PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan liarnya. Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 diantaranya tidak terdapat dibagian dunia yang lain), lebih dari 400 spesies Dipterocarpaceae (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar, terkaya di dunia untuk mamalia (515 spesies, 36% diantaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% diantaranya endemik), ketiga terkaya di dunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% diantaranya endemik) kelima untuk amphibi (270 species), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga. Menurut data stastistik hutan Indonesia meliputi kawasan seluas sekitar 120 juta hektar atau hampir 70 % dari luas daratan, sehingga menempatkan negara ini sebagai pemilik sumber daya hutan terbesar di Asia Tenggara, atau kedua terbesar di dunia setelah Brazil. Dalam kenyataannya distribusi hutan di Indonesia lebih luas berada di pulau-pulau besar di luar pulau Jawa, terutama Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luasan hutan yang berada di tiga pulau terbesar tersebut mencapai 82% dari total kawasan hutan Indonesia. Kondisi hutan ini sekaligus merefleksikan
peran penting di pulau-pulau tersebut bagi pembangunan ekonomi dan upaya mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan tipe hutan yang ada, hutan hujan tropis, terutama hutan Dipterocarpaceae dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan mempunyai nilai yang multifungsi, baik dari sisi ekonomi (sebagai penghasil kayu dan non kayu), ekologi (perlindungan, tata klimat, dan plasma nutfah), maupun sosial budaya (ditinjau dari keberadaan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang telah bergenerasi hidup di dan dari sumberdaya hutan) (walhi, 2007). Menurut Bratawinata (2001) dan Sutisna (2001), hutan dataran rendah di Sumatera, khususnya Sumatera Utara sangat didominansi oleh Suku Dipterocarpaceae (meranti), yang sekaligus merupakan jenis tanaman hutan yang spesifik untuk wilayah tersebut. Dominansi suku Dipterocarpaceae ini sangat memungkinkan karena iklim di wilayah Sumatera Utara, dengan suhu rataan antara 24-30 o C pada ketinggian 0-1000 mdpl (oleh Lampreecht disebut dengan iklim tropis panas selalu lembab), sangat cocok untuk tumbuh dan berkembangnya suku Dipterocarpaceae. Menurut Wyatts dan Smith (1963) dalam Bratawinata (2001) Hutan Dipterocarpaceae di Sumatera Utara didominansi oleh jenis Meranti Merah (Shorea laevis, S. leprosula), Kapur (Dryobalanops spp), dan Keruing (Dipterocarpus cornutus). Selain suku Dipterocarpaceae, di kawasan hutan Sub Pengunungan (1300-2000 mdpl) di Sumatera Utara dan Aceh juga terdapat tanaman spesifik yang tumbuh secara alami seperti jenis Pinus (Pinus merkusii). Di samping terdapat jenis pohon spesifik yang tumbuh secara alami, terdapat juga jenis pohon spesifik yang dikembangkan oleh masyarakat seperti jenis Kemenyan (Styrax benzoin) yang
banyak dikembangkan di daerah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Dairi. Menurut Suhardjito (2001), kemenyan telah diperdagangkan orang sekurangnkurangnya sejak sebelum abad ke 16. Sementara budidaya pengelolaan kebu-hutan kemenyan tercatat telah berkembang sejak abad ke-17. Luas hutan-kebun kemenyan di daerah Tapanuli Utara saja pada tahun 1994 hampir mencapai 20.000 hektar, pada saat ini di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara telah dikembangkan Gaharu (Aquilaria malaccensis) yang dinilai memiliki potensi yang besar dalam perkembangan ekonomi masyarakat. Jenis-jenis pohon spesifik tersebut, baik yang tumbuh secara alami maupun yang dikembangkan oleh masyarakat, mempunyai peranan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati, penyerap karbon, pengatur tata air, dan secara ekonomi memenuhi kebutuhan manusia akan hasil hutan. Peranannya dalam konservasi keanekaragaman hayati, pohon-pohon ini menjadi habitat penting terutama bagi satwa burung dan berbagai macam serangga. Pohon-pohon juga berfungsi dalam konservasi dan perlindungan tanah, yaitu mencegah erosi, pemecah angin, dan menjaga kesuburan tanah. Peranan pohon-pohon sebagai penyerap karbondiokasida merupakan fungsi yang sangat penting, dan menjadi perhatian dunia internasional dewasa ini. Penelitian menunjukkan bahwa pohon-pohon ini dapat menyimpan karbon dan menghilangkan karbondioksida di atmosfer dengan adanya pertumbuhan tegakan dan tumbuhan bawah. Secara ekonomi pohon-pohon yang dikembangkan masyarakat memberikan pendapatan dalam rumah tangga dengan hasilnya berupa obat-obatan, kayu pertukangan, dan bahkan memberikan penghasilan secara periodik misalnya dengan menjual kayu bakar (Wardani dkk, 2007).
Tumbuhan, khususnya pohon Gaharu (A.malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara, merupakan jenis tanaman hutan yang baru mulai dikembangkan di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara dan diharapkan dapat memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi untuk menunjang kebutuhan masyarakat. Meskipun belum banyak dikembangkan namun pengembangan Gaharu (A. malaccensis) yang potensinya baru saja digali ini diharapkan juga dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dalam upaya mengembangkan jenis tanaman ini untuk pengembangan yang meluas lagi di daerah Kabupaten Langkat tersebut. Perumusan Masalah Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa spesies gaharu komersial dari marga Aquilaria seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filaria dan lain-lain. Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan species-species gaharu menjadi langka. Sehingga pada tahun 1995 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah memasukkan A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik ke dalam daftar appendix II. Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun. Namun sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok. Karena kekhawatiran akan
punahnya species gaharu di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun. Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara baru saja dimulai pengembangannya dan belum banyak masyarakat yang menghetahui sejauh mana pengembangan Gaharu di daerah ini. Salah satu kendala dalam perencanaan dan pengembangan pengelolaan jenis tanaman Gaharu ini bagi masyarakat adalah terbatasnya ketersediaan informasi tentang potensi sumberdaya tanaman kehutanan tersebut, dimana ketersedian informasi ini akan sangat menunjang dalam kegiatan perencanaan dan pengembangan strategis pengelolaan tanaman Gaharu tersebut.dengan menggunakan informasi tersebut diharapkan pengelolaan tanaman Gaharu yang ada di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara akan memiliki keunggulan kompetitif untuk pencapaian tujuan pengelolaan dan pengembangan yang optimal dan berkelanjutan. Namun demikian, sampai saat ini data potensi tanaman kehutanan Gaharu yang ada di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara belum banyak diketahui dan belum dianggap sebagai salah satu sumberdaya yang mampu memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian tentang Potensi dan Pengembangan Hutan Spesifik Lokal Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan permasalahan tersebut timbul beberapa pertanyaan, yaitu: 1. Sejarah budidaya tanaman Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. 2. Berapa besar potensi dan produktivitas tanaman Gaharu (A.malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara.
3. Bagaimana pola pengelolaan dan pengembangan tanaman Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. 4. Berapa besar dampak pengelolaan dan pengembangan tanaman Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara terhadap perekonomian masyarakat. Tujuan dan Manfaat Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui Sejarah budidaya tanaman Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. 2. Mengetahui besarnya potensi dan produktivitas tanaman hutan Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. 3. Mengetahui pola pengelolaan dan pengembangan tanaman Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. 4. Mengetahui dampak pengelolaan dan pengembangan tanaman Gaharu (A. malaccensis) di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara terhadap perekonomian masyarakat. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah tersedianya informasi dan sebagai bahan masukan kepada Pemerintah Daerah dan stakeholders dalam pengembangan tanaman hutan dan lahan di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Langkat, yang berguna dalam mendukung kegiatan perencanaan dan pengembangan strategis pengelolaan tanaman hutan Spesifik Lokal Gaharu (A. malaccensis).