BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

RESPON PELAKU USAHA HUTAN RAKYAT TERHADAP KEBIJAKAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL KAYU

BAB I PENDAHULUAN. secara optimal, arif dan bijaksana untuk kesejahteraan manusia serta dijaga

this file is downloaded from

- 2 - Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4412); 7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundan

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG IJIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENEBANGAN DAN PEREDARAN KAYU RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. mendefinisikan hutan sebagai sekumpulan pohon-pohon atau tumbuhan

23 APRIL 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

2 Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negar

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menhut-II/2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.33/Menhut-II/2007

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PEMANFAATAN DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. secara optimal. Pengelolaan hutan di Negara Indonesia sepenuhnya diatur dan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Menurut Undang-undang Kehutanan No. 41

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI ATAS IJIN PENEBANGAN KAYU RAKYAT (IPKR) DAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Izin. Usaha. Perpanjangan. Tatacara. Pencabutan.

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.100, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan. Prosedur. Hutam Produksi.

2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENATAUSAHAAN PEMASARAN KAYU RAKYAT

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Budidaya. Izin Usaha.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGANGKUTAN KAYU BUDIDAYA DARI HUTAN HAK (P.85/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2016)

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Penilaian. Kinerja. Verifikasi. Legalitas. Pemegang Izin. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 25 TAHUN 2005 TENTANG LEGALITAS DAN PEREDARAN HASIL KAYU HUTAN HAK/RAKYAT BUPATI KULON PROGO,

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

II. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN

III. METODE PENELITIAN. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.9/Menhut-II/2012 TENTANG RENCANA PEMENUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI (RPBBI) PRIMER HASIL HUTAN KAYU

Kajian Penyempurnaan Pedoman Penatausahaan Hasil Hutan Di Hutan Hak/Rakyat (Kasus Di Provinsi Jawa Barat) Oleh Epi Syahadat dan Apul Sianturi

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI ACEH TENGAH QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU TANAH MILIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

4. Pemilik Industri Rumah Tangga/Pengrajin terhadap produk kayu yang diproduksinya, termasuk produk kayu yang diolah dari kayu bongkaran/kayu bekas (d

Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013)

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI HASIL PEMANFAATAN KAYU PADA HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG,

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 33 TAHUN 2002 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

KEMENTERIAN - KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Definisi dan Batasan Hutan Rakyat Hutan menurut Undang-undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Status hutan menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 dibagi menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Definisi hutan hak menurut undang-undang tersebut adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Mengacu pada definisi tersebut maka berdasarkan statusnya, hutan rakyat termasuk dalam hutan hak. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang pedoman pemanfaatan hutan hak, bahwa hutan hak identik dengan hutan rakyat yang berupa lahan milik atau lahan yang memiliki sertifikat ijin penggunaan lahan. Hardjanto (2000) menegaskan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Lebih lanjut Hardjanto (2000) mengatakan bahwa hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan, dimana minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa sangat sempit. 2.1.2. Pelaku Pengusahaan Hutan Rakyat Pelaku usaha hutan rakyat dibedakan menjadi dua yaitu petani dan bukan petani hutan rakyat. Petani yang dimaksud di sini menurut Hardjanto (2000) khususnya adalah para petani pemilik lahan seperti kebun, talun, ladang dan istilah lain sejenisnya. Petani lahan basah umumnya tidak termasuk dalam petani hutan rakyat. Sementara itu yang dimaksud bukan petani pada konteks ini, adalah pihak-pihak lain yang terkait dengan usaha hutan rakyat pada masa panen dan pasca panen, mulai dari para penebang pohon, tengkulak/bandar pembeli pohon, penyedia jasa angkutan dan industri pengolah kayu rakyat.

4 Sementara itu, Suharjito (2000) mengatakan bahwa para petani hutan rakyat di Jawa telah menghubungkan dirinya dengan pelaku-pelaku lain dalam suatu jaringan yang telah melibatkan banyak pelaku itulah yang kemudian mengikat (ikatan saling ketergantungan) para pelaku (termasuk petani) untuk terus membudidayakan hutan rakyat. Jaringan usaha tersebut dapat memberikan dampak positif terutama karena sebagian besar hutan rakyat di Jawa dibudidayakan pada lahan yang sempit. Hardjanto (2000) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat yaitu : 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak dan industri dimana petani umumnya masih memiliki posisi tawar yang rendah. 2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total. 2.1.3. Potensi Hutan Rakyat Potensi hutan rakyat dapat diketahui melalui pengukuran luas lahan, volume kayu dan jumlah pohon baik dari jenis yang dominan maupun dari jenis yang tidak dominan. Data mengenai hutan rakyat belum banyak tersedia karena hutan rakyat berada pada hutan milik, tidak terpusat pada areal tertentu dan diusahakan pada skala kecil. Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya, yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantorkantor dinas yang menangani kehutanan diseluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m 3 dengan luas 1.568.415,64 ha, oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m 3 dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019, dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 batang (Darusman dan Hardjanto 2006).

5 Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini produksi dari hutan alam dan hutan tanaman tidak mampu memenuhi semua kebutuhan kayu dalam negeri. Di tengah kondisi seperti itu, kehadiran hutan rakyat memberikan suatu harapan. Prabowo (2000) mengatakan bahwa kayu dari hutan rakyat merupakan pemasok utama kebutuhan kayu lokal dewasa ini. Bukti bahwa hutan rakyat atau hutan hak mulai meningkat peranannya terlihat dari produk-produk kayu yaitu : Bayur, Durian, Jabon, Karet, Kemiri, Sengon, Suren, Sungkai, dan sebagainya yang mulai banyak diminati oleh pasar (BRIK 2007). Selanjutnya BRIK (2007) mengungkapkan bahwa produk plywood telah menggunakan bahan baku, yaitu : Sengon, Durian, Jabon, Bayur, sebagai core, juga untuk finger joint laminating board, barecore, engineering doors, dan packaging boxes. Selain itu kayu Mahoni, Jati, Karet, dan Kelapa banyak digunakan untuk flooring, furniture, dan housing component. 2.2. Penatausahaan Hasil Hutan Penatausahaan hasil hutan didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan/peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. Kebijakan terhadap penatausahaan hasil hutan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menhut-II/2006 untuk Hutan Negara, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2006 untuk Hutan Hak. Implementasi kebijakan tersebut telah efektif berlaku sejak 1 Januari 2007. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan pasal 117 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam rangka melindungi hak-hak negara atas hasil hutan dan kelestarian hutan, dilakukan pengendalian dan pemasaran hasil hutan melalui penatausahaan hasil hutan. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa dalam upaya menjaga hak-hak negara atas hasil hutan dan terjaganya kelestarian hutan, maka harus ada penatausahaan hasil hutan. Penatausahaan hasil hutan dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan di bidang kehutanan, sehingga penatausahaan hasil hutan

6 berjalan dengan tertib dan lancar agar kelestarian hutan, pendapatan negara dan pemanfaatan hasil hutan yang optimal dapat dicapai. 2.3. Surat Keterangan Asal Usul Kayu Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-II/2007 adalah surat keterangan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. Pejabat penerbit SKAU adalah Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang setara, yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Ketentuan Penerbitan SKAU adalah sebagai berikut : 1. Dalam menerbitkan SKAU, Kepala Desa wajib melakukan pemeriksaan atas kebenaran asal usul hasil hutan kayu dan kepemilikannya yaitu dengan mengecek dan memastikan bahwa hasil hutan kayu tersebut berasal dari lokasi yang benar yang dibuktikan dengan adanya alas titel/hak atas tanah. 2. Sebelum menerbitkan SKAU, Kepala Desa melakukan pengukuran atas kayu yang akan diangkut, dan dalam pelaksanaannya dapat menunjuk salah satu aparatnya. 3. Kepala Desa bertanggung jawab atas kebenaran penggunaan SKAU. 2.4. Kebijakan Publik Kebijakan publik menurut Dunn (2003) adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Adapun tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa

7 atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi klien yang dibantunya. Tabel 1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan FASE KARAKTERISTIK ILUSTRASI PENYUSUNAN Para pejabat yang dipilih dan Legislator negara dan AGENDA diangkat menempatkan masalah kosponsornya menyiapkan pada agenda publik. Banyak rancangan undang-undang masalah tidak disentuh sama mengirimkan ke Komisi sekali, sementara lainnya Kesehatan dan Kesejahteraan ditunda untuk waktu lama. untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih. FORMULASI ADOPSI IMPLEMENTASI PENILAIAN Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif. Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesus diantara direktur lembaga, atau keputusan peradilan. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Unit-unit pemeriksaan dan akuntasi dalam pemerintahan menentukan apakah badanbadan eksekutif legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan. Peradilan Negara Bagian mempertimbangkan pelarangan penggunaan tes kemampuan standar seperti SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bias terhadap perempuan dan minoritas. Dalam keputusan Mahkamah Agung pada kasus Roe. V. Wade tercapai keputusan mayoritas bahwa wanita mempunyai hak untuk mengakhiri kehamilan melalui aborsi. Bagian Keuangan Kota mengangkat pegawai untuk mendukung peraturan baru tentang penarikan pajak kepada rumah sakit yang tidak lagi memiliki status pengecualian pajak Kantor akuntasi publik memantau program-program kesejahteraan sosial seperti bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan (AFDC) untuk menentukan luasnya penyimpangan/korupsi. 2.5. Respon Respon dalam arti umum mengandung pengertian jawaban atau reaksi terhadap sesuatu (Agusta 1998 dirujuk dalam Rojat 2001). Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), respons berarti tanggapan; reaksi; jawaban. Respon individu terhadap sesuatu dapat diberikan dalam bentuk ucapan, isyarat, atau tingkah laku yang terobservasi, hal ini tergantung dari kemampuan yang

8 memberikan respon (Newcomb et al 1981 dalam Rojat 2001). Respon yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap penerimaan suatu proyek/kegiatan berbedabeda. Pebedaan respon yang ditunjukkan masyarakat terhadap kegiatan tersebut dapat dilihat dari tahapan yang disebut proses adopsi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) proses-proses adopsi tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu : 1. Awareness stage (Tahap sadar) : Individu belajar dari keberadaan ide baru tetapi kekurangan informasi tentang ide baru tersebut. 2. Interest stage (Tahap minat) : Individu mengembangkan minat dalam inovasi dan mencari informasi tambahan tentang inovasi tersebut. 3. Evaluation stage (Tahap evaluasi) : Individu mengaplikasikan ide baru di dalam kehidupannya dan mengantisipasi situasi yang akan datang dan memutuskan apakah mencobanya atau tidak. 4. Trial stage (Tahap percobaan) : Individu menerapkan ide baru tersebut dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya dalam situasi sendiri. 5. Adoption stage (Tahap adopsi) : Individu menggunakan ide baru secara terus menerus (kontinu) pada skala yang penuh. Perbedaan respon terhadap perubahan yang ditunjukkan oleh masyarakat yang terlibat dalam program ada 3 macam yaitu (Sajogyo dan Pudjiwati 2002) : 1. Respon positif : Terjadi jika orang-orang dalam masyarakat setempat, yakni para penerima suatu unsur baru, terdorong ikut serta mengambil bagian dalam seluruh perencanaan dan pemenuhan proyek tersebut. 2. Pengaruh negatif : Terjadi jika unsur pembaharu tidak berhasil membuat rakyat setempat ikut serta baik dalam perencanaan maupun dalam pemenuhannya. 3. Respon netral : Terjadi jika pengikutsertaan rakyat setempat tidak relevan dengan hasil rencana tersebut.