1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas sayuran unggulan yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi, serta mempunyai prospek pasar yang baik. Dalam dekade terakhir ini, permintaan bawang merah untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan. Namun produktivitas tanaman bawang merah di Indonesia tergolong masih rendah. BPS (2011) mencatat, selama setahun terakhir ini, produksi bawah merah Nasional menurun tajam hingga 155.810 ribu ton atau sekitar 14.85 persen. Produksi bawang merah di tahun 2011 mencapai 893.124 ribu ton dengan luas panen sebesar 93.667 ribu hektar. Adapun untuk rata-rata produksinya adalah 9.54 ton per hektar. Untuk memenuhi permintaan akan bawang merah yang terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya berbagai industri yang memerlukan bahan baku bawang merah, maka produksi dan kualitas hasil bawang merah harus senantiasa ditingkatkan, dan penanaman bawang merah harus dapat dilakukan sepanjang tahun agar pasokan dan harganya tidak berfluktuasi. Peningkatan produksi bawang merah dihadapkan pada masalah kelangkaan benih yang bermutu dan harga benih yang mahal. Selama ini, para petani masih menggunakan umbi sebagai bahan tanam. Penggunaan umbi bibit sebagai bahan tanam menghabiskan biaya produksi mencapai 40% sehingga ongkos produksi menjadi permasalahan tersendiri dalam budidaya bawang merah (Suherman & Basuki 1990). Biaya yang tinggi ini mencakup besarnya gudang untuk penyimpanan benih, kehilangan selama penyimpanan karena rusak atau berkecambah, serangan penyakit tular benih dan hama penyakit. Disamping itu, mutu umbi bibit kurang terjamin karena hampir selalu membawa patogen penyakit seperti Fusarium sp., Colletotrichum sp., Alternaria sp. dan virus dari tanaman asalnya yang terserang, sehingga menurunkan produktivitasnya (Permadi 1993). Sebagian petani menggunakan umbi bibit asal impor yang harganya relatif mahal untuk menghasilkan benih yang berdaya hasil tinggi. Salah satu cara untuk
2 mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan biji botani atau true shallot seed (TSS). Penggunaan biji botani bawang merah untuk budidaya bawang merah belum banyak dilakukan. Sebagai bahan tanam, TSS memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan menggunakan umbi antara lain penyimpanan yang mudah, biaya pengangkutan lebih murah, kebutuhan benih lebih sedikit (6 kg/ha setara Rp 7.2 juta) dibandingkan umbi bibit biasa (+1,5 t/ha setara Rp 37.5 juta) (Permadi 1993; Ridwan et al.1989), menghasilkan tanaman yang lebih sehat dan biji bebas virus dan penyakit tular benih, serta menghasilkan umbi dengan kualitas yang lebih baik yaitu lebih besar dan bulat (Permadi 1993). Penelitian Sumarni et al (2005) menunjukkan bahwa produksi bawang merah kultivar Bima asal TSS dapat mencapai 33,30 ton/ ha. Masalah utama dalam produksi TSS adalah rendahnya kemampuan berbunga dan menghasilkan biji bawang merah yang secara alami rata-rata hanya 30% di dataran tinggi sedangkan di dataran rendah tidak berbunga (Putrasamedja & Permadi 1994). Rendahnya persentase pembungaan bawang merah disebabkan oleh keadaan cuaca, terutama fotoperiodisitas yang pendek (<12 jam) dan ratarata suhu udara harian yang cukup tinggi (>18 0 C), sehingga tidak mendukung terjadinya pembungaan secara optimal. Tanaman bawang merah membutuhkan suhu yang rendah (7-12 0 C) dan fotoperiodisitas yang panjang (>12jam) untuk keperluan inisiasi pembungaan (Brewster 1990). Selama ini, untuk memproduksi bunga dan biji bawang merah masih difokuskan di dataran tinggi, karena merupakan lokasi yang cocok untuk menghasilkan pembungaan bawang. Pada umumnya bawang merah dapat berbunga dan menghasilkan biji, dan selanjutnya biji akan digunakan sebagai alat perbanyakan. Masalah yang dihadapi adalah tidak semua bawang merah dapat berbunga di dataran rendah. Di Baranang Siang, Bogor pernah ditemukan bawang merah berbunga, akan tetapi tingkat pembungaannya sangat rendah (Prakoso 1983). Menurut Sumarni et al (2009) kondisi cuaca di dataran rendah tidak cocok untuk terjadinya inisasi pembungaan bawang. Namun terdapat indikasi bahwa pembentukan buah dan biji, kondisi cuaca di dataran rendah lebih cocok daripada
3 di dataran tinggi karena untuk pembentukan buah dan biji dibutuhkan suhu yang lebih tinggi. Pembungaan tanaman bawang merah dapat dirangsang oleh suhu rendah selama pertumbuhannya. Pemberian perlakuan suhu rendah secara buatan (vernalisasi) pada umbi bibit dapat merangsang pembungaan bawang merah. Satjadiputra (1990) melaporkan bahwa perlakuan vernalisasi dengan suhu 10 0 C selama 30-35 hari pada umbi bibit bawang merah, dapat meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah. Penelitian yang dilakukan di dataran tinggi menunjukkan bahwa perlakuan vernalisasi pada umbi bibitnya menghasilkan persentase tanaman yang berbunga sebanyak 51.33% dengan hasil biji 6.89 kg/ha di dataran tinggi (Sumarni & Soetiarso 1998). Peningkatan pembungaan dapat dilakukan dengan penambahan zat pengatur tumbuh secara eksogen seperti giberelin yang dapat menginduksi dan merangsang pembungaan, dan dapat menggantikan sebagian atau seluruh fungsi suhu rendah dalam merangsang pembungaan (Galston & Davies 1970). Auksin juga dapat merangsang pembungaan, mengatur perkembangan bunga dan pembentukan buah, serta mencegah gugur bunga dan bakal buah (Leopold & Kriedemann 1979). Sumarni dan Sumiati (2001) melaporkan bahwa perlakuan vernalisasi yang dikombinasikan dengan 200 ppm GA 3 dan 50 ppm NAA dengan aplikasi penyemprotan pada umur 3 dan 5 minggu setelah tanam menghasilkan pembungaan sebesar 51.67% dengan produksi biji sebesar 3.36 atau setara dengan 22.40 kg/ha. Terdapat berbagai macam teknik aplikasi yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Weaver (1972), ada tiga metode aplikasi yang sering digunakan, salah satunya adalah perendaman. Perendaman yang dilakukan ada umbi bibit bawang merah pada lautan GA 3 diharapkan dapat meningkatkan induksi bunga pada titik tumbuh karena apabila diberikan dengan penyemprotan, GA 3 akan merangsang pemanjangan sel sehingga tidak memiliki efek pada primordia bunga karena tunas generatif telah terbentuk sejak induksi dalam umbi. Harbaugh dan Wilfret (1979) melaporkan bahwa perendaman umbi 3 kultivar Caladium hortulanum dalam larutan 250 ppm GA 3 selama 8-16 jam meningkatkan jumlah bunga per tanaman. Pemberian NAA
4 dilakukan dengan cara penyemprotan karena fungsi NAA lebih pada perkembangan bunga danpembentukan buah, serta mencegah gugur bunga dan bakal buah (Leopold & Kriedemann 1979). Berdasarkan permasalahan tersebut perlu diketahui pengaruh vernalisasi dan zat pengatur tumbuh terhadap pembungaan dan produksi TSS di dataran rendah, karena selama ini penelitian tentang pembungaan untuk memproduksi TSS baru dilakukan di dataran tinggi. Sumarni et al (2005) melaporkan bahwa pembungaan bawang merah di dataran rendah Subang (150 mdpl) tidak optimal dibandingkan di dataran tinggi Lembang (1250 mdpl) sehingga perlu dilakukan penanaman baik di dataran tinggi dan dataran rendah untuk melihat respon pembungaan di kedua tempat tersebut yang mendapatkan perlakuan vernalisasi dan zat pengatur tumbuh. Perlakuan vernalisasi dan pemberian zat pengatur tumbuh diharapkan dapat meningkatkan pembungaan bawang merah terutama di dataran rendah.
5 Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah: 1. Mempelajari peran vernalisasi dan GA 3 terhadap pembungaan serta hasil biji bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi. 2. Mendapatkan konsentrasi GA 3 terbaik terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi. 3. Mempelajari peran NAA terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah yang sebelumnya diberi perlakuan vernalisasi + GA 3. 4. Mendapatkan konsentrasi NAA terbaik terhadap pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran rendah dan di dataran tinggi. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Kombinasi vernalisasi dengan konsentrasi 100 ppm GA 3 dapat meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran tinggi dan dataran rendah. 2. GA 3 dapat menggantikan vernalisasi dalam meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran tinggi dan dataran rendah 3. NAA yang diberikan pada tanaman yang sudah divernalisasi + 100 ppm GA 3 dapat meningkatkan pembungaan dan hasil biji bawang merah di dataran tinggi dan dataran rendah.