337 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadinya Ketidakmandirian Secara Filosofis, Normatif Dalam Sistem Peradilan Militer Peradilan militer merupakan salah satu sistem peradilan negara yang keberadaannya diatur berdasarkan undang-undang, antara lain dengan Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang mengadakan pengadilan tentara disamping pengadilan biasa, dan Undang undang Nomor 8 tahun 1946 tentang peraturan hukum acara pidana guna pengadilan tentara. Filosofi terjadinya ketidakmandirian dalam sistem peradilan militer pertama, karena faktor kepentingan militer (TNI) yaitu berkaitan dengan tugas pokok TNI mempertahankan kedaulatan negara, oleh karena itu dengan menempatkan peran komandan satuan (Ankum) maupun lembaga kepaperaan didalam struktur penegakan hukum tersebut. Tugas mempertahankan negara dari ancaman dengan dibolehkannya menggunakan senjata api, sehingga militer (TNI) dipandang memiliki kekhususan daripada masyarakat sipil, dimana militer memiliki tata kehidupan tersendiri, disiplin yang ketat, dalam rangka menjalankan tugas pokok yang diberikan padanya. Organisasi peradilan militer sebagai bagian organisasi Tentara Nasional Indonesia yang tersusun secara organis dan bersasaran penyelenggaraan pertahanan keamanan, dilengkapi pula asas kecil dan efektif serta eselonisasi struktural dalam jabatan dan kepangkatan,
338 maka pengorganisasian peradilan militer dan kebutuhan personilnya tidak dikembangkan tersendiri, tetapi disesuaikan dengan pengorganisasian dan kebutuhan personel Tentara Nasional Indonesia pada umumnya. Kedua, pada awal pembentukannya didalam memenuhi organisasi peradilan militer menempatkan aparat peradilan sipil sebagai penjabat pada pengadilan militer, seperti ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya termasuk tempat yang ditunjuk sebagai tempat kedudukan pengadilan tentara karena jabatannya menjadi ketua pengadilan tentara, begitu juga panitera pengadilan negeri tersebut karena jabatannya menjadi panitera pengadilan tentara, kepala kejaksaan negeri yang karena jabatannya dapat ditetapkan sebagai jaksa tentara. Penempatan aparat sipil pada peradilan militer tersebut menimbulkan keberatan-keberatan, yaitu dipandang akan tidak menguntungkan bagi militer ataupun kesatuan militer pertama, dari sudut penyelenggaraan/penegakan disiplin militer sistem tersebut mudah mengakibatkan bentrokan antara pihak kejaksaan dan pihak pimpinan angkatan/kesatuan, karena atasan/komandan sering merasa dilampaui kedudukannya sebagai penanggung jawab penuh atas keadaan keamanan dan ketertiban dalam lingkungan angkatan/kesatuan dan atas kedudukan/keadaan anak buahnya sebagai anggota militer. Kedua, sebagai penuntut adalah jaksa dari lingkungan peradilan umum mudah menimbulkan salah pengertian, karena kurang pengetahuan maupun pengertian jaksa yang bersangkutan terhadap kehidupan militer. Di dalam bekerjanya peradilan militer fungsi penyidikan, fungsi penuntutan, fungsi pemeriksaan dalam sidang dan fungsi pelaksanaan
339 pidana bekerja sama membentuk suatu integrated criminal justice system. Keterpaduan tersebut terkandung sistem pengendalian, dimaksudkan suatu manajemen mengendalikan atau menguasai atau melakukan pengekangan, dalam upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia, sedangkan dalam rangka penegakan hukum menitikberatkan pada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan. Struktur yang dibangun dalam peradilan militer tersebut sebagai implementasi asas-asas hukum militer yaitu asas kesatuan komando dan asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya. Sebagai lembaga penuntut umum yang pelaksanaannya oleh Oditur Militer, maka papera mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara setelah mendengar saran pendapat Oditur Militer, dengan demikian Papera menduduki posisi sentral dalam bekerjanya peradilan militer. Penempatan Komandan Satuan dalam sistem penegakan hukum pada peradilan militer kemudian di declare sebagai melengkapi prinsip unity of command sesuai kehendak Undang Undang Nomor 29 tahun 1954. Unity of command adalah suatu prinsip yang fundamental dalam militer bahwa hanya ada satu perintah dari pimpinan tertinggi satuan secara berjenjang ke bawah dan dilaksanakan oleh setiap anggota militer. Prinsip ini dimaksudkan agar kesiapan dan mobilitas satuan tetap terjaga guna melaksanakan tugas pokok TNI. Kesatuan komando itu dilaksanakan secara hirarki yang ketat dan penuh disiplin. Seluruh perintah dan kebijakan pimpinan dalam organisasi Militer senantiasa dipatuhi dan ditaati. Hal lain adalah pembinaan organisasi, administrasi, dan finasial peradilan militer berada dibawah
340 Mahkamah Agung RI sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman belum dilaksanakan sepenuhnya, demikian juga struktur kepangkatan dalam persidangan pengadilan militer misalnya, seorang Hakim ataupun Oditur harus berpangkat lebih tinggi satu tingkat dengan pangkat terdakwa. Pola hubungan yang dibangun dalam sistem peradilan militer yang menempatkan Terdakwa sebagai junior atau lebih rendah dari pangkat hakim ataupun oditur merupakan implementasi pembinaan peradilan militer tidak terlepas dari pembinaan personil Tentara Nasional Indonesia. Untuk menduduki jabatan tertentu seperti jabatan panitera/oditur/hakim Militer, menunjukan pembinaan organisasi dan personil yang tidak dapat terlepas dari pembinaan prajurit TNI pada umumnya. Pembagian kewenangan suatu pengadilan Militer didasarkan pada faktor kepangkatan, sementara itu kejahatan tidak mengenal pangkat/kelas, apakah itu Tamtama, Bintara, Perwira bahkan Perwira Tinggi pun tidak luput dari kejahatan. Didalam menegakan hukum pidana, struktur peradilan militer dijalankan/digerakan oleh polisi militer, komandan satuan/ankum dan oditur sebagai lembaga penyidikan. Penuntutan oleh oditur militer dan papera menyerahkan/melimpahkan perkara ke pengadilan militer. Pemeriksaan di pengadilan oleh pengadilan militer, dan pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan militer. Proses beracara dan susunan pengadilan, oditurat maupun penyidikan serta lembaga pemasyarakatan militer diatur di dalam Undang Undang Nomor 31 tahun 1997 secara normatif tidak mandiri karena adanya lembaga non yudisial yang turut serta dalam penegakan hukum dalam sistem peradilan militer, seperti para komandan satuan sebagai ankum
341 maupun sebagai papera. Disamping itu pembinaan organisasi, administrasi maupun finansial peradilan militer dilaksanakan oleh Mabes TNI, dengan demikian peradilan militer memiliki dua kaki, yang satu berada di Mahkamah Agung dan kaki yang lain di bawah Mabes TNI. 2. Struktur Peradilan Militer Ke Depan Sistem penegakan hukum pidana dalam peradilan militer ke depan harus mandiri baik secara kelembagaan maupun secara fungsional, terbebas dari campur tangan lembaga lain di luar kekuasaan yudikatif sebagai konsekuensi logis sistem negara hukum yang demokratis. Penyidikan dilaksanakan oleh Polisi Militer yang terdiri Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, secara mandiri, dan bertanggung jawab kepada Komandan Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia. Penuntutan dan pelimpahan perkara ke pengadilan dilaksanakan secara mandiri oleh Oditur Militer, dan bertanggung jawab kepada Oditurat Jenderal Tentara Nasional Indonesia. Pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan militer, dilaksanakan dengan tidak membedakan perlakuan berdasarkan kepangkatan yang disandangnya, tetapi sama sebagai narapidana militer. Kewenangan penghadilan tidak lagi didasarkan kepada kepangkatan Terdakwa, oleh karena itu struktur kewenangan pengadilan militer harus disesuaikan. Kewenangan pengadilan militer sebagai pengadilan tingkat pertama bagi perbuatan yang diakukan oleh seluruh angota TNI, tanpa membedakan pangkat, pengadilan militer tinggi sebagai pengadilan tingkat
342 banding dan pengadilan militer utama ditarik keatas sebagai direktorat jenderal militer sejajar dengan direktorat jenderal tiga lingkungan peradilan yang lain. Susunan persidangan bagi hakim, oditur, pembela, yang bersidang tidak lagi menggunakan pangkat tetapi menggunakan pakaian toga. Pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan Militer sepenuhnya berada dibawah Mahkamah Agung RI seperti pengadilanpengadilan lainnya dilaksanakan secara konsekuen sebagaimana diatur dalam undang-undanga Kekuasaan Kehakiman. B. Saran Berdasarkan keseluruhan pemaparan di atas, saran dalam disertasi ini lebih difokuskan pada perundang-undangan peradilan militer : 1. Kepada Pemerintah/Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pembaharuan terhadap Undang Undang Nomor 31 tahun 1997 militer sehingga ada ketegasan pengaturan dalam undang undang terkait independensi peradila militer, yaitu meliputi : a. Penyidik dalam Pasal 69 meliputi Polisi Militer dan Oditur, sedangkan Ankum tidak tepat lagi sebagai penyidik dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan wewenang Ankum sebagai penyidik. b. Ketentuan mengenai kepaperaan dan wewenangnya dalam kaitan dengan penegakan hukum, antara lain Pasal 122 dan Pasal 123 perlu diadakan perobahan. Apabila kita merujuk kepada Undang Undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP maka dalam kontek penegakan hukum pidana maka unsur-unsur yang terlibat adalah penyidikan oleh
343 Kepolisian RI, penuntutan oleh Jaksa, persidangan oleh Pengadilan dan pelaksanaan pidana oleh Lembaga Pemasyarakatan, maka dalam Peradilan Militer unsur yang terlibat adalah Polisi Militer, Oditur Militer, Pengadilan Militer dan Lembaga Pemasyarakatan Militer. c. Ketentuan mengenai kewenangan pengadilan berdasarkan kepangkatan Terdakwa Pasal 40 dan Pasal 41 tidak perlu lagi dibedakan, mengingat kejahatan dapat terjadi oleh siapa saja, tidak berdasarkan kepangkatan, kedudukan/derajat, suku/ras/golongan dan sebagainya. d. Ketentuan mengenai kepangkatan pejabat persidangan Pasal 16 seperti Hakim, Oditur, tidak perlu lagi diatur, tetapi cukup diatur pakaian sidang menggunakan pakaian Toga. 2. Ketentuan mengenai pembinaan organisasi, administrasi dan finansial Pengadilan Militer sebagaimana diatur dalam undang undang kekuasaan kehakiman perlu dilaksanakan secara konsekuen. 3. Perlunya diatur secara tegas mengenai pembinaan personel TNI yang berdinas di luar struktur Mabes TNI (di Mahkamah Agung) khususnya pembinaan kenaikan pangkat, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Mabes TNI dan Mabes TNI dapat menyetujui sekaligus menerbitkan keputusan kenaikan pangkat.