5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Teori Belajar dan Belajar Matematika Belajar menurut Gagne dalam Agus Suprijono (2013: 2), adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Harold Spears dalam Agus Suprijono (2013: 2) mendefinisikan bahwa belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu. Sedangkan Geoch yang dikutip oleh Agus Suprijono menyatakan bahwa belajar adalah perubahan performance sebagai hasil latihan. Oemar Hamalik (2009: 28) berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Sedangkan Ngalim Purwanto (2002: 85) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku di mana perubahan tersebut dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, namun tidak tertutup kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk melalui latihan atau pengalaman. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa belajar adalah perubahan kemampuan yang dicapai seseorang dengan interaksi dengan lingkungan melalui mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu. John W. Santrock (2009: 301) menyatakan bahwa pembelajaran (learning) didefinisikan sebagai pengaruh yang relatif permanen atas perilaku, pengetahuan dan keterampilan berpikir yang diperoleh melalui pengalaman. Uzer Usman (2006: 4) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian interaksi guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses interaksi timbal balik antara guru dan siswa yang akan memberikan pengaruh yang relatif permanen atas perilaku, pengetahuan dan keterampilan berpikir. Keberhasilan siswa dalam belajar ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada dirinya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi 5
6 mengerti. Menurut Oemar Hamalik, 2005: 30) tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah aspek, diantaranya pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, budi pekerti, dan sikap. Jadi jika seseorang berhasil dalam belajarnya akan terlihat terjadinya perubahan dalam salah satu atau beberapa aspek tingkah laku tersebut. Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak. Kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas (Depdiknas, 2005: 6). Sementara itu dalam (BSNP, 2006: 160) disebutkan bahwa matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan mengembangkan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Oleh karena itu mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari tingkat sekolah dasar dengan tujuan untuk membekali siswa mengenai kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerjasama. Menurut Gagne (Erman Suherman, dkk: 2003: 33) dalam belajar matematika ada dua objek penting yang dapat diperoleh siswa yaitu objek langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan, sedangkan objek tidak langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan menyelesaikan masalah, belajar mandiri, dan bersikap positif terhadap matematika. Adapun tujuan mata pelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dalam Wahyudi, 2013: 11-12) yaitu: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
7 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses interaksi belajar-mengajar matematika antara siswa dan guru yang melibatkan segala aspek di dalamnya untuk mencapai tujuan kurikulum agar proses pembelajaran berkembang secara optimal. Dalam merancang pembelajaran matematika guru diharapkan dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk berperan aktif dalam membangun konsep secara mandiri atau bersama-sama. Dengan adanya pembelajaran matematika yang dirancang dengan baik dan dilakukan secara efektif dan efisien akan diperoleh hasil belajar sesuai dengan target yang diinginkan. 2.1.2. Hasil Belajar Matematika Hasil adalah sesuatu yang diadakan oleh usaha. Sehingga hasil belajar adalah suatu perubahan yang dicapai oleh proses usaha yang dilakukan seseorang dalam interaksinya antara pengalaman dengan lingkungannya. Hasil belajar yang merupakan perubahan tingkah laku yang telah diperoleh melalui kegiatan belajar secara aktif otomatis akan tersimpan dengan baik dalam ingatan siswa. Pengertian hasil belajar menurut Darmansyah (2006: 13) adalah hasil penilaian terhadap kemampan siswa yang ditentukan dalam bentuk angka. Sedangkan Cece Rahmad (dalam Zaenal Abidin, 2004: 1) menyatakan bahwa hasil belajar adalah penggunaan angka pada hasil tes atau prosedur penilaian sesuai dengan aturan tertentu, atau dengan kata lain untuk mengetahui daya serap siswa setelah menguasai materi pelajaran yang telah diberikan. Menurut Slameto (2003), perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali sifat maupun jenisnya. Karena itu, sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang dalam pengertian merupakan hasil belajar memiliki ciri-ciri: 1. Perubahan terjadi secara sadar. 2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional.
8 3. Perubahan dalam bersifat positif dan aktif. 4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara. 5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah. 6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Secara garis besar pembelajaran matematika harus mengacu pada standar kompetensi maupun kompetensi dasar matematika. Standar kompetensi matematika merupakan kompetensi matematika yang dibakukan dan harus ditunjukkan siswa pada hasil belajarnya dalam pelajaran matematika (Depdiknas, 2005). Dengan dasar uraian di atas, maka hasil belajar matematika adalah suatu perubahan yang dicapai oleh proses usaha yang dilakukan seseorang dalam interaksinya antara pengalaman dengan lingkungannya berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika yang telah ditetapkan sesuai bobot yang dicapainya yang ditentukan dalam bentuk angka. 2.1.3. Model Learning Cycle 5E Learning Cycle (siklus belajar) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (student centered). Learning Cycle merupakan tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif (Fajaroh dan Dasna, 2008). Learning Cycle juga merupakan suatu model pembelajaran yang berdasarkan pada pandangan konstruktivisme di mana pengetahuan dibangun dari pengetahuan siswa itu sendiri. Menurut teori belajar konstruktivisme dari Piaget dalam Fajaroh dan Dasna (2008), belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi struktur, isi dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi. Thomas E. Lauer dalam Made Wena (2012: 171-172) menuturkan Learning Cycle pada mulanya terdiri dari tiga tahap yaitu exploration, concept introduction, dan concept application (E-I-A). Tiga tahap tersebut saat ini berkembang menjadi lima tahap
9 yaitu tahap (a) pembangkitan minat (engagement), (b) eksplorasi (exploration), (c) penjelasan (explanation) (d) elaborasi (elaboration/extention) serta (e) evaluasi (evaluation). Learning Cycle dengan lima tahap ini dikenal dengan Learning Cycle 5E. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam model pembelajaran Learning Cycle 5E yang diuraikan oleh Made Wena adalah sebagai berikut: 1. Tahap pembangkitan minat (engagement) Yaitu guru berusaha membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) siswa tentang topik yang akan diajarkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang proses faktual dalam kehidupan sehari-hari (yang berhubungan dengan topik bahasan). Dengan demikian, siswa akan memberikan respons/jawaban, kemudian jawaban siswa tersebut dapat dijadikan pijakan oleh guru untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang pokok bahasan. Kemudian guru perlu melakukan identifikasi ada/tidaknya kesalahan konsep pada siswa. Dalam hal ini guru harus membangun keterkaitan/perikatan antara pengalaman keseharian siswa dengan topik pembelajaran yang akan dibahas. 2. Tahap ekplorasi (exploration). Pada tahap kedua ini dibentuk kelompok-kelompok kecil antara 4-5 siswa, kemudian diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok kecil tanpa pembelajaran langsung oleh guru. Dalam kelompok ini siswa didorong untuk menguji hipotesis dan atau membuat hipotesis baru, mencoba alternatif pemecahannya dengan temen sekelompok, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide atau pendapat yang berkembang dalam diskusi. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Pada dasarnya pada tahap ini adalah mengecek pengetahuan yang dimiliki siswa apakah sudah benar, masih salah, atau mungkin sebagian salah, sebagian benar. 3. Tahap penjelasan (explanation) Yaitu memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menyampaikan ide atau gagasan yang mereka miliki melalui kegiatan diskusi klasikal, dengan adanya diskusi tersebut, guru member definisi dan penjelasan tentang konsep yang dibahas, dengan memakai penjelasan siswa terdahulu sebagai dasar diskusi.
10 4. Tahap elaborasi (abelaboration/extention) Yaitu mengajak siswa menerapkan konsep-konsep dan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi baru atau konteks yang berbeda. Dengan demikian, siswa akan dapat belajar secara bermakna, karena telah dapat menerapkan/mengaplikasikan konsep yang baru dipelajarinya dalam situasi baru. Jika tahap ini dirancang dengan baik oleh guru maka motivasi belajar siswa akan meningkat. Meningkatnya motivasi belajar siswa tentu dapat mendorong peningkatan hasil belajar siswa; 5. Tahap evaluasi (evaluation) Merupakan tahap akhir dari siklus belajar. Pada tahap evaluasi, guru dapat mengamati pengetahuan atau pemahaman siswa dalam menerapkan konsep baru. Siswa dapat melakukan evaluasi diri dengan mengajukan pertanyaan terbuka dan mencari jawaban yang menggunakan observasi, bukti, dan penjelasan yang diperoleh sebelumya. Hasil eevaluasi ini dapat dijadikan guru sebagai bahan evaluasi tentang proses penerapan metode siklus belajar yang sedang diterapkan, apakah sudah berjalan dengan sangat baik, cukup baik, atau masih kurang. Demikian pula melalui evaluasi diri, siswa akan dapat mengetahui kekurangan atau kemajuan dalam proses pembelajaran yang sudah dilakukan. Made Wena (2012: 171-172). Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut: Gb. 2.1. Model Pembelajaran Learning Cycle Penerapan model siklus belajar mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan sebagai berikut: 1. Meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar (siswa) dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
11 2. Membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar 3. Pembelajaran menjadi lebih bermakna Adapun kekurangan penerapan model siklus belajar yang harus selalu diantisipasi adalah sebagai berikut: 1. Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkahlangkah pembelajaran 2. Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran 3. Memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi 4. Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran. Penerapan Model Learning Cycle 5E dalam Pembelajaran Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan, pada mata pelajaran matematika tingkat satuan pendidikan SD pada semester satu kelas 6 dijabarkan sebagai berikut: Tabel.2. 1. Standar kompetensi dan kompetensi dasar kelas 6, semester 1 Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 1. Melakukan operasi hitung 1.1. Menggunakan sifat-sifat operasi hitung termasuk bilangan bulat dalam operasi campuran, FPB, dan KPK. pemecahan masalah. 1.2. Menentukan akar pangkat tiga suatu bilangan kubik. 1.3. Menyelesaikan masalah yang melibatkan operasi hitung termasuk penggunaan akar dan pangkat tiga. Meninjau tahapan pembelajaran Learning Cycle 5E yang telah diuraikan sebelumnya, maka penerapan model ini dalam pembelajaran mengacu pada langkah-langkah sebagai berikut:
12 1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai serta memberikan apersepsi pada siswa. 2. Tahap engagement, yakni guru memberikan motivasi untuk menarik minat siswa. Hal ini dapat dilakukan guru dengan mengkaitkan materi pada kehidupan nyata di sekitar siswa. Tahap ini dapat membantu siswa dalam memahami atau mengidentifikasi masalah yang akan mereka hadapi. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok dan guru mengkondisikan siswa untuk melalukan diskusi kelompok. 3. Tahap exploration, yakni setiap kelompok berdiskusi untuk membangun konsep yang terkait. Sesuai dengan pandangan konstruktivisme yang dianut model Learning Cycle, guru dapat menyediakan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang dapat membantu siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan barunya. Pengetahuan baru ini yang nantinya akan menjadi bekal bagi siswa dalam merencanakan pemyelesaian masalah yang mereka hadapi. Pada tahap ini, guru berperan sebagai fasilitator kegiatan diskusi yang berlangsung. 4. Tahap explanation, melalui diskusi kelas, siswa mempresentasikan hasil yang telah mereka peroleh sebelumnya, ditambah dengan penjelasan dari guru untuk penegasan konsep. 5. Tahap elaboration, siswa mengaplikasikan konsep yang telah mereka peroleh melalui kegiatan problem solving. Pada tahap ini, guru dapat memberikan latihan soal pada siswa yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. 6. Tahap evaluation, dapat dilakukan dengan memberikan kuis atau pekerjaan rumah dengan materi terkait. Pada saat pengerjaan soal evaluasi berakhir, jika sebagian besar siswa masih mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal tersebut, maka guru dapat membahas soal evaluasi yang telah diberikan bersama-sama dengan siswa. 7. Kegiatan pembelajaran diakhiri dengan reflesksi terhadap kegiatan yang telah dilakukan, yakni dengan mereview materi pokok yang diajarkan serta melakukan penarikan kesimpulan. Guru juga memberikan kesempatan pada siswa untuk menanyakan materi yang belum mereka pahami.
13 2.2. Penelitian yang Relevan Ni Luh Putu Deyanti Dewi dalam skripsinya yang berjudul Implementasi Model Pembelajaran Learning Cycle 5E Berbantuan LKS Terstruktur untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematika Siswa Kelas VIIIA SMP N 6 Singaraja pada tahun 2008 (Materi Bangun Ruang Kubus, Balok, Prisma, dan Limas), hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematika siswa setelah melalui pembelajaran dengan model pembelajaran Learning Cycle 5E. Apriyani (2010) dalam skripsinya yang berjudul Penerapan Model Learning Cycle 5E dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP N 2 Sanden Kelas VIII Pada Pokok Bahasan Prisma dan Limas. menyatakan bahwa melalui model pembelajaran Learning Cycle 5E Persentase kemampuan pemecahan masalah matematika pada siklus 1 sebesar 48,46% dengan katagori cukup, meningkat menjadi 68,95% pada akhir siklus 2 dengan kategori tinggi. Persentase rata-rata tes siswa untuk tiap indikator kemampuan pemecahan masalah telah memenuhi kriteria keberhasilan penelitian, yaitu: (a) Kemampuan mengidentifikasi masalah meningkat dari 63,64% menjadi 77,27%, (b) Kemampuan merencanakan penyelesaian masalah meningkat dari 48,07% menjadi 71,84%, (c) Kemampuan menyelesaikan masalah meningkat dari 49,56% menjadi 66,34%, (d) Kemampuan menginterpretasikan hasil mengingkat dari 32,58% menjadi 60,35%. Nina Agustyaningrum (2010), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran Learning Cycle 5E dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman, persentase kemampuan komunikasi matematis yang berhasil dicapai siswa pada akhir siklus II adalah sebesar 69,21% telah mencapai kategori tinggi (menurut lembar observasi) dan 70,11% telah mencapai kategori baik (menurut hasil tes). 2.3. Kerangka Pikir Pembelajaran matematika merupakan suatu proses untuk menciptakan lingkungan belajar siswa dengan menggunakan suatu rancangan pembelajaran yang sesuai sehingga dapat mengoptimalkan proses dan hasil belajar siswa. Dua hal penting
14 yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran matematika adalah pembentukan sifat, yaitu pola berpikir kritis dan kreatif. Pola pikir seperti ini perlu dikembangkan, terlebih dalam menghadapi persaingan global. Dengan pola pikir seperti ini diharapkan siswa mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Hal ini menunjukkan pentingnya matematika sebagai sarana dalam memecahkan masalah. Pembelajaran matematika yang terjadi di SD Negeri Jolosekti cenderung berpusat pada guru karena guru hanya menggunakan metode ceramah saja. Dengan pembelajaran seperti ini partisipasi dan keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar belum optimal. Permasalahan lain yang dihadapi guru adalah rendahnya hasil belajar siswa. Hal ini semakin terlihat saat guru memberikan soal dengan sedikit variasi yang membutuhkan penalaran lebih. Hasilnya beberapa siswa saja yang mampu menyelesaikan soal tersebut dengan benar, sedangkan yang lain masih merasa kesulitan untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 5E. Model pembelajaran ini menerapkan lima tahapan dalam proses pembelajarannya, yakni engagement, exploration, explanation, elaboration dan evaluation. Melalui penerapan model Learning Cycle 5E, siswa diberi kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri, bekerja sama dengan siswa lain untuk memahami konsep, menjelaskan konsep dengan kata-kata mereka sendiri, serta mengaplikasikan konsep yang telah mereka peroleh untuk memecahkan masalah. Dalam pelaksanaannya, peran guru adalah sebagai fasilitator proses pembelajaran. Oleh karenanya melalui model Learning Cycle 5E diharapkan pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna sehingga hasil belajar siswa meningkat. Hal tersebut dapat kita lihat dalam bagan berikut :
15 KONDISI AWAL Guru Belum menerapkan model Learning Cycle Siswa Aktivitas dan hasil belajar siswa masih rendah TINDAKAN Dalam pembelajaran guru menerapkan model Learning cycle Siklus I Penerapan learning cycle KONDISI AKHIR Diduga melalui pembelajaran dengan penerapan model learning cycle dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika Siklus II Penerapan Learning Cycle lebih intensif Gambar 2.2. Kerangka Pikir 2.4. Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini, yaitu Jika model Learning Cycle 5E diterapkan dalam pembelajaran maka dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa SD Negeri Jolosekti kelas 6 pada pokok bahasan operasi hitung bilangan bulat.