MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT 1 Dr. Fajar Laksono Suroso 2

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

Abstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XI/2013 Tentang Penetapan Batam, Bintan dan Karimun Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XVI/2018 Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Garam

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 008/PUU-III/2005 (Perbaikan I Tgl. 31 Maret 2005)

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RechtsVinding Online

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 17/PUU-XIV/2016 Kewenangan Daerah dan Penyediaan Tenaga Listrik

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

BAB V KESIMPULA DA SARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 385 dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Konstitusionalisme SDA Migas. Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

CATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA.

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 99/PUU-X/2012 Tentang Hak-hak Petani Dalam Melakukan Kegiatan Pemuliaan Tanaman

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah]

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013 Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 101/PUU-XV/2017 Peralihan Hak Milik atas Tanah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

Transkripsi:

MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT 1 Dr. Fajar Laksono Suroso 2 Pendahuluan Menurut Pasal 24C UUD 1945, terdapat lima kewenangan limitatif Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu (1) menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus pembubaran partai politik; dan (4) memutus perselisihan hasil tentang Pemilihan Umum. Di samping itu, MK juga berwenang memutus pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Melalui kewenangan tersebut, MK bertindak sebagai the guardian of the constitutions. Salah satu substansi terpenting dalam konstitusi adalah jaminan perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia. Konstitusi sebagai landasan utama pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara lahir dari faham konstitusionalisme, yaitu faham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan HAM melalui konstitusi. Bahkan, konstitusi harus selalu berbasis HAM (constitution based upon human rights). Sebagai the guardian of the constitutions itulah, MK menjalankan pula fungsi sebagai the protector of human rights and citizen s constitutional rights. Dalam kerangka fungsi tersebut, tulisan ini menitikberatkan pada peran MK dan implikasi putusan MK dalam kaitannya dengan perlindungan hak konstitusional masyarakat hukum adat. Hak Konstitusional Masyarakat Adat 1 Disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat yang diselenggarakan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, 28 September 2017. 2 Juru Bicara Mahkamah Konstitusi; Peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi; dan Doktor Ilmu Hukum Tata Negara dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. 1

Hak konstitusional warga negara sering disebut sebagai hak asasi manusia yang mendapatkan jaminan dalam konstitusi negara. Suatu hak dinyatakan sebagai hak konstitusional jika (1) merepresentasikan ideologi negara; (2) mengikat semua cabang kekuasaan; dan (3) mengekspresikan tujuan dari nilai dan tata hukum nasional. 3 Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat adat diatur sejak sebelum perubahan UUD 1945. Dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 dijelaskan bahwa terdapat sekitar 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti marga, desa, dan negeri. 4 Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebelum perubahan UUD 1945, juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Pertambangan, dan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan. Sesudah perubahan UUD 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat diatur selanjutnya dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945, yang mengatur sebagai berikut: Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sesudah perubahan UUD 1945 juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ada juga UU Nomor 11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya. Di dalam Undang-Undang 3 Robert Alexy, A Theory of Constitutional Rights, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal.xix. 4 Republik Indonesia, Oendang-Oendang Dasar, BRI Tahun II No. 7 Tahun 1946, penjelasan ps. 18. 2

tersebut, masyarakat adat sebagai pengampu pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik diberikan pengakuan hak untuk mendapatkan pembagian keuntungan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik. Pun demikian pada level pemerintahan daerah, terdapat berbagai peraturan daerah (Perda) dan keputusan kepala daerah yang mengakui keberadaan desa adat. 5 Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 dan menyebabkan salah satu syarat formal permohonan pengujian UU adalah kesatuan masyarakat hukum adat dengan berbagai kualifikasi yang telah diatur dalam UUD, yaitu: 6 (1) sepanjang masih hidup; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan (3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, terdapat beberapa persyaratan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara, yaitu: 7 (1) sepanjang menurut kenyataan masih ada; (2) sesuai dengan kepentingan nasional, dan (3) tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Ketentuan Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: 8 (1) masyarakatnya masih dalam 5 Sebagai contoh, di Provinsi Sumatera Barat dengan Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari yang diubah dengan Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, di Provinsi Bali dengan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003, dan Keputusan Bupati Tana Toraja No. 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang. Dalam Nurul Elmiyah, et al., sebagaimana dikutip dalam Novrizal Bahar dan Owen Podger, Memberdayakan Desa Naskah Akademik Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Undang- Undang tentang Desa,, (Jakarta: DRSP-USAID, 2009),hal. 37. 6 Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 7 Dalam Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 diatur serbagai berikut:...pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyatanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 8 Dalam Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 diatur serbagai berikut: (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 3

bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); (2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (3) ada wilayah hukum adat yang jelas; dan (4) memiliki pranata. Mengingat ketentuan Pasal 18B UUD 1945 mengenai kesatuan masyarakat hukum adat masih sangat umum, maka MK melalui Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual, memperjelas kualifikasi dari masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 18B UUD 1945. Dalam Putusan tersebut, MK berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence), baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidaktidaknya mengandung unsur-unsur 9 (1) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (2) adanya pranata pemerintahan adat; (3) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (4) adanya perangkat norma hukum adat; serta (5) khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial, harus memiliki unsur adanya wilayah tertentu. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka kesatuan masyarakat hukum adat dinyatakan tidak ada lagi dan tidak dapat dihidupkan kembali. Pertimbangan hukum Putusan MK tersebut wajib dijadikan pedoman bagi masyarakat hukum adat manakala hendak mengajukan perkara pengujian undang-undang ke MK. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut: 10 (1) keberadaannya telah diakui berdasarkan UU yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik UU yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah, dan (2) substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Kesatuan masyarakat (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9 Putusan MK Nomor 31/PUU-V/2007 tanggal 18 Juni 2008.. 10 Ibid. 4

hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan RI sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yaitu jika: 11 (1) keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan RI, dan (2) substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat mengandung empat konsekuensi. Pertama, suatu kesatuan masyarakat, diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum sehingga dapat bertindak sebagai subyek hukum yang berbeda dengan individu-individu anggotanya. Status ini menempatkan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang sejajar dengan subyek hukum lain, baik orang maupun badan hukum (publik maupun privat). Dengan demikian terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban, serta dapat melakukan tindakan hukum sebagai satu kesatuan. Masyarakat hukum adat dapat memiliki hak kepemilikan tertentu, seperti atas luas tanah tertentu atau wilayah tertentu (hak ulayat), serta memiliki kewajiban hukum akibat dari tindakan yang dilakukan. Kedua, pengakuan negara terhadap hak dan kewajiban serta kepemilikan kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan sendirinya negara tidak dapat secara sewenang-wenang mencabut atau melanggar hak kepemilikan atau penguasaan tertentu dari masyarakat hukum adat, bahkan jika itu untuk kepentingan pembangunan. Ketiga, pada saat terdapat pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, maka dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan kesatuan masyarakat itu sebagai kesatuan masyarakat hukum. Hal ini sama halnya dengan negara pada saat mengakui suatu korporasi sebagai badan hukum, maka negara mengakui seperangkat aturan hukum korporasi yang dibuat dan mengatur korporasi itu sendiri. Dengan demikian, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga meliputi dan secara langsung merupakan pengakuan negara terhadap eksistensi hukum adat yang dibentuk, berkembang, dan berlaku pada masyarakat tersebut.konsekuensi dari pengakuan ini adalah hukum adat 11 Ibid. 5

ditempatkan sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang harus dibina dan ditegakkan. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat. Hal ini berarti negara tidak dapat begitu saja memaksakan suatu struktur pemerintahan yang berlaku secara seragam di seluruh wilayah Indonesia jika memang di dalam kesatuan masyarakat hukum adat itu memiliki struktur tersendiri. Hal inilah yang dalam konteks pemerintahan daerah melahirkan status daerah istimewa dan daerah yang bersifat khusus. Putusan MK terkait Perlindungan Masyarakat Adat Walaupun telah diakomodir ke dalam berbagai peraturan perundangundangan, bukan berarti tidak terdapat persoalan terkait dengan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat. Bahkan, terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat lebih cenderung terjadi pada level undang-undang. Artinya, keberlakuan norma dalam undang-undang tertrentu justru melanggar hak konstitusional masyarakat hukum adat. Dalam sudut pandang tertentu, pengaturan negara melalui Undang-Undang dikatakan sebagai bentuk pembatasan Negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Terhadap kemungkinan tersebut, UUD 1945 telah menyediakan pranata konstitusional untuk memulihkan hakhak masyarakat hukum adat yang terlanggar undang-undang, yaitu melalui mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di MK. Sebagai lembaga pengawal Undang-Undang Dasar, maka MK berkewajiban untuk turut menjaga, melindungi, dan memulihkan hak-hak sosial, khususnya masyarakat hukum adat. Melalui putusan-putusannya, MK membuktikan bahwa segala upaya dan tindakan yang mengabaikan atau merugikan hak sosial masyarakat hukum adat tidaklah dapat dibenarkan. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, MK telah memutus perkara yang terkait dengan perlindungan terhadap hak konstitusional masyarakat hukum adat. Hal itu dapat dijumpai antara lain dalam Putusan Nomor 55/PUU- VIII/2010 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 6

tentang Perkebunan. Melalui putusan tersebut, MK membatalkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkebunan karena ketentuan-ketentuan tersebut dianggap menguntungkan pengusaha atau perusahaan perkebunan, tetapi mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat sebagai pemilik ulayat atas tanah. Dengan putusan MK tersebut, masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia memiliki landasan kuat untuk memperjuangkan hak konstitusional yang selama ini dilanggar oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, melalui legislasi dan dukungan aparat negara. Berikutnya, melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dalam Pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, MK membatalkan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa HP-3 potensial mengakibatkan hilangnya hak-hak masyarakat adat yang bersifat turun temurun. Padahal, hak-hak tersebut mempunyai karakteristik tidak dapat dihilangkan selama masyarakat adat itu masih ada. Melalui putusan ini, pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak boleh lagi meninggalkan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat yang sudah sejak dulu mengelola perairan pesisir. Dalam uraian argumentasi hukum putusan itu, ada sejumlah hal menarik yang perlu dikemukakan dan dapat dijadikan rujukan hukum guna memberikan proteksi hak-hak tradisional masyarakat pesisir akan hakhaknya 12. Pertama, ditegaskan bahwa wilayah perairan pesisir dan pulaupulau kecil serta sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan wilayah dan sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara. Merujuk pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam 12 Arief Hidayat, Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Pesisir Pulau- Pulau Terluar, Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi yang disampaikan pada Seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 24 Agustus 2017. 7

menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dan berada di wilayah pesisir. Kedua, ada pengakuan bahwa di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah terdapat hak-hak perseorangan, hak masyarakat adat serta hak masyarakat nelayan tradisional, hak badan usaha, atau hak masyarakat lainnya serta berlakunya kearifan lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Untuk itu, penguasaan oleh negara atas wilayah pesisir harus memperhatikan hak-hak yang telah ada itu. Ketiga, mengingat kebebasan negara untuk mengatur dan membuat kebijakan atas wilayah pesisirdibatasi dengan ukuran untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka MK memberi rambu-rambu untuk memastikan apakah pengaturan yang dilakukan oleh negara akan memberikan sebesarbesar kemakmuran rakyat. Ada empat tolok ukur sebagai ramburambu, yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. Jika tolok ukut itu tidak terpenuhi, maka jelas, pengaturan demikian tidak ideal, merugikan pihak-pihak tertentu, dan tentu saja inkonstitusional; Keempat, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sumber daya ekonomi bagi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia adalah bagian dari penyelenggaraan ekonomi nasional harus memperhatikan amanat dan semangat konstitusi. Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Merujuk pada ketentuan Pasal 33 Ayat (4), pemberian HP-3 yang mengarah pada privatisasi pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir kepada usaha perseorangan dan swasta, jelas merupakan pelanggaran prinsip demokrasi ekonomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan. Pengelolaan sumber daya alam selain harus melibatkan rakyat seluas-luasnya, juga harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat 8

secara berkeadilan. Wilayah pesisir tidak boleh dikuasai oleh pihakpihak yang potensial menegasikan hak masyarakat yang berdiam di wilayah itu. Kelima, ditegaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus bertujuan untuk: (i) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber dayapesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, (ii) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta (iii) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan. Keenam, untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara harus tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah pesisir. Selanjutnya, penegasan akan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat juga dapat ditemukan dalam putusan perkara pengujian Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Yang pertama, dalam Putusan Nomor 34/PUU-IX/2011, MK memutus konstitusional bersyarat Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Kehutanan. Putusan ini mengubah ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan menjadi: Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dengan kata lain, penguasaan atas kawasan hutan dan berbagai bentuk pelaksanaan kewenangan pemerintah terhadap kawasan hutan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat hukum adat, dan hak masyarakat yang telah 9

diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Putusan ini menegaskan kembali penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang telah tertuang dalam pasal tersebut, ditambah dengan pengakuan akan hak-hak masyarakat yang diberikan Undang-Undang seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak lain-lain atas tanah. Yang kedua, melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Kehutanan. Putusan ini mengubah Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan mengenai definisi hutan adat. Perubahan tersebut ialah: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. MK menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat (hak ulayat) dan hutan perseorangan/badan hukum. Atas dasar itu, tidak dimungkinkan lagi hutan hak berada dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya, hutan negara dalam wilayah hutan hak dan hutan hak ulayat dalam hutan negara. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara. Melalui Putusan tersebut, MK mengharuskan pengaturan berbeda antara hutan negara dan hutan adat. Terhadap hutan negara, negara memiliki kewenangan penuh dalam peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan hukum di wilayah hutan negara. Sementara untuk hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat yaitu hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah masyarakat hukum adat. Implikasinya, pemerintah harus mengembalikan dan mengakui keberadaan hutan adat yang selama ini telah terlanjut ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Dengan demikian, masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya, karena tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan. Namun demikian, bukan berarti masyarakat adat dengan serta merta berhak mengelola hutannya tanpa aturan pemerintah. Melalui putusan-putusan tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa dengan kewenangan yang dimiliki, MK tidak dapat membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusionalmasyarakat adat. 10

Yang ketiga, Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011. Putusan ini mengubah definisi kawasan hutan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan. Perubahan bunyi Pasal tersebut adalah: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Perubahan tersebut menyebabkan kawasan hutan yang hanya baru selesai ditunjuk tidak memiliki legalitas sebagai kawasan hutan sampai selesai dilakukan seluruh tahapan pengukuhan kawasan hutan. Putusan ini menghendaki Pemerintah segera melakukan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan RTRW dan pendapat masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Keempat, Putusan Nomor 95/PUU-XIII/2014 bertanggal 10 Desember 2015 dalam perkara pengujian UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan ini dikatakan sebagai pelengkap politik hukum perbaikan tata kelola hutan dan lahan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana dimuat pula dalam Putusan MK terdahulu. Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Berdasarkan Putusan tersebut, Pasal 50 ayat (3) huruf e UU menjadi berbunyi sebagai berikut: Setiap orang dilarang:... e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Sementara, Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Kehutanan menjadi, Setiap orang dilarang:... i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Hak konstitusional masyarakat hukum adat sangat terkait dengan eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Artinya, jika hak masyarakat hukum 11

adat dilanggar, maka eksistensi masyarakat hukum adat itu terancam. Atau, setidak-tidaknya akan membuat masyarakat hukum adat kehilangan hak untuk hidup layak di republik ini. Implikasi Putusan MK Putusan MK pada dasarnya mencegah potensi atau memulihkan kerugian yang dialami oleh masyarakat adat. Putusan MK menegaskan kewajiban negara untuk menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak konstitusional masyarakat adat. Hal itu merupakan kewajiban atas hasil (obligation to result) dan bukan merupakan kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct). Kewajiban negara dalam arti obligation to result telah dipenuhi apabila negara dengan itikad baik telah memanfaatkan sumber daya maksimal yang tersedia (maximum available resources) dan telah melakukan realisasi progresif (progressive realization). Seiring dengan putusan-putusan tersebut, sekurang-kurangnya akan timbul 2 (dua) kewajiban hukum utama negara. Kewajiban pertama berkenaan dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM, baik melalui tindakan maupun pendiaman termasuk menjamin pemenuhan secara aktif hak-hak masyarakat hukum adat. Ini berarti negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang merugikan hak masyarakat adat dalam segala bidang, terutama yang paling sering terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Negara tidak boleh diam saja ketika terjadi pelanggaran oleh pihak ketiga terhadap masyarakat hukum adat. Kewajiban kedua berkenaan dengan kewajiban negara melakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran, menyelidiki bila pelanggaran itu terjadi, melakukan proses hukum kepada pelaku pelanggaran, serta melakukan reparasi atas kerugian yang timbul. Pada konteks inilah, melalui Putusan MK sebagaimana yang saya kemukakan, selain melindungi hak konstitusional masyarakat adat, MK juga sesuai dengan kewenangannya berkontribusi mengarahkan dan mengontrol negara agar tidak menghindar dari kewajibannya untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat. Sebab pada dasarnya, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak konstitusional tersebut merupakan adalah tanggungjawab negara, dalam hal ini pemerintah. 12

Untuk diketahui, UUD 1945 tidak membedakan hak konstitusional warga negara berdasarkan perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, apalagi kondisi geografis. Hal itu dapat dilihat dari perumusannya dalam UUD 1945!yang menggunakan frasa setiap orang, segala warga negara, tiaptiap warga negara, atau setiap warga negara. Artinya, hak konstitusional warga negara siapapun dia dan dimanapun dia berada di republik ini samasama wajib dipenuhi oleh negara. Sepanjang ia adalah Warga Negara Indonesia yang tinggal di semua wilayah republik ini, termasuk masyarakat hukum adat, hak konstitusionalnya wajib dilindungi dan dipenuhi. Dalam hal ini, pemenuhannya merupakan kewajiban negara in casu Pemerintah. Kewajiban negara itu merupakan amanat UUD 1945. Oleh karenanya, pelaksanaan amanat ketentuan UUD 1945 tidak boleh ditunda-tunda. UUD 1945 harus bekerja sebagai hukum tertinggi. Oleh karenanya, semua peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah harus menyesuaikan diri kepadanya. Tegasnya, negara tidak dapat menegasi ketentuan UUD, termasuk yang tercermin dalam Putusan MK. ***** 13