PERKAWINAN SIRRI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF. Oleh : Bambang Ali Kusumo 1

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perempuan pastilah yang terbaik untuk mendampingi lelaki, sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berhubungan dengan manusia lain. Timbulnya hubungan ini didukung oleh

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

P U T U S A N. Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Munakahat ZULKIFLI, MA

IMPLIKASI PERKAWINAN YANG TIDAK DI DAFTARKAN DI KANTOR URUSAN AGAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun

KEWENANGAN AYAH BIOLOGIS SEBAGAI WALI NIKAH TERHADAP ANAK LUAR KAWIN (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Indonesia dengan Empat Madzhab Besar)

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PERKAWINAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN ANAK ADOPSI DI KUA KEC. PRAJURIT KULON KOTA MOJOKERTO

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JAMINAN HUTANG BERUPA AKTA KELAHIRAN ANAK DI DESA WARUREJO KECAMATAN BALEREJO KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

STATUS HUKUM PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN RELEVANSINYA DENGAN HUKUM ISLAM

PEMBATALAN PERKAWINAN DAN PENCEGAHANNYA Oleh: Faisal 1

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK HUTANG PIUTANG DALAM TRADISI DEKEKAN DI DESA DURUNGBEDUG KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR...TAHUN 2016 TENTANG HUKUM KELUARGA (FIQH MUNAKAHAT)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAGI PEGAWAI NEGERI PADA POLRI. sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan

Retna Gumanti 1 ABSTRAK. Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUUVII/2010, anak tidak sah, hubungan keperdataan.

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM*

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB TIGA PERKAHWINAN KERANA DIJODOHKAN MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA

BAB IV ANALISIS A. Konsep Poligami dalam ormas LDII

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN MUT AH DALAM PUTUSAN MA RI NO. REG. 441 K/ AG/ 1996

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

Transkripsi:

PERKAWINAN SIRRI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Oleh : Bambang Ali Kusumo 1 Abstract: Islamic law sees Sirri Marriage as something allowed to conduct; yet, it is highly recommended to record or to list it in an official marriage document. However, positive law sees it into two different point of views. Firstly, some experts consider sirri marriage as something legal to conduct. Secondly, some experts (and also law upholde opporatus) consider it as something prohibited. Following this idea, the goverment present a draf of marriage act to provide some punishments for people who conduct sirri marriage. Keywords: marriage, sirri marriage. A. PENDAHULUAN Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial, makhluk yang ingin berhubungan atau bekerjasama dengan manusia lain. Timbulnya perhubungan ini karena supaya kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Salah satu hubungan antara manusia ini adalah hubungan perkawinan. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat yang penting di dalam masyarakat. Akibat yang paling dekat adalah adanya ikatan yang dinamakan ikatan perkawinan. Sebelum adanya ikatan perkawinan mereka masing-masing hidup sendiri-sendiri secara bebas, tetapi setelah ada ikatan perkawinan mereka hidup bersama dan dengan hidup bersama itu timbul hak dan kewajiban tertentu antara satu dengan yang lain dan antara mereka bersama dengan masyarakat. Akibat yang lebih jauh adalah bila kemudian ada anak-anak keturunan mereka, maka mereka dengan anak-anak tersebut membentuk suatu keluarga tersendiri. Perkawinan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia, hal ini disebabkan dengan melakukan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Di samping itu dengan melaksanakan perkawinan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup 1 Dosen Fakultas Hukum 75

dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih. Dengan terjadinya perkawinan pula, maka akan timbullah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana yang damai. Selain yang diuraikan di atas ada satu unsur lagi akan arti pentingnya perkawinan bagi manusia, yakni dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat terbentuk satu rumah tangga dimana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana dengan damai, tentram dan bahagia serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami isteri. Dari apa yang diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa untuk membentuk keluarga atau rumah tangga langkah pertama harus melaksanakan perkawinan terlebih dahulu. Apabila seseorang yang hidup bersama atau berumah tangga tanpa ikatan perkawinan yang sah akan menimbulkan berbagai masalah baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat sekitarnya. Hal seperti ini banyak terjadi di negara-negara barat. Hidup berumah tangga tanpa adanya ikatan perkawinan, yang penting bagi mereka adanya rasa cinta. Hal ini sangat berbeda di negara kita, seseorang yang akan berkeluarga diharuskan untuk melaksanakan perkawinan terlebih dahulu. Untuk melaksanakan perkawinan harus dipenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. Adanya persyaratan ini untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga akan terwujud keluarga yang bahagia dan sejahtera. Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bila dilihat dari aspek hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Perjanjian yang dimaksud berbeda dengan perjanjian pada umumnya seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian tukar menukar dan lain-lain. Bila perjanjian pada umumnya para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian selama tidak bertentangan dengan kesusilaan, undang-undang dan ketertiban. Namun untuk perjanjian perkawinan isi perjanjian telah ditentukan di dalam undang-undang. Oleh sebab itu para pihak saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak masing-masing selama dan sesudah hidup bersama berlangsung, dan mengenai 76

kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Termasuk dalam hal ini menghentikan perkawinan, para pihak (suami dan isteri) tidak bebas penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penghentian tetapi terikat pada peraturan yang berlaku (Wirjono Prodjodikoro dalam Soemiyati, 1986: 10). Mengingat perjanjian perkawinan ini merupakan perjanjian yang luhur, maka perlu dibuat akta resmi bukan akta di bawah tangan. Tujuan dari akta resmi ini untuk memudahkan pembuktian perkawinan bila terjadi permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Perkawinan yang tidak dibuat akta resmi atau dibawah tangan disebut dengan perkawinan sirri atau pernikahan sirri. Pembahasan Perkawinan sirri semakin populer setelah pemerintah mengajukan usulan atau draf rancangan undang-undang perkawinan yang antara lain mengusulkan adanya sanksi pidana bagi seseorang yang melakukan perkawinan sirri dan orang yang menikahkannya. Apa sebenarnya perkawianan sirri itu?, bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum positif mengenai perkawinan sirri ini?. B. PERKAWINAN SIRRI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM Secara etimologis sirri berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan, tidak secara terang. Berbeda dengan jaher, artinya terbuka, tidak rahasia, secara terang. Dalam kaitannya dengan nikah atau perkawinan, pada umumnya masyarakat mengartikan nikah sirri atau perkawinan siri mempunyai tiga pengertian, yakni: 1. Pernikahan tanpa wali atau saksi. Pernikahan ini dilakukan secara sembunyisembunyi atau rahasia. Pernikahan semacam ini menurut hukum Islam tidak sah atau dilarang. Hal ini mendasarkan pada Hadits-hadits riwayat yang lima kecuali Imam Nasa i, hadits riwayat Ibnu Majah dan Addaruqutny. Hadits riwayat yang lima kecuali Imam Nasa i yang pertama menyatakan bahwa tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali, yang kedua menyatakan bahwa wanita manapun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil. Kemudian hadits riwayat Ibnu Majjah dan Ad Daruqutny yang menyatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Dari hadits-hadist di atas menunjukkan bahwa 77

perkawinan tanpa wali atau saksi hukumnya tidak sah. Di samping itu Umar bin Khotthob pada waktu menjadi kholifah dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya) (Ahmad Zain An Najah, 2010: 30). Dengan melihat hadits-hadits tersebut, maka disamping pernikahannya tidak sah, pelakunya telah melakukan maksiyat pada Alloh SWT. Di dalam syariat belum ditentukan bentuk dan kadarnya sanksi terhadap pernikahan tanpa wali ini. Mengingat hal yang demikian, maka sanksinya diserahkan pada hakim. Menurut Syamsudin Ramadhan An Nawawi kasus ini dimasukkan ke dalam bab ta zir (Syamsudin Ramadhan An Nawawi, tanpa tahun). Yang dimaksud hukum ta zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan hukumannya dalam Al Qur an dan Al Hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan, contoh yang lain misalnya berkelahi, mengejek, memalsukan berat timbangan dan lain-lain (Sudarsono, 1992:548). 2. Pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkan pada khalayak ramai. Pernikahan sirri bentuk yang kedua ini ada dua pendapat, yang satu menyatakan sah tetapi makruh dan yang lainnya menyatakan tidak sah. Pendapat yang pertama mendasarkan pada hadits riwayat Imam Addaruqutny dan Baihaqi menyatakan bahwa tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Pendapat yang kedua mendasarkan pada hadits riwayat An Nasa i dan Al Hakim yang menyatakan bahwa pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara dan hadits riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah yang menayatakan bahwa Rosululloh bersabda umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya. Dengan melihat dua pendapat tersebut menurut hemat penulis sebaiknya dalam melakukan pernikahan diberitahukan pada khalayak ramai atau minimal tetangga dekat diundang untuk menyaksikan terjadinya pernikahan, sehingga tidak menimbulkan fitnah. Kebiasaan yang ada di Indonesia disebut dengan resepsi atau walimahan. Menurut para ulama bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah mu akad (sangat diutamakan) 78

dan merupakan ibadah. Agar walimah mempunyai nilai ibadah perlu diperhatikan: penyelenggaraannya disesuaikan dengan kemampuan, dilaksanakan dengan ikhlas tidak ada motif komersiil, para tamu disambut dengan rasa hormat, tidak ada halangan diadakan selingan hiburan dengan catatan tidak menyimpang dari aturan agama, adat istiadat boleh dipakai sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama, tidak mencela hidangan yang disajikan dan lain-lain (Ahmad Azhar Basyir, 1987:46 47) 3. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qobul, namun pernikahan ini tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA). Bila dilihat dari aspek hukumnya, pernikahan ini termasuk pernikahan yang sah. Dikatakan demikian karena pernikahan itu memenuhi syarat dan rukunnya. Yang dimaksud syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam pernikahan atau perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri. Bila salah satu syarat-syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi, maka perkawinan itu tidak sah (Soemiyati, 1986:30). Syarat-syarat tersebut adalah (Ahmad Azhar Basyir, 1987: 27) a. Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya. Perempuan yang haram dinikah untuk selamanya dan haram untuk dinikah untuk sementara. Yang haram dinikah untuk selamanya adalah karena hubungan nasab (ibu, anak perempuan, saudara perempuan kandung, bibi, kemenakan perempuan), karena hubungan susuan (ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan, kemenakan perempuan susuan, saudara perempuan susuan), karena hubungan semenda (mertua, anak tiri, menantu, ibu tiri) dan karena sumpah li an. Kemudian yang haram dinikah untuk sementara adalah mengumpulkan dua perempuan bersaudara, perempuan dalam ikatan perkawinan dengan lakilaki lain, perempuan sedang dalam menjalani masa iddah, perempuan yang telah ditalak tiga kali, perkawinan orang yang sedang ihrom, kawin dengan pezina. Dari keterangan itu, maka yang halal dinikah adalah perempuanperempuan selain yang disebutkan di atas. 79

b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki. Adanya saksi ini menunjukkan bahwa pernikahan atau perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Adanya saksi juga merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi pernikahan atau perkawinan. Untuk menjadi saksi harus memenuhi syarat-syarat, yakni berakal sehat, baligh, beragama Islam, laki-laki dua orang atau satu laki-laki dua perempuan (mashab Hanafi), adil serta mendengar dan memahami sighat akad, c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Orang yang berhak bertindak menjadi wali adalah ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki; saudara laki-laki kandung atau seayah; kemenakan laki-laki kandung atau seayah; paman kandung atau seayah; saudara sepupu kandung atau seayah; sultan atau hakim dan wali muhakkam. Untuk menjadi wali harus memenuhi syarat, yakni beragama Islam, baligh, berakal sehat, laki-laki dan adil. Kemudian yang dimaksud rukun pernikahan atau perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dapat dilaksanakan. Rukun pernikahan adalah pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah (mempelai pria dan wanita), wali, saksi dan akad nikah. Berkaitan dengan pernikahan sirri ditinjau dari hukum Islam ini, sah tidaknya suatu pernikahan atau perkawinan tidak terletak pada dicatatkan atau tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan, tetapi yang membuat sah tidaknya suatu perkawinan terletak pada syarat-syarat dan rukunnya pernikahan atau perkawinan. Memang adanya pencatatan merupakan hal yang menguntungkan bagi para pihak, karena merupakan dokumen resmi dari negara yang dapat digunakan sebagai alat bukti bila terjadi perselisihan yang berkaitan dengan perkawinan atau sengketa yang lahir akibat perkawinan, misalnya waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah dan lain-lain. Perlu penulis sampaikan bahwa dokumen resmi yang berupa akta pernikahan yang dikeluarkan oleh negara bukanlah satu-satunya alat bukti, masih ada alat bukti lain yang bisa dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan. Alat bukti lain yang berupa kesaksian saksi, sumpah, pengakuan dan lain-lain dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan atau persengketaan dalam pernikahan. Mengingat hal tersebut, maka orang yang melakukan pernikahan sirri tetap 80

memiliki hubungan pewarisan yang sah dan hubungan lain yang lahir dari pernikahan sirri. Seharusnya pengadilan tidak boleh menolak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam pernikahan sirri atau akibat pernikahan sirri. Selanjutnya bila melihat sejarah pada masa kejayaan Islam, telah berkembang dengan baik sistem pencatatan, namun pernikahan atau perkawinan yang tidak dicatatkan pada negara tidak diancam sanksi dan kenyataannya kebanyakan masyarakat saat itu yang melakukan pernikahan atau perkawinan tidak dicatatkan. Para ulama atau penguasa pada waktu itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan adalah mubah, artinya boleh dilakukan pencatatan atau boleh tidak melakukan pencatatan. Di dalam Al Qur an Surat Al Baqoroh ayat 282 dinyatakan bahwa Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Alloh telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Alloh dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah mu amalahmu itu), kecuali jika mu amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Alloh; Alloh mengajarmu; dan Alloh maha mengetahui segala sesuatu (Muhammad Daud Ali, 1998: 138). Dari ayat ini menunjukkan bahwa dalam transaksi atau perjanjian sangat 81

dianjurkan untuk dilakukan secara tertulis (dibuat akta, penulis), apalagi pernikahan atau perkawinan merupakan perjanjian luhur yang mempunyai akibat-akibat hukum. Selanjutnya di dalam Hukum Islam, pelaksanaan pernikahan atau perkawinan sangat dianjurkan untuk disebarkan atau diumumkan melalui walimah (walimatul ursy), yakni dengan mengundang kerabat, tetangga, teman dan lain-lain untuk menyaksikan bahwa telah terjadi pernikahan atau perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang lakilaki. Banyak manfaat yang diperoleh sesorang dari walimatul ursy ini, antara lain: a. Untuk menghindari terjadinya fitnah di dalam masyarakat. b. Memberi kemudahan bagi masyarakat untuk persaksian bila terjadi sengketa atau perselisihan di antara kedua belah pihak (kedua mempelai). c. Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang itu berstatus sudah menikah atau belum menikah. Di masyarakat sering terjadi seseorang mengaku belum menikah (jejaka) atau perawan, namun ternyata telah memiliki suami atau isteri. Atau lebih jelasnya memudahkan terang status seseorang di dalam masyarakat. C. PERKAWINAN SIRRI DITINJAU DARI HUKUM POSITIF Bila dicermati perkawinan sirri yang dimaksud dalam hukum positif adalah perkawinan sirri bentuk yang ketiga, yakni pernikahan atau perkawinan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qobul, namun pernikahan ini tidak dicatatkan pada Kantor Urusan agama (KUA) atau dikatakan sebagai perkawinan di bawah tangan. Yang menjadi persoalan adalah sahkah perkawinan semacam ini?. Di dalam hukum positif (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Kemudian di dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut undang-undang yang berlaku. Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara eksplisit hanya dinyatakan seperti itu. Mengingat hal tersebut, maka dalam pemahaman perkawinan di bawah tangan termasuk perkawinan sah atau tidak sah ada dua pendapat yang saling 82

bertentangan. Yang berpendapat perkawinan di bawah tangan sah menyatakan bahwa di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai tujuan pencatatan ini tidak dijelaskan lebih lanjut, hanya di dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting lainnya di dalam kehidupan manusia, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan yang berupa akta resmi atau disebut akta autentik. Dengan memahami penjelasan umum dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut, maka pencatatan perkawinan atau pernikahan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan ataupun pihak lain yang terkait. Bila dikemudian hari terjadi sengketa atau perselisihan dalam perkawinan itu, maka akta resmi tersebut dapat dijadikan alat bukti yang cukup kuat. Dengan demikian pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan telah terjadi, ini semata-mata bersifat administratif (Soemiyati, 1986: 65). Yang berpendapat perkawinan di bawah tangan tidak sah menyatakan bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut undang-undang yang berlaku. Yang mencatat peristiwa perkawinan ini adalah pegawai pencatat, dalam hal ini pegawai pencatat nikah. Bila non Islam pegawai pencatat perkawinannya adalah pegawai catatan sipil. Adanya pencatatan ini diharapkan agar terjamin ketertiban dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah akan menimbulkan banyak masalah. Bila hal ini dihubungkan dengan Surat Al Baqoroh ayat 282, yang isinya menganjurkan kepada orang yang beriman apabila melakukan transaksi yang sifatnya tidak tunai untuk menuliskannya atau dibuat akta dan untuk transaksi yang sifatnya tunai boleh dibuat akta dan boleh tidak dibuat akta. Dari pernyataan ini menunjukkan bahwa adaya transaksi akan menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Bila transaksinya tunai maka hak dan kewajibannya telah dilaksanakan oleh para pihak, sedangkan bila transaksinya tidak tunai, maka hak dan kewajiban para pihak masih terus ada selama transaksi belum diselesaikan. Mengingat hal itu, maka untuk transaksi yang sifatnya tidak tunai sangat dianjurkan oleh syari at untuk dibuat akta. Bila ini dihubungkan dengan perbuatan melakukan perkawinan, maka pencatatan atau pembuatan akta perkawinan sangat dianjurkan. Dengan terlaksananya perkawinan, maka akan timbul hak dan 83

kewajiban di antara para pihak. Hak dan kewajiban yang dibebankan pada para pihak ini akan berlangsung terus selama masih ada ikatan perkawinan dan/atau putusnya perkawinan ( akibat yang muncul adanya perkawinan). Mengingat hal yang demikian, maka manfaat yang didapatkan adanya akta tersebut sangat besar dibanding dengan tidak dibuatnya akta. Fakta yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa bila perkawinan atau pernikahan tidak ada aktanya cenderung disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang hanya mengejar keuntungan pribadi, yang menjadi korban biasanya anak-anak dan isteri. Mengingat hal yang demikian itu, maka pemerintah melalui undang-undang dan peraturan pemerintah mengatur secara lengkap tentang tata cara melakukan perkawinan. Apabila aturan-aturan ini ditaati, maka para pihak akan mendapatkan perlindungan hukum. Bila terjadi perceraian dalam perkawinan sirri, pengadilan agama akan menolak untuk menyelesaikannya, karena tidak ada akta resminya. Dengan demikian akan sulit untuk mendapatkan perlindungan hukum tentang pembagian harta, pengasuhan anak dan mungkin pewarisan dan hal ini yang dirugikan adalah perempuan (isteri) dan anakanaknya. Adanya fenomena yang demikian, maka pemerintah melalui Kementrian Agama mengajukan rancangan undang-undang perkawinan yang mengkriminalisasikan nikah sirri atau perkawinan sirri, poligami dan kawin kontrak. Perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang ilegal. Pelaku nikah sirri atau perkawinan sirri akan dikenai sanksi pidana, baik pasangan nikah sirri maupun yang menikahkan. Rancangan undang-undang ini menimbulkan pro dan kontra. Yang pro adanya sanksi pidana diterapkan pada pernikahan sirri atau perkawinan sirri antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi Muhammad Mahfudh MD yang mengatakan bahwa ia setuju bila pelaku pernikahan sirri dipidanakan karena bisa membuat anak-anak terlantar dan isteri pertama tidak mau mengakuinya. Biasanya suami yang melakukan pernikahan sirri antara lain hanya untuk memuaskan hasrat seksuil. Beliau juga mengatakan bahwa pelarangan atas pernikahan sirri tidak melanggar ketentuan agama karena dalam Islam terdapat beragam penafsiran. Ia memilih tafsir yang menyepakati bahwa perkawinan sirri harus diatur dalam undang-undang (Muh. Mahfudh MD, 2010). Senada dengan pendapat di atas Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa juga menyetujui adanya sanksi pidana. Usaha yang demikian termasuk kriminalisasi. Menurut 84

Sudarto, kriminalisasi boleh dilakukan sepanjang memenuhi kriteria-kriteria tertentu (Sudarto, 1986: 36), antara lain: a. Perbuatan yang dikriminalisasi merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki. Perbuatan ini dapat diartikan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat. Perbuatan mentelantarkan anak dan isteri merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian, maka sepatutnyalah bila perbuatan itu oleh hukum pidana ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki. b. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip beaya dan hasil (cost and benefit principle) diharapkan seimbang. c. Harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan aparat penegak hukum. Mampukah aparat penegak hukum menangani tindak pidana perkawinan sirri ini. d. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kemudian yang kontra atau tidak setuju adanya kriminalisasi perkawinan sirri antara lain dari Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Ifdhal Kasim, ia mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya jangan mengatur terlalu dalam tentang formalitas perkawinan, negara harusnya hanya melegalkan perkawinan dengan melakukan pencatatan dan tidak terlalu mengatur tentang masalah formalitasnya. Di samping itu banyak juga ulama yang tidak menyetujui adanya sanksi pidana untuk perkawinan sirri. Bila hal ini dipaksakan, maka pelacuran akan bertambah subur. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan, mengapa orang melakukan perkawinan sirri atau tidak mencatatkan di Kantor Urusan Agama?. Banyak faktor yang menyebabkannya, antara lain beaya pencatatan yang mahal. Pada kasus ini pemerintah sebaiknya membantu dengan cara menurunkan beaya perkawinan atau bahkan pencatatan perkawinan tidak perlu membayar. Kemudian tempat kerja tidak memperbolehkan menikah selama bekerja. Pelarangan semacam ini sebenarnya tidak tepat dan justru melanggar hak asasi seseorang. Di samping itu juga faktor sosial, beristeri lebih dari satu termasuk aib. Namun bila isteri resmi satu dan yang tidak resmi banyak justru tidak apa-apa. Kondisi sosial yang 85

semacam ini perlu diluruskan dan dipahamkan agar tidak muncul persepsi bahwa isteri lebih dari satu itu mesti jelek dan beristeri hanya satu itu mesti baik. Dengan adanya uraian tersebut di atas menurut hemat kami bila pemerintah berkeinginan untuk mengkriminalisasikan perkawinan sirri harus mengkajii secara mendalam segi-segi manfaat dan madhorotnya terhadap masyarakat, bangsa dan negara. D. KESIMPULAN 1. Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang luhur yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya, karena dalam perjanjian ini tidak menentukan sendiri isi perjanjian tetapi isi perjanjian telah diatur dalam peraturan dan para pihak harus melaksanakan isi perjanjian tersebut. 2. Di dalam hukum Islam ada tiga macam perkawinan sirri, yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa wali dan saksi (ini perkawinan yang tidak sah), perkawinan yang dilakukan ada wali, ada saksi tetapi tidak diumumkan atau tidak diberitahukan pada masyarakat (sebagian besar ulama mengatakan perkawinan ini sah), perkawinan yang dilakukan ada wali, ada saksi, ada ijab qobul tetapi tidak dicatatkan di kantor pencatatan nikah (perkawinan ini sah). 3. Perkawinan sirri menurut Hukum positif ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa perkawinan sirri sah, dengan pertimbangan pencatatan perkawinan hanya merupakan persyaratan administratif, bukan menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa perkawinan sirri dilakukan tidak sah, karena tiap-tiap perkawinan dicatat menurut undangundang yang berlaku. 86

DAFTAR PUSTAKA Azhar Basyir, Ahmad. 1987. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII. An Najah, Ahmad Zain. 2010. Majalah ar Risalah (menata hati menyentuh rokhani). Surakarta: Ar Risalah. Daud Ali, Muhammad. 1998. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty. Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Al Qur an dan Terjemahannya. 1993. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Muh. Mahfudh MD. 16 Pebruari 2010. http://google.com/. Harifin Tumpa. 16 Pebruari 2010. http://google.com/. Ifdhal Kasim. 16 Pebruari 2010. http://google.com/. 87

88