BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB III PENUTUP. tidak masuk akal atau tidak logika, sehingga tidak dapat. maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, ketentuan ini tercantum

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I. Dalam kehidupan bernegara yang semakin komplek baik mengenai. masalah ekonomi, budaya, politik, keamanan dan terlebih lagi masalah

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan hukum atau supremasi hukum, dimana hukum mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda atau disparitas

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Ciri dari

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berjalan, tolok ukurnya dapat dilihat dari kemandirian badan-badan peradilan dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling sulit diberantas. Realitas ini

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

Tinjauan tentang disparitas putusan hakim pada tindak pidana perkosaan (studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional tesebut tentunya diharapkan dapat menuju pada peningkatan kehidupan masyarakat. Perkembangan tersebut tentunya senantiasa akan disertai perubahan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada keseimbangan manusia dan lingkungan dalam segala aspek kehidupan. Salah satu perbuatan hukum yang sangat menonjol dan secara langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya kesejahteraan rakyat adalah tindak pidana korupsi. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya diantaranya merubah dan menyempurnakan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu pada awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian pada Tahun 1999 muncullah Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pada tahun yang sama muncul juga Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 1

2 Misi pemerintah Indonesia dalam hal ini sangat mulia sebagai amanat dari rakyat yang mempunyai tanggung jawab besar dalam pekerjaannya, terutama besarnya harapan masyarakat akan kesejahteraan serta terhindar dari ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Salah satu aparat hukum yang dapat melakukan supremasi hukum pada lembaga peradilan adalah hakim. Hakim sebagai penegak hukum mempunyai peran yang sangat penting pada lembaga peradilan untuk menangani, mengadili, dan memutuskan suatu perkara terhadap pemidanaan pada tindak pidana korupsi yang terjadi sehingga dapat terselesaikan. Seorang hakim harus profesional, menjunjung tinggi kebenaran, jujur, adil, dan bertanggung jawab dalam perilaku keteladanan. Hakim adalah faktor penentu kelancaran penyelesaian suatu perkara pidana yang pada khususnya adalah tindak pidana korupsi, karena hakimlah yang memimpin persidangan. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sikap Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi haruslah mendasarkan pada undang-undang karena sistem Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia. Keputusan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung ke pelaku maupun ke masyarakat secara luas. Proses penegakan hukum, khususnya yang terjadi di pengadilan kadangkala dianggap bersifat diskriminatif, inkonsisten, cenderung tidak obyektif, dan lebih mengedepankan kepentingan kelompok.

3 Bila bagi pelaku yang telah dipidana dan juga bagi masyarakat suatu keputusan hakim dianggap tidak tepat dan tidak adil, maka akan menimbulkan reaksi kontroversial dan akan melemahkan kepercayaan masyarakat, pelaku kejahatan dan juga korban terhadap lembaga pengadilan sebagai lembaga yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan. Pada kenyataannya dalam proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan, yakni pada putusan hakim yang berupa pemidanaan, sering kali terdapat perbedaan dalam putusan pidana yang dijatuhkan terhadap jenis tindak pidana yang serupa. Sebagaimana diketahui kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana ( judicial discretion in sentencing ) adalah berdasarkan pemikiran modern dan berdasarkan ilmu kriminologi yang dipengaruhi oleh ilmu psikologi dan ilmu sosial lainnya, yang menekankan bahwa dalam menjatuhkan pidana, hakim haruslah mempergunakan azas individualisasi, sesuai dengan tindak pidana dan pelakunya. Hal ini berarti harus membedakan terdakwa yang satu dengan yang lainnya, kemudian menentukan pidana yang paling tepat sesuai dengan data-data terdakwa tersebut 1. Secara yuridis disparitas pidana itu sah-sah saja dan tidak melanggar hukum. Penyebabnya tidak lain karena di dalam hukum pidana positif di Indonesia hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana yang akan dikehendaki dan yang paling tepat baginya, sehubungan dengan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana yang diatur dalam 1.Eddy Djunaedi Karnasudirja, Beberapa Pedoman Pemidanaan Dan Pengamatan Narapidana, Jakarta, 1983, hlm. 3-4.

4 undang-undang, disamping itu hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh perundang-undangan hanyalah maksimum dan minimumnya. Sesungguhnya terjadinya perbedaan dalam pemidanaan terhadap perkara pidana yang sama atau serupa tidaklah merupakan masalah apabila putusan itu berdasarkan pertimbangan yang masuk akal, namun apabila putusan itu berdasarkan pertimbangan yang tidak masuk akal maka akan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi oleh lembaga pengadilan. Dalam beberapa kasus yang terjadi, biasanya orang kaya dan yang memiliki pengaruh besar dilingkungan masyarakat bila menjadi terdakwa dalam suatu perkara pidana akan dipidana lebih ringan daripada orang miskin dan tidak memiliki pengaruh apapun. Menurut Cheang: yang dimaksud dengan disparitas pidana (disparity of sentencing) ialah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offences) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan (offences of comfortable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas 2. Menurut Jacson; selanjutnya tanpa menunjuk legal category, disparitas pidana dapat terjadi pada penghukuman terhadap mereka yang melakukan bersama suatu delik (codefendants) 3. Pemidanaan merupakan suatu proses, sebelum proses ini berjalan, peran hakim sangat penting sekali, hakim mengkonkritkan sanksi pidana yang 2 Muladi dan Barda NawawiArief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hlm. 52-53. 3 Ibid.

5 terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam hal ini kasus tindak pidana korupsi. Tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan 4. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana terhadap pelaku harus disertai pertimbangan-pertimbangan serta alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Segala keputusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pemberian pidana diharap dapat memberikan manfaat bagi semua orang yaitu pelaku, korban dan masyarakat sehingga dalam pemidanaan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan semua orang mendapat perlakuan yang sama dimuka hukum (equality before the law). Didalam praktek hukum banyak ditemui putusan hakim yang berbeda untuk perkara pidana yang sejenis. Perbedaan putusan pidana yang menyolok itu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertimbangan pribadi hakim, faktor diri pelaku dan faktor peraturan perundang-undangan. Faktor pribadi hakim dalam hal ini adalah kebijaksanaan dari hakim yang melihat aspek manfaat dari pidana yang akan dijatuhkan. Faktor diri sipelaku yang 4 Bahan Sosialisasi RUU tentang KUHP 2004.Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 23 Maret 2004, hlm. 23.

6 dipertimbangkan dalam hal ini antara lain catatan kriminal sipelaku, bila sipelaku telah mempunyai catatan pidana yang banyak biasanya hakim cenderung untuk memberikan hukuman yang lebih berat, demikian pula sebaliknya. Sedang dari faktor perundang-undangan adalah adanya ketentuan ancaman pidana di dalam KUHP yang hanya memuat ketentuan minimum dan maksimum dari pidana, sehingga hakim bebas menentukan jenis pidana diantara batasan minimum dan maksimum tersebut. Dalam pembedaan pemberian pemidanaan tersebut dikenal dengan istilah disparatis pidana. Pembedaan penjatuhan pidana tersebut dapat terjadi pada mereka yang melakukan tindak pidana yang sebanding. Untuk mengetahui hakim dalam menangani perkara pidana, khususnya tindak pidana korupsi, dan mengetahui apakah hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut rasional atau belum, maka perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana tersebut. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik mengadakan penelitian dan menuliskannya dalam karya ilmiah yang berjudul Disparitas Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri Sleman. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Sleman?

7 2. Apakah pembedaan putusan pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi tersebut dapat dibenarkan menurut hukum pidana? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk memperoleh data tentang penyebab terjadinya disparitas pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi. 2. Untuk memperoleh data apakah perbedaan putusan tersebut dapat dibenarkan menurut hukum pidana. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Dapat dimanfaatkan oleh penegak hukum, khususnya hakim agar tidak mengambil keputusan yang menimbulkan terjadinya disparitas pidana. 2. Manfaat ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pustaka hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana, yang membahas tentang disparitas pidana. 3. Manfaat sosial Penulis berharap hasil penulisan ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap hakim, supaya hakim dapat lebih hati-hati dan jeli dalam memeriksa suatu perkara pidana sehingga dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal serta berpedoman pasa asas

8 individualisasi pidana, maka hakim bisa memutuskan perkara pidana tesebut secara adil dan bijaksana, dan juga kepada masyarakat, supaya masyarakat lebih mengetahui apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana dan faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya disparitas pidana. E. Keaslian Penelitian Tulisan penulis dengan judul Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Pengadilan Negeri Sleman, merupakan karya tulis asli penulis bukan merupakan duplikasi. Letak kekhususan dalam penelitian ini adalah pembedaaan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sleman. Apabila nanti ada peneliti yang lebih dahulu telah meneliti, maka hasil penelitian ini adalah sebagai pelengkap dari penelitian yang sudah ada. F. Batasan Konsep Penelitian ini dalam kaitannya dengan objek yang diteliti tentang disparitas pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi, maka penulis membatasi beberapa pengertian antara lain: 1. Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. 2. Pemidanaan adalah pengenaan pidana kepada orang yang melakukan suatu tindak pidana.

9 3. Hakim adalah seorang Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh pengadilan untuk mengadili. 4. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana. 5. Tindak pidana adalah suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain atau tindakan yang melawan hukum 5. 6. Korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara... G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang berfokus pada norma hukum positif dan dilakukan dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 2. Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder/bahan hukum sebagai data utama, yang terdiri dari: a. Bahan Hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, putusan hakim: 1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 5 Bambang Poernomo, Asas-asas HukumPidana, Pradnya Paramita Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 89.

10 2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 4) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait dalam masalah tindak pidana korupsi. b. Bahan hukum sekunder meliputi literatur, hasil penelitian, makalahmakalah, dokumen-dokumen, artikel-artikel, berkas perkara serta pendapat hukum mengenai disparitas pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi. c. Bahan hukum tertier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dulakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi kepustakaan Dalam memperoleh data sekunder maka peneliti mempelajari bukubuku, literatur-literatur dan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi penelitian. b. Wawancara Pengumpulan data dilakukan secara langsung dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada nara sumber dengan terlebih dahulu

11 menyusun inti pokok pertanyaan, sehingga pertanyaan yang diajukan dapat terarah yang berguna untuk mengumpulkan bahan hukum. Wawancara dilakukan dengan Tanya jawab dengan nara sumber yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. 4. Narasumber Bapak Asep Koswara, S.H., Hakim di Pengadilan Negeri Sleman 5. Metode Analisis Data Metode Analisis Data yang dilakukan dalam menganalisis data sekunder sebagai data utama adalah dengan menggunakan analisa kualitatif dengan ukuran kualitatif 6. Metode analisis kualitatif adalah metode analisis data yang didasarkan pada pemahaman dan pengolahan data secara sistematis yang diperoleh melalui hasil wawancara dan penelitian studi kepustakaan dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan teori-teori berupa peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang relevan dengan penulis, kemudian ditarik kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian 7. Dalam menarik kesimpulan digunakan penalaran secara deduksi, bertolak dari data-data dan fakta yang diperoleh secara umum yang kebenarannya telah diketahui, dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus guna menjawab tentang disparitas pemidanaan tindak pidana korupsi menurut hukum. 6 Santana, K. Septiawan, Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 27-28. 7 Lexi J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Rosdakarya, 2000, hlm 197.

12 H. Sistematika Penulisan Penulisan hukum ini disusun secara sistematis dalam bab per bab yang saling berhubungan dan menghasilkan keterangan yang jelas dan sistematis sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi uraian Latar Belakang Masalah; Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Keaslian Penelitian; Batasan Konsep serta Sistematika Penulisan. BAB II DISPARITAS PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Bab ini berisi uraian tentang pidana, tindak pidana, tindak pidana korupsi, pemidanaan, disparitas pidana serta penyajian kasus dan analisis berdasarkan permasalahan. BAB III PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran.