BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

INDEPENDENSI SISTEM PERADILAN MILITER DI INDONESIA (Studi Tentang Struktur Peradilan Militer)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBENTUKAN MAHKAMAH BERSAMA ANGKATAN BERSENJATA MAHKAMAH BERSAMA ANGKATAN BERSENJATA. PEMBENTUKAN.

PENGADILAN MILITER III-17 MANADO Jln. SamRatulangi No. 16 Manado No. Telp/Fax ;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari makhluk sosial selalu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. 1. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan suatu conditio sine qua non dalam

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus Presiden Republik Indonesia,

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas pada bab-bab

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PEMECATAN PRAJURIT TNI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1990 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peradilan hukum di Indonesia dibedakan menjadi empat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. akan diuraikan mengenai karakteristik responden. Adapun responden tersebut

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. saja yang melanggar pasal tersebut haruslah dihukum. Anggota militer. mempermudah tahanan meloloskan diri sepatutnya diterapkan secara

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1963 TENTANG PEMBENTUKAN MAHKAMAH MILITER LUAR BIASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI AD) YANG TINDAK PIDANA. Oleh : Dr. Ruslan Abdul Gani, SH, MH

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1959 TENTANG MILITERISASI KEPOLISIAN NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PROSEDUR PERKARA KONEKSITAS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN DI INDONESIA

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA BANJAR

Transkripsi:

337 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadinya Ketidakmandirian Secara Filosofis, Normatif Dalam Sistem Peradilan Militer Peradilan militer merupakan salah satu sistem peradilan negara yang keberadaannya diatur berdasarkan undang-undang, antara lain dengan Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang mengadakan pengadilan tentara disamping pengadilan biasa, dan Undang undang Nomor 8 tahun 1946 tentang peraturan hukum acara pidana guna pengadilan tentara. Filosofi terjadinya ketidakmandirian dalam sistem peradilan militer pertama, karena faktor kepentingan militer (TNI) yaitu berkaitan dengan tugas pokok TNI mempertahankan kedaulatan negara, oleh karena itu dengan menempatkan peran komandan satuan (Ankum) maupun lembaga kepaperaan didalam struktur penegakan hukum tersebut. Tugas mempertahankan negara dari ancaman dengan dibolehkannya menggunakan senjata api, sehingga militer (TNI) dipandang memiliki kekhususan daripada masyarakat sipil, dimana militer memiliki tata kehidupan tersendiri, disiplin yang ketat, dalam rangka menjalankan tugas pokok yang diberikan padanya. Organisasi peradilan militer sebagai bagian organisasi Tentara Nasional Indonesia yang tersusun secara organis dan bersasaran penyelenggaraan pertahanan keamanan, dilengkapi pula asas kecil dan efektif serta eselonisasi struktural dalam jabatan dan kepangkatan,

338 maka pengorganisasian peradilan militer dan kebutuhan personilnya tidak dikembangkan tersendiri, tetapi disesuaikan dengan pengorganisasian dan kebutuhan personel Tentara Nasional Indonesia pada umumnya. Kedua, pada awal pembentukannya didalam memenuhi organisasi peradilan militer menempatkan aparat peradilan sipil sebagai penjabat pada pengadilan militer, seperti ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya termasuk tempat yang ditunjuk sebagai tempat kedudukan pengadilan tentara karena jabatannya menjadi ketua pengadilan tentara, begitu juga panitera pengadilan negeri tersebut karena jabatannya menjadi panitera pengadilan tentara, kepala kejaksaan negeri yang karena jabatannya dapat ditetapkan sebagai jaksa tentara. Penempatan aparat sipil pada peradilan militer tersebut menimbulkan keberatan-keberatan, yaitu dipandang akan tidak menguntungkan bagi militer ataupun kesatuan militer pertama, dari sudut penyelenggaraan/penegakan disiplin militer sistem tersebut mudah mengakibatkan bentrokan antara pihak kejaksaan dan pihak pimpinan angkatan/kesatuan, karena atasan/komandan sering merasa dilampaui kedudukannya sebagai penanggung jawab penuh atas keadaan keamanan dan ketertiban dalam lingkungan angkatan/kesatuan dan atas kedudukan/keadaan anak buahnya sebagai anggota militer. Kedua, sebagai penuntut adalah jaksa dari lingkungan peradilan umum mudah menimbulkan salah pengertian, karena kurang pengetahuan maupun pengertian jaksa yang bersangkutan terhadap kehidupan militer. Di dalam bekerjanya peradilan militer fungsi penyidikan, fungsi penuntutan, fungsi pemeriksaan dalam sidang dan fungsi pelaksanaan

339 pidana bekerja sama membentuk suatu integrated criminal justice system. Keterpaduan tersebut terkandung sistem pengendalian, dimaksudkan suatu manajemen mengendalikan atau menguasai atau melakukan pengekangan, dalam upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia, sedangkan dalam rangka penegakan hukum menitikberatkan pada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan. Struktur yang dibangun dalam peradilan militer tersebut sebagai implementasi asas-asas hukum militer yaitu asas kesatuan komando dan asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya. Sebagai lembaga penuntut umum yang pelaksanaannya oleh Oditur Militer, maka papera mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara setelah mendengar saran pendapat Oditur Militer, dengan demikian Papera menduduki posisi sentral dalam bekerjanya peradilan militer. Penempatan Komandan Satuan dalam sistem penegakan hukum pada peradilan militer kemudian di declare sebagai melengkapi prinsip unity of command sesuai kehendak Undang Undang Nomor 29 tahun 1954. Unity of command adalah suatu prinsip yang fundamental dalam militer bahwa hanya ada satu perintah dari pimpinan tertinggi satuan secara berjenjang ke bawah dan dilaksanakan oleh setiap anggota militer. Prinsip ini dimaksudkan agar kesiapan dan mobilitas satuan tetap terjaga guna melaksanakan tugas pokok TNI. Kesatuan komando itu dilaksanakan secara hirarki yang ketat dan penuh disiplin. Seluruh perintah dan kebijakan pimpinan dalam organisasi Militer senantiasa dipatuhi dan ditaati. Hal lain adalah pembinaan organisasi, administrasi, dan finasial peradilan militer berada dibawah

340 Mahkamah Agung RI sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman belum dilaksanakan sepenuhnya, demikian juga struktur kepangkatan dalam persidangan pengadilan militer misalnya, seorang Hakim ataupun Oditur harus berpangkat lebih tinggi satu tingkat dengan pangkat terdakwa. Pola hubungan yang dibangun dalam sistem peradilan militer yang menempatkan Terdakwa sebagai junior atau lebih rendah dari pangkat hakim ataupun oditur merupakan implementasi pembinaan peradilan militer tidak terlepas dari pembinaan personil Tentara Nasional Indonesia. Untuk menduduki jabatan tertentu seperti jabatan panitera/oditur/hakim Militer, menunjukan pembinaan organisasi dan personil yang tidak dapat terlepas dari pembinaan prajurit TNI pada umumnya. Pembagian kewenangan suatu pengadilan Militer didasarkan pada faktor kepangkatan, sementara itu kejahatan tidak mengenal pangkat/kelas, apakah itu Tamtama, Bintara, Perwira bahkan Perwira Tinggi pun tidak luput dari kejahatan. Didalam menegakan hukum pidana, struktur peradilan militer dijalankan/digerakan oleh polisi militer, komandan satuan/ankum dan oditur sebagai lembaga penyidikan. Penuntutan oleh oditur militer dan papera menyerahkan/melimpahkan perkara ke pengadilan militer. Pemeriksaan di pengadilan oleh pengadilan militer, dan pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan militer. Proses beracara dan susunan pengadilan, oditurat maupun penyidikan serta lembaga pemasyarakatan militer diatur di dalam Undang Undang Nomor 31 tahun 1997 secara normatif tidak mandiri karena adanya lembaga non yudisial yang turut serta dalam penegakan hukum dalam sistem peradilan militer, seperti para komandan satuan sebagai ankum

341 maupun sebagai papera. Disamping itu pembinaan organisasi, administrasi maupun finansial peradilan militer dilaksanakan oleh Mabes TNI, dengan demikian peradilan militer memiliki dua kaki, yang satu berada di Mahkamah Agung dan kaki yang lain di bawah Mabes TNI. 2. Struktur Peradilan Militer Ke Depan Sistem penegakan hukum pidana dalam peradilan militer ke depan harus mandiri baik secara kelembagaan maupun secara fungsional, terbebas dari campur tangan lembaga lain di luar kekuasaan yudikatif sebagai konsekuensi logis sistem negara hukum yang demokratis. Penyidikan dilaksanakan oleh Polisi Militer yang terdiri Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, secara mandiri, dan bertanggung jawab kepada Komandan Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia. Penuntutan dan pelimpahan perkara ke pengadilan dilaksanakan secara mandiri oleh Oditur Militer, dan bertanggung jawab kepada Oditurat Jenderal Tentara Nasional Indonesia. Pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan militer, dilaksanakan dengan tidak membedakan perlakuan berdasarkan kepangkatan yang disandangnya, tetapi sama sebagai narapidana militer. Kewenangan penghadilan tidak lagi didasarkan kepada kepangkatan Terdakwa, oleh karena itu struktur kewenangan pengadilan militer harus disesuaikan. Kewenangan pengadilan militer sebagai pengadilan tingkat pertama bagi perbuatan yang diakukan oleh seluruh angota TNI, tanpa membedakan pangkat, pengadilan militer tinggi sebagai pengadilan tingkat

342 banding dan pengadilan militer utama ditarik keatas sebagai direktorat jenderal militer sejajar dengan direktorat jenderal tiga lingkungan peradilan yang lain. Susunan persidangan bagi hakim, oditur, pembela, yang bersidang tidak lagi menggunakan pangkat tetapi menggunakan pakaian toga. Pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan Militer sepenuhnya berada dibawah Mahkamah Agung RI seperti pengadilanpengadilan lainnya dilaksanakan secara konsekuen sebagaimana diatur dalam undang-undanga Kekuasaan Kehakiman. B. Saran Berdasarkan keseluruhan pemaparan di atas, saran dalam disertasi ini lebih difokuskan pada perundang-undangan peradilan militer : 1. Kepada Pemerintah/Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pembaharuan terhadap Undang Undang Nomor 31 tahun 1997 militer sehingga ada ketegasan pengaturan dalam undang undang terkait independensi peradila militer, yaitu meliputi : a. Penyidik dalam Pasal 69 meliputi Polisi Militer dan Oditur, sedangkan Ankum tidak tepat lagi sebagai penyidik dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan wewenang Ankum sebagai penyidik. b. Ketentuan mengenai kepaperaan dan wewenangnya dalam kaitan dengan penegakan hukum, antara lain Pasal 122 dan Pasal 123 perlu diadakan perobahan. Apabila kita merujuk kepada Undang Undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP maka dalam kontek penegakan hukum pidana maka unsur-unsur yang terlibat adalah penyidikan oleh

343 Kepolisian RI, penuntutan oleh Jaksa, persidangan oleh Pengadilan dan pelaksanaan pidana oleh Lembaga Pemasyarakatan, maka dalam Peradilan Militer unsur yang terlibat adalah Polisi Militer, Oditur Militer, Pengadilan Militer dan Lembaga Pemasyarakatan Militer. c. Ketentuan mengenai kewenangan pengadilan berdasarkan kepangkatan Terdakwa Pasal 40 dan Pasal 41 tidak perlu lagi dibedakan, mengingat kejahatan dapat terjadi oleh siapa saja, tidak berdasarkan kepangkatan, kedudukan/derajat, suku/ras/golongan dan sebagainya. d. Ketentuan mengenai kepangkatan pejabat persidangan Pasal 16 seperti Hakim, Oditur, tidak perlu lagi diatur, tetapi cukup diatur pakaian sidang menggunakan pakaian Toga. 2. Ketentuan mengenai pembinaan organisasi, administrasi dan finansial Pengadilan Militer sebagaimana diatur dalam undang undang kekuasaan kehakiman perlu dilaksanakan secara konsekuen. 3. Perlunya diatur secara tegas mengenai pembinaan personel TNI yang berdinas di luar struktur Mabes TNI (di Mahkamah Agung) khususnya pembinaan kenaikan pangkat, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Mabes TNI dan Mabes TNI dapat menyetujui sekaligus menerbitkan keputusan kenaikan pangkat.