BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang

Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

Rahn - Lanjutan. Landasan Hukum Al Qur an. Al Hadits

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI IJĀRAH JASA SIMPAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG BLAURAN SURABAYA

Rahn /Gadai Akad penyerahan barang / harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang

murtahin dan melibatkan beberapa orang selaku saksi. Alasan

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Praktek Pinjam Pakai Sepeda Motor

BAB IV ANALISIS. A. Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan pada Perum Pegadaian Cabang Bandar Lampung

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HUTANG PIUTANG PUPUK DALAM KELOMPOK TANI DI DESA KALIGAMBIR KECAMATAN PANGGUNGREJO KABUPATEN BLITAR

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Nadhifatul Kholifah, Topowijono & Devi Farah Azizah (2013) Bank BNI Syariah. Hasil Penelitian dari penelitian ini, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. dengan istilah pembiayaan yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari ah baik

BAB IV PEMANFAATAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT DESA SANDINGROWO DILIHAT DARI PENDAPAT FATWA MUI DAN KITAB FATH}UL MU I<N

BAB II LANDASAN TEORITIS. " artinya menggadaikan atau merungguhkan. 1 Gadai juga diartikan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pelaksanaan Gadai Emas Syariah Pada PT Bank Syariah Mandiri

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG SISTEM IJO (NGIJO) DI DESA SEBAYI KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Salah. satunya pegadaian syariah yang saat ini semakin berkembang.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GADAI TANAH SAWAH DI DESA ULULOR KECAMATAN PRACIMANTORO KABUPATEN WONOGIRI

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA. Pegadaian Syariah Cabang Raden Intan Bandar Lampung. mendeskripsikan dan mengilustrasikan rangkaian pelaksaan gadai dari awal

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi terjaminnya barang dan jasa dan memanfaatkan nikmat-nikmat yang Allah

BAB II LANDASAN TEORI

PENERAPAN TEORI DAN APLIKASI PENGGADAIAN SYARIAH PADA PERUM PENGGADAIAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat tidak sesuai dengan kondisi keuangan yang dimiliki.

BAB IV BINDUNG KECAMAATAN LENTENG KABUPATEN SUMENEP. yang sifatnya menguntungkan. Jual beli yang sifatnya menguntungkan dalam Islam

BAB I PENDAHULUAN. di dalamnya juga mencakup berbagai aspek kehidupan, bahkan cakupannya

BAB I PENDAHULUAN. melalui Rasulullah saw yang bersifat Rahmatan lil alamin dan berlaku

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI GANDA KENDARAAN BERMOTOR DI KELURAHAN PAGESANGAN KECAMATAN JAMBANGAN KOTA SURABAYA

RAHN, DAN KETENTUAN FATWA DEWAN SYARIAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan kegiatan ekonomi saat ini, kebutuhan akan pendanaan pun

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI SUKU CADANG MOTOR HONDA DI DEALER HONDA CV. SINARJAYA KECAMATAN BUDURAN KABUPATEN SIDOARJO

18.05 Wib. 5 Wawancara dengan Penanggung Jawab Pertambangan, Bpk. Syamsul Hidayat, tanggal 24 september 2014, pukul.

BAB IV ANALISIS PRAKTEK MAKELAR. A. Praktek Makelar Dalam Jual Beli Mobil di Showroom Sultan Haji Motor

BAB IV ANALISIS MENURUT EMPAT MAZHAB TERHADAP JUAL BELI CABE DENGAN SISTEM UANG MUKA DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN BANYUPUTIH KABUPATEN SITUBONDO

BAB I PENDAHULUAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Definisi gadai sendiri. terdapat dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

RAHN (HUTANG PIUTANG DENGAN JAMINAN) DALAM HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam segala aspek

BAB IV IMPLEMENTASI FATWA DSN NO.25/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN PADA PRODUK AR-RAHN. A. Aplikasi Pelaksanaan Pembiayaan Rahn Di Pegadaian Syariah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Pegadaian Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai alhabsu.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA PASAL 1320 TERHADAP JUAL BELI HANDPHONE BLACK MARKET DI MAJID CELL

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JAMINAN HUTANG BERUPA AKTA KELAHIRAN ANAK DI DESA WARUREJO KECAMATAN BALEREJO KABUPATEN MADIUN

BAB IV. A. Analisis Aplikasi Akad Mura>bah}ah di BMT Mandiri Sejahtera Jl. Raya Sekapuk Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.

BAB IV ANALISIS DATA. Yogyakarta, 2008, hlm Dimyauddin Djuwaini, Pengantar fiqh Muamalah, Gema Insani,

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD UTANG PIUTANG BERHADIAH DI DESA SUGIHWARAS KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam istilah bahasa Arab, gadai di istilahkan dengan rahn dan juga dapat

MURA>BAH}AH DAN FATWA DSN-MUI

BAB III STUDI PUSTAKA. Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat

BAB III PEMBAHASAN. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang diartikan buruk,

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi dalam bahasa Arab, kata Ar-Rahn berarti tetap dan

BAB I PENDAHULUAN. barang yang digadaikan tersebut masih sayang untuk dijual. Pengertian gadai

BAB II MEKANISME GADAI SYARIAH (RAHN) harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penyaluran dana kemasyarakat baik bersifat produktif maupun konsumtif atas dasar

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dalam memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya. Oleh sebab

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN GADAI EMAS DI KOSPIN JASA SYARIAH DIPANDANG FATWA DSN NOMOR: 26/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN EMAS.

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8 TAHUN 1999 TERHADAP JUAL BELI BARANG REKONDISI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Praktik Denda bagi Pihak Penggadai Sawah oleh Penerima Gadai di Desa

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP OPERASIONALISASI DANA DEPOSITO DI BNI SYARI AH CAB. SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Allah S.W.T. sebagai khalifah untuk memakmurkan

AKUNTANSI DAN KEUANGAN SYARIAH

BAB II LANDASAN TEORI

KONSEP UTANG DAN MODAL DALAM ISLAM. Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

BAB V PEMBAHASAN. A. Sistem Jual Beli Bunga di Kawasan Wisata Makam Bung Karno

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang amat damai dan sempurna telah diketahui dan dijamin

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB V PENUTUP. 1. Akad utang sapi untuk penanaman tembakau berdasarkan ketentuan kreditur

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PEMBIAYAAN TALANGAN HAJI DI BANK SYARIAH MANDIRI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. usahanya berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian (akad) antara

A. Analisis Praktik Sistem Kwintalan dalam Akad Utang Piutang di Desa Tanjung Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI QARD} UNTUK USAHA TAMBAK IKAN DI DESA SEGORO TAMBAK KECAMATAN SEDATI KABUPATEN SIDOARJO

ABSTRAKSI. Kata Kunci : Akuntansi Pendapatan, Pegadaian Konvensional, Pegadaian Syariah

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

BAB IV PENERAPAN AKTA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN AL QARDH. A. Analisis Penerapan Akta Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Al

BAB IV. pembiayaan-pembiayaan pada nasabah. Prinsip-prinsip tersebut diperlukan

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP APLIKASI PEMBIAYAAN PLAY STATION DENGAN SISTEM MURA<BAH}AH

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir, perekonomian yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan sehari-hari setiap individu memiliki kepentingan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PELAKSANAAN UTANG PIUTANG BENIH PADI DENGAN SISTEM BAYAR GABAH DI

utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Secara etimologis rahn Syari at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang

BAB I PENDAHULUAN. fenomena ketidak percayaan di antara manusia, khususnya di zaman sekarang ini.

PENENTUAN BIAYA PEMELIHARAAN BARANG GADAI MENURUT FATWA DSN MUI NO 26 TAHUN 2002 ( STUDI KASUS PEGADAIAN SYARIAH CABANG KOTA LANGSA) SKRIPSI

1. Analisis Praktek Gadai Emas di Bank Syariah Mandiri Cabang Karangayu. akad rahn sebagai produk pelengkap yang berarti sebagi akad tambahan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JASA PENGETIKAN SKRIPSI DENGAN SISTEM PAKET DI RENTAL BIECOMP

FIKIH TRANSAKSI JUAL BELI SESI IV ACHMAD ZAKY

secara tunai (murabahah naqdan), melainkan jenis yang

BAB I PENDAHULUAN. sedang menjamur di kalangan masyarakat desa Sidomulyo kecamatan. Silo kabupaten Jember, di mana kasab (penghasilannya) mereka

BAB III PERBANDINGAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 DENGAN HUKUM RAHN TASJÎLÎ

BAB I PENDAHULUAN. bergerak di bidang perkreditan tidak lepas dari pengaruhnya.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA TERHADAP SURABAYA. A. Analisis Berdasarkan Hukum Islam Terhadap Kontrak, Prosedur, Realisasi

Transkripsi:

2.1 Jual Beli BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi Jual beli Jual beli (al-bay ) secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti, dikatakan: Ba a asy-syaia jika dia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba ahu jika dia membelinya dan memasukkannya ke dalam hak miliknya, dan ini masuk dalam kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika ia disebut mengandung makna lawannya seperti perkataannya al-qur yang berarti haid dan suci. Demikian juga dengan perkataan syara artinya mengambil dan syara yang berarti menjual. Adapun makna bay i (jual beli) menurut istilah ada beberapa definisi dan yang paling bagus adalah definisi yang disebutkan oleh Syaikh Al-Qalyubi dalam Hasyiyah-nya bahwa: Akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap suatu benda atau manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan bertaqarrub kepada Allah. Ada juga yang mendefinisikan jual beli sebagai pemilikan terhadap harta atau manfaat untuk selamanya dengan bayaran harta. Definisi jual beli yang merupakan padanan kata syira (membeli) dan padanan sesuatu yang berbeda dan bergabung dengannya di bawah naungan dalil yang global. Dengan begitu akan

terdiri dari dua bagian yang satunya adalah menjual (al-bai a) dan dinamakan orang yang menjualnya sebagai ba i an (penjual) dan didefinisikan sebagai pemilikan dengan ganti dengan cara khusus, dan menjadi lawan kata syira (membeli) yang merupakan bagian kedua dan dinamakan orang yang melakukannya sebagai pembeli dan didefinisikan sebagai pemilikan dengan ganti juga. Adapun definisi sebagian ulama yang mengatakan jual beli adalah menukar satu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus merupakan definisi yang bersifat toleran karena menjadikan jual beli sebagai saling menukar, sebab pada dasarnya akad tidak harus ada saling tukar akan tetapi menjadi bagian dari konsekuensinya, kecuali jika dikatakan: Akad yang mempunyai sifat saling tukar menukar artinya menurut adanya satu pertukaran. 2.1.2 Jual Beli Lelang (Muzayyadah) Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo adalah sah. Hal itu, sesuai dengan maksud dari pengertian hakikat gadai itu sendiri, yakni sebagai kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang berpiutang. Karena itu barang gadai dapat dijual untuk membayar utang, dengan cara mewakilkan penjualannya kepada orang yang adil dan terpercaya. Mengenai penjualan barang gadai oleh wakil yang adil, para ulama menyepakati akan kebolehannya. Namun, mereka berbeda pendapat bila yang menjual adalah murtahin..

Penjualan barang gadai hanya boleh dilakukan oleh wakil yang adil dan terpercaya. Pada prinsipnya, Syariah Islam membolehkan jual beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqih disebut sebagai akad bai muzayyadah. Jual beli muzayyadah bukanlah proses tawar menawar karena ia merupakan tambahan yang disyariatkan dan telah dikenal. Ia juga bukan merupakan jual beli karena jual beli tersebut belum termasuk akad, dia juga bukan merupakan jual beli al-najsy (menawar dengan maksud agar orang lain menawar lebih tinggi) yang dilarang dalam hadist Abu Hurairah. Jual beli muzayyadah merupakan jual beli atas sifat dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan dalam membeli disertai atas hak yang sama bagi semua yang hadir untuk semuanya, dan ini diperbolehkan dalam syara karena sesungguhnya nabi sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Anas bahwa Nabi menjual kantong air dan celana atas orang yang menambah harga. 2.1.3 Rukun dan Syarat Jual Beli Di dalam jual beli harus ada Rukun dan Syarat agar akad yang dilakukan sah. Rukun Beli meliputi: a. Ba i (penjual) b. Mustari (pembeli) c. Shighat (ijab dan qabul) d. Ma aqud alaih (benda atau barang)

Suatu jual beli yang dilakukan pihak penjual dan pembeli sah, haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Tentang Subyeknya Kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli tersebut, haruslah: 1. Berakal, agar tidak terkecoh. Orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. 2. Dengan kehendaknya sendiri (bukan paksaan). 3. Keduanya tidak mubazir. 4. Baligh. b. Tentang Obyeknya Yang dimaksud dengan obyek jual beli di sini adalah benda yang menjadi sebab terjadinya jual beli. Benda yang dijadikan obyek jual beli ini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Bersih barangnya Maksudnya bahwa barang yang diperjualbelikan bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis, atau golongan sebagai benda yang diharamkan. 2. Dapat dimanfaatkan Pengertian barang yang dapat dimanfaatkan tentunya sangat relatif, sebab pada hakikatnya seluruh barang dapat dimanfaatkan, seperti untuk dikonsumsi, dinikmati

keindahannya dan lain sebagainya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan barang yang bermanfaat adalah bahwa kemanfaatan barang barang tersebut sesuai dengan ketentua syariat islam. 3. Milik orang yang melakukan akad. Orang yang melakukan perjanjian jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat ijin dari pemilik sah barang tersebut. 4. Mampu menyerahkannya. Pihak penjual dapat menyerahkan barang yang dijadikan obyek jual beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pihak pembeli. 5. Mengetahui Mengetahui disni dapat diartikan secara lebih luas, yaitu melihat sendiri keadaan barang baik hitungan, takaran, timbangan, atau kualitasnya, sedangkan menyangkut pembayaran, kedua belah pihak harus mengetahui tentang jumlah pembayaran maupun jangka waktu pembayaran. 6. Barang yang diakadkan ada di tangan (dikuasai). Mengenai perjanjian jual beli atas sesuatu yang belum ada di tangan (tidak berada dalam penguasaan penjual) adalah dilarang.

Sebab bisa jadi barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan. c. Tentang lafaz. Tentang lafaz harus sesuai dengan ijab dan qabul serta berhubungannya antara ijab dan qabul tersebut. Dalam hal ini tempat akad harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul (Rahmat syafi i, 2001:76). 2.1.4 Dasar Hukum Kebolehan Jual Beli Alquran menyebut jual beli di dalam terjemahan surat Al-Baqarah: 275 Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Riba adalah haram dan jual beli adalah halal. Jadi tidak semua akad jual beli adalah haram sebagaimana yang disangka sebagian orang berdasarkan ayat ini. Hal ini dikarenakan huruf alif dan lam dalam ayat tersebut untuk menerangkan jenis dan bukan untuk yang sudah dikenal karena sebelumnya tidak disebutkan ada kalimat al-bai yang dapat dijadikan referensi, dan jika ditetapkan bahwa jual beli adalah umum, maka ia dapat dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan berupa riba dan yang lainnya dari benda yang dilarang untuk di akadkan seperti minuman keras, bangkai, dan yang lainnya dari apa yang disebutkan dalam sunnah dan ijma para ulama akan larangan tersebut. Allah telah mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara batil yaitu tanpa ganti dan hibah, yang demikian itu adalah batil yang

berdasarkan ijma umat dan termasuk didalamnya juga semua jenis akad yang rusak dan tidak boleh secara syara baik karena ada unsur riba atau jahalah (tidak diketahui), atau karena kadar ganti yang rusak seperti minuman keras, babi, dan yang lainnya dan jika yang diakadkan itu adalah harta perdagangan, maka boleh hukumnya. Ada juga mengatakan istisna (pengecualian) dalam ayay ber,akna lakin (tetapi) artinya, akan tetapi, makanlah dari harta perdagangan, dan perdagangan merupakan gabungan antara penjualan dan pembelian. 2.2 Gadai dalam Islam 2.2.1 Pengertian Gadai Pengertian gadai menurut Susilo (1999) adalah: suatu hak yang diperoleh oleh seorang yang mempunyai piutang atas dasar suatu barang yang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Gadai menurut bahasanya (dalam bahasa Arab) adalah tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu, artinya penahanan Sedangkan menurut syara adalah menahankan sesuatu yang mempunyai harga sebagai jaminan atas hutang.

Gadai menurut Undang-Undang Hukum Perdata (Burgenlijk Wetboek) Buku Bab XX pasal 1150, adalah: Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang diberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan (Usman,1995:357). 2.2.2 Perjanjian Gadai dalam Islam Perjanjian gadai dalam Islam disebut Rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti tetap, berlangsung dan menahan. Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan orang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima. (Basyir,1983:50). 2.2.3 Rukun Gadai Rukun gadai meliputi orang yang mengandaikan (Rahin), barang yang digadaikan (Murtahin), orang yang menerima gadai(murtahin), sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad gadai (Rusyd,1995:351).

2.2.4 Syarat Gadai Syarat sah dalam gadai diantaranya adalah: a. Rahin dan Murtahin Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn,yakni rahin dan murtahin harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut: Kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berakal kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan. b. Shighat 1. Shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan. 2. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemnerian hutang seperti halnya akad jual beli. Maka, tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan. c. Marhun Bih (Hutang) 1. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya. 2. Memungkinkan pemenfaatannya. Bila sesuatu yang menjadi hutang itu tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah. 3. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak dikuatifikasi, maka rahn itu tidak sah.

d. Marhun (Barang) Marhun adalah harta/barang yang ditahan murtahin (penerima gadai) sebagai jaminan atas hutang yang ia berikan. Para ulama sepakat syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat-syarat pada barang yang bisa diperjualbelikan. Syarat-syarat barang rahn antara lain: 1. Harus bisa diperjual-belikan 2. Harus berupa harta yang bernilai 3. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah 4. Harus diketahui keadaan fisiknya 5. Harus dimilki oleh rahin (peminjam atau penggadai). Setidaknya harus seizin pemiliknya. 2.2.5 Ketentuan Barang Gadai 1. Kedudukan Barang Gadai Selama ada di tangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai (Basyir,1983:53). Lebih lanjut Basyir (1983) menambahkan bahwa sebagai pemegang amanat, murtahin (penerima gadai) berkewajiban memelihara keselamatan barang gadai yang diterimanya, sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan persetujuan untuk menyimpannya pada pihak ketiga, dengan ketentuan bahwa persetujuan itu baru

diadakan setelah perjanjian gadai terjadi. Namun akibatnya, ketika perjanjian gadai diadakan, barang gadai ada di tangan pihak ketiga, maka perjanjian gadai itu dipandang tidak sah; sebab diantara syarat sahnya perjanjian gadai ialah barang gadai diserahkan seketika kepada murtahin. 2. Pemanfaatan barang gadai Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena pihak pemilik barang tidak memilki barang secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan hukum (barangnya sudah digadaikan). Misalnya, mewakafkan, menjual, dan sebagainya. Sedangkan hak penggadai tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna pemanfaatannya/ pemungutan hasilnya. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi sebagai pemilik apabila barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi miliknya.

3. Resiko atas Kerusakan Barang Gadai Apabila murtahin sebagai pemegang amanat telah memelihara barang gadai dengan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan barang, kemudian tiba-tiba barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang tanpa disengaja, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai siapa yang harus menanggung resikonya. Ulama-ulama Mazhab Syafi i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko apapun. Namun ualam-ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa murtahin menanggng resiko sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan dimulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak dan hilangnya ( Basyir.1983:54). Berbeda halnya jika barang gadai rusak atau hilang yang disebabkan oleh kelengahan murtahin. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat, semua ulama sepakat bahwa murtahin menanggung resiko, memperbaiki kerusakan atau mengganti yang hilang. 4. Pemeliharaan Barang Gadai Dalam hal ini para ulama berbeeda pendapat, para ilama Syafi iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat lain; biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi

tanggungan penerima gadai dalam kedudukannya sebagai orang yang menerima amanat. Kepada penggadai hanya dibebankan perbelanjaan barang gadai agar tidak berkurang potensinya (Basyir, 1983 : 58). 5. Kategori barang gadai Jenis barang yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut (A.Basyir, 1983:52): a. Benda bernilai menurut hukum syara b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin. 6. Akad Gadai Ulama Syafi iyah berpendapat bahwa penggadaian dianggap sah apabila telah memenuhi tiga syarat. Pertama, berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, penerapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Imam Malik membolehkan penggadaian mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan utang gadai. Imam Malik berpendapat bahwa menggadaikan apa yang tidak boleh dijual pada waktu pengadaian dibolehkan seperti buah-buahan yang belum nampak kebaikannya (Rusyd, 1995:352).

7. Hak Penerima Gadai atas Harta Peninggalan Hak para kreditur atas harta peninggalan seseorang ada yang berasal dari utang lepas, yaitu utang tanpa gadai, dan ada yang berasal dari utang terkait, yaitu utang gadai. Hak para kreditur atas utang yang berkait dipandang lebih kuat daripada hak para kreditur atas utang lepas, sebab murtahin berhak menahan barang gadai yang merupakan sebagian bagian dari atau bahkan seluruh harta peninggalan. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa hak murtahin untuk menerima pembayaran utang, lebih didahulukan daripada hak para kreditur atas utang lepas. Dengan demikian, apabila seseorang meninggal dalam keadaan menanggung dua macam utang, utang lepas dan utang berkait, maka yang berhak menerima pembayaran lebih dahulu adalah murtahin, kemudian baru kreditur utang lepas. Sebab apabila utang yang dibayarkan kepada murtahin meliputi harta peninggalan yang ada, maka para kreditur utang lepas baru akan menerima pembayaran setelah gadai diperoleh dari murtahin (Basyir,1983:63). 8. Pembayaran/Pelunasan Utang Gadai Apabila sampai pada waktu yang telah ditentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh murhun untuk menjual barang gadaiannya dan kemudian digunakan untuk melunasi utangnya. Selanjutnya, apabila setelah diperintahkan hakim, rahin tidak mau membayar utangnya dan tidak pula mau menjual barang

gadaiannya, maka hakim dapat memutuskan untuk menjual barang tersebut guna melunasi utang-utangnya. 9. Prosedur Pelelangan Barang Gadai Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan untuk menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibannya. Jika terdapat persyaratan; menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka menurut Basyir (1983), hal ini dibolehkan dengan ketentuan: a. Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin (mencari tahu penyebab belum melunasinya utang). b. Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran. c. Kalau murtahin benar-benar butuh uang dan rahin belum melunasi hutangnya, maka murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan seijin rahin. d. Apabila ketentuan diatas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin. 2.2.6 Prosedur Pelelangan Barang Gadai Pelaksanaan lelang harus dipilih waktu yang baik agar tidak mengurangi hak nasabah, karena setelah nasabah tidak mengurangi

hutangnya pada saat jatuh tempo dan tidak melakukan perpanjangan, maka barang jaminannya akan dilelang dan hasil pelelangan barang yang digadaikan akan digunakan untuk melunasi seluruh kewajiban nasabah yang terdiri dari: pokok pinjaman, bunga, serta biaya lelang,. Sedang pelelangannya sebagai berikut: a. Waktunya diumumkan tiga hari sebelum pelaksanaan lelang. b. Lelang dipimpin oleh kantor cabang (Kepala Cabang) c. Dibacakan tata tertib melalui berita acara sebelum pelaksanaan lelang. d. Pengambilan keputusan lelang adalah bagi mereka yang menawar paling tinggi. 2.3 Persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya sensasi, dimana pengertian sensasi adalah aktivitas merasakan atau penyebab keadaan emosi yang menggembirakan. Menurut Stanton (dalam Setiadi, 2005:160) Persepsi dapat didefinisikan sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan pengalaman masa lalu, stimuli (rangsangan-rangsangan) yang kita terima melalui lima indera, sedangkan menurut Webster (dalam Setiadi, 2005:160) persepsi adalah proses bagaimana stimulasi-stimulasi itu diseleksi, diorganisasi, dan diinterpretasikan. Kotler dan Amstrong (2008:174) menyebutkan bahwa persepsi (perception) adalah proses di mana orang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk gambaran dunia yang berarti.

Sedangkan stimuli menurut Simamora (2003:102) adalah setiap input yang dapat ditangkap oleh indera, seperti produk, kemasan,merek, iklan, harga, dan lain-lain. 2.4 Kerangka Konseptual Lelang merupakan suatu bentuk penjualan umum kepada penawar tertinggi atau penjualan barang yang dilakukan di muka umum termasuk melalui media elektronik dengan cara penawaran lisan dengan harga yang semakin meningkat atau harga yang semakin menurun dan atau penawaran harga secara tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan para peminat.(kep. Men. Keu RI. No. 337/KMK.01/2000 Bab. 1, Ps. 1). Barang jaminan merupakan barang yaitu benda umum (segala sesuatu yang berwujud atau berjasad). Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima. Persepsi merupakan pengharapan, peninjauan, tinjauan, pandang luas. Kerangka konseptual suatu perangkat asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi suatu cara bertindak. Perum merupakan status hukum lembaga pegadaian berdasarkan PP No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990. Pegadaian adalah lembaga keuangan bukan bank yang menyalurkan pinjaman atau pembiyaan dengan pengikatan cara gadai. 2.4 Penelitian Sebelumnya Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh A Aila Rezannia dari Jurusan Ekonomi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Surakarta mengenai Analisis Pelelangan Benda Benda Jaminan Gadai Pada Pegadaian Syariah Cabang Mlati,Sleman,Jogjakarta. Dimana dalam hasil yang disimpulkan setelah melakukan penelitian adalah bahwa pelelangan benda jaminan gadai (marhun) di Pegadaian Syariah Cabang Mlati,Sleman, Jogjakarta. Pada praktiknya menerapkan sistem penjualan. Marhun yang telah jatuh tempo dan tidak ditebus rahin oleh pihak murtahin (pegadaian syariah) akan dijual. Adapun maksud dalam penjualan marhun tersebut adalah salah satu upaya pengembalian uang pinjaman beserta jasa simpan yang tidak dapat dilunasi sampai batas waktu yang telah ditentukan (http://garden.iainsurakarta.ac.id/seg.php?a=detil&id=652). Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Yayah Kamsiyah Jurusan Ekonomi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta mengenai Analisis Perspektif Syariah Terhadap proses Lelang Barang Jaminan Pada Perum Pegadaian Cabang Indramayu. Proses lelang barang jaminan di Perum Pegadaian Cabang Indramayu menggunakan sistem jual beli yang disebut sebagai penjualan, sehingga dalam proses penjualan barang jaminan terjadi tawar-menawar harga yang dilakukan di muka umum dari harga rendah ke harga tertinggi 2.5 Hipotesis Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena, keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi (Mudrajat Kuncoro, 2003:48). Berdasarkan masalah di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:

1. Persepsi merupakan pengharapan, peninjauan, tinjauan, pandang luas. Kerangka konseptual suatu perangkat asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi suatu cara bertindak. 2. Proses pelelangan barang jaminan di Pegadaian Syariah Cabang Setia Budi dengan menggunakan sistem jual-beli yang disebut penjualan barang lelang gadai.