121 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan di balik belum direvisinya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab belum adanya Undang- Undang baru yang disahkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Upaya untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang tersebut selalu menuai jalan buntu dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock atau jalan buntu dalam pembahasan RUU peradilan militer, yang dimaksudkan disini adalah tidak adanya titik temu antara pemerintah dan DPR dalam hal penentuan yurisdiksi peradilan militer itu sendiri. DPR di satu sisi menginginkan agar peradilan militer hanya berwenang mengadili militer yang melakukan tindak pidana militer saja, dan militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di bawah peradilan umum. Dengan dasar dan asas yang dipakai adalah equality before the law principle, mandat reformasi dan tidak tercapainya keadilan yang baik dalam pengusutan perkara pidana umum yang dilakukan militer di dalam lingkup peradilan militer. Sedangkan di sisi lain Pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Pertahanan dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia tetap pada pemberlakuan yurisdiksi peradilan militer
122 berwenang mengadili setiap tindak pidana (tindak pidana militer dan tindak pidana umum) yang dilakukan oleh militer dengan dasar dan asas spesialitas militer, pengedepanan kepentingan militer dan ketidakmampuan peradilan umum dalam melakukan pengusutan perkara pidana umum yang dilakukan oleh militer. Alasan kedua adalah Pemerintah tetap tegas pada posisi awal dan tidak mau berkompromi agar peradilan militer berwenang mengadili setiap tindak pidana (tindak pidana umum dan tindak pidana militer) yang dilakukan oleh militer. Political will dari pemerintah yang pada dasarnya tidak bersedia militer yang melakukan tindak pidana umum untk diadili di peradilan umum. Dengan kerasnya sikap pemerintah ini memunculkan presepsi miring bahwa pemerintah khususnya TNI sengaja menjadikan peradilan militer yang berwenang mengadili setiap tindak pidana yang dilakukan oleh TNI (kecuali pelanggaran HAM berat) sebagai benteng atau sekat yang mengamankan militer yang melakukan tindak pidana umum dari proses penegakan keadilan dalam rangka supermasi hukum dan sipil 2. Kelanjutan arah politik hukum pidana yang tercantum di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Paradigma reformasi dan arah politik hukum pidana yang tercantum di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 berjalan di tempat. Hal ini dikarenakan paradigma dan politik hukum yang terkandung di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 dan
123 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang menginginkan militer tunduk di bawah peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk di bawah peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum belum dapat diaplikasikan. Penundukan militer yang melakukan tindak pidana umum di bawah peradilan umum belum bisa berlaku dikarenakan masih berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur yurisdiksi peradilan militer berwenag mengadili tindak pidana termasuk tindak pidana umum yang dilakukan oeh militer. Sejak tahun 2000 sudah dilakukan upaya pembaharuan Undang- Undang Noor 31 Tahun 1997 ini dengan dibuatnya Rancangan Undang- Undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 namun selalu mandek dalam pembahasannya di DPR karena tidak tercapainya titik temu mengenai yurisdiksi peradilan militer antara DPR dengan Pemerintah. 3. Pengaturan Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana yang Melibatkan Militer di Masa yang Akan Datang a) Yurisdiksi Peradilan Bagi Militer Dalam pengaturan yurisdiksi peradilan bagi kalangan militer di masa yang akan datang tidak lagi didasarkan kepada subyek pelaku melainkan di lihat dari jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh militer tersebut. Peradilan militer nantinya hanya memiliki kewenangan mengadili militer yang melakukan tindak pidana
124 murni militer yang memiliki pengertian segala bentuk tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang berstatus militer contohnya disersi, pengkhianatan militer, penyerahan pos terhadap pihak lawan, dan lain sebagainya. Selanjutnya jika seorang militer melakukan tindak pidana umum atau melakukan pelanggaran hukum pidana umum, dia berada di bawah kekuasaan peradilan umum. b) Tindak Pidana Militer Redefenisi tindak pidana militer sudah sangat diperlukan dalam perkembangan hukum pidana. Pengelompokan tindak pidana militer menjadi tindak pidana militer murni dan tindak pidana militer campuran sudah tidak relevan lagi dan sudah seharusnya tindak pidana militer itu dititik beratkan pada tindak pidana militer murni saja. Tindak pidana militer hanya berkaitan dengan segala bentuk tindak pidana yang dilakukan TNI yang berkaitan dengan jabatan dalam kemiliteran c) Eksistensi Ankum dan Papera Dalam Proses Peradilan Umum Bagi Militer. Peranan komandan sebagai Ankum dan Papera tidak boleh dikesampingkan dalam proses penyelesaian perkara pidana di peradilan militer. Keberadaan Ankum dan Papera ini didasari dengan Asas Unity of command atau asas kesatuan komando, agar pengusutan perkara pidana di lingkup peradilan militer tidak sampai mengganggu keutuhan dan kordinasi dalam kesatuan serta mobilitas kesatuan.
125 Namun setelah diberlakukan yurisdiksi peradilan umum berwenang mengadili militer yang melakukan tindak pidana umum, maka mekanisme Ankum dan Papera ini nantinya tidak bisa diterapkan. Karena dengan sendirinya mekanisme tersebut gugur dengan karena mekanisme Ankum dan Papera tersebut hanya berlaku dalam hukum acara di peradilan militer. Walaupun nantinya mekanisme Ankum dan Papera ini tidak berlaku, setiap tahapan proses hukum di peradilan umum yang melibatkan seorang militer harus selalu dikoordinasikan dan diinformasikan kepada komandan prajurit militer yang bersangkutan agar komandan selalu tahu apa yang terjadi atau yang dialami anak buahnya. d) Penyidikan dan Persidangan bagi Militer dalam proses peradilan umum Di masa yang akan datang ketika militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum, dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan dibuat perpaduan antara unsur polisi militer dan unsur kepolisian atau berikan saja kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap militer yang melakukan tindak pidana umum kepada polisi militer dan selanjutnya diserahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan, dan hal ini nantinya diatur secara tegas di dalam Undang- Undang baru yang menggantikan keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Selanjutnya berkaitan dengan persidangan militer di peradilan umum nantinya, disusupkan unsur hakim militer di dalamnya dengan alasan agar di dalam mengadili militer yang melakukan tindak
126 pidana umum nantinya majelis hakim juga bisa dengan baik dan mudah mengakomodasi atau mempertimbangkan kepentingan militer. B. Saran 1. Diharapkan Pemerintah mau bersedia berkompromi dalam hal penundukan militer yang melakukan tindak pidana umum di bawah yurisdiksi peradilan umum, karena penundukan militer yang melakukan tindak pidana umum di bawah yurisdiksi peradilan umum adalah salah satu amanat reformasi yang harus dilaksanakan dalam rangka perbaikan sistem hukum kita khususnya sistem peradilan pidana militer di Indonesia. 2. Diharapakan pemerintah dan DPR segera membuat dan mengesah Undang-Undang baru yang menggantikan keberadaan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Undang- Undang yang baru harus memuat paradigma dan mengakomodasi juga amanat reformasi di bidang peradilan militer kita seperti yang dimuat di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 tentang Peran dan Tugas TNI dan Polri, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dan pembaharuam hukum acara pidana militer harus juga diikuti perubahan hokum pidana materilnya dalam hal ini KUHPM 3. Masyarakat khususnya para akademisi dan LSM terkait harus selalu mengawal dan melakukan pengawasan terhadap proses pembentukan Undang-undang peradilan militer yang baru, karena undang-undang
127 tentang peradilan militer nantiya tidak hanya berdampak terhadap keidupan militer tetapi juga juga memiliki dampak yang besar dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.