Sumarma, SH R

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut sistem

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk negara kesatuan ini maka penyelenggaraan pemerintahan pada prinsipnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

DASAR HUKUM, PRINSIP DAN TITIK BERAT OTONOMI DAERAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SRAGEN DILIHAT DARI PERSPEKTIF AKUNTABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

BAB I PENDAHULUAN. diserahkan kepadanya. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak sekedar

EVALUASI KINERJA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENERAPKAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI ASPEK KEUANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Orde Baru yang menghendaki tegaknya supremasi hukum, demokratisasi dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah yang dilaksanakan dalam Negara kesatuan Republik

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas EKONOMI. Program Studi MANAJEMEN. Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.

APA ITU DAERAH OTONOM?

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penuh atas kehidupan bangsa nya sendiri. Pembangunan nasional yang terdiri

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Panduan diskusi kelompok

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA VERTIKAL

PELAKSANAAAN TUGAS DAN WEWENANG CAMAT DALAM MEMBINA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KECAMATAN IMOGIRI BERDASARKAN PERATURAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

PERGESERAN KEWENANGAN CAMAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN: STUDI MENGENAI PERANAN CAMAT SEBAGAI KONSEKUENSI DARI PERUBAHAN UU.

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

I. PENDAHULUAN. daerah (dioscretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN WONOGIRI DAN KABUPATEN KARANGANYAR DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

TAHUN : 2006 NOMOR : 09

BAB I PENDAHULUAN. bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal.

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Bab I: Pendahuluan A.Latar Belakang B. Permasalahan Bab II: Pembahasan UU No. 5 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

I. PENDAHULUAN. Strategi pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam rangka memacu dan mempercepat

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya kemakmuran rakyat, sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Manajemen Berbasis Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

TESIS. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Magister. Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara.

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. wadah negara kesatuan RI yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Upaya

2 alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status orang asing tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Sedangkan Peristiw

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II

DESENTRALISASI. aris subagiyo

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun merupakan landasan pemerintah dalam mengatur kegiatannya dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

PELAYANAN PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DITINJAU DARI PENEGAKAN HUKUM DI KANTOR SAMSAT KLATEN. Oleh :

b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 dan UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Dede Mariana ABSTRAK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau didalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan

Transkripsi:

PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DIBIDANG PERTANAHAN KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SEBAGAI WUJUD KEBIJAKAN NASIONAL DIBIDANG PERTANAHAN RINGKASAN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Magister Ilmu Hukum (S2) Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara Diajukan Oleh : Sumarma, SH R.100020053 PRORAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2005

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Berdasarkan ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Asas desentralisasi bermakna membagi kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan adanya model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraan kewenangan. Pengertian desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya mempunyai perbedaan. Istilah otonomi cenderung pada political aspect (aspek politik kekuasaan negara). Sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada 1

2 administrative aspect (aspek administrasi negara). Namun jika dilihat dari konteks sharing of power (pembagian kekuasaan), dalam praktiknya kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu berhubungan dengan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah, demikian pula sebaliknya. 1 Kewenangan otonomi daerah di dalam suatu negara kesatuan tidak boleh diartikan adanya kebebasan penuh dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya sekehendak daerah tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah. Sebenarnya pemberian otonomi daerah dalam negara kesatuan essensinya telah terakomodir dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang intinya membagi daerah Indonesia atas daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streek en locate recht gemeenschappen) dengan dibentuk badan perwakilan rakyat atau hanya berupa daerah administrasi saja. Daerah besar dan kecil yang diberikan kewenangan otonomi bukan merupakan negara bagian, melainkan daerah yang tidak terpisahkan dari dan dibentuk dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan 1 Ryaas Rasyid, 2000, Perspektif Otonomi luas Dalam Buku Otonomi atau Federalisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 78

3 pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi di lapisan bawah, tetapi juga mendorong aktivitas bagi lingkungannya sendiri. Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah guna mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya. Dalam otonomi, daerah leluasa untuk menggunakan dana, baik yang berasal dari daerahnya tanpa campur tangan pemerintah pusat, ada keleluasaan untuk menggali sumber-sumber potensial yang ada didaerahnya, keleluasaan untuk berprakarsa, memilih alternatif, menentukan prioritas dan mengambil keputusan untuk daerahnya, keleluasaan untuk memperoleh dana perimbangan pusat dan daerah yang memadai, yang didasarkan atas kriteria obyektif dan adil. 2 Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang didalamnya antara lain mengatur mengenai 2 Ryaas Rasyid, op.cit, hlm. 80

4 wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah Provinsi, Kabupaten dan daerah Kota yang ketiganya berstatus daerah otonom. Pada dasarnya daerah otonom tidak bertingkat yang satu dengan yang lain tidak mempunyai hubungan sub-ordinasi. Daerah provinsi bukan merupakan pemerintah atasan dari daerah Kabupaten dan Kota. Dengan demikian, daerah Provinsi, daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang mengatur bahwa Kabupaten/Kota adalah dub-ordinasi dari provinsi atau dengan kata lain Gubernur adalah atasan dari Bupati/Walikota dan Gubernur (sebagai kepala daerah) adalah bawahan dari Presiden. Dalam pembagian daerah otonom, yaitu menjadikan daerah Kabupaten dan daerah Kota sebagai daerah otonom murni, dan tidak merangkap sebagai wilayah administrasi. Di daerah Kabupaten dan daerah Kota dianut asas desentralisasi murni, asas dekonsentrasi tidak dipergunakan lagi di daerah Kabupaten dan daerah Kota, kecuali di daerah provinsi. Asas tugas pembantuan dari pemerintah pusat, baik kepada daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan Desa masih dimungkinkan dengan konsekuensi pembiayaan sarana dan prasarana dan SDM dari pemerintah yang menugaskannya. Pengaturan dalam semua Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah membuat peranan Kepala Daerah sangat strategis, karena Kepala Daerah merupakan komponen signifikan bagi keberhasilan pembangunan nasional. Ketidakmampuan Kepala Daerah dalam mensukseskan

5 pembangunan daerah berimplikasi pada kaedah atau berkurangnya kinerja dan efektivitas penyelenggaraan pembangunan nasional. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka pemberian kewenangan otonomi kepada daerah Kabupaten dan daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Pengertian otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,

6 pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya arus reformasi yang menimbulkan efek samping berupa euphoria yang melihat semua produk orde baru keliru. Muncul gagasan untuk memperbaharui Undang-Undang Pemerintah Daerah dengan beberapa pemikiran yang sangat maju tanpa menyadari bahwa perubahan memang diperlukan tetapi perlu dilakukan secara gradual. Produk perundang-undangan lama dianggap keliru dan harus digantikan dengan yang baru tanpa mengkaji apakah undang-undangnya yang salah atau penafsiran dan pelaksanaannya yang sengaja dibuat untuk kepentingan penguasa. Dengan itu lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang merubah secara drastis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Ketika penyelenggaraan negara dilakukan dengan sangat sentralistis, tawaran otonomi luas dan desentralisasi telah menjadi penyejuk hampir semua daerah. Pemberian otonomi yang luas diyakini mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa bahkan secara ideal otonomi daerah dapat menciptakan pembangunan daerah yang berkeadilan serta berbagai hal yang indah-indah. Namun perlu kita waspadai bahwa otonomi daerah tidak seindah harapan yang dibayangkan. Selain menjanjikan harapan kemakmuran dan kemandirian daerah, ternyata tersembunyi ancaman bahaya yang mengerikan karena penyakit keakuan keleluasaan yang menjurus pada pemaksaan kehendak

7 untuk mencapai tujuan dengan isu berpisah dari negara kesatuan. Hal ini telah menimbulkan konflik antar Kabupaten/Kota atau antar provinsi dengan Kabupaten/Kota. Dengan itu kondisi masyarakat tingkat pemerintah Kabupaten/Kota yang selama ini kurang mendapat kebebasan, seperti terlepas dari beban yang berat akibatnya muncul euphoria berlebihan dengan berbagai tuntutan yang menimbulkan akses terhadap pelaksanaan demokrasi. Tuntutan berlebihan itu sering tidak dapat dicegah sehingga era otonomi luas bergulir tanpa kendali. Desentralisasi dan otonomi daerah didistorsikan sekedar sebagai persoalan penyerahan urusan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, sehingga terjadi dikotomi di mana di satu pihak daerah hanya melihat bahwa otonomi luas berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah mengatur kewenangan daerah menjadi sangat luas. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi : (1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintah selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 yang diatur dalam Pasal 9 (2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja

8 Khusus bidang pertanahan sampai saat ini belum diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota karena masalah pertanahan adalah masalah yang komplek sehingga perlu diatur secara nasional dengan dasar-dasar pertimbangan : 1. Tanah merupakan perekat kesatuan dan persatuan bangsa 2. Hukum agraria harus bersifat Nasional/Domein Unifikasi Hukum Agraria Nasional 3. Sistem Internasional menyangkut titik dasar teknis (pengukuran global), dimana Indonesia secara makro adalah bagian dari titik dasar Internasional 4. Harus adanya hubungan yang bersifat vertikal, maksudnya harus adanya kesamaan dalam penetapan hak dan fungsi Sertifikat Hak Atas Tanah. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya Pemerintah Pusat melimpahkan sebagian kewenangan yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, dalam Pasal 2 ayat 2 telah dilimpahkan beberapa kewenangan kepada pemerintah Kabupaten/Kota yang meliputi : 1. Pemberian ijin lokasi 2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan 5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee

9 6. Penetapan penyelesaian masalah tanah utama 7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong 8. Pemberian ijin membuka tanah 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota Atas dasar perkembangan dan pemikiran tersebut di atas penulis melakukan penelitian tentang pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan demikian penulis mengambil judul tentang PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DI BIDANG PERTANAHAN KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA SEBAGAI WUJUD KEBIJAKAN NASIONAL DI BIDANG PERTANAHAN. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana bentuk pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota? 2. Bagaimanakah implementasi pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003? 3. Bagaimanakah penyelesaiannya apabila implementasi pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan mengalami hambatan? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bentuk pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah Kabupaten/Kota?

10 2. Untuk mengetahui implementasi pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 34 Tahun 2003 3. Untuk mengetahui solusi penyelesaiannya apabila implementasi pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan mengalami hambatan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan Hukum Tata Negara, khususnya yang berkaitan dengan pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah 2. Memberikan gambaran yang jelas mengenai implementasi pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan dan faktor-faktor yang dapat menjadi penghambat pelaksanaan pelimpahan kewenangan tersebut 3. Memberikan sumbangan pemikiran tentang solusi penyelesaian terhadap hambatan yang terjadi dalam implementasi pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan. E. Metode Penelitian 1. Jenis Data Data yang akan dikumpulkan adalah data sekunder, sebab penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Data sekunder tersebut diperoleh dari bahan-bahan hukum, yang terdiri dari :

11 a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) 3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan 5) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, yaitu : 1) Buku-buku 2) Jurnal, artikel, laporan penelitian 3) Risalah Sidang MOR c. Bahan Hukum Tertier, adalah bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder, yaitu: 1) Kamus Hukum 2) Kamus Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 3) Ensiklopedia. 2. Cara Memperoleh Data Untuk memperoleh data, dilakukan dengan cara studi pustaka (library research). Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan

12 mempelajari bahan-bahan hukum yang relevan dengan penulisan hukum ini. 3. Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menyeleksi dan mengklarifikasi data secara sistematis, logis dan yuridis. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, maka data dianalisis secara kualitatif. F. Sistematika Pembahasan Guna memudahkan dalam memahami isi dari Tesis ini, berikut disajikan tentang sistematika pembahasan yang penulis pergunakan dalam penyusunan Tesis ini : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selanjutnya dalam bab ini juga diuraikan tentang metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Kemudian pada akhir dari bab ini disajikan tentang sistematika pembahasan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan tentang tinjauan pustaka yang penulis pergunakan sebagai pedoman dalam penyusunan tesis ini yang meliputi pengertian otonomi daerah, sejarah otonomi daerah di Indonesia, bentuk dan

13 susunan pemerintahan daerah, kepala daerah dan perangkat daerah dan pada akhir dari bab ini akan disajikan tentang pembinaan dan pengawasan otonomi daerah. BAB III KEBIJAKAN NASIONAL DI BIDANG PERTANAHAN Dalam bab ini akan diuraikan tentang hak menguasai dari negara dan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh perseorangan menurut ketentuan yang ada dalam UUPA. Selanjutnya pada akhir dari bab ini akan diuraikan juga mengenai hak ulayat dalam UUPA. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian dan sekaligus dilakukan pembahasan mengenai bentuk pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan, kemudian implementasi pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan kepada Kabupaten/Kota dan pada akhir dari bab ini diuraikan faktor-faktor penghambat pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan kepada Kabupaten/Kota dan upaya-upaya penyelesaiannya yang merupakan solusi alternatif. BAB V PENUTUP Dalam bab ini akan penulis sajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penulisan tesis ini. Di samping itu juga akan disampaikan saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran dari penulis terhadap masalah pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota

14 DAFTAR PUSTAKA Dalam daftar pustaka ini disajikan daftar buku-buku literatur, artikelartikel, makalah-makalah dan berbagai peraturan perundang-undangan yang penulis pergunakan sebagai acuan dalam menyusun tesis ini. LAMPIRAN Dalam lampiran ini disajikan beberapa lampiran yang penulis anggap perlu, guna mendukung dan menambah pemahaman pembaca dalam memahami tesis ini.