dapat memilah antara perbuatan yang memiliki nilai budi pekerti atau tidak. C. Sastra dan Masyarakat Karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Sastra selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat. Kenyataannya, penulis karya sastra adalah pengarang sebagai individu yang hidup dalam masyarakat. Karya sastra hakikatnya adalah sebuah bentuk refleksi keadaan, nilai dan kehidupan masyarakat yang menghidupi penulisnya atau paling tidak, pernah mempengaruhi penulisnya. Di sini penulis sebagai anggota masyarakat memotret kehidupan masyarakat tersebut sesuai dengan pandangan dan ideologinya. Oleh karena itu, hubungan masyarakat dengan sastra salah satunya dimediasi oleh pengarangnya. Namun, mediasi ini sering kali bersifat

13 imajinasi dan pandangan dunia. Tetapi, hakikatnya tetap mempresentasikan kondisi masyarakat. Hal inilah yang menegaskan bahwa pengarang sebagai anggota masyarakat mempengaruhi bahkan menjadi faktor utama dalam dunia yang digambarkan dalam sastra (Kurniawan, 2012: 3-6). Sebagai tulisan, karya tidak dapat keluar dari situasi dan kondisi nyata produksinya. Karya sastra menjadi wacana yang tidak bertuan, tidak lagi mengacu pada intensi penulis sebagai produsennya, tidak diarahkan pada orang atau kelompok orang tertentu yang ada dalam situasi dan kondisi produksinya, dan tidak pula mengacu kepada kenyataan atau objek-objek yang ada di sekitar waktu produksi karya sastra tersebut. Sebagai tulisan, karya sastra menjadi sesuatu yang mengambang bebas, yang dapat terarah kepada siapa saja yang ada dalam berbagai kemungkinan ruang dan waktu. Kecenderungan yang demikian menjadi semakin kuat ketika sastra dipahami sebagai sebuah karya yang fiktif dan imajinatif. Sekaligus sebagai ekspresi subjektif individu. Menurut Kurniawan (2009: 21) sastra selalu menyampaikan nilai atau makna kepada pembaca. Konsep keindahan ini mengacu pada keindahan kehidupan yang dilukiskan dan digambarkan dalam karya sastra, dan keindahan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan kehidupan tersebut. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila pada zaman dahulu sastra merupakan media pembelajaran yang banyak disukai orang untuk menyampaikan nilai atau pesan moral kepada orang lain, karena dengan nilai estetika maka sastra diterima oleh segenap kalangan masyarakat. Sesungguhnya, yang disebut dengan nilai atau makna dalam sastra, hakikatnya adalah substansi yang dikemas dalam peristiwa-peristiwa yang digambarkan kehidupan pada

14 karya sastra. Dan media yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan dalam sastra adalah bahasa. Luxemburg (1992: 23) menyatakan, bahwa sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang sama dengan dirinya yaitu yang merupakan warga masyarakat tersebut. Biasanya karya sastra berisi tentang hal yang terjadi pada waktu tertentu dan tentang kejadian tertentu sesuai dengan tempat di mana pengarang berada dan diungkapkan sesuai dengan perasaan pengarang. Selaku penikmat karya sastra, masyarakat mempunyai penilaian sendiri terhadap sebuah karya sastra. Hal-hal utama yang mendapat perhatian di dalam sastra sebagai cermin masyarakat adalah: konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Sastra sebagai cermin masyarakat. Hal-hal yang harus diperhatikan meliputi; sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra ditulis, sejauh mana sifat pribadi pengarang memengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya, sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Konsep mengenai masyarakat saja telah berbeda antara pendekatan yang satu dengan pendekatan yang lain. Belum lagi mengenai konsep sastra itu sendiri. D. Sastra Anak Sastra merupakan salah satu media yang digunakan oleh orang tua maupun guru dalam menanamkan nilai-nilai moral ataupun sosial pada diri anak-anak. Karya

15 sastra juga merupakan bagian penting dari kehidupan anak. Melalui karya sastra, anak dapat mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Baik cerita tentang binatang ataupun cerita yang menggambarkan kehidupan seorang anak di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, tentu ada pesan-pesan dan nilai-nilai di dalamnya. Cerita anak yang berisi tentang kehidupan anak adalah salah satu sastra anak. Kurniawan (2009: 4-5), berpendapat bahwa sastra anak adalah sastra yang dari segi isi dan bahasa sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan emosional anak. Bahasa yang digunakan dalam sastra anak adalah bahasa yang mudah dipahami oleh anak, yaitu bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman anak. Pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai, moral, dan pendidikan yag disesuaikan pada tingkat perkembangan dan pemahaman anak. Dengan melihat konteks penulis dan pembacanya, sastra anak bukanlah sastra yang harus ditulis oleh anak dan diperuntukan oleh anak, karena: 1. Anak masih mempunyai tingkat keterbatasan kreativitas berhubungan dengan mencipta dan memahami kehidupan. Oleh karena itu, sastra anak terbuka untuk ditulis orang dewasa (siapapun), tetapi karya yang dihasilkan, untuk bisa disebut sastra anak, secara bahasa dan isi haruslah sesuai dengan tingkat pemahaman anak terhadap kehidupan. Dengan sastra anak pada aspek internal karyanya itu bersifat tertutup, yaitu harus disesuaikan dengan perkembangan intelektual dan emosional anak. Sehingga lebih mudah untuk dipahami oleh pembacanya. 2. Pada aspek pembaca, sastra anak boleh, bahkan mengharuskan untuk dibaca orang dewasa, khususnya para orangtua, guru, atau pemerhati anak. Dengan dibaca oleh orangtua dan orang yang berhubungan dengan anak, maka mereka bisa lebih memahami dunia anak dan bisa menyampaikan isi karya itu sebagai

16 bahan dongeng dan pengajaran. Akan tetapi, pada aspek eksternalnya, yang melibatkan penulis dan pembaca, sastra anak itu bersifat terbuka. Artinya, siapa saja boleh menulis dan membaca karya sastra anak, sehingga semakin banyak masyarakat berpartisipasi dalam mencipta dan membaca karya sastra anak, maka pemahaman masyarakat terhadap anak semakin baik. Tentunya, dengan apresiasi yang baik, maka masyarakat akan semakin bisa memahami dan meningkatkan kemampuan kognisi, emosi, dan psikomotor anak. Sastra anak adalah karya sastra yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan. Orang yang dapat dikategorikan sebagai anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai dengan sekitar 12 tahun. Jadi, akan yang dimaksudkan dalam sastra anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai sekitar 12 atau 13 tahun, atau anak yang sudah masuk dalam masa remaja awal. Siapa pun penulis buku bacaan pasti juga sadar kelompok usia mana, atau pada kelas-kelas sekolah berapa, buku yang ditulis itu dimaksudkan. Sehingga, kemajuan kecerdasan anak bisa terus ditingkatkan dengan meningkatkan mutu cerita dan pengajaran pada orangtua atau guru-guru yang akan mengajar anak siswa. Ada beberapa perbedaan sastra anak dan sastra dewasa antara lain: Pertama, keterbatasan isi dan bentuk. Perbedaan antara sastra anak dan sastra dewasa adalah terdapat dalam hal tingkatan pengalaman yang dikisahkan dan atau yang diperlukan untuk memahami, bukan pada hakikat kemanusiaan yang dikisahkan. Pada sastra anak diceritakan fantasi-fantasi seperti cerita binatang yang berbicara dan bertingkah laku seperti manusia, cerita dewa, sesuatu yang bagi orang dewasa tidak masuk akal. Sedangkan, sastra dewasa menceritakan cerita yang melibatkan pengalaman hidup yang kompleks, yang pengelompokannya cenderung berdasarkan pada ragam, bentuk, dan bahasanya.

17 Kedua, bahasa dan cara pengisahan. Pada sastra anak, bahasa yang digunakan berkarakteristik sederhana, sederhana dalam struktur, kosa kata dan ungkapan. Bahasa sastra anak masih lebih lugas, apa adanya, dan tidak berbelit. Alur cerita haruslah yang juga sederhana, mudah dipahami dan diimajinasikan, tidak berbelit dan tidak kompleks. Sementara sastra dewasa menggunakan kosakata dan kalimat yang kompleks. Nilai plus kehadiran sastra anak adalah kandungan nilai yang tersimpan di dalamnya. Sebuah karya yang menawarkan dua hal utama; kesenangan dan pemahaman. Karya sastra yang bagus, tentu memiliki fungsi tertentu, terutama pengembangan nilai. Dengan memberikan hiburan yang menyenangkan karena menampilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan. Fungsi psikologis yang paling bermakna bagi dunia anak ketika sastra itu menyuarakan nilai-nilai positif (Endraswara, 2008: 247). Sastra anak yang berisi tentang nilai-nilai kebaikan, serta nilai sosial yang mengajarkan anak tentang norma-norma akan menjadi sebuah pembelajaran yang dapat diterapkan pada seorang anak. Sastra anak yang ditujukan untuk anak-anak tentunya berbeda dengan sastra dewasa yang ceritanya lebih rumit dan banyak konflik. Pada sastra anak, cerita lebih memfokuskan tentang contoh-contoh kebaikan. Hal itu akan sangat membantu bagaimana seharusnya seorang anak bersikap di kehidupan sosial atau dalam masyarakat. Sehingga mental anak juga akan lebih tertata dengan baik.