Dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara terperinci mengenai tingkatan. memberikan hak yang istimewa kepada kreditur/ pedagang yang mendapati

dokumen-dokumen yang mirip
PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV. A. Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang. memberikan pelayanan terhadap konsumen yang merasa dirugikan, maka dalam

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN, PERBEDAAN, DAN AKIBAT HUKUM ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA DALAM MENGATUR OBJEK JAMINAN GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB IV PRAKTIK UTANG-PIUTANG DI ACARA REMUH DI DESA KOMBANGAN KEC. GEGER BANGKALAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENYELESAIAN PEMBIAYAAN MUD{A>RABAH PADA NASABAH YANG TELAH PAILIT DI PT. BNI SYARI AH CAPEM NGAGEL SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI HUTANG PUPUK DENGAN GABAH DI DESA PUCUK KECAMATAN DAWARBLANDONG KABUPATEN MOJOKERTO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PENGULANGAN PEKERJAAN BORONGAN PEMBUATAN TAS DI DESA KRIKILAN KECAMATAN DRIYOREJO KECAMATAN GRESIK

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HUTANG PIUTANG PETANI TAMBAK KEPADA TENGKULAK DI DUSUN PUTAT DESA WEDUNI KECAMATAN DEKET KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB IV. Sebagaimana deskripsi pada dua bab terdahulu dapat dipahami. bahwa dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia menjelaskan

BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT MUSLIM SIDOMOJO KRIAN SIDOARJO MENGENAI BUNGA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN EKONOMI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG DALAM BENTUK UANG DAN PUPUK DI DESA BRUMBUN KECAMATAN WUNGU KABUPATEN MADIUN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GANTI RUGI DALAM JUAL BELI ANAK BURUNG

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB IV ANALISIS PERSEPSI NASABAH RENTENIR TENTANG QARD} PADA PRAKTIK RENTENIR DI DESA BANDARAN KECAMATAN BANGKALAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN UPAH DENGAN KULIT HEWAN KURBAN DI DESA JREBENG KIDUL KECAMATAN WONOASIH KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK UTANG PIUTANG UNTUK TANAM JAGUNG DI DESA PURWTENGAH PAPAR KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. ingin tahu, Man is corious animal. Dengan keistimewaan ini, manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan, baik konvensional maupun syariah, berperan dalam segi. ekonomi dan keuangan. Sesuai dengan Undang-Undang Republik

BAB IV ANALISIS TERHADAP JUAL BELI IKAN BANDENG DENGAN PEMBERIAN JATUH TEMPO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

BAB IV ANALISIS TERHADAP RESCHEDULING TAGIHAN MURA>BAH{AH BERMASALAH PADA PT. BNI SYARIAH CABANG SURABAYA

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB IV ANALISIS LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UPAH SISTEM TANDON DI TOKO RANDU SURABAYA


BAB I PENDAHULUAN. Kontribusi wajib ini bersifat memaksa dan diatur dengan undang-undang.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ZAKAT PERDAGANGAN DENGAN MODAL HUTANG DI USAHA DAGANG LIMA LAPAN SAMPANG

BAB IV ANALISIS PENANGANAN PEMBIAYAAN MURABAHAH BERMASALAH DI BMT NU SEJAHTERA CABANG KENDAL

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBA<T} HUKUM FATWA MUI TENTANG JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH DI BMT MADANI TAMAN SEPANJANG SIDOARJO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG SISTEM IJO (NGIJO) DI DESA SEBAYI KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN

BAB IV ANALISIS SADD AH TERHADAP JUAL BELI KREDIT BAJU PADA PEDAGANG PERORANGAN DI DESA PATOMAN ROGOJAMPI BANYUWANGI

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 4 Tahun 2003 Tentang PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

BAB IV ANALISIS KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 9 TAHUN 2004 DALAM PANDANGAN FIQH SIYASAH

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Dari

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP PIHAK KETIGA 1 Oleh : Ardy Billy Lumowa 2

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN AKAD QARD\\} AL-H\}ASAN BI AN-NAZ AR DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG WARU SIDOARJO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PELAKSANAAN UTANG PIUTANG BENIH PADI DENGAN SISTEM BAYAR GABAH DI

BAB III PERBANDINGAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 DENGAN HUKUM RAHN TASJÎLÎ

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT MELALUI LAYANAN M-ZAKAT DI PKPU (POS KEADILAN PEDULI UMAT) SURABAYA

Pada bab ini, penulis akan mengulas secara terperinci praktik. pembayaran hutang dengan mempekerjakan sebagai pijakan dasar pengambilan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS FATWA DSN-MUI NOMOR 25/III/2002 TERHADAP PENETAPAN UJRAH DALAM AKAD RAHN DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG WARU SIDOARJO

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. 2

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

BINTANG ADITA PUTRI C

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

dengan amanat pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan tersebut menyatakan bahwa

KRITERIA MASLAHAT. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 Tentang KRITERIA MASLAHAT

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB I PENDAHULUAN. piutang dapat terjadi di dunia. Demikian juga dalam hal motivasi, tidak sedikit. piutang karena keterpaksaan dan himpitan hidup.

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HAK KHIYA>R PADA JUAL BELI PONSEL BERSEGEL DI COUNTER MASTER CELL DRIYOREJO GRESIK

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan.

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit

SISTEM JUAL-BELI KREDIT MOTOR DI UD SABAR MOTOR DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM SKRIPSI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. keluarganya, namun harta yang diperoleh itu juga mempunyai fungsi sosial 1. Di

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KONTRAK OPSI SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA SURABAYA

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEMBULATAN HARGA

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMEGANG HAK PREFEREN DALAM PROSES KEPAILITAN DI INDONESIA A. Analisis hukum Islam terhadap pemegang hak preferen dalam proses kepailitan di Indonesia. Dalam persoalan utang-piutang Islam tidak hanya mengatur dan menilai kondisi debitur saja, tetapi sekaligus juga mengatur dan menilai terhadap kreditur, sehingga terbangun cara pandang yang imbang dan adil terhadap kedua belah pihak. Dalam kondisi normal, utang hukumnya wajib untuk dibayar, namun dalam kondisi kesulitan, misalnya debitur mengalami pailit maka al-qur an secara bijak menawarkan solusi yang realistis dan manusiawi. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-baqarah ayat 280. : ت ة ف ن ة ة ن و ة ة ن ة ن ة ن ة ة ن ة ن ف ة ت ة ة صد ق ف ة ن و ة ة ن ة ن ة ة ة ة ف ة ة ة ة ة ة ة ن ة ة ذ ة ة ة ة ة ن Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. 1 Ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang kreditur yang mempunyai piutang kepada debitur seharusnya memberikan waktu terlebih dahulu kepada debitur hingga ia mempunyai kelapangan untuk melunasi utangnya. 1 Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur an, Al-Qur an dan Terjemahan (Bandung : CV Haekal Media Center, 2007), 67. 75

76 Dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara terperinci mengenai tingkatan tingkatan kreditur dalam perkara utang piutang. Namun hukum Islam memberikan hak yang istimewa kepada kreditur/ pedagang yang mendapati barangnya masih utuh pada seorang pembeli/ debitur yang pailit/bangkrut.. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw. : ة ة ص ى ة ة ن ة ة ن ف ة ة ة ة ة ن إ ةذ ة ق ة ةا ة ة ة ة ة ن ة ة ن ف ة ة ة ة ة ة ة ة ة ف ة و ة ةد ة ة ة ن ة ة ة ف ة ة و ة ة. ة ة ق Artinya : Abu Hurairah ra. berkata aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: "Jika seorang (pedagang) bangkrut, kemudian pemiilik modal mengetahui barangnya masih ada padanya, maka dia berhak atas barang tersebut." Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sekalipun barang-barang yang menjadi hutang orang pailit itu merupakan piutang salah seorang yang memberinya hutang, maka orang yang memberi piutang itu tidak boleh mengambil kembali barang-barang itu, seperti furnitur yang masih utuh di rumah orang yang jatuh pailit itu tidak boleh diambil oleh orang yang memberi hutang. Menurut jumhur ulama, apabila salah seorang yang memberinya hutang melihat barangnya masih utuh di rumah orang yang jatuh pailit itu, maka ia berhak mengambil kembali barang itu. Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan : ة ة ا ة ة ة ة ن ة ة ة ة ة ة ة ة ص ى ا ة ة ة ن ة ة ة ة ق ة ةا : ة ن ة ة ة ف ة ة و ة ن ة ة ةد ة ة ة ة ة ن ة د ة نف ة ة ة ة ة ق ة ة.

77 Artinya : Dari Hasan dari Samrah berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda, Barang siapa yang menemukan barangnya secara utuh di tangan orang pailit dengan penglihatannya, maka ia lebih berhak atas barang itu dari orang yang mempunyai piutang lainnya. (HR.al-Jama ah mayoritas pakar hadist dari Abi Hurairah dan Samurah ibn Jundab). Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dalam syarat-syarat pengambilan barang itu dari tangan orang yang jatuh pailit tersebut. Ulama Syafi iyah mengemukakan syarat-syarat pengambilan itu, adalah : 1. Utang itu telah jatuh tempo 2. Orang yang pailit itu enggan membayar hutangnya. 3. Barang yang menjadi hutang itu masih utuh di tangan orang pailit itu. Ulama Hanabilah mengemukakan syarat-syarat, yaitu : 1. Barang itu masih utuh di tangan orang yang jatuh pailit dan apabila telah berkurang atau rusak, tidak boleh diambil lagi. 2. Tidak terjadi penambahan pada barang itu, misalnya kambing yang dahulunya masih kecil dan sekarang sudah besar dan laik diperah susunya. 3. Pemilik piutang belum menerima harga barang itu sedikitpun. 4. Terhadap barang itu tidak tersangkut hak orang lain, umpamanya barang itu tidak dalam keadaan tergadai atau tidak dihibahkan pada orang lain. 5. Orang yang pailit dan orang yang memberi hutang itu masih hidup. Menurut ulama Malikiyah syarat pengambilan barang itu adalah: 1. Barang itu memang masih utuh, tanpa perubahan, penambahan, dan pengurangan. 2. Boleh diambil sebagai pembayar hutang

78 3. Para kreditur lainnya tidak membayar ganti rugi pada pemilik barang yang masih utuh itu, karena kalau para kreditur lainnya telah membayar ganti rugi kepada pemilik barang yang masih utuh di tangan orang pailit itu, maka pemilik barang itu tidak boleh mengambil kembali barang itu. Dalam hukum Islam sesuatu yang sifatnya penting dan mendesak harus di dahulukan dari pada yang mendesak akan tetapi tidak terlalu penting. Dalam hal ini kedudukan piutang gaji buruh/karyawan yang belum terbayarkan serta uang pesangon yang perusahaannya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga lebih penting dan mendesak dibandingkan dengan kepentingan negara yang diwakili oleh Kantor Pelayanan Pajak yang memiliki piutang pajak terhadap debitur pailit serta kreditur-kreditur yang lain. Undang-undang memberikan keduanya kedudukan sebagai kreditur preferen, karena pekerja hanya mengandalkan satusatunya sumber pendapatan dari gaji tersebut sedangkan negara masih memiliki sumber pendapatan yang lain selain dari pajak. Sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi : ة نا ة ن ف ة ف ة. نا ة ن ف ة ف ة ة ة نا ة ة ق نا ة ة ق ت ة ف ن ة د ن ة mendahulukan yang penting kemudian yang paling besar manfaatnya. Jadi ketika memberikan hak-hak yang tidak mungkin bisa dilakukan bersamaan, maka hendaknya mendahulukan yang lebih penting, jika sama-sama pentingnya maka didahulukan yang lebih banyak manfaatnya. 2 Para ahli ushul 2 Yusuf Qardhawi, Fiqh Awlawiyat, Dirasah jadidah fi Qur an wa sunnah, (Kairo:Maktabah Wahbah,tt), 19.

79 fiqh membagi kemaslahatan menjadi tiga tingkatan dengan urutan yaitu dharuriyat, hajiyyat, tahsiniyat. Menurut para ahli ushul fiqh dalam menangani suatu perkara harus mendahulukan dharuriyat atas hajiyyat, apalagi terhadap tahsiniat dan mendahulukan hajiyyat atas tahsiniat dan kamaliyyat. Dalam memberikan pertimbangan terhadap berbagai kepentingan tersebut, para ahli ushul fiqh menggunakan kaidah fiqh: 1. mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang kecil 2. mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual 3. mendahulukan kepentingan yang banyak daripada kepentingan yang sedikit. 3 Dalam hukum Islam juga dianjurkan untuk menjauhi hal-hal yang menimbulkan kemafsadatan. Dalam hal ini pekerja yang gaji/uang pesangonnya belum terbayarkan oleh perusahaan apabila tidak didahulukan (diprioritaskan) akan menimbulkan kemafsadatan antara lain terjadi permasalahan ekonomi keluarga pekerja tersebut. Sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi: ن ة ةف ة ند. ة ة ن ة ن ة ة ص ة ن ة ن ة meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan ة ةى ة ةد ة ن ة ةف ة ند ة ن ة ن ة ة ص ن ة. ة ن ة menghindarkan kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kebaikan. Apabila dalam suatu perkara terdapat dua mafsadat maka bahaya yang lebih besar harus didahulukan daripada bahaya yang lebih kecil. Dalam hal ini 3 Ibid, 20.

80 mengesampingkan hak pekerja lebih berbahaya daripada mengesampingkan hak Negara dan hak-hak kreditur yang lain. Sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi : ةض ة ت ة ف ة ة ة ة ذ ة ة ن ة ة ة ة ة ن ة ة ن ة نف ة ةدت ة ن ت ة ة ةا ة ة ة ف ة ة Jika terjadi pertentangan antara dua macam mafsadat, maka harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya dengan melakukan yang 4 ringan. Apabila dalam suatu perkara terdapat maslahat dan kerusakannya, ada bahaya dan manfaatnya, maka keduanya harus dipertimbangkan dengan benar, harus mengambil keputusan terhadap pertimbangan yang lebih berat dan lebih banyak, karena sesungguhnya yang lebih banyak itu mengandung hukum yang menyeluruh. Kalau misalnya dalam suatu perkara kerusakannya dirasakan lebih banyak dan lebih berat dibandingkan dengan manfaat yang terkandung di dalamnya, maka perkara seperti ini harus dicegah, karena kerusakan lebih banyak, maka harus mengabaikan sedikit manfaat yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat yang lebih besar, maka perkara itu boleh dilakukan, sedangkan kerusakan kecil yang ada padanya dapat diabaikan. Dalam hal ini kepentingan pekerja lebih memiliki manfaat yang besar daripada kepentingan negara dan kreditur-kreditur yang lain. Diantara kaidah fiqh tersebut dalam kaitannya dengan masalah ini adalah : 4 Wahbah Zuhaili, al-fiqh sl-islami wa Adillatuhu, Cet. III (Damaskus:Dar al-fikr, 2004), 73.

81 ة ةى ة ةد ة ن ة ةف ة ند ة ن ة ن ة ة ة ة. ة ن ة "menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan manfaat" Jadi dalam hukum Islam kerusakan yang lebih kecil, diampuni untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih besar. 5 Dalam hal ini apabila negara yang diwakili oleh Kantor Pelayanan Pajak serta kreditur yang lain tidak diprioritaskan pembayaran utangnya maka mereka masih mempunyai sumber pendapatan yang lain sehingga tidak mengancam keberlangsungan/eksistensi negara, berbeda halnya dengan pekerja/buruh apabila tidak didahulukan pembayaran uang gaji/pesangon mereka, maka akan menimbulkan masalah dalam keberlangsungan hidup mereka dan dampaknya lebih besar. Sehingga apabila uang gaji/pesangon didahulukan pembayarannya maka akan menimbulkan maslahat yang lebih besar. Dalam ketentuan Islam semua pihak berhak atas penerimaan pembayaran hutang atas sisa asset yang ada dari pihak yang terkena pailit, dimana prosesnya hakim akan melakukan penjualan atas asset-aset yang tersisa, dan hasil penjualan segera dibagikan kepada para kreditur, namun dalam hukum Islam tidak menyebutkan secara terinci, pihak-pihak mana saja yang harus dipenuhi kewajibannya. Hakim tidak boleh mengabaikan pembayaran kepada karyawan karena karyawan juga termasuk kategori penjual jasa kepada perusahaan. 5 Yusuf Qardhawi, Fiqh Awlawiyat, Dirasah jadidah fi Qur an wa sunnah, 21

82 B. Analisis Hukum positif terhadap pemegang hak preferen dalam proses kepailitan di Indonesia Menurut hukum positif berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kreditur dalam utang piutang digolongkan menjadi tiga tingkatan yaitu: 6 1. Kreditur Separatis yaitu kreditur pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. 2. Kreditur Preferen yaitu kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur Preferen terdiri dari Kreditur preferen khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan Kreditur Preferen Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata. 3. Kreditur Konkuren yaitu kreditur yang tidak termasuk dalam Kreditur Separatis dan Kreditur Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata). Perbedaan kreditur separatis dengan kreditur konkuren terletak dimana kreditur separatis memiliki hak untuk melakukan eksekusi objek jaminannya seolah-olah tanpa terjadinya kepailitan dan mendapatkan pembayaran piutang terlebih dahulu daripada kreditur konkuren. Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditur yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain yang kedudukannya lebih rendah, dan 6 Pasal 1131-1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

83 antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas pro rata (pari passu prorata parte). Harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional (prorata) antara mereka, kecuali jika antara para kreditur itu terdapat kreditur yang menurut Undang-undang harus didahulukan atau diberikan hak preferen dalam menerima pembayaran tagihannya. Berdasarkan pasal 1149 KUH Perdata yang diberikan hak preferen yaitu berupa hal-hal sebagai berikut : 7 1. Piutang-piutang yang diistimewakan pada umumnya; 2. Hak-hak istimewa yang mengenai benda-benda tertentu; 3. Hak-hak istimewa atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya. Secara yuridis pengertian preferen dirumuskan dalam pasal 1134 ayat (1) KUH Perdata, yaitu: 8 Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana olehundang-undang ditentukan sebaliknya. Pasal ini tidak memberikan ketegasan terhadap kedudukan mana yang lebih tinggi antara kreditur pemegang jaminan kebendaan (separatis) atau kreditur preferen. Karena di satu sisi pemegang gadai dan hipotik memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada kreditur preferen akan tetapi di sisi lain 7 Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 8 Pasal 1134 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

84 apabila Undang-undang menentukan sebaliknya yakni kedudukan kreditur preferen lebih tinggi daripada kreditur separatis. Dalam UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksud dengan kreditur adalah, kreditur separatis, kreditur preferen, kreditur konkuren. Dasar hukum perbendaan kedudukan kreditur dalam kepailitan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai berikut: 1. Pasal 1131 KUH Perdata: "Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan" 2. Pasal 1132 KUH Perdata: "Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersamasama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan". 3. Pasal 1134 KUH Perdata: "Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh Undang- Undang ditentukan sebaliknya".

85 4. Pasal 1135 KUH Perdata: "Di antara orang-orang berpiutang yang diistimewakan, tingkatannnya diatur menurut berbagai-bagai sifat hakhak istimewanya". 5. Dalam Pasal 1137 KUH Perdata, diketahui bahwa negara dan lain-lain badan hukum publik yang dibentuk oleh Pemerintah mempunyai hak preferensi dan berkedudukan sebagai kreditur preferen, yang mempunyai hak mendahulu atas kebendaan milik debitur yang dilelang di muka umum. Misalnya utang pajak yang belum dilunasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, yang bunyinya : (1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barangbarang milik Penanggung Pajak. (2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan. Bila dilihat secara sepintas, seolah-olah tidak ada perbedaan pemaknaan kreditur preferen terkait kepentingan pelunasan utang. Namun apabila dicermati lebih jauh, terutama dalam memaknai kedudukan negara sebagai kreditur preferen dalam tagihan pajak maka akan tampak perbedaan yang sangat mendasar. Karena di sisi lain upah buruh yang belum terbayarkan oleh perusahaan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga juga merupakan kreditur preferen yang dijamin oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tetang Ketenagakerjaan.

86 Posisi negara terkait utang pajak menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Kondisi ini menjadikan pembayaran kepada kreditur yang lain tentunya akan diselesaikan setelah utang pajak dilunasi terlebih dahulu. Jadi penekanan kreditur preferen dalam tagihan pajak lebih bermakna pada hak mendahulu dibanding kreditur lain. Sangat berbeda dengan pemaknaan kreditur preferen dalam kepailitan. Terlebih jika dilihat bahwa kedudukan kreditur preferen dalam kepailitan yang menempati peringkat berikutnya setelah kreditur Separatis. Akibatnya tentu saja adalah adanya pembagian hasil penjualan harta pailit yang akan dilakukan menurut urutan prioritasnya. Dengan demikian kreditur yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dibandingkan kreditur lain yang kedudukannya lebih rendah. Bahkan apabila diantara para kreditur tersebut memiliki tingkatan yang sama maka pembagiannya dapat mengunakan asas pro rata, yaitu pembagian hasil penjualan secara proporsional diantara mereka. Ini berarti walaupun penagihan pajak dan kepailitan menggunakan kreditur preferen dalam hal penyelesaian utang yang dimiliki oleh wajib pajak/penanggung pajak (debitur dalam hal kepailitan), akan tetapi secara eksplisit keduanya memiliki makna yang berbeda.

87 C. Persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif terhadap Pemegang hak preferen dalam kepailitan di Indonesia. Kepailitan dalam hukum Islam memiliki kesamaan dan perbedaan dengan hukum positif. Diantaranya mengenai tingkatan kreditur dalam perkara kepailitan yang menjadi prioritas untuk didahulukan pembayaran utangnya sehingga tingkatannya lebih tinggi dari kreditur-kreditur yang lain. 1. Persamaan hukum Islam dan hukum positif terhadap pemegang hak preferen dalam kepailitan di Indonesia. a. Hukum Islam dan hukum positif mengatur tentang perkara kepailitan dimana dalam hukum Islam kepailitan dikenal dengan istilah tafli@s. b. Menurut hukum Islam dan hukum positif, ada hak kreditur untuk didahulukan dalam pelunasan utang, hanya saja berbeda istilah. Dalam hukum islam hanya dijelaskan berupa hak pedagang (kreditur) untuk diprioritaskan sedangkan dalam hukum positif disebut dengan hak preferen. c. Hukum Islam dan hukum positif menyatakan bahwa kreditur pemegang jaminan kebendaan dalam perkara utang piutang harus didahulukan pembayaran utangnya dan berhak mengeksekusi barangnya.

88 2. Perbedaan hukum Islam dan hukum positif terhadap pemegang hak preferen dalam kepailitan di Indonesia. No. Hukum Islam Hukum Positif 1 Aturan tentang kepailitan terbatas pada perorangan atau pribadi berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw. yang mempailitkan Muadz bin Jabbal. Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak hanya mengatur kepailitan pada orang perorangan saja, tetapi juga mencakup badan hukum, seperti yayasan, perusahaan, atau lembaga. 2 Tidak disebutkan secara terperinci tingkatan-tingkatan kreditur dalam perkara utang piutang dan kepailitan. Tingkatan kreditur dibagi menjadi tiga, antara lain kreditur separatis (pemegang hak kebendaan), kreditur preferen (yang diistimewakan/ didahulukan), kreditur konkuren (yang kedudukannya sederajat dengan kreditur yang lain/ tidak diistimewakan atau dalam istilah disebut kreditur bersaing. 3 Tidak mengenal istilah hak preferen dalam perkara utang piutang/kepailitan melainkan hak pedagang/kreditur yang didahulukan kewenangannya yang mendapatkan Undang-undang memberikan hak preferen (istimewa) kepada kreditur preferen yaitu hak yang karena sifat piutangnya harus didahulukan pembayaran utangnya daripada

89 barangnya masih utuh pada pembeli kreditur lain. Akan tetapi dalam yang pailit untuk mengambil barang hukum positif hak preferen juga tersebut. Akan tetapi dalam hukum Islam lebih mendahulukan hal yang bersifat penting dan mendesak serta manfaatnya lebih besar daripada mendahulukan sesuatu yang mempunyai tingkatan lagi, yaitu hak preferen khusus dan hak preferen umum. Yang mana hak preferen khusus lebih didahulukan dari hak preferen umum. manfaatnya lebih kecil serta mafsadatnya lebih besar.