BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA. A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HUBUNGAN FUNGSIONIL ANTARA PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM DALAM DELIK ADUAN RICK SYEKH ALIF SAPUTRA / D

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II LANDASAN TEORI

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

PENYIDIKAN DELIK ADUAN PENCURIAN DALAM KELUARGA PASAL 367 KUHPIDANA 1 Oleh: Roky Rondonuwu 2

PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING. Fachrizal Afandi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan timbul dalam kehidupan masyarakat karena berbagai faktor

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA A. Pencurian Dalam keluarga merupakan Delik Aduan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Delik Aduan adalah suatu delik yang hanya dapat dituntut apabila yang dirugikan mengajukan pengaduan (klachten). 26 Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari para pakar di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana, anatara lain: 1. Menurut Samidjo Delik aduan (klacht delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan melakukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan. 27 2. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan. 28 3. Menurut P.A.Lamintang 26 Atang Ranoemihardja, Hukum Pidana: Azas-azas, Pokok Pengertian dan Teori serta Pendapat beberapa Sarjana, (Bandung: Tarsito, 1984)., hal.105. 27 Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia,(Bandung: Armico, 1985)., hal.156 28 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentar Lengkap, (Bogor: Politea, 1994)., hal 87

Tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht Delicten. 29 Menurut pendapat para sarjana di atas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau puhak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Alasan dari adanya delik aduan ini adalah, bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu dari pada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak mengurangkan prinsip opportuniteit dalam hokum pidana, bahwa Penuntut Umum (kejaksaan) senantiasa juga terhadap delik-delik aduan mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara bagi kepentingan umum. Sering timbul pertanyaan apakah polisi bila melihat seorang yang melakukan sesuatu delik aduan dapat segera bertindak, ataukah harus menunggu datangnya pengaduan dari orang yang berkepentingan? Jika melihat bunyi undang-undang bahwa yang digantungkan kepada pengaduan itu adalah penuntutannya dan bukan penyelidikannya atau penyusutannya, maka polisi 207. 29 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984)., hal.

sebagai pegawai penyelidik (bukan pegawai penuntut) sudah dapat bertindak sebelum adanya pengaduan. 30 Delik aduan ini dibedakan atas 2 jenis yaitu: a. Delik Aduan Absolut / Mutlak Delik Aduan Absolut/Mutlak adalah jenis peristiwa pidana yang tidak dapat dituntut, apabila tidak ada pengaduan dari pihak korban atau yang dimalukan dengan terjadinya tindak pidana tersebut. Peristiwa pidana yang diancam Pasal-pasal 284,287,293,310,311,315,317,318,320,321,322,323,332,335 ayat (2) dan 369 KUHP. Pengaduan itu dapat ditarik sewaktu-waktu selama pemeriksaan di muka pengadilan belum dimulai. Dengan dimulainya pemeriksaan perkara di depan pengadilan, maka pengaduan tersebut tidak dapat ditarik kembali (Pasal 284 ayat 4 KUHP). Dalam tindak pidana aduan absolut yang dituntut adalah peristiwanya, sehingga permintaan penuntutan dalam pengaduan harus berbunyi: saya minta agar peristiwa ini dituntut. 31 Dengan demikian semua orang yang tersangkut dalam perkara itu harus dituntut dan tidak dapat dibelah (spleit). Akan tetapi meskipun belum ada pengaduan dari yang berkepentingan, polisi tidak dilarang untuk mengadakan 30 R. Soesilo, Loc.Cit. 31 R. Soesilo, Loc.Cit.

pemeriksaan. Malahan dalam hal-hal untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan guna menjaga keamanan dan ketentraman umum. b. Delik Aduan Relatif Delik Aduan Relatif adalah delik yang penuntutannya ke depan sidang pengadilan, hanya dapat dilakukan atas pengaduan dari pihak yang dirugikan atau mendapat malu dengan dilakukannya tindak pidana itu. Delik-delik aduan relatif itu dapat dilihat pada pasal-pasal 362,367,370,372,376,394,404 dan 411 KUHP. Pengaduan dalam hal ini dapat dicabut sewaktu-waktu dalam tempo tiga bulan sejak dimasukkannya pengaduan (Pasal 75 KUHP). Tindak pidana aduan relatif pada prinsipnya bukanlah merupakan delik aduan, akan tetapi delik laporan. Perbedaan laporan dengan pengaduan adalah bahwa Laporan yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP), sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 KUHAP). Akan tetapi menjadi delik aduan karena dilakukan di dalam lingkungan keluarga sendiri. Pengaduan dalam hal demikian diperlukan untuk menuntut orang-orang yang melakukan tindak pidana itu, bukan menuntut kejahatannya. Dengan demikian delik aduan relatif dapat dibelah atau spleit penuntutannya.

Menurut Satochid, di dalam delik aduan relatif ini pengaduan dapat dipisah-pisahkan artinya apabila di dalam delik ini diadakan pengaduan, maka pengaduan itu dapat ditujukan terhadap peserta tertentu dalam delik itu. Dengan demikian, pada delik aduan relatif ini alat-alat negara hanya dapat melakukan penuntutan terhadap orang yang namanya telah disebutkan oleh pengadu sebagai orang yang telah merugikan dirinya. Apabila di dalam suatu delik aduan relatif itu terdapat lebih dari satu orang maka setiap orang itu dapat dituntut apabila nama mereka disebutkan dalam pengaduan. Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatan-kejahatan tertentu yang menjadi kejahatan aduan relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga, yaitu: a. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan orangorang satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang sangat erat di dalam sidang pengadilan; b. Alasan materil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di dalam suatu menyatakan: keluarga antara pasangan suami dan istri ada semacam condominium. 32 Pencurian dalam Keluarga diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP yang a. Jika pembuat atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini ada suami (isteri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman; b. Jika ia suaminya (isterinya) yang sudah diceraikan meja makan, tempat tidur, atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam keturunan yang lurus, maupun keturunan yang menyimpang dalam derajat yang kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu; 32 Adami Chazawi, Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002)., hal.205.

c. Jika menurut adat istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan dalam ayat kedua berlaku juga bagi orang itu. Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini merupakan Pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Keluarga Pasal 367 KUHP akan terjadi, apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda istri atau suaminya. Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami-istri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah meja atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayaannya, maka pencurian atau membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan. Jadi, apabila suami, misalnya, melakukan pencurian atau membantu (orang lain) melakukan pencurian terhadap harta benda istrinya, sepanjang keduanya masih terikat harta kekayaannya, maka terhadap suami itu mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan. Demikian berlaku sebaliknya. Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh suami atau isteri terhadap harta benda isteri atau suami ada orang lain (bukan sebagai keluarga) baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu maka terhadap orang ini tetap dapat dilakukan penuntutan, sekalipun tidak ada pengaduan. Pertimbangan terhadap tidak dapat dituntutnya suami atas pencurian terhadap isteri dan sebaliknya berdasarkan Pasal 367 KUHP ayat (1) KUHP adalah didasarkan atas alasan tata susila. 33 Sebab, naluri kemanusiaan kita akan mengatakan betapa tidak pantasnya seorang suami-isteri yang masih terikat dalam 33 R. Soesilo, Op.Cit, hal.255.

perkawinan yang utuh, harus saling berhadapan di pengadilan. Rasanya perilaku tersebut tidak sesuai dengan etika moral yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, dengan tidak adanya pemisahan harta kekayaan antara suami-isteri, akan menjadi sulit menentukan mana harta suami dan harta istri yang telah menjadi objek pencurian tersebut. Apabila di antara suami-isteri tersebut telah terpisah meja dan ranjang atau harta kekayaan dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ayat (2) KUHP secara tegas dinyatakan,bahwa apabila antara suami dan isteri itu sudah terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka apabila terjadi pencurian di antara mereka dapat dilakukan penuntutan, sekalipun penuntutan terhadap mereka itu baru dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari yang dirugikan (suami atau isteri). Demikian juga apabila yang melakukan pencurian atau yang membantu melakukan pencurian itu adalah keluarga sedarah baik dalam garis lurus (ke atas atau ke bawah) atau ke samping atau keluarga semenda sampai derajat kedua, penuntutan dapat dilakukan apabila ada pengaduan. Sekarang marilah kita lihat ketentuan Pasal 367 ayat (3) KUHP. Aturan ini sebenarnya penting untuk suatu daerah yang menganut garis keturunan ibu (matrilineal). Dalam hal peran suami berdasarkan (hukum) adat setempat dilakukan oleh orang lain, maka ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal 367 KUHP juga berlaku baginya. 1. Pihak pihak yang berhak Mengajukan Pengaduan Pengaduan menurut bentuknya terbagi atas: a. Pengaduan Lisan, yaitu pengaduan yang disampaikan secara lisan dan dicatat oleh penyidik dan setelah selesai dibacakan atau disuruh baca

kembali oleh pengadu, dan setelah disetujui olehnya lalu ditandatangani. Atas pengaduan tersebut penyidik wajib memberikan Surat tanda penerimaan pengaduan kepada pengadu (KUHAP Pasal 108 ayat 6). b. Pengaduan Tertulis, yaitu pengaduan yang disampaikan secara tertulis oleh pengadu kepada penyidik. Pengaduan ini kemudian diagendakan oleh penyidik dan wajib memberikan surat tanda bukti penerimaan pengaduan itu kepada pengadu. 34 Secara umum yang berhak mengajukan pengaduan dalam kejahatan yang merupakan delik aduan baik delik aduan absolut maupun delik aduan relative, KUHP menentukannya secara limitatif dan berbeda beda. Dalam peraturan Umum (Algemene Leerstukken), pada Buku 1 KUHP, aturan tentang siapa yang berhak untuk mengajukan pengaduan, walau tidak lengkap, namun ada juga dicantumkan. Hal ini ditegaskan dalam Bab VII yang berjudul ; Memasukkan dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan, yang hanya boleh atas pengaduan. Aturan Umum yang ditegaskan dalam Pasal 72 dan 73 KUHP menegaskan bahwa: Pasal 72 KUHP, merumuskan: (1) Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa atau kepada orang yang dibawah pemilikan (curatele) lain orang bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan keadaan itu, yang berhak mengadukan adalah wakil wakilnya yang sah dalam perkara sipil. (2) Jika tidak ada wakil atau dia sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas awasi atau curator (pemilik) atau majelis yang menjalankan kewajiban hal. 28 34 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, ( Jakarta: Djambatan, 1989).,

curator itu, atas pengaduan istri, seorang kaum keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ketiga. Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 72 ayat (1), atau wakilnya itu sendiri adalah si pembuat yang harus diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu adalah: a) Wali Pengawas; b) Pengampu Pengawas; c) Majelis yang menjadi wali pengawas atau menjadi pengampu pengawas; d) Istrinya; e) Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh; f) Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga (pasal 72 ayat 2). 35 Pasal 73 KUHP, merumuskan: Jika kejahatan itu dilakukan kepada seseorang yang meninggal dalam tempo yang ditetapkan dalam pasal yang berikut maka dengan tidak usah menambah tempo itu, dapat penuntutan dilakukan atas pengaduan ibu bapaknya, anak atau suaminya(istrinya) yang masih hidup, kecuali kalau nyata bahwa yang meninggal itu tidak menghendaki penuntutan. Bagaimana dengan korban yang berhak mengadu kemudian meninggal dunia, apakah dengan demikian hak pengaduan dalam hal perkara itu menjadi hapus? Mengenai persoalan ini, diterangkan dari norma Pasal 73, orang yang 35 Adami Chazawi, Op.Cit. hal.206.

terlanggar kepentingan hukumnya oleh kejahatan aduan, meskipun kemudian meninggal, maka hak mengajukan pengaduan itu tetap berlangsung selama tenggang waktu hak mengadu masih ada (masih berlangsung) sesuai dengan Pasal 74. Hak pengaduan itu beralih pada para ahli warisnya sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam pasal 73 hak pengaduan oleh ahli waris dari korban kejahatan aduan yang dimaksud oleh Pasal 73 ini tidak berlaku dalam hal kejahatan aduan perzinahan (pasal 284 ayat 3 KUHP). Sehubungan dengan ketentuan siapa yang berhak mengajukan pengaduan dalam hal korban meninggal dunia, perlulah diperhatikan kejahatan aduan yang dirumuskan dalam Pasal 320 dan 321 KUHP, dimana hak mengadu juga ada pada ahli warisnya, yakni pada salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua dari yang meninggal dunia, dan jika karena lembaga matrilineal kekuasaan bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas pengaduan itu. Selain dari apa yang tersebut pada Pasal 72-73 KUHP ini, maka pada umumnya Lamintang, yang berwenang untuk mengajukan suatu pengaduan itu adalah: orang yang menurut sifat dari kejahatannya secara langsung telah menjadi korban atau secara langsung telah dirugikan 36 Tegasnya, orang-orang yang berhak untuk mengajukan pengaduan dalam kejahatan-kajahatan yang diisyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutan 210 36 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984)., hal

perkaranya, yakni: oaring-orang yang terkena peristiwa pidana itu atau dapat juga disebut sebagai orang-orang terhadap siapa kejahatan itu ditujukan. Jadi, walaupun delik-delik aduan itu tidak diatur secara tersendiri (melalui pasal pasal yang tersebar) dalam KUHP, maka yang berhak mengajukan pengaduan juga diatur secara tersebar (melalui pasal atau bab berkenaan). Namun demikian, generalisasi untuk hal ini dapat dilakukan, yakni bahwa si pengadu adalah orang yang terhina dan menderita secara langsung karena kejahatan itu. Tentang pengaduan ini pasal 103 KUHAP menyatakan bahwa: 1) laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu; 2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik; 3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut. Yang berhak membuat pengaduan menurut Pasal 108 KUHAP, adalah sebagai berikut: a. Setiap orang yang mengetahui adanya peristiwa pidana; b. Setiap orang yang mengalami peristiwa pidana; c. Setiap orang yang melihat adanya peristiwa pidana; d. Setiap orang yang menyaksikan adanya peristiwa pidana; e. Setiap orang yang menjadi korban adanya peristiwa pidana;

f. Setiap orang yang mengetahui adanya permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum; g. Setiap pegawai negeri dalam melaksanakan tugas yang mengatahui terjadinya peritiwa pidana. 37 2. Jangka Waktu Mengajukan Delik Aduan Tentang jangka waktu mengajukan aduan, Pasal 74 KUHP menyatakan sebagai berikut: 1 Pengaduan hanya boleh dimasukkan dalam tempo enam bulan sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, kalau ia berdiam di negara Indonesia ini dalam tempo 9 (Sembilan) bulan sesudah ia mengetahui itu, kalau ia berdiam diri di luar negara Indonesia; 2 Kalau pada ketika orang yang dikenai kejahatan, mendapat hak untuk mengadu belum habis tempo yang disebut dalam ayat pertama, maka sejak ketika itu masih ia berhak mengadu selama sisa ketinggalan tempo yang disebut di atas saja. Berdasarkan Pasal 74 KUHP ini ternyata bahwa, tempo pengaduan itu dimulai pada saat orang yang berhak mengadu mengetahui peristiwa pidana (kejahatan) itu dilakukan, jadi bukan dihitung sejak terjadinya atau sehari sesudah terjadinya delik tersebut. Lamanya pengaduan itu adalah 6 (enam) bulan sejak orang yang berhak mengadu itu mengetahui terjadinya delik. Jika ia berada di Indonesia dan 9 (Sembilan) bulan jika ia berada di luar Indonesia. Jika jangka waktu mengajukan aduan itu telah lewat, maka pengaduan itu tidak dapat lagi diajukan lagi karena telah daluarsa. 37 Darwan, Prints. Loc.Cit.

Dalam hal hal tertentu jangka waktu pengaduan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 KUHP ini tidak berlaku misalnya pada Pasal 293 KUHP yang menyatakan: 1 Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang dengan sesudah mempergunakan pengaruh yang berlebih lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara; 2 Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang dikenai kejahatan itu; 3 Tempo yang tersebut dalam pasal 74, ditentukan buat satu-satu pengaduan ini ialah 9 (Sembilan) dan 12 (duabelas) bulan. Selanjutnya dalam hal kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang telah meninggal dunia, menurut ketentuan Pasal 73 KUHP dengan tidak usah menambah tempo itu dapat dilakukan penuntutan berdasarkan pengaduan ibubapaknya, kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal dunia itu tidak menghendaki penuntutan. Maksud dari dibuatnya pembatasan jangka waktu dalam hal terjadinya tindak pidana adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang merasa

telah dirugikan oleh orang lain untuk mempertimbangkan apakah itu akan mengajukan suatu pengaduan atau tidak. Yang menjadi alasan dicantumkannya delik aduan dalam KUHP adalah dengan mempertimbangkan bahwa kerugian bagi seseorang akan lebih besar jika diadakan penuntutan dari pada kerugian umum jika tidak diadakan penuntutan. Oleh sebab itu maka pemberian jangka waktu untuk mengajukan pengaduan ini memberikan kesempatan kepada mereka itu untuk mencari jalan keluar yang sebaik-baiknya sehingga baik pelaku maupun yang membantu melakukan, turut melakukan, orang yang membujuk, maupun orang yang menderita kerugian akibat terjadinya delik itu tidak mendapat malu karenanya. 3. Pencabutan Pengaduan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila terdapat pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Pengaduan itu sendiri merupakan hak dari setiap korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur pada Pasal 75 KUHP, yang menyebutkan bahwa orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan. Delik aduan ini dimaksudkan untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.

Sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 1 ayat (25) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Dengan kata lain, delik aduan hanya terjadi apabila terdapat pengaduan atau pemberitahuan dari pihak yang berkepentingan untuk menindak berdasarkan hukum atas seseorang yang merugikannya. Delik aduan ada yang bersifat absolut dan delik aduan yang bersifat relatif, berikut contoh delik aduan absolut, antara lain : Pencurian dalam keluarga dan pencurian dalam waktu pisah meja-ranjang (schidding van tavel en bed, terdapat pada Pasal 367 ayat (2) KUHP), Perzinahan (overspelling bagi yang sudah menikah yang diadukan istri atau suami, terdapat pada Pasal 284 KUHP), Terkait hal membuka rahasia (terdapat pada Pasal 323 KUHP), Kejahatan melarikan anak dibawah umur dan lain-lain. Sedangkan terhadap delik aduan relatif terjadi antara lain terhadap penghinaan dan penipuan. Berbicara mengenai faktor pencabutan aduan, terhadap delik aduan absolut yang kerap dicabut adalah perzinahan dan kejahatan melarikan anak di bawah umur, maka faktor penyebab pencabutan pengaduan yakni pertama dikarenakan korban tidak menginginkan aibnya diketahui oleh masyarakat luas yang menimbulkan efek pencemaran nama baik bagi korban. Kedua karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dengan memenuhi hak korban dalam bentuk ganti kerugian dengan sejumlah uang atau memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh korban. Sedangkan faktor penyebab pencabutan pengaduan terhadap delik aduan relatif adalah korban tidak ingin citra atau nama baik

keluarganya menjadi buruk dimata masyarakat kemudian juga karena adanya kesepakatan bersama dalam keluarga untuk mencabut perkara tersebut. Mengenai proses pelaksanaan pencabutan pengaduan dapat dilakukan pada tahap penyidikan, pemeriksaan berkas perkara (Pra Penuntutan) dan pemeriksaan dimuka persidangan, selama jangka waktu pencabutan pengaduan masih berlaku. Adapun akibat hukum yang ditimbulkan apabila pengaduan itu dicabut yakni tehadap pencabutan pengaduan yang bersifat absolut maka penuntutannya pun menjadi batal. Pencabutan pengaduan terhadap delik aduan absolut menjadi syarat mutlak untuk tidak dilakukan penuntutan. Sedangkan terhadap delik aduan relatif pencabutan pengaduan dapat dilakukan, tetapi proses pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dimuka pengadilan. Pada hakikatnya delik aduan relatif merupakan delik biasa yang berhubungan dengan keluarga, maka delik tersebut menjadi delik aduan yang hanya bisa dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari korban. Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik pengaduannya dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kecuali perzinahan bagi pasangan yang sudah menikah dapat ditarik sampai dengan pemeriksaan pengadilan belum dimulai sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 284 ayat (4) KUHP. Pengaduan yang telah diajukan dapat ditarik kembali bilamana maih dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (pasal 75 KUHP). Dalam hal berlakunya tenggang waktu 3 (tiga) bulan itu dihitung mulai keesokan hari dari pengajuan pengaduan. Ketentuan boleh ditariknya pengaduan ini

memberikan kemungkinan apabila setelah pengaduan diajukan, si pengadu berubah pikiran karena misalnya si pembuat telah meminta maaf dan menyatakan penyesalannya, maka pengadu dapat menarik kembali pengaduannya selama masih dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Setelah pengaduan ditarik maka tidak dapat diajukan lagi. B. Penerapan dan Kecenderungan Sistem Pembuktian Menurut KUHAP Berbicara mengenai sistem pembuktian adalah bertujuan untuk mengetahui bagaimana meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Untuk menjawab judul dari sub bab di atas, dapat dilihat isi Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya. Keduanya sama-sama menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Perbedaan keduanya hanya terletak pada penekanannya saja. Pada Pasal 183 KUHAP, syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan pada perumusannya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat: ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP

mengatur bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa harus: 1. pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan, cara, dan dengan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang; 2. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 38 Sekedar untuk menjajaki alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP, barangkali ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati, serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Pendapat ini dapat diambil dari makna penjelasan Pasal 183 KUHAP itu sendiri. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut, pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Bukankah di dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan dan penggabungan antara sistem conviction in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Pelaksanaan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif dalam penegakan hukum di Indonesia menurut pengalaman dan pengamatan baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penghayatan penerapan sistem pembuktian yang dirumuskan pada Pasal 183 KUHAP, pada umumnya sudah 38 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, ( Jakarta: Pusataka kartini, 1985)., hal 800

mendekati makna dan tujuan sistem pembuktian itu sendiri. Tentu hal ini tanpa mengurangi segala macam keluhan, pergunjingan, dan kenyataan yang kita jumpai. Keluhan dan kenyataan ini timbul disebabkan oleh masih terdapat kekurangsadaran, sementara aparat penegak hukum yang menitikberatkan penilaian salah tidaknya seorang terdakwa lebih ditentukan oleh keyakinan hakim. Yang menonjol dalam pertimbangan putusan hakim adalah penilaian keyakinan tanpa menguji dan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah. Sebaliknya, sering pula dijumpai pertimbangan putusan pengadilan yang seolah-olah mendasarkan penilaian salah atau tidaknya terdakwa semata-mata didasarkan pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Motivasi pertimbangan hukum membuktikan kesalahan terdakwa, tidak diwarnai dan tidak dipadu dengan keyakinan hakim. Misalnya dalam suatu uraian pertimbangan hakim putusan pengadilan. Jarang sekali dijumpai uraian pertimbangan yang secara sistematis dan argumentatif mengaitkan dan memadukan keterbuktian kesalahan terdakwa dengan keyakinan hakim. Pada intinya, asalkan kesalahan terdakwa telah terbukti secara sah menurut ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang disebutkan undang-undang, tanpa mengutarakan motivasi keyakinan hakim akan keterbuktian tadi, hakim pada umumnya sudah merasa cukup menimpali keterbuktian itu dengan rumusan kalimat yang sudah baku, kesalahan terdakwa telah terbukti dan diyakini. Seolaholah keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa hanya ditarik saja, tanpa motivasi dari keterbuktian kesalahan yang dibuktikan. Malah kadang-kadang pertimbangan yang tertuang dalam suatu putusan pengadilan hanya berisi uraian deskriptif tanpa

alasan pertimbangan yang argumentatif dan tidak memuat kesimpulan pendapat yang merupakan perpaduan antara pembuktian dengan keyakinan. Akibatnya, isi pertimbangan putusan seperti ini hanya berisi tulisan pengulangan kalimat keterangan terdakwa dan keterangan saksi tanpa suatu kemampuan dan keberhasilan menyusun uraian pertimbangan yang menyimpulkan suatu pendapat tentang keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Putusan seperti ini benarbenar sangat miskin dan tidak menyeluruh. Pada hakikatnya Pasal 183 berisi penegasan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Tidak dibenarkan menghukum seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang. Keterbuktian itu harus digabung dan didukung oleh keyakinan hakim. Namun sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum, lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sedang mengenai keyakinan hakim hanya bersifat unsur pelengkap atau complimentary dan lebih berwarna sebagai unsur formal dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim dalam praktek, dapat dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat dianggap tidak mempunyai nilai, jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup.