BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum tersebut terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

BAB IV PENUTUP. 1. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan suatu conditio sine qua non dalam

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pembahasan di atas, dapat ditarik tiga kesimpulan sebagai berikut:

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

BAB I PENDAHULUAN. dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut. penjajahan hukum belanda. Dalam Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

SOP Sentra Gakkumdu dan Tantangannya. Purnomo S. Pringgodigdo

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis

YURISDIKSI PERADILAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. informasi, bukti, keterangan ditempat kejadian suatu peristiwa yang diduga

PEMECATAN PRAJURIT TNI

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI KALANGAN MILITER SKRIPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ORIGINITAS DISERTASI ABSTRAK

Pendahuluan. security). Laporan YLBHI No.10, November 2005

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003

V. PENUTUP. 1. Bagaimana Efektivitas Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi di Polres Lampung Barat.

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA YANG TERJADI DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PROSES PERADILAN TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Revisi UU KPK Antara Melemahkan Dan Memperkuat Kinerja KPK Oleh : Ahmad Jazuli *

Sumber: Dewi, A.I, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka book Publisher : yogyakarta.

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. fungsi dan wewenang, sebagai suatu organisasi yang baik dan kuat memiliki

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CATATAN HASIL SIDANG TAHUNAN MPR 2000

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

Pengadilan Umum. Perangkat atau Alat Kelengkapan Lembaga Peradilan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

PELAKSANAAN UPAYA PAKSA TERHADAP ANGGOTA POLRI PELAKU TINDAK PIDANA DI WILAYAH HUKUM POLRES JAYAPURA KOTA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. akan diuraikan mengenai karakteristik responden. Adapun responden tersebut

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

9/6/2013 suwarnatha.webs.com

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

YURISDIKSI PERADILAN TERHADAP PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN

BAB III PROSEDUR PERKARA KONEKSITAS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN DI INDONESIA

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN DESERSI 1 Oleh : Devit Mangalede 2

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas pada bab-bab

BAB I PENDAHULUAN. tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat demi kebaikan dan ketentaraman bersama, hukum mengutamakan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Transkripsi:

121 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan di balik belum direvisinya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab belum adanya Undang- Undang baru yang disahkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Upaya untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang tersebut selalu menuai jalan buntu dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock atau jalan buntu dalam pembahasan RUU peradilan militer, yang dimaksudkan disini adalah tidak adanya titik temu antara pemerintah dan DPR dalam hal penentuan yurisdiksi peradilan militer itu sendiri. DPR di satu sisi menginginkan agar peradilan militer hanya berwenang mengadili militer yang melakukan tindak pidana militer saja, dan militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di bawah peradilan umum. Dengan dasar dan asas yang dipakai adalah equality before the law principle, mandat reformasi dan tidak tercapainya keadilan yang baik dalam pengusutan perkara pidana umum yang dilakukan militer di dalam lingkup peradilan militer. Sedangkan di sisi lain Pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Pertahanan dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia tetap pada pemberlakuan yurisdiksi peradilan militer

122 berwenang mengadili setiap tindak pidana (tindak pidana militer dan tindak pidana umum) yang dilakukan oleh militer dengan dasar dan asas spesialitas militer, pengedepanan kepentingan militer dan ketidakmampuan peradilan umum dalam melakukan pengusutan perkara pidana umum yang dilakukan oleh militer. Alasan kedua adalah Pemerintah tetap tegas pada posisi awal dan tidak mau berkompromi agar peradilan militer berwenang mengadili setiap tindak pidana (tindak pidana umum dan tindak pidana militer) yang dilakukan oleh militer. Political will dari pemerintah yang pada dasarnya tidak bersedia militer yang melakukan tindak pidana umum untk diadili di peradilan umum. Dengan kerasnya sikap pemerintah ini memunculkan presepsi miring bahwa pemerintah khususnya TNI sengaja menjadikan peradilan militer yang berwenang mengadili setiap tindak pidana yang dilakukan oleh TNI (kecuali pelanggaran HAM berat) sebagai benteng atau sekat yang mengamankan militer yang melakukan tindak pidana umum dari proses penegakan keadilan dalam rangka supermasi hukum dan sipil 2. Kelanjutan arah politik hukum pidana yang tercantum di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Paradigma reformasi dan arah politik hukum pidana yang tercantum di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 berjalan di tempat. Hal ini dikarenakan paradigma dan politik hukum yang terkandung di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 dan

123 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang menginginkan militer tunduk di bawah peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk di bawah peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum belum dapat diaplikasikan. Penundukan militer yang melakukan tindak pidana umum di bawah peradilan umum belum bisa berlaku dikarenakan masih berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur yurisdiksi peradilan militer berwenag mengadili tindak pidana termasuk tindak pidana umum yang dilakukan oeh militer. Sejak tahun 2000 sudah dilakukan upaya pembaharuan Undang- Undang Noor 31 Tahun 1997 ini dengan dibuatnya Rancangan Undang- Undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 namun selalu mandek dalam pembahasannya di DPR karena tidak tercapainya titik temu mengenai yurisdiksi peradilan militer antara DPR dengan Pemerintah. 3. Pengaturan Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana yang Melibatkan Militer di Masa yang Akan Datang a) Yurisdiksi Peradilan Bagi Militer Dalam pengaturan yurisdiksi peradilan bagi kalangan militer di masa yang akan datang tidak lagi didasarkan kepada subyek pelaku melainkan di lihat dari jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh militer tersebut. Peradilan militer nantinya hanya memiliki kewenangan mengadili militer yang melakukan tindak pidana

124 murni militer yang memiliki pengertian segala bentuk tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang berstatus militer contohnya disersi, pengkhianatan militer, penyerahan pos terhadap pihak lawan, dan lain sebagainya. Selanjutnya jika seorang militer melakukan tindak pidana umum atau melakukan pelanggaran hukum pidana umum, dia berada di bawah kekuasaan peradilan umum. b) Tindak Pidana Militer Redefenisi tindak pidana militer sudah sangat diperlukan dalam perkembangan hukum pidana. Pengelompokan tindak pidana militer menjadi tindak pidana militer murni dan tindak pidana militer campuran sudah tidak relevan lagi dan sudah seharusnya tindak pidana militer itu dititik beratkan pada tindak pidana militer murni saja. Tindak pidana militer hanya berkaitan dengan segala bentuk tindak pidana yang dilakukan TNI yang berkaitan dengan jabatan dalam kemiliteran c) Eksistensi Ankum dan Papera Dalam Proses Peradilan Umum Bagi Militer. Peranan komandan sebagai Ankum dan Papera tidak boleh dikesampingkan dalam proses penyelesaian perkara pidana di peradilan militer. Keberadaan Ankum dan Papera ini didasari dengan Asas Unity of command atau asas kesatuan komando, agar pengusutan perkara pidana di lingkup peradilan militer tidak sampai mengganggu keutuhan dan kordinasi dalam kesatuan serta mobilitas kesatuan.

125 Namun setelah diberlakukan yurisdiksi peradilan umum berwenang mengadili militer yang melakukan tindak pidana umum, maka mekanisme Ankum dan Papera ini nantinya tidak bisa diterapkan. Karena dengan sendirinya mekanisme tersebut gugur dengan karena mekanisme Ankum dan Papera tersebut hanya berlaku dalam hukum acara di peradilan militer. Walaupun nantinya mekanisme Ankum dan Papera ini tidak berlaku, setiap tahapan proses hukum di peradilan umum yang melibatkan seorang militer harus selalu dikoordinasikan dan diinformasikan kepada komandan prajurit militer yang bersangkutan agar komandan selalu tahu apa yang terjadi atau yang dialami anak buahnya. d) Penyidikan dan Persidangan bagi Militer dalam proses peradilan umum Di masa yang akan datang ketika militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum, dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan dibuat perpaduan antara unsur polisi militer dan unsur kepolisian atau berikan saja kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap militer yang melakukan tindak pidana umum kepada polisi militer dan selanjutnya diserahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan, dan hal ini nantinya diatur secara tegas di dalam Undang- Undang baru yang menggantikan keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Selanjutnya berkaitan dengan persidangan militer di peradilan umum nantinya, disusupkan unsur hakim militer di dalamnya dengan alasan agar di dalam mengadili militer yang melakukan tindak

126 pidana umum nantinya majelis hakim juga bisa dengan baik dan mudah mengakomodasi atau mempertimbangkan kepentingan militer. B. Saran 1. Diharapkan Pemerintah mau bersedia berkompromi dalam hal penundukan militer yang melakukan tindak pidana umum di bawah yurisdiksi peradilan umum, karena penundukan militer yang melakukan tindak pidana umum di bawah yurisdiksi peradilan umum adalah salah satu amanat reformasi yang harus dilaksanakan dalam rangka perbaikan sistem hukum kita khususnya sistem peradilan pidana militer di Indonesia. 2. Diharapakan pemerintah dan DPR segera membuat dan mengesah Undang-Undang baru yang menggantikan keberadaan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Undang- Undang yang baru harus memuat paradigma dan mengakomodasi juga amanat reformasi di bidang peradilan militer kita seperti yang dimuat di dalam Tap MPR NO.VII/MPR/2000 tentang Peran dan Tugas TNI dan Polri, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dan pembaharuam hukum acara pidana militer harus juga diikuti perubahan hokum pidana materilnya dalam hal ini KUHPM 3. Masyarakat khususnya para akademisi dan LSM terkait harus selalu mengawal dan melakukan pengawasan terhadap proses pembentukan Undang-undang peradilan militer yang baru, karena undang-undang

127 tentang peradilan militer nantiya tidak hanya berdampak terhadap keidupan militer tetapi juga juga memiliki dampak yang besar dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.