BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya udang merupakan salah satu komuditas perikanan dengan prospek pengembangan yang sangat baik. Budidaya ini pada tahun 2002 pernah menjadi komuditas unggulan non migas dengan tingkat ekspor mencapai 50% dari seluruh ekspor perikanan (Felix et al., 2011). Perkembangan budidaya udang di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1980 dengan komuditas utama udang windu (Penaeus monodon). Budidaya ini kemudian mengalami kemunduran produksi pada awal tahun 2000 akibat tingginya serangan penyakit. Hal tersebut kemudian mendorong pemerintah memperkenalkan komuditas alternatif unggulan salah satunya udang galah (Macrobrachium rosenbergii (de Man)) (Atmomarsono et al., 2010; Priyono et al., 2011). Udang galah merupakan salah satu udang air tawar asli Indonesia. Pengenalan komuditas ini untuk budidaya mulai dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001 sebagai komuditas alternatif unggulan. Udang galah sangat potensial dijadikan komuditas alternatif karena memiliki ukuran tubuh yang besar dibandingkan udang budidaya jenis lain dan memiliki nilai ekonomis tinggi di pasaran (Priyono et al., 2011 : Hadie dan Hadie, 2004). Sejak diperkenalkan kepada masyarakat, sentra budidaya udang galah di Indonesia mulai mengalami perkembangan dan perluasan area tambak yang cukup 1
2 pesat terutama di daerah Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat (Khairuman dan Amri 2004). Aktivitas pembudidayaan udang galah secara intensif dapat meningkatkan resiko serangan penyakit yang lebih tinggi terhadap komuditas tersebut. Hal ini telah terjadi pada budidaya udang windu yang saat ini mengalami berbagai kasus kematian akibat adanya serangan penyakit. Kematian yang tinggi pada budidaya udang sebagian besar disebabkan oleh infeksi bakteri khususnya bakteri Vibrio yang menyebabkan penyakit vibriosis (Atmomarsono et al., 2010 ; Evan, 2009). Vibriosis dapat menyerang hampir semua jenis hewan akuatik seperti kelompok crustaceae, moluska, ikan dan beberapa hewan budidaya lain. Beberapa spesies yang telah dilaporkan patogen terhadap hewan akuatik diantaranya Vibrio harveyi, V. alginolyticus, V. parahaemolyticus, V. vulnificus, dan V. cholera (Morris, 2003). Selain itu V. fischeri dan V. splendidus juga dilaporkan dapat menginfeksi hewan akuatik (Azizunnisa dan Sheeramulu, 2013). Atmomarsono et al. (2010) menyatakan salah satu jalur masuk patogen ke tambak adalah melalui benih/benur. Benih yang terinfeksi patogen menurut Patang (2012) akan menyebabkan peningkatan kejadian penyakit di tambak budidaya, sehingga kualitas benih/ benur yang digunakan harus sangat diperhatikan sebagai upaya peningkatan produksi. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, upaya pembenihan larva udang galah di Bali salah satunya dilakukan oleh UPT Pembenihan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali yang terletak di Pesinggahan Klungkung. Jumlah produksi benih udang siap tebar yang dihasilkan oleh UPT tersebut umumnya sangat fluktuatif. Hal tersebut dipengaruhi
3 oleh kondisi lingkungan dan mikrobiologis kolam khususnya adanya bakteri patogen penyebab penyakit. Vibriosis selain menginfeksi udang di tambak budidaya juga dapat menginfeksi larva udang di pembenihan. Infeksi pada tingkat benih tersebut sangat berbahaya sebab dapat menyebabkan tingkat kematian benih yang tinggi dan dapat menjadi sumber masuknya patogen ke dalam tambak (Patang, 2012). Penelitian oleh Evan (2009) pada larva udang galah strain Ogan menunjukkan infeksi V. harveyi dapat menurunkan tingkat kelangsungan hidup larva hingga 80%. Oanh et al. (2008) juga melaporkan infeksi Vibrio pada larva dan postlarva M. rosenbergii menyebabkan kematian yang signifikan selama 48 jam uji. Pengendalian infeksi bakteri khususnya vibriosis di bidang akuakultur umumnya melalui penggunaan antibiotik. Beberapa antibiotik yang dapat digunakan pada dosis tertentu di bidang akuakultur diantaranya dari golongan quinolones, flumequine dan flouroquinolone (Cabello, 2006). Meskipun demikian, penggunaan antibiotik memiliki dampak negatif yang serius terhadap lingkungan dan kesehatan. Residu antibiotik pada daging hewan akuatik yang dikonsumsi dapat memicu terjadinya magnifikasi yang berdampak negatif terhadap kesehatan. Selain itu residu antibiotik di lingkungan akan memicu terjadinya mekanisme resistensi terhadap antibiotik (Isnansetyo, 2009). Nonaka et al. (2003) melaporkan beberapa jenis Vibrio patogen pada ikan diketahui telah positif resisten terhadap antibiotik. Terdapatnya bakteri Vibrio yang resisten pada hewan budidaya akuakultur menurut Isnansetyo (2009) selanjutnya mendorong untuk pencarian metode alternatif dalam penanggulangan
4 infeksi oleh bakteri tersebut. Salah satu metode penanggulangan yang perlu dikembangkan adalah penggunaan agen biokontrol. Penggunaan agen biokontrol di bidang akuakultur saat ini dijadikan sebagai metode yang paling ramah lingkungan. Beberapa jenis bakteri telah dilaporkan memiliki potensi sebagai agen biokontrol terhadap Vibrio patogen diantaranya Carnobacterium sp. (Robertson et al., 2000), Pseudomonas sp. (Vijayan et al., 2006), Bacillus sp. (Isnansetyo, 2009) dan Streptomyces sp. (Dharmaraj, 2011). Streptomyces merupakan agen yang sangat potensial untuk dikembangkan karena dilaporkan memiliki kemampuan antagonis terhadap beberapa jenis Vibrio patogen (Selvakumar et al., 2010 ; Velmurugan et al., 2015). Populasi Streptomyces paling banyak ditemukan di tanah khususnya di daerah rhizosfer. Salah satu daerah rhizosfer yang potensial untuk eksplorasi Streptomyces penghasil metabolit adalah tanah rhizosfer mangrove. Streptomyces yang diisolasi dari tanah rhizosfer mangrove dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Gram negatif seperti V. parahaemolyticus, V. cholerae, V. mimicus, Aeromonas hydrophila, Shigella sp. dan Salmonella sp. (Mohana dan Radhakrishnan, 2014). Berdasarkan uraian tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan isolasi terhadap bakteri Vibrio penyebab vibriosis pada larva udang galah (M. rosenbergii (de Man)) serta mengisolasi bakteri Streptomyces yang dapat digunakan sebagai agen biokontrol terhadap penyakit vibriosis tersebut.
5 Pemanfaatan Streptomyces sebagai agen biokontrol diharapkan dapat menjadi upaya pengendalian alternatif penyakit vibriosis yang ramah lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bakteri Vibrio jenis apakah yang dapat menyebabkan infeksi vibriosis pada larva udang galah (M. rosenbergii (de Man))? 2. Apakah bakteri Streptomyces dapat diisolasi dari tanah rhizosfer mangrove? 3. Bagaimanakah kemampuan bakteri Streptomyces sp. dalam menghambat bakteri Vibrio patogen penyebab vibriosis secara in vitro? 4. Bagaimanakah kemampuan Streptomyces sp. dalam mengendalikan infeksi vibriosis pada larva udang galah (M. rosenbergii (de Man)) secara in vivo? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui jenis bakteri Vibrio yang dapat menyebabkan infeksi vibriosis pada larva udang galah (M. rosenbergii (de Man)). 2. Mengisolasi bakteri Streptomyces dari tanah rhizosfer mangrove. 3. Mengetahui kemampuan isolat Streptomyces sp. dalam menghambat bakteri Vibrio patogen penyebab vibriosis secara in vitro. 4. Mengetahui kemampuan isolat Streptomyces sp. dalam mengendalikan infeksi vibriosis pada larva udang galah (M. rosenbergii (de Man)) secara in vivo.
6 1.4 Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sumber informasi mengenai jenis bakteri Vibrio yang dapat menyebabkan vibriosis pada larva udang galah (M. rosenbergii (de Man)). 2. Hasil penelitian dapat dijadikan suatu alternatif baru dalam pengendalian serta pencegahan penyakit vibriosis pada upaya pembenihan larva udang galah (M. rosenbergii (de Man)).