BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

MAKALAH GIZI ZAT BESI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah merah atau kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah dibandingkan

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

DIAGNOSIS LABORATORIK ANEMIA DEFISIENSI BESI LABORATORIC DIAGNOSIS OF IRON DEFICIENCY ANEMIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi (Prasetyo, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

Ruswantriani, Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Haemoglobin adalah senyawa protein dengan besi (Fe) yang dinamakan

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2. Sebagai bahan masukan kepada pihak rumah sakit sehingga dapat melakukan. 3. Sebagai bahan masukan atau sebagai sumber informasi yang berguna bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

GDS (datang) : 50 mg/dl. Creatinin : 7,75 mg/dl. 1. Apa diagnosis banding saudara? 2. Pemeriksaan apa yang anda usulkan? Jawab :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB I PENDAHULUAN. belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

Indek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang

VITAMIN LARUT DALAM AIR. Oleh dr. Sri Utami B.R. MS

TINJAUAN PUSTAKA. a. Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uterine mulai

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Rata-rata peningkatan jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit darah (juta/ mm 3 ) ulangan ke

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa plasma

Mata Kuliah : Kep. Medikal Bedah Topik : Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Hematologi; Anemia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing : 3 X 50 menit (coaching session) Sesi praktik dan pencapaian kompetensi: 4 minggu (facilitation and assessment)

TINJAUAN PUSTAKA Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Pengertian Anemia Klasifikasi anemia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sel darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N

T E S I S BUDI ANDRI FERDIAN /IKA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Masa nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai 6 minggu setelah melahirkan (Pusdiknakes, 2003:003). Masa nifas dimulai

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong, yang akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Pada pertengahan abad XVI, kekurangan zat besi digambarkan sebagai penyakit yang dikenal sebagai Klorosis. (26,27) Orang yang pertama sekali memakai istilah Klorosis adalah Verandeus untuk menggantikan nama de morbo vergineo yang dikemukan oleh Johannes Lange pada tahun 1554 untuk suatu penyakit dengan gejala-gejala muka pucat kehijauan, palpitasi, edem, sakit sendi, dan gangguan gastrointestinal berupa obstipasi, serta nyeri tekan pada epigastrium. Klorosis merupakan suatu anemia kekurangan zat besi yang dijumpai pada gadis-gadis berumur 14-17 tahun dan ibu-ibu muda. (26,27) Gambaran klinis dari penyakit tersebut ialah muka pucat warna kuning kehijauan sebagai akibat dari kadar zat besi dalam darah yang tidak adekuat, disamping adanya kebutuhan zat besi yang meningkat untuk pertumbuhan dan karena haid. ( 11,27 ) Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan oleh kekurangan zat besi dengan gambaran darah yang beralih secara

progresif dari normositer normokrom menjadi mikrositik hipokrom dan memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa besi (WHO). (21,22) Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari batas normal sesuai usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Akibatnya, berkurangnya kemampuan menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh yang optimal. Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang. (22,31,32) (28,29,30) 2.2. EPIDEMIOLOGI Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5 %, anak praremaja 2,6% dan remaja 26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan besi. sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah. (22,28)

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalens ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%. (20,23) Pada tahun 2002 prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di bawah 10gr/dl sedangkan untuk kadar Hb di bawah 11gr/dl mencapai angka 71%. (21) Pauline di Jakarta juga menambahkan selama kurun waktu 2001-2003 tercatat sekitar 2 juta ibu hamil menderita anemia gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia. (22) Selain itu data menunjukkan bahwa bayi dari ibu anemia dengan berat bayi normal memiliki kecendrungan hampir 2 kali lipat menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir normal dari ibu yang tidak menderita anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi pada ibu hamil di 27 provinsi di Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat memiliki prevalensi terbesar (82,6%) dibandingkan propinsi lain di Indonnesia. (22,23) 2.3. ETIOLOGI Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor nutrisi, dimana intake makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai protein hewani yang mudah diserap. Serta kurangnya intake besi non heme seperti sereal, gandum, jagung, kentang, ubi jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu, sayuran,

kacang-kacangan, buah-buahan (kurma, apel, jambu, alpukat, nangka, salak). Selain itu anak terkadang sering mengkonsumsi makanan yang menghambat absorpsi besi seperti polifenol, kalsium dan protein kedelai. (33,34) Penyebab utama anemia defisiensi pada anak di negara berkembang adalah infeksi cacing. Setiap cacing dapat mengakibatkan perdarahan kronis dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. (21,35) Infestasi cacing tambang dapat mengisap darah sebanyak 0,03 ml/hari/ekor (Necator Americanus) dan 0,15 ml/hari /ekor (Ancilostonum duodenaltinale). Jumlah kehilangan darah pada gangguan ringan diperkirakan kurang lebih 2-3 ml/hari, sedangkan pada gangguan berat dapat sampai 100ml/hari. (21,35) Pemakaian obat-obatan yang dapat mengganggu agregasi trombosit, misalnya aspirin dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal yang akan berakhir menjadi anemia defisiensi besi. (21) Penyebab lain perdarahan gastrointestinal dan malaria terutama di daerah endemik. Pada masa pubertas terutama perempuan perdarahan karena haid yang berlebihan (>80 ml/hari) dapat juga menyebabkan anemia defisiensi besi. Beberapa keadaan yang mengakibatkan gangguan fungsi maupun perubahan anatomi saluran pencernaan menyebabkan malabsorbsi besi seperti malnutrisi energi protein, infeksi usus, pasca bedah usus. ( 21,,23) (21,35) Pertumbuhan yang sangat cepat disertai dengan penambahan volume darah yang banyak akan meningkatkan kebutuhan akan besi. Pada akhir tahun pertama berat badan anak mencapai 3 kali berat badan lahir.

Pertumbuhan yang pesat dijumpai juga pada bayi lahir prematur dan pada masa pubertas. (28,36) Berdasarkan keterangan di atas, anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. (21,28) 2.4. PATOFISIOLOGI 2.4.1. Pembentukan Hemoglobin Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam keadaan biasa (tidak ada anemi, tak ada infeksi, tak ada penyakit sumsum tulang), sumsum tulang memproduksi 500x109 sel dalam 24 jam. Hb merupakan unsur terpenting dalam plasma eritrosit. (37,38) Molekul Hb terdiri dari 1.globin, 2. protoporfirin dan 3. besi (Fe). Globin dibentuk sekitar ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi didapat dari transferin. Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang yang berinti adalah sel berinti pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini biasanya tampak berkelompok-kelompok dan biasanya tidak masuk ke dalam sinusoid. (40,41) (37,39) Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin. Gangguan dalam pengikatan besi untuk membentuk Hb akan mengakibatkan

terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung Hb di dalamnya (hipokrom). Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk pembentukan Hb dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh 1. kurang gizi, 2. gangguan absorbsi Fe (terutama dalam lambung), 3. kebutuhan besi yang meningkat akan besi (kehamilan, perdarahan dan dalam masa pertumbuhan anak). Sehingga menyebabkan rendahnya kadar transferin dalam darah. Hal ini dapat dimengerti karena sel eritrosit berinti maupun retikulosit hanya memiliki reseptor transferin bukan reseptor Fe. (37,38) (21,37,42) 2.4.2. Metabolisme Besi Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferin merupakan suatu ikatan besi dan protein di dalam darah yang terjadi dalam beberapa tingkatan. Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh pengaruh alkali. (38) Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian lagi masuk ke peredaran darah yang berikatan dengan protein, disebut transferin. Selanjutnya transferin ini dipergunakan untuk sintesis hemoglobin. (38,43)

Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makan mengandung vitamin atau fruktosa yang akan membentuk suatu kompleks besi yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi. (43,44) Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin. Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan karena perdarahan sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis. (38,43) Kebutuhan rata-rata zat besi per hari : (45) - 0-6 bulan 3 mg - 7-12 bulan 5mg - 1-3 tahun 8 mg - 4-6 tahun 9 mg - 7-9 tahun 10 mg - 10-12 tahun pria : 14 mg wanita : 14 mg - 13-15 tahun 17 mg 19 mg - 16-19 tahun 23 mg 25 mg

- hamil : + 20 mg - menyusui : 0-12 bulan + 2 mg Jumlah zat besi pada bayi kira-kira 400mg yang terbagi sebagai berikut : - massa eritrosit 60% - feritin dan hemosiderin 30% - mioglobin 5-10% - hemenzim 1% - besi plasma 0,1% Pengeluaran besi dari tubuh yang normal adalah : - bayi 0,3-0,4 mg/hari - anak 4-12 tahun 0,4-1mg/ hari - wanita hamil 2,7 mg/hari Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari pengeluarannya, karena besi dipergunakan untuk pertumbuhan. (38) (38) 2.5. Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu: (37,46)

Tahap pertama Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal. Tahap kedua Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat. Tahap ketiga Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.

Tabel 1. Tahapan kekurangan besi (28 ) Hemoglobin Tahap I (Normal) Tahap II (sedikit menurun) Tahap III (menurun jelas) Mikrositik hipokrom Cadangan besi (mg) <100 0 0 Fe serum (ug/dl) Normal <60 <40 TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410 Saturasi transferin (%) Feritin serum (ug/dl) 20-30 <15 <10 <20 <12 <12 Sideroblas (%) 40-60 <10 <10 FEP (ug/dl eritrosit) >30 >100 >200 MCV Normal Normal Menurun

2.6. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis ADB sering terjadi perlaban dan tidak begitu diperhatikan oleh penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari temuan laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. (21,28) Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan besi seperti: (21,47,48) Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papila lidah, postcricoid oesophageal webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus. Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan S. aureus menurun. Gejala iritabel berupa berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya perhatian terhadap sekitar tapi gejala ini dapat hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa hari.

Pada beberapa pasien menunjukkan perilaku yang aneh berupa pika yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu karena rasa kurang nyaman di mulut yang disebabkan enzim sitokrom oksidase yang mengandung besi berkurang. (11,26 ) 2.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, Total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, feritin). (28,35) Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen). (21,49) Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infeksi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang masif.

Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia 28%. (31,35) Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun yang terikat pada transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum/tibc x 100%, merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. (28,31) SI (7%) dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya. Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan. Titik pemilah ( cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 µg/l, tetapi ada juga yang memakai < 15 µg/l. untuk daerah tropik dimana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. (28,31) Pada suatu penelitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali pemakaian feritin seum <12 µg/l dan < 20 µg/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum <40 µg/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%). (31)

Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum <20 µg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60 µg/l masih dapat menunjukan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemriksaan laboratorium untuk diagnosis ADB yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun dilapangan karena cukup reliabel dan praktis. Angka feritin serum normal dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 µg/l dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi. (28,31) Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam sel. (28,35) Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif. Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feritin serum. Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue. (28,35)

2.8. DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. (33) Titik pemilah anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. (33) Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Feritin serum merupakan indikator yang terbaik untuk menilai interfensi besi dan deplesi besi. (33,34) WHO merekomendasikan konsentrasi konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur > 5 tahun. Tetapi feritin merupakan protein fase akut sehingga nilainya meningkat pada keadaan inflamasi. Pengukuran protein fase akut yang berbeda dapat membantu menginterpretasi nilai serum feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini meningkat menandakan dijumpai inflamasi. (33,34) Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar di sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. (21,28,35)

Menurut WHO, dikatakan anemia bila: (2) Laki-laki dewasa Perempuan dewasa tidak hamil Perempuan hamil Anak umur 6-12 tahun Anak umur 6 bulan-6 tahun hemoglobin < 13 g/dl hemoglobin < 12 g/dl hemoglobin < 11 g/dl hemoglobin < 12 g/dl hemoglobin < 11 g/dl 2.9. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokrom mikrositik lain (Tabel 3). Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Sedangkan lainnya adalah lead poisoning/ keracunan timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. (28,50) Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat memperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < menunjukkan talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia minor

terutama β thalassemia didapatkan basophilic stippling, dapat diseratai peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar HbA2. (21,36) Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom mikrositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin noral atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB. (31,36) Table 2 : Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB (31) Pemeriksaan Anemia Thalasemia Anemia Laboratorium defisiensi Besi Minor Penyakit Kronis MCV Menurun Menurun N/Menurun Fe serum Menurun Normal Menurun TIBC Naik Normal Menurun Saturasi transferin Menurun Normal Menurun FEP Naik Normal Naik Feritin serum Menurun Normal Menurun

Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB tetapi didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah. Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis heme, bisa didapat atau herediter. (22) Pada keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah berinti yang mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa. (21,36) 2.10. PENATALAKSANAAN Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pada penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. (21,28)

Pemberian preparat besi Pemberian preparat besi peroral Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop). (21,28) Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi/ kgbb/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. (28) Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel di bawah ini. (35,36)

Preparat terapi besi per oral : (21) - Fe sulfat (20 % Fe) - Fe fumarat (33 % Fe) - Fe succinate (12 % Fe) - Fe gluconate (12 % Fe) Respons terhadap pemberian besi pada ADB Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan. (24,35) Tabel 3 : Respons pemberian besi Waktu setelah Pemberian besi Respons Penggantian enzim besi intraselular, 12-24 jam keluhan subjektif berkurang, nafsu makan bertambah 36-48 jam 48-72 jam Respons awal dari sumsum tulang hiperplasia eritroid Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5-7

Pemberian preparat besi parenteral Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan: (24,35) Dosis besi (mg) BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2, Hemoglobin A2 Hemoglobin normal diluar periode neonatal adalah hemoglobin A dan dua hemoglobin kecil, yaitu; hemglobin A2 dan hemoglobin F. Pada orang dewasa, Hemoblobin A2 (HbA2) sekitar 1,5-3,5% hemoglobin total. Persentase tersebut jauh lebih rendah saat lahir sekitar 0,2-0,3%, dengan kenaikan tingkat dewasa pada 2 tahun pertama kehidupan, tetapi ada kenaikan yang lambat pada umur tiga tahun. Pada dewasa normal HbA2 menunjukan distribusi yang normal. Pengurangan sintesis HbA2 dianggap sebagai gangguan yang diperoleh, yaitu sebagai akibat dari kekurangan zat besi atau terganggunya pengiriman zat besi untuk mengembangkan sel-sel eritroid. (5,6)