BAB I PENDAHULUAN. satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. akan berkaitan dengan istri atau suami maupun anak-anak yang masih memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Peran bank sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terlihat dalam pembukaan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. bank. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No.7 Tahun

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan. strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang dilaksanakan saat ini adalah pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kebutuhan yang mutlak, oleh para pelaku pembangunan baik. disalurkan kembali kepada masyarakat melalui kredit.

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA PT. BPR ARTHA SAMUDRA DI KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi mempunyai makna sebagai suatu bagian dari

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

BAB I PENDAHULUAN. provisi ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. nasabah merupakan kegiatan utama bagi perbankan selain usaha jasa-jasa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dan. dan peningkatan pembangunan yang berasaskan kekeluargaan, perlu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Guna mewujudkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari

BAB I PENDAHULUAN. melindungi segenap Bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undangundang

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh bank sebagai suatu lembaga keuangan, sudah semestinya. hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian untuk mewujudkan perekonomian nasional dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, salah satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan permohonan kredit yang diberikan perbankan nasional. Peranan bank seperti yang tersurat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) yaitu sebagai penyalur dana untuk masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dapat digunakan sebagai tambahan dana yang diperlukan bagi kegiatan usaha para nasabah debitur, tambahan dana tersebut sangat menunjang kegiatan bisnis pada khususnya dan kegiatan ekonomi pada umumnya. Penyaluran dana (fund lending) adalah kegiatan usaha meminjamkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit (utang). Menurut Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 1 1 Abdulkadir Muhammad, Rilda Murniaty, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 58

Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur didasarkan atas kepercayaan dan harus dilakukan dengan hati-hati 2 karena kredit yang diberikan selalu mengandung risiko, selain permasalahan kredit yang macet, juga ada permasalahan wanprestasi, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar batas waktu atau tidak melaksanakan ketentuan yang ada di dalam perjanjian kredit, bila ini terjadi bank akan mengalami kerugian. Maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu bank mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usaha, jaminan yang diberikan serta faktorfaktor lainnya. Tujuan analisis adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman. 3 Lebih lanjut tentang jaminan atau agunan di dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang ditegaskan bahwa: Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibanya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. 2 Dalam pemberian kredit atau pembiayaan bank selalu melakukan analisis kridit yang merupakan salah satu upaya untuk memenuhi asas prinsip kehati-hatian (prudential banking principle) 3 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 101.

Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembangkan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Di dalam ketentuan Pasal 1 butir 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa: Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, oleh karena itu agunan tersebut merupakan upaya preventif, apabila kemudian hari pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama dengan kata lain akan melahirkan kredit macet. 4 Apabila terjadi wanprestasi akan berlaku ketentuan jaminan secara umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang mengatakan: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa; Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para debitur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua Pasal ini memberi jaminan kepastian hukum kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap terpenuhi dengan adanya jaminan dari 4 Terjadinya kredit macet pada bank, maka penyebabnya hanya ada dua yaitu: (1) Karena adanya error comission yaitu timbulnya kredit macet yang diakibatkan oleh adanya unsur kesengajaan manusianya untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan, dan (2) Error comission yaitu timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya peraturan.

kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari. Adapun hubungan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata adalah bahwa kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi semua kreditur dengan hak mendahului (right preferens). Permintaan jaminan khusus oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan realisasi dari prinsip kehati-hatian bank sebagaimana ditentukan Undang-undang Perbankan. Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling dominan dan dianggap strategis dalam penyaluran kredit bank. Jaminan kebendaan yang paling banyak diminta oleh bank adalah berupa tanah karena secara ekonomis tanah mempunyai prospek yang menguntungkan. Kelahiran Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya cukup disebut UUHT) dapat mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat. Menurut ketentuan Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah: Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 5 5 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2000), hal.158

Pasal 8 ayat (2) UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan) menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan (memberikan hak tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yag telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), sebagai bendabenda yang berkaitan dengan tanah. Pasal 18 UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), menetapkan bahwa peristiwa-peristiwa apa saja yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Dari cara penyebutannya, orang bisa menyimpulkan, bahwa yang menjadi maksud dari pembuat Undang-undang untuk menentukan secara limitatif peristiwaperistiwa yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Salah satu peristiwa yang menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1d) UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah

hapusnya hak atas tanah. Hapusnya hak atas tanah dapat ditafsirkan fisik tanah/persilnya yang hapus maupun hak atas tanahnya. Hapusnya tanah dalam arti fisik jarang sekali terjadi dan hanya bisa terjadi karena tanah tersebut tertimbun total, misalnya oleh tanah lain sebagai akibat letusan gunung berapi atau tertutup air, atau karena gerusan air sungai sebagai akibat berpindahnya alur air, sehingga merendam tanah yang bersangkutan, atau terkena tsunami seperti bencana yang terjadi di Aceh atau dapat pula yang terjadi karena perbuatan yang disengaja seperti pada perendaman desa untuk pembuatan waduk. Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya waktu, untuk mana hak itu diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya daripada hak milik seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai terbatas waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada yang bersangkutan kembali atau pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada kekuasaan negara. B. Permasalahan Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah kedudukan Hak Tanggungan sebagai hak salah satu bentuk hak jaminan? 2. Bagaimanakah hapusnya hak atas tanah yang dibebani oleh Hak Tanggungan? 3. Bagaimanakah kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan a. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan Hak Tanggungan sebagai hak salah satu bentuk hak jaminan. b. Untuk mengetahui dan menganalisis hapusnya hak atas tanah yang dibebani oleh Hak Tanggungan. c. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan. 2. Manfaat a. Teoritis Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum pidana terkait dengan peran pembimbing kemasyarakatan dalam perlindungan hak anak. b. Praktis 1) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menentukan kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan jika terjadi hapusnya Hak Tanggungan. 2) Sebagai sumbang saran bagi instasni terkait, khususnya dalam dunia perbankan. 3) Sebagai bahan kajian kalangan akademisi dalam upaya menambah wawasan ilmu pengetahuan.

D. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Unversitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Akibat Hapusnya Hak Atas Tanah yang Diagunkan Karena Hak Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai objektivitas dan kejujuran. E. Tinjauan kepustakaan Dalam peraturan perundang-undangan telah memberikan pengaman kepada kreditur dalam menyalurkan kredit kepada debitur, yakni dengan memberikan jaminan umum menurut Pasal 1131 dan 1132 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut KUH Perdata), yang menentukan bahwa semua harta kekayaan (kebendaan) debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan kreditur. Apabila terjadi wanprestasi maka seluruh harta benda debitur dijual lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur. Namun perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan belum memberikan rasa aman bagi kreditur, sehingga dalam praktik penyaluran kredit, bank memandang perlu untuk meminta jaminan khusus terutama yang bersifat kebendaan. Permintaan jaminan khusus oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan realisasi dari prinsip kehati-hatian bank sebagaimana ditentukan UU

Perbankan. Dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa: Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan Disamping itu dalam ilmu Ekonomi Perbankan terdapat suatu azas yang harus diperhatikan oleh Bank sebelum mamberikan kredit kepada nasabahnya yaitu yang dikenal dengan istilah The five C s of Credit, artinya pada pemberian kredit tersebut harus diperhatikan lima faktor, yaitu Character (karakter), Capacity (kemampuan mengembalikan utang), Collateral (jaminan), Capital (modal), dan Condition (situasi dan kondisi). Di dalam setiap kredit selalu diperlukan jaminan atau anggunan. Adapun jaminan yang dapat diberikan berbentuk benda tidak bergerak (tetap), misalnya tanah, rumah, dan pekarangan,sawah, ladang, tambak dan lain sebagainya. Sebetulnya yang dijadikan jaminan disini adalah hak atas tanah tersebut diatas. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 (Pasal 28) dijadikan jaminan hutang dengan di bebani Hak Tanggungan 6 antara lain: 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan. Obyek Hak Tanggungan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Nomor 5 Tahun 1960 diatas sekarang telah diatur dengan adanya UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), Nomor 4 6 Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 45

Tahun 1996 yang disebutkan pada Pasal 4 ayat (1), Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan. Selain Hak-hak atas tanah diatas disebutkan juga pada Pasal 2 UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), Hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan,dan juga disebutkan pada Pasal 4 UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan), Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan juga disebutkan pada Pasal 27 bahwa: Ketentuan undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Adapun fungsi daripada jaminan tersebut adalah demi keamanan modal yang diberikan oleh kreditur kepada debitur (si pemberi modal). Hal ini memang sudah sewajarnyalah hak-hak dari kreditur harus dilindungi dan disinilah letak arti penting lembaga jaminan. Kebijakan yang longgar dalam perkreditan juga sangat diperlukan demi perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah yaitu para petani kecil, pedagang kecil, para pegawai kecil. Mereka semua itu memerlukan kredit untuk mengembangkan usahanya disamping kurang mampunya untuk memberikan jaminan yang memadai untuk jaminan bagi kredit yang diperlukan. Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling dominan dan dianggap strategis dalam penyaluran kredit bank. Jaminan kebendaan yang paling banyak

diminta oleh bank adalah berupa tanah karena secara ekonomis tanah mempunyai prospek yang menguntungkan. Dalam praktek terlihat, bahwa sebagian besar benda yang menjadi objek jaminan adalah tanah. Hal ini dikarenakan tanah mempunyai nilai ekonomi yang senantiasa meningkat. Kondisi yang demikian ini disebabkan oleh nilai permintaan dan ketersediaan barang (tanah) yang senantiasa semakin besar. Sesuai dengan hukum ekonomi, kondisi ini mengakibatkan nilai tanah cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kenyataan diatas telah menempatkan tanah sebagai benda jaminan yang ideal. Tanah memilik peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujukan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Oleh karena itu pengaturan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib dibidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud. Dengan demikian jelaslah, bahwa negara harus mengatur segala sesuatunya yang berkaitan dengan tanah (merupakan bagian dari bumi) tersebut, agar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga mengenai penggunaan dan penguasaan tanah tersebut, telah dituangkan pengaturannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan lebih dikenal dengan sebutan Undang- Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA).

Tujuan utama diberlakukannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) adalah untuk memberikan pengaturan penggunaan dan penguasaan tanah selain itu, juga terlihat dalam konsideran UUPA dibagian berpendapat yang antara lain menyebutkan: 7 Perlu adanya hukum agraria, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia Bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai dimaksud diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria Dengan demikian jelaslah tujuan pemberlakuan UUPA (Undang- Undang Pokok Agraria) tersebut adalah untuk menghilangkan sifat dualisme dalam hukum tanah nasional, yang berarti terciptanya unifikasi hukum tanah nasional dan terciptanya kepastian hukum mengenai hak atas tanah, disamping tercapainya fungsi tanah secara optimal sesuai dengan perkembangan kebutuhan rakyat Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mengenai hak tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, 8 selanjutnya disingkat UUHT (Undang-Undang Hak Tanggungan). 7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Op. cit, hal. 550 8 Eugenia Liliawati Mulyono, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, (Jakarta: Harvarindo, 2003), hal. 1

Pasal 1 ayat (1) UUHT: dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Sebagaimana yang terkandung dalam UUHT, maka unsur-unsur pokok Hak Tanggungan antara lain: 9 1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA; 3. Hak Tanggungan dapat dibebankan terhadap tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu; 4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu; 5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain. Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut. Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian kedudukan yang diutamakan kepada kreditur-kreditur lain tidak dijumpai di dalam penjelasan Pasal 1 tersebut, tetapi dijumpai di bagian lain dalam UUHT, yaitu di dalam 9 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan, (Bandung: Alumni, 1999) hal. 11

Angka 4 Penjelasan Umum UUHT. Dijelaskan dalam Penjelasan Umum itu bahwa yang dimaksud dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain ialah: bahwa jika kreditur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Mencermati pengertian Hak Tanggungan yang terdapat pada Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1996, dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Menelaah dengan saksama terhadap kalimat "kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur lain", hal ini tidak dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 maupun penjelasannya, namun kalimat tersebut dapat diketemukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Hukum Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa: Bahwa jika debitur cedera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku. Selain dalam penjelasan umum UUHT, ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan yang diutamakan tertentu terhadap kreditur lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa: Apabila debitur cedera janji, maka berdasarkan: (a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya. Pasal 8 ayat (2) UUHT, menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada dikemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT. Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh UUHT sebagai Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pasal 18 UUHT menetapkan bahwa peristiwa-peristiwa apa saja yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Dari cara penyebutannya, orang bisa menyimpulkan, bahwa yang menjadi maksud dari pembuat Undang-undang untuk menentukan secara limitative peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan hapusnya

Hak Tanggungan. Dalam Pasal 18 UUHT disebutkan mengenai hapusnya Hak Tanggungan Yaitu: (1) Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. (2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. (3) Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19. (4) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin. Salah satu peristiwa yang menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1d) UUHT, bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah. Hapusnya hak atas tanah dapat ditafsirkan fisik tanah/persilnya yang hapus maupun hak atas tanahnya. Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya waktu, untuk mana hak itu diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya daripada hak

milik seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai terbatas waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada yang bersangkutan kembali atau pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada kekuasaan negara. F. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 10 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumbersumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumendokumen terkait dan beberapa buku tentang kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. 10 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal. 57.

2. Sumber Data a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 11 Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Perubahannya dan peraturan lain yang terkait. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. 11 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 19.

4. Analisis Data Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. A. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini akan membahas TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN, yang memuat tentang Dasar hukum dan pengertian Hak Tanggungan, Unsurunsur Hak Tanggungan, Ciri-ciri dan sifat Hak Tanggungan, Subjek dan objek Hak Tanggungan, Tahap-tahap pembebanan Hak Tanggungan. BAB III: Bab ini akan membahas tentang hapusnya hak atas tanah objek Hak Tanggungan, yang mengulas tentang pengertian hak atas tanah, hak atas tanah sebagai objek Hak Tanggungan, hapusnya hak atas tanah objek Hak Tanggungan.

BAB IV: Bab ini akan membahas tentang kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, yang membahas dan menganalisa akibat hukum hapusnya hak atas tanah yang diagunkan, kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan akibat hapusnya hak atas tanah yang diagunkan BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.