BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Permasalahan Sektor Informal di Perkotaan Indonesia Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara - negara berkembang. Di Indonesia, menurut Data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik ( BPS ), November 2003, 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan, sektor informal didominasi oleh sektor pertanian ( 80,6 persen ), sementara di perkotaan didominasi oleh sektor perdagangan 1. Sektor informal meliputi massa pekerja kaum miskin yang produktifitasnya jauh lebih rendah daripada pekerja di sektor modern di kota yang tertutup bagi kaum miskin ini 2. Tidak adanya hubungan kerja kontrak jangka panjang adalah salah satu hal yang mendorong mobilitas angkatan kerja di dalam sektor informal menjadi lebih tinggi. Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang mempermudah tenaga kerja memasuki sektor ini. Beberapa pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan tetap di sektor formal, berusaha untuk bekerja di dalam sektor informal. 3 Bagi mereka, mengembangkan kewirausahaannya di dalam sektor informal adalah lebih menarik daripada harus bekerja di sektor formal. Masalah yang muncul berkenaan dengan sektor informal ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan mereka di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk pedagang 1 Badan Pusat Statistik ( BPS ). Data Indikator Ketenagakerjaan. November 2003. 2 Manning, Chris dan Tadjoedin Noer Effendi. Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota. Gramedia. Jakarta. 1985. hal 141. 3 Ibid. 1
kaki lima atau PKL, demikian diungkapkan oleh Deden Rukmana, seorang kandidat Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota di Florida State University, Amerika Serikat 4. Di berbagai kota, PKL masih selalu dianggap sebagai biang persoalan kota. Ia belum sepenuhnya diakui sebagai salah satu penggerak perekonomian rakyat. Bahkan Harian Kompas menulis bahwa regulasi mengenai pedagang kaki lima, atau PKL, di Kabupaten Sleman atau Kota Yogyakarta dinilai belum aspiratif karena masih berupa penggusuran - penggusuran 5. Keberadaan PKL di kota menimbulkan konflik perebutan ruang antara kaum formal dan informal. Dalam perebutan ruang tersebut, pola usir gusur PKL masih dianggap strategi yang tepat hingga saat ini, dan dilakukan dengan alasan keberadaan PKL merusak wajah kota dan melanggar aturan. 1.1.2. Permasalahan Pedagang Kaki Lima ( PKL ) di Kawasan Jalan Kaliurang UGM Depok SlemanYogyakarta Kawasan Jalan Kaliurang UGM merupakan kawasan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari adanya semua fasilitas pada kawasan ini yang kepemilikannya dimiliki oleh instansi kampus Universitas Gadjah Mada ( UGM ). Fungsi - fungsi bangunan yang ada juga di dominasi oleh fungsi - fungsi pendidikan / akademik. Mengamati perkembangan di kawasan Jalan Kaliurang UGM, khususnya pada batas perempatan Mirota Kampus sampai dengan perempatan Selokan Mataram, akan didapati adanya kondisi dimana keberadaan sektor informal ( PKL ) tumbuh menumpang di dalam lingkup kawasan pendidikan UGM. Mereka berkembang di sepanjang koridor jalan dan menggunakan ruang pedestrian ( trotoar ) bahkan badan jalan sebagai ruang usaha mereka. Keberadaan mereka yang serba tidak teratur, memunculkan visualisasi yang bertolak belakang dengan visualisasi kawasan UGM yang bercitra pendidikan. Hal hal tersebut tentunya menimbulkan masalah bagi kawasan Jalan Kaliurang UGM dan sektor sektor lain yang ada pada kawasan tersebut. 4 5 www.uplink.or.id. Pedagang Kaki Lima dan Informalitas Perkotaan. Desember 2005. www. uplink.or.id. PKL Masih Dianggap Biang Masalah. 11 April 2005. 2
Menurut pengamatan pihak petugas POL PP Kabupaten Sleman, beberapa tenda milik PKL sangat mengganggu kelancaran dan keamanan lalu lintas dan para pejalan kaki di jalan Kaliurang 6. Hal ini juga dinyatakan di dalam lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004 yang menimbang bahwa di dalam perkembangannya, keberadaan pedagang kaki lima di kawasan perkotaan Kabupaten Sleman telah menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum sehingga menimbulkan gangguan ketentraman, ketertiban masyarakat, kebersihan lingkungan, dan kelancaran lalu lintas sehingga perlu dilakukan pengaturan agar tercipta tertib sosial dan ketentraman masyarakat. 7 Realitanya, sebagian PKL PKL di kawasan Jalan Kaliurang UGM memang sudah tidak mentaati peraturan peraturan mengenai cara berdagang di kawasan tersebut. Sebagai contoh, mereka tetap berjualan pada beberapa area yang jelas jelas telah diberi larangan berjualan. Menurut versi sektor informal ( PKL ) di kawasan tersebut yang tergabung di dalam Paguyuban Pekalimagama ( Pedagang Kaki Lima Gadjah Mada ), di dalam kesepakatan anggota paguyuban menyatakan bahwa persoalan yang selama ini sering muncul hanya persoalan kebersihan, kelancaran lalu lintas dan keindahan sehingga konsep penataan yang diharapkan adalah cukup merenovasi yang bermasalah 8. Selama ini, seperti dalam pembuatan - pembuatan peraturan dan rencana penataan, PKL menilai bahwa pemerintah kurang mengikutsertakan mereka. Bahkan di mata PKL, Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun 2004 tentang PKL hanyalah untuk tujuan merelokasi mereka, sementara tidak seluruh paguyuban PKL berorientasi relokasi. PKL sekitar UGM misalnya, bukanlah PKL yang setuju dengan relokasi 9. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menertibkan PKL dengan cara 6 7 1. 8 www.slemankab.go.id. Penertiban PKL, Bukan Berarti Tidak Boleh Berdagang. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 tahun 2004 tentang Pedagang Kaki Lima. Hal Menurut kesepakatan anggota Paguyuban Pekalimagama ( JL Kaliurang UGM CT Depok Sleman Yogyakarta ) di dalam mengajukan konsep Renovasi PKL. 9 Gunardi Brata, Aloysius. Relokasi Kaki Lima : Pemerintah tanpa Melibatkan PKL. Januari 2006. hal 4. 3
relokasi berdampak cukup besar dan berpotensi untuk mengakibatkan penurunan hasil penjualan karena lokasi yang baru belum tentu dapat menguntungkan PKL. PKL bagaikan jamur. Mereka tumbuh dan hadir mendekati konsumen. Mereka selalu muncul pada kawasan manapun yang berpotensial untuk menjadi pasar bagi usaha mereka, meskipun kawasan tersebut bukanlah kawasan yang direncanakan oleh Pemerintah untuk menjadi kawasan perdagangan sekalipun. Hal inilah yang menjadikan PKL dianggap sebagai pedagang ilegal, karena berjualan pada kawasan yang tidak semestinya untuk berdagang. Jalan Kaliurang UGM adalah kawasan pendidikan formal dan bukanlah kawasan perdagangan. Sementara PKL PKL telah berkembang disitu, karena kawasan tersebut memungkinkan untuk memberikan pasar yang cukup bagus bagi usaha berdagang mereka. Pada sisi lain, kehadiran mereka memunculkan masalah dan citra negatif pada kawasan tersebut, terkait dengan keamanan, ketertiban, kebersihan dan keindahan. Karena keberadaan PKL di kawasan Jalan Kaliurang UGM bersifat menumpang, maka alternatif yang harus dilakukan adalah bagaimana agar PKL tetap dapat berdagang dan berkembang di kawasan tersebut sesuai dengan karakteristiknya, namun tidak menimbulkan gangguan bagi kawasan Jalan Kaliurang UGM. Atas dasar ini maka diharapkan PKL dapat berinteraksi secara positif dengan seluruh elemen yang ada di kawasan Jalan Kaliurang UGM, dan PKL juga dapat dikembangkan sebagai salah satu struktur ekonomi kota, sehingga image negatif yang ada pada PKL selama ini dapat diminimalisir. Di dalam penataan PKL, seyogyanya kita harus memahami bahwa PKL merupakan bagian dari masyarakat kota yang harus diperhatikan dan dilindungi. Usaha dan aktivitas PKL meliputi segala karakteristiknya memiliki keunikan tersendiri dan telah berkembang menjadi salah satu tradisi atau budaya masyarakat Indonesia yang semestinya juga harus dilestarikan. 4
1.2. Rumusan Masalah Bagaimana untuk menata dan menyediakan ruang bagi aktivitas berdagang Pedagang Kaki Lima ( PKL ) di kawasan Jalan Kaliurang UGM Depok Sleman Yogyakarta yang berdasarkan pada karakteristiknya; serta mengupayakan agar keberadaannya tidak mengganggu kawasan tersebut, sehingga image negatif pada PKL dapat diminimalisir, dan untuk ke depannya PKL dapat dikembangkan menjadi salah satu struktur ekonomi kota 1.3. Tujuan Melakukan penataan terhadap Pedagang Kaki Lima ( PKL ) di Kawasan Jalan Kaliurang UGM dengan berdasarkan pada karakteristiknya namun juga tetap memperhatikan kepentingan publik dan kawasan di sekitarnya, sehingga keberadaan PKL diharapkan untuk tidak lagi mengganggu kawasan tersebut, dan PKL juga dapat memiliki image positif serta dapat berkembang menjadi struktur ekonomi kota. 1.4. Sasaran Studi tentang Sektor Informal mencakup Pedagang Kaki Lima ( PKL ) pada umumnya. Studi tentang problema kawasan kota pada umumnya dalam kaitannya dengan keberadaan Pedagang Kaki Lima. Studi tentang Pedagang Kaki Lima di Kawasan Jalan Kaliurang UGM - Depok - Sleman Yogyakarta, meliputi segala karakteristiknya. Studi tentang Kawasan Jalan Kaliurang UGM Depok Sleman Yogyakarta, dan dalam kaitannya dengan permasalahan keberadaan PKL di kawasan tersebut. Studi tentang strategi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Daerah Sleman & Yogyakarta di dalam penataan PKL. 5
Studi tentang konsep penataan PKL yang tetap mempertahankan karakteristiknya dan juga memperhatikan kepentingan publik serta kawasan di sekitarnya. 1.5. Lingkup Pembahasan Penataan Pedagang kaki Lima ( PKL ) dibatasi pada PKL di Kawasan Jalan Kaliurang UGM ( dari batas perempatan Mirota Kampus - perempatan Selokan Mataram ) Penataan PKL di Kawasan Jalan Kaliurang UGM dengan berdasarkan pada karakteristiknya, namun juga memperhatikan kepentingan publik dan kawasan di sekitarnya. 1.6. Metode Pembahasan Pembahasan dilakukan dengan melakukan pengamatan dan wawancara terhadap obyek obyek yang berkaitan dengan topik pembahasan di lapangan, kemudian berdasarkan studi literatur dilakukan analisis untuk menemukan permasalahan yang ada, sehingga dapat dirumuskan sebuah riset yang berupa strategi untuk menyelesaikan masalah. 1.7. Sistematika Pembahasan BAB I Merupakan bab awal yang berisi latar belakang pembahasan, rumusan masalah & tujuan pembahasan, sasaran & lingkup pembahasan, disertai metode & sistematika pembahasan. BAB II Berisi tentang tinjauan hal hal yang berhubungan dengan topik pembahasan secara umum, meliputi : tinjauan sektor informal & pedagang kaki lima ( PKL ); tinjauan sektor informal di kota Yogyakarta, tinjauan peraturan daerah Kabupaten Sleman tentang PKL; tinjauan teori penataan PKL berdasarkan karakteristiknya; tinjauan teori kategorisasi kebijakan penataan PKL di kota; tinjauan 6
Kabupaten Sleman - Yogyakarta; serta tinjauan arahan pemerintah mengenai kawasan Jalan Kaliurang UGM. BAB III Berisi tentang tinjauan tinjauan khusus, meliputi tinjauan Pedagang Kaki Lima ( PKL ) di kawasan Jalan Kaliurang UGM Depok Sleman - Yogyakarta, meliputi segala karakteristiknya; tinjauan kawasan Jalan Kaliurang UGM, tinjauan problema kota dalam kaitannya dengan keberadaan PKL; serta tinjauan strategi yang selama ini digunakan oleh Pemerintah Daerah Sleman & Yogyakarta di dalam melakukan penataan PKL. BAB IV Merupakan analisis untuk menuju konsep penataan PKL, meliputi analisis analisis terhadap : keterkaitan antara PKL di kawasan Jalan Kaliurang UGM dengan setting kawasannya; karakteristik PKL di kawasan Jalan Kaliurang UGM; kelebihan & kekurangan sarana yang dimiliki PKL; kategorisasi PKL; besaran & kebutuhan ruang PKL; kriteria kualitas untuk PKL; level konflik antara PKL dengan pemerintah / publik; perencanaan regulasi yang baru untuk melakukan penataan PKL; serta perencanaan kerja sama dengan pihak ketiga untuk melakukan proyek penataan PKL. BAB V Membahas tentang konsep penataan di dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang dibahas, meliputi : penataan zoning, penataan ruang & waktu, penataan desain sarana PKL, penataan utilitas, serta penataan ruang sirkulasi dan parkir. BAB VI Berisi tentang kesimpulan dari konsep penataan PKL di Kawasan Jalan Kaliurang UGM Depok Sleman Yogyakarta. 7