BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Industri Kreatif Indonesia pada Tahun Seni Pertunjukan. 2 Seni Rupa. 3 Televisi dan Radio.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. karena menurut Maslow (dalam Schultz & Schultz,1994) sebenarnya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. permintaan orang-orang akan hiburan semakin tinggi. Orang-orang

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga perusahaan memiliki strategi tersendiri dalam menarik konsumen yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan kebutuhan konsumen yang bervariasi memberikan peluang bagi para pelaku bisnis terutama di

BAB I PENDAHULUAN. jaman, sehingga menimbulkan persaingan di dalam usaha bisnis. Fashion

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar

PENTINGNYA PEMETAAN DAN HARMONISASI REGULASI EKONOMI KREATIF

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. dilakukan oleh masyarakat. Belanja yang awalnya merupakan real need atau

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan cepat tak terkecuali busana muslim. Desain-desain baru

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kegiatan pemasaran tidak bisa terlepas dari aktifitas bisnis yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Semakin berkembangnya zaman di era modern kebutuhan akan dunia fashion

BAB I PENDAHULUAN. semakin banyaknya pusat-pusat perbelanjaan seperti department store, factory

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi kreatif atau industri kreatif. Perkembangan industri kreatif menjadi

BAB I PENDAHULUAN. inovasi desainer muda yang semakin potensial, tingkat perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan strategi masing-masing dalam mendapatkan konsumen yang diharapkan akan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan rencana. Pembelanja sekarang lebih impulsif dengan 21% mengatakan, mereka tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berkembangnya era globalisasi dan pertumbuhan ekonomi,

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berjenis mall, boutique, factory outlet, clothing, distro, telah menjadikan bisnis ini

2016 HUBUNGAN SEGMEN VALS (VALUE AND LIFESTYLE) DENGAN IMPULSE BUYING PADA KONSUMEN FACTORY OUTLET DI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini yang diiringi dengan pertumbuhan ekonomi, memaksa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pengaruh fashion involvement,

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci utama dalam memenangkan persaingan. harus mengkaji sikap konsumen terhadap produk yang dihasilkan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tampil cantik dan modis dengan gaya elegan, feminine, atau simple kini dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Ritel Global (GRDI) 2015 yang dirilis AT Kearney. Ini adalah tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Semakin sulitnya keadaan perekonomian dunia saat ini yang diakibatkan krisis

2015 PENGARUH BRAND PERSONALITY TERHADAP PURCHASE DECISION U

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan harus mampu memenuhi permintaan konsumen yang semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Persaingan bisnis di era globalisasi ini mendorong banyak individu

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas sehingga tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun masehi, berkembang melalui penemuan mesin-mesin

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dibidang fashion semakin meningkat. Gaya hidup berbelanja. hanya bagi perempuan saja, laki-laki bahkan tidak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan dituntut untuk dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang

BAB I PENDAHULUAN. Industri kreatif saat ini sangat berkembang pesat dan dapat memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern sekarang perkembangan perusahaan yang sangat pesat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (JBE), hlm Dani Mohamad Dahwilani, Pertumbuhan Ritel Indonesia Peringkat 12 Dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sebagian besar konsumen Indonesia memiliki karakter unplanned.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ancaman bagi para pelaku usaha agar dapat memenangkan persaingan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengenakan jilbab atau kerudung sudah menjadi sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. Ini adalah tingkat pertumbuhan ritel tertinggi yang pernah dicapai Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. produk yang mereka perlukan sesuai dengan daftar belanjaan. Namun jika

BAB I PENDAHULUAN. dan terkait dengan tren yang sedang berlaku. Masyarakat sudah menyadari

BAB I PENDAHULUAN. kaum hawa. Bahkan kebanyakan dari mereka merasa bangga dengan

BAB I PENDAHULUAN Kusrianto, Adi Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi Offset halaman

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan Retailing (eceran) adalah kegiatan menyalurkan barang dan jasa

minimal 1 (satu) kali, sedangkan pada tahun 2013 tidak dilaksanakan pameran/ekspo.

BAB 1 PENDAHULUAN. menentukan produk dari produsen mana yang akan menjadi pilihan mereka. Keberhasilan

BAB 1 PENDAHULUAN. mempersiapkan diri menghadapi terjadinya perubahan-perubahan besar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan cara pandang dan persepsi konsumen Indonesia tentang model

Data Statistik dan Hasil Survei EKONOMI KREATIF. Kerjasama Badan Ekonomi Kreatif dan Badan Pusat Statistik

2017, No Peraturan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Nomor 1 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Ekonomi Kreatif (Berita Negara R

BAB I PENDAHULUAN. produk atau jasa untuk menarik simpatik masyarakat. Banyaknya usaha-usaha

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Menurut Mowen dan Minor (2002:10), impulse buying didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang tersebar di semua wilayah Kota Bandung. Sejak dahulu Kota

BAB 1 PENDAHULUAN. kesuksesan maka perlu mempelajari karakteristik yang dimiliki konsumen.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Survei yang dilakukan oleh AC Nielsen

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Konsumen Elzatta di Ruko Sentra Tropodo Sidoarjo. impulsif di Galeri Elzatta Ruko Sentra Tropodo Sidoarjo.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mendapatkan laba. Dengan bersaing, pedistribusian yang cepat dan tepat waktu

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi beserta penemuan-penemuan baru menyebabkan perubahan dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam suatu bisnis terdapat 2 fungsi mendasar yang menjadi inti dari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. macam kegiatan pemasaran yang tidak lepas dari perilaku konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. impulsif menjadi kebiasaan yang rutin di dalam masyarakat, termasuk di

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel modern merupakan industri yang memiliki kinerja yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. produk fashion yang bisa disebutkan. Produk fashion merupakan suatu pasar

BAB V PENUTUP. 1. Fashion Involvement secara signifikan mempengaruhi Impulse Buying. keterlibatan konsumen terhadap produk fashion maka akan

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun internasional mengawali terbukanya era baru di bidang ekonomi yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Ritel adalah sebuah set aktivitas bisnis untuk menambahkan nilai pada produk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dijalani setiap hari, setiap orang pasti membutuhkan sesuatu. Namun, kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. dan pengambilan keputusan pembelian tanpa rencana atau impulsive buying.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. informasi dan gaya hidup. Globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. mengubah pola perilaku konsumsi masyarakat. Globalisasi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pembelian dan cenderung mudah berpindah saluran dan retailer yang berbeda

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan bisnis di bidang industri kreatif masih terbuka luas untuk para pelaku usaha di Indonesia, karena kekayaan budaya dan tradisi Indonesia bisa menjadi sumber kreativitas untuk dikembangkan. Kondisi ini secara signifikan memberikan dampak terhadap perekonomian yang juga kian besar, tak hanya mendatangkan devisa dan mendorong pertumbuhan tapi juga mampu menyerap tenaga kerja. Sumbangan industri kreatif telah mencapai 642 triliun atau 7,05 persen dari PDB nasional dan berkontribusi perolehan devisa sebesar 5,8 persen. Dari sisi tenaga kerja, mampu menyerap 11,8 juta tenaga kerja atau 10,7 persen dari angkatan kerja nasional, diikuti dengan jumlah unit usaha mencapai angka 5,4 juta unit atau 9,7 persen dari total unit usaha. (https://tempo.co/read/news/...,02 Maret 2016) Sub-sektor yang merupakan industri kreatif di Indonesia berdasarkan pemetaan industri kreatif yang telah dilakukan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia adalah sebanyak 16 sektor yang bisa diserap angka-angka kontribusi ekonominya. Lihat tabel 1.1. Tabel 1.1 Industri Kreatif Indonesia pada Tahun 2016 Peringkat Lanjutan Tabel 1.1 1 Seni Pertunjukan 2 Seni Rupa 3 Televisi dan Radio 4 Aplikasi Game 5 Arsitektur 6 Desain Interior Industri Kreatif

7 Desain Komunikasi Visual 8 Periklanan 9 Musik 10 Penerbitan 11 Fotografi 12 Desain Produk 13 Fashion 14 Film Animasi dan Video 15 Kriya 16 Kuliner Sumber: agribisnis.co.id, 2016. Berdasarkan 16 subsektor, terdapat tiga sektor yang berkontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia, yaitu kuliner, fesyen, dan kerajinan. Industri Fesyen merupakan salah satu industri kreatif yang potensial di Indonesia. Produk fesyen merupakan penyumbang kedua terbesar ekspor industri kreatif, dengan total kontribusi mencapai Rp. 76,78 triliun atau 9,51 persen dari total ekspor produk kreatif. Industri fesyen juga meningkatkan pendapatan negara, industri ini juga memiliki nilai positif karena dapat menyerap tenaga kerja dan penyediaan lapangan usaha nasional, industri fesyen mendominasi sektor industri kreatif sebesar 54,32 persen dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 3,838 juta orang, dari 1.107.956 unit usaha. Pada tahun 2015 industri fesyen menyumbangkan Rp. 641,8 triliun terhadap PDB Indonesia. Dari jumlah tersebut, subsektor fesyen menyumbang sebesar 28,29 persen atau setara dengan Rp 181,5 triliun. (http://tempo.co/read/news/..., 02 Maret 2016) Fesyen menjadi kebutuhan primer yang saat ini tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan modern. Fesyen dapat mempengaruhi apa yang dikenakan seseorang dan mampu merefleksikan bagaimana individu mendefinisikan dirinya. Fesyen yang dipilih bisa menunjukkan bagaimana seseorang tersebut memilih gaya hidup yang dilakukan. Fesyen juga memicu pasar dunia untuk terus

berkembang, produsen untuk berproduksi, pemasar untuk menjual, dan konsumen untuk membeli. Sebagai negara berkembang, masyarakat Indonesia kini mulai tertarik terhadap perkembangan dunia fesyen. Saat ini dunia mengenal Paris, Milan, New York, dan London dengan gaya fesyen barat dan juga Jepang dengan harajuku style sebagai kiblat fesyen internasional, namun Indonesia di kabarkan saat ini akan masuk ke dalam daftar kiblat fesyen muslimah dunia. (http://microsite.detik.com/minisite/ wolipopgoestonewyork/...). Hal ini dapat dilihat dari beberapa desainer busana muslim Indonesia yang saat ini mulai sukses di dunia fesyen internasional seperti Dian Pelangi dan Hannie Hananto. Tren fesyen hijab di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, kesan kuno yang melekat pada busana muslim tergantikan dengan kesan modis yang tersemat pada berbagai macam pakaian muslim. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya komunitas-komunitas yang mendiskusikan dan berinovasi pada cara berpakaian hijab. Perkembangan tren fesyen hijab ini menghasilkan istilah baru, yaitu Hijabers. Istilah Hijabers identik dengan wanita Muslim berhijab yang mengikuti perkembangan fesyen. Fenomena Hijabers di Indonesia dapat dilihat dari dibentuknya sebuah komunitas yaitu Hijabers Community. Hijabers Commuity Indonesia didirikan pada tanggal 27 November 2011 di Jakarta, komunitas Hijabers dibentuk karena adanya anggapan yang memandang bahwa busana muslim atau penggunaan hijab bersifat kuno sehingga banyak muslimah yang enggan untuk memakai hijab. Kini dengan adanya tren hijab yang lebih bergaya diharapkan dapat mendorong kaum muslimah untuk menggunakan hijab. Kehadiran komunitas hijabers sangat berpengaruh terhadap perkembangan fesyen muslimah di Indonesia, komunitas inilah yang mendongkrak tren fesyen busana muslim menjadi sangat populer seperti saat ini. Munculnya komunitas hijabers dan muslimah lainnya membuat tren berbusana tersendiri yang akhirnya menjadi era berbusana para muslimah semakin modis dan gaya. Sejauh ini, hampir keseluruhan anggota komunitas telah merasakan manfaat tersebut. Hal ini

sejalan dengan visi utama komunitas Hijabers yaitu menaikkan citra pemakai jilbab melalui fesyen muslimah. Hampir semua anggota Hijabers menerapkan prinsip fesyen dalam penggunaan hijab khususnya ketika berkumpul dalam acara di komunitas. Berbagai model penggunaan hijab yang terbaru lengkap dengan aksesoris hijab dan padanan busana yang juga modern selalu terlihat menonjol ketika anggota komunitas ini berkumpul. Sebagai bentuk kelompok acuan, Hijabers baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi anggotanya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian maupun fesyen tersebut, manusia dapat melakukan berbagai upaya, mulai dari membeli, menyewa, meminjam, atau bahkan mencuri. Namun di antara semua alternatif tersebut, sebagai pengguna barang atau biasa disebut konsumen, membeli merupakan perilaku yang paling umum dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhannya tersebut (Hawkins, Mothersbaugh, & Roger, 2007). Perilaku membeli sebenarnya saat ini tidak hanya terbatas pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk memenuhi hasrat dan sebagai konsep diri serta gaya hidup (Hawkins, Mothersbaugh, & Roger, 2007). Namun terkadang untuk pembelian yang didasarkan pada hasrat, seseorang justru akan kehilangan kontrol dan melakukan pembelian yang tidak terencana atau bahkan tidak seharusnya dilakukan atau yang disebut dengan perilaku konsumtif. Aspekaspek dari perilaku konsumtif yaitu pembelian yang tidak rasional, pembelian yang sia-sia, dan yang terakhir pembelian secara spontan atau biasa disebut impulse buying behavior. Aspek perilaku konsumtif yang ketiga ini merupakan perilaku yang paling rawan terjadi dalam perilaku membeli (Astuti & Maria, 2008). Impulse buying behavior secara umum dikenal sebagai pembelian yang terjadi karena munculnya hasrat (desire) secara tiba-tiba tanpa diikuti dengan proses berpikir mengenai konsekuensi yang kemungkinan akan muncul setelah pembelian. Dari sudut pandang konsumen, kondisi ini sering membawa dampak negatif, antara lain membuat konsumen cenderung membelanjakan uang secara berlebihan serta melakukan pembelian yang tidak bermanfaat.

Impulse buying behavior biasanya sangat dipengaruhi oleh situasi ketika pembelian itu terjadi, seperti atmosfir toko, promosi, dan yang paling penting adalah kategori produk yang dibeli. Riset yang dilakukan oleh Dittmar et al., (1995) menemukan bahwa pertimbangan atau alasan pembelian dalam melakukan impulse buying, mencakup pertimbangan ekonomi/fungsional produk, mood atau suasana hati dan self image. Berbagai riset menunjukkan impulse buying behavior yang terjadi berbeda-beda antara satu produk dengan produk lainnya. Impulse buying behavior sering dilakukan pada produk-produk aksesoris, perhiasan maupun pakaian. Disebutkan pula jika produk-produk yang memiliki hubungan self presentation, self expression, mood, adjustment dan hiburan seperti music items, pakaian, body care, ornament, dan perhiasan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk dibeli secara impulsif dibandingkan dengan produk-produk yang sangat fungsional dan instrumental seperti furniture, perlengkapan dapur atau perlengkapan mobil. Penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa wanita memiliki tingkat kecenderungan yang lebih tinggi daripada pria untuk melakukan pembelian secara impulsif. Hal ini disebabkan oleh orientasi wanita ketika melakukan pembelian lebih mengarah pada desire (hasrat,emosi dan perasaan) dibandingkan actual (logika) mengenai kebutuhan (Astuti & Maria, 2008). Terdapat pendapat tentang wanita yang menghabiskan total waktu hingga tiga tahun dalam seumur hidupnya untuk berbelanja. Diketahui pula bahwa wanita meluangkan waktu yang sama untuk belanja makanan dan pakaian. Ia meneliti sekitar 443 perempuan dengan rentang usia 18 50 tahun guna meneliti perilaku belanja mereka. Dari riset inilah terungkap bahwa sepertiga dari jumlah peserta riset mengaku berbelanja secara impulsif. Lebih dari setengahnya menghabiskan 25 poundsterling atau sekitar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dalam sekali belanja. Ada pula yang berbelanja sampai 250 poundsterling atau Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Uniknya, sebagian besar wanita itu menyesal. Dorongan berbelanja itu amat besar dan sulit dikontrol. Menurutnya, kegiatan berbelanja seringkali hasil dari emosi yang intens. Perempuan merasa stres dan depresi, sehingga mereka memilih belanja untuk menghibur diri. Belanja digunakan sebagai media untuk mengatur emosi (Pine, http://web.inilah.com/read/detail/...,2009)

Fenomena impulse buying behavior ini tidak hanya terjadi di pasar global namun juga marak terjadi di Indonesia, ini karena konsumen Indonesia cenderung memiliki memori jangka pendek yang lebih dominan. Ini adalah gabungan antara tingkat pendidikan dan kelas sosial yang lebih rendah, budaya dan norma, serta pengaruh sistem-sistem yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu konsumen Indonesia juga cenderung tidak memiliki rencana. Ini yang membuat pola belanja konsumen Indonesia relatif tidak teratur. Ini yang membuat proses pembelian melalui impulse buying behavior relatif tinggi. Menurut hasil riset AC Nielsen (2013) mengungkapkan bahwa 10% konsumen yang mengunjungi toko biasanya tidak pernah merencanakan apa yang ingin dibeli sebelum berbelanja. 13% biasanya merencanakan apa yang ingin dibeli, tetapi selalu membeli item tambahan. Sedangkan 61% biasanya merencanakan apa yang ingin dibeli dan terkadang membeli item tambahan. Hal ini menunjukkan sebesar 84% konsumen yang datang ke toko modern terkadang atau selalu membeli barang yang tidak direncanakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar konsumen di Indonesia ketika berbelanja cenderung melakukan pembelian impulsif. Peneliti juga melakukan pra survei dengan menyebarkan kuesioner kepada 30 responden anggota Hijabers Community Bandung. Berdasarkan hasil pra survei tersebut hanya terdapat 53,5 persen pembelanja yang merencanakan apa yang telah dibeli dan tidak membeli item tambahan, 32,1 persen merencanakan apa yag telah dibeli tetapi membeli item tambahan dan sisanya 14,3 persen tidak merencanakan apa yang mereka beli. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anggota Hijabers Community Bandung tidak melakukan pembelian impulse buying.

Saya merencanakan apa yang ingin saya beli dan tidak membeli item tambahan diluar perencanaan sebelumnya. Saya merencanakan apa yang ingin saya beli, tetapi membeli item tambahan yang tidak direncanakan. 40.6% 35.1% Saya tidak merencanakan apa yang ingin saya beli sebelum berbelanja 24.3% 0.0% 5.0%10.0%15.0%20.0%25.0%30.0%35.0%40.0%45.0% Sumber: Pra survey lapangan penulis N=30 pada bulan Mei 2016 Gambar 1. 1 Perilaku Belanja Anggota Hijabers Community Bandung Disaat konsumen akan melakukan pengambilan keputusan atau pembelian, konsumen terlebih dahulu mempertimbangkannya. Ada yang lama dalam memutuskan, mempertimbangkan baik-buruknya, kurang lebihnya, atau untung ruginya. Tetapi ada pula konsumen yang bersikap sebaliknya. Pada saat tersebutlah, konsumen tengah melakukan proses keterlibatan antara sesuatu yang dipikirkan dengan diri mereka sendiri atau biasa disebut dengan keterlibatan. Secara umum konsep keterlibatan adalah interaksi antara individu (konsumen) dengan objek (produk), dalam hal ini berarti keterlibatan konsumen terhadap produk fesyen. Keterlibatan fesyen digunakan perusahaan untuk memprediksi variabel tingkah laku konsumen dalam menentukan pakaian yang akan mereka gunakan, seperti product involvement, tingkah laku membeli, dan karakteristik konsumen (Park et al, 2006, hlm. 436). Konsumen dengan keterlibatan fesyen yang tinggi berarti konsumen ini memiliki ketertatikan tinggi pada produk fesyen dan akan cenderung mengikuti perkembangan produk fesyen. Emosi merupakan sebuah efek dari suasana hati yang merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan konsumen. Biasanya, emosi diklasifikasikan menjadi dua dimensi ortogonal, yaitu positif dan negatif (Park et al, 2006, hlm. 436). Emosi positif dapat ditimbulkan oleh suasana hati individu

yang sudah ada sebelumnya. Emosi mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam membeli suatu barang termasuk pembelian secara impulsif (Park et al, 2006, hlm. 436). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang membeli suatu produk secara impulsif ternyata lebih emosional daripada yang membeli secara terencana. Konsumen yang berada di dalam tingkat emosional yang positif akan lebih mengurangi kompleksitas dalam memilih suatu produk dan memiliki waktu lebih singkat dalam menentukan keputusan pembelian. Penelitian menunjukkan bahwa pengaruh emosi positif dapat memperluas ruang lingkup berpikir dan dapat disimpulkan juga bahwa emosi positif dapat memperluas ruang lingkup tindakan yang akan diambil (Park et al, 2006, hlm. 436). Suasana hati yang positif juga dapat disebabkan oleh stimulus yang diciptakan oleh pemasar. Misalnya, stimulus sensorik didukung oleh fakta bahwa warna barang dan koordinasi warna di berbagai merchandise (Soars, 2003 dan Kerfoot., et al., 2003), pencahayaan (Kerfoot et al., 2003:150), musik, dan aroma (Soars, 2003:631) mempengaruhi keputusan pembelian. Berdasarkan uraian tersebut, baik secara empirik maupun secara teoritis serta dampak pada bidang-bidang lain yang diakibatkan oleh impulse buying behavior ini, tentunya menarik untuk dilakukan penelitian sejauh mana kecenderungan perilaku impulse buying. Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini dipilih judul: PENGARUH KETERLIBATAN FESYEN DAN EMOSI POSITIF TERHADAP IMPULSE BUYING BEHAVIOR. 1.2 Identifikasi Masalah Seperti yang telah di bahas sebelumnya, masalah dalam penelitian ini adalah tentang perkembangan tren fesyen hijab di Indonesia. Perkembangan tren ini menghasilkan istilah baru, yaitu Hijabers. Komunitas Hijabers identik dengan wanita Muslim berhijab yang mengikuti perkembangan fesyen terkini. Sebagai bentuk kelompok acuan, Hijabers akan mempengaruhi anggotanya termasuk dalam hal pemenuhan. Untuk memenuhi kebutuhan akan fesyen, manusia dapat melakukan berbagai upaya, namun membeli merupakan perilaku yang paling umum dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhannya

tersebut. Perilaku membeli tidak hanya terbatas pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk memenuhi hasrat. Namun terkadang untuk pembelian yang didasarkan pada hasrat, seseorang justru kehilangan kontrol dan melakukan pembelian yang tidak terencana atau yang disebut dengan impulse buying behavior. Survei yang dilakukan oleh AC Nielsen pada tahun 2013 melaporkan bahwa konsumen Indonesia semakin impulsif dalam berbelanja, hasil survei menunjukkan bahwa tren impulse buying behavior konsumen Indonesia setiap tahun cenderung naik. Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk lebih meneliti mengenai apa sajakah faktor yang menyebabkan impulse buying behavior ini meningkat. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diungkapkan sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi impulse buying behavior yakni keterlibatan fesyen dan emosi positif. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran mengenai keterlibatan fesyen menurut persepsi anggota Hijabers Community Bandung? 2. Bagaimana gambaran mengenai emosi positif menurut persepsi anggota Hijabers Community Bandung? 3. Bagaimana gambaran mengenai impulse buying behavior menurut persepsi anggota Hijabers Community Bandung? 4. Seberapa besar pengaruh keterlibatan fesyen terhadap impulse buying behavior? 5. Seberapa besar pengaruh emosi positif terhadap impulse buying behavior? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelititan ini adalah untuk mengetahui:

1. Gambaran keterlibatan fesyen menurut persepsi anggota Hijabers Community Bandung. 2. Gambaran emosi positif menurut persepsi anggota Hijabers Community Bandung. 3. Gambaran impulse buying behavior menurut persepsi anggota Hijabers Community Bandung. 4. Untuk mengetahui pengaruh keterlibatan fesyen terhadap impulse buying behavior. 5. Untuk mengetahui pengaruh emosi positif terhadap impulse buying behavior. 1.5 Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam aspek teoritis yaitu bagi perkembangan ilmu manajemen khususnya manajemen pemasaran mengenai fashion involvemet dan emosi positif serta pengaruhnya terhadap impulse buying behavior. 2. Kegunaan Praktis: Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemasar dan peritel mengenai keterlibatan fesyen dan emosi positif yang berpotensial melakukan impulse buying behavior khususnya bagi para pengguna hijab.