BAB II KETIDAKRATAAN JALAN. belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara

dokumen-dokumen yang mirip
DR. EVA RITA UNIVERSITAS BUNG HATTA

STUDI PERSAMAAN KORELASI ANTARA KETIDAKRATAAN PERMUKAAN JALAN DENGAN INDEKS KONDISI JALAN STUDI KASUS RUAS JALAN LABUAN CIBALIUNG

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN FLEXIBLE PAVEMENT DAN RIGID PAVEMENT. Oleh : Dwi Sri Wiyanti

TINGKAT KERATAAN JALAN BERDASARKAN ALAT ROLLING STRAIGHT EDGE UNTUK MENGESTIMASI KONDISI PELAYANAN JALAN (PSI DAN RCI) ABSTRAK

TATA CARA SURVAI KERATAAN PERMUKAAN PERKERASAN JALAN DENGAN ALAT UKUR KERATAAN NAASRA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

Jurnal J-ENSITEC, 01 (2014)

BAB I. SEJARAH PERKERASAN JALAN.

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Jalan

Berdasarkan bahan pengikatnya konstmksi perkerasanjalan dapat dibedakan atas:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

sampai ke tanah dasar, sehingga beban pada tanah dasar tidak melebihi daya

PROGRAM PEMELIHARAAN JALAN NASIONAL BERDASARKAN NILAI KERATAAN PERMUKAAN, NILAI LENDUTAN, DAN NILAI MODULUS ELASTISITAS PERKERASAN

Parameter perhitungan

konfigurasi sumbu, bidang kontak antara roda perkerasan. Dengan demikian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pekerasan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kendaraan, terutama pada saat melakukan pengereman dan berhenti. Kendaraan

EVALUASI KONDISI JALAN KABUPATEN SECARA VISUAL DENGAN KOMBINASI NILAI IRI DAN SDI

BAB I PENDAHULUAN. Kelebihan dari konstruksi perkerasan kaku adalah sifat kekakuannya yang. sementara kelemahan dalam menahan beban

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan khusus yang mempunyai kualitas yang lebih baik dan dapat

1. PENDAHULUAN. Jalan memiliki syarat umum yaitu dari segi konstruksi harus kuat, awet dan kedap. Supardi 1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai batas antar negara, provinsi ataupun kabupaten. memperhatikan kenyamanan.(sukirman,1999)

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA. Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ASPEK GEOTEKNIK PADA PEMBANGUNAN PERKERASAN JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus

METODE PELAKSANAAN LAPIS PONDASI ATAS (BASE COUSE) PADA RUAS JALAN WAILAN-G. LOKON KOTA TOMOHON

gambar 3.1. teriihat bahwa beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan istilah lateks. Di dalam lateks terkandung 25-40% bahan karet

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

Studi Penanganan Ruas Jalan Bulu Batas Kota Tuban Provinsi Jawa Timur Menggunakan Data FWD dan Data Mata Garuda

STUDI KORELASI DAYA DUKUNG TANAH DENGAN INDEK TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR AKIBAT MENINGKATNYA BEBAN LALU LINTAS PADA JALAN SINGKAWANG-SAGATANI KECAMATAN SINGKAWANG SELATAN

Perbandingan Kekerasan Kaku I Gusti Agung Ayu Istri Lestari 128

DESKRIPSI PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE AASHTO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk

Rangga Mandala Utama 1, Ida Farida 2

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian B. Rumusan Masalah

4.2.4 Pemeriksaan CBR lapangan subgrade dengan Dmamyc Cone

I. PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Ketersediaan jalan adalah

DAFTAR ISI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian Pustaka Ulasan Pustaka Terhadap Penelitian Ini Ringkasan Penelitian Lain...

JENIS KERUSAKAN JALAN PADA PERKERASAN LENTUR LOKASI CIRI CIRI PENYEBAB AKIBAT CARA PENANGANAN

TEKNIKA VOL.3 NO.2 OKTOBER_2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

PENILAIAN KONDISI PERKERASAN PADA JALAN S.M. AMIN KOTA PEKANBARU DENGAN PERBANDINGAN METODE BINA MARGA DAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI)

BAB I PENDAHULUAN. terjamin kekuatan dan ketebalannya sehingga tidak akan mengalami distress yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

Perbandingan Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2011 Dengan Metode Jabatan Kerja Raya Malaysia 2013

EVALUASI FUNGSIONAL DAN STRUKTURAL PERKERASAN LENTUR PADA JALAN NASIONAL BANDUNG-PURWAKARTA DENGAN METODE AUSTROADS 2011

BAB I PENDAHULUAN. golongan, yaitu : struktur perkerasan lentur (Flexible Pavement) dan struktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Provinsi Banten ini nantinya akan berubah status dari Jalan Kolektor

BAB II RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA. umur rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan

BAB II KERUSAKAN DAN REHABILITASI JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dosen, Diploma 4 Perancangan Jalan dan Jembatan, Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Buketrata,

Agus Surandono, Putri Maha Suci

BAB I PENDAHULUAN. satu atau beberapa lapis perkerasan dari bahan-bahan yang diproses, dimana

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam campuran beraspal, aspal berperan sebagai pengikat atau lem antar partikel

Teknik Sipil Itenas No. x Vol. xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Agustus 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Studi Pengaruh Pengurangan Tebal Perkerasan Kaku Terhadap Umur Rencana Menggunakan Metode AASHTO 1993

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

berlemak, larut dalam CCU serta tidak larut dalam air. Jika dipanaskan sampai suatu

Transkripsi:

BAB II KETIDAKRATAAN JALAN II.1. Perkerasan Lentur Jalan Raya Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat. Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas : 1. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. 2. Konstruksi perkerasan kaku (Rigit Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasat dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. 3. Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.

Perbedaan utama antara perkerasan kaku dan lentur diberikan pada tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1. Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku Perkerasan lentur Perkerasan kaku 1 Bahan pengikat Aspal Semen 2 Repetisi beban Timbul Rutting (lendutan pada jalur roda) Timbul retak-retak pada permukaan 3 Penurunan tanah dasar Jalan bergelombang (mengikuti tanah dasar) Bersifat sebagai balok diatas perletakan 4 Perubahan temperatur Modulus kekakuan berubah. Timbul tegangan dalam yang kecil Modulus kekakuan tidak berubah. Timbul tegangan dalam yang besar Sumber : Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung II.1.1 Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada dibawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari : Gambar 2.1. Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur

1. Lapisan permukaan (Surface Course) Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapis pondasi. Fungsi lapis permukaan antara lain : a. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda. b. Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca. c. Sebagai lapisan aus (wearing course) Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan. 2. Lapisan pondasi atas (Base Course) Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar. Fungsi lapis pondasi antara lain : a. Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda. b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

3. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan tanah yang distabilisasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain : a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar beban roda. b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya konstruksi). c. Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi. d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar. 4. Lapisan tanah dasar (Subgrade) Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil. MR (psi) = 1.500 x CBR (2.1) Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain : a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu sebagai akibat beban lalu-lintas. b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.

c. Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan konstruksi. d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas untuk jenis tanah tertentu. e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi. II.2 Evaluasi Jalan Perkerasan jalan harus memberikan kenyamanan, keamanan, pelayanan yang efisien kepada penguna jalan, dan memiliki kapasitas struktural yang mampu mendukung berbagai beban lalu lintas dan tahan terhadap dampak dari kondisi lingkungan (Christopher Bennett, 2007). Evaluasi perkerasan jalan harus dilakukan secara teratur untuk megetahui kinerja sebuah perkerasan pada titik tertentu dan pada masa yang akan datang. Evaluasi ini akan menentukan kemampuan sebuah perkerasan jalan dalam memenuhi tiga fungsi dasar perkerasan jala ( kenyamanan, keamanan, dan efisiensi pelayanan). Pada gambar 2.2, skema sederhana fungsi dan karakteristik perkerasan berdasarkan jenis evaluasinya. Tabel 2.2. : Fungsi perkerasan dan Karakteristik perkerasan berdasarkan jenis evaluasi Jenis Fungsi Karakteristik Indikator dan Evaluasi Perkerasan Perkerasan indeks IRI Serviceability Roughness PSI

Evaluasi Fungsional Texture QI Makrotekstur Mikroteksture Safety Koefisien skid Skid Resistance resistance IFI Sifat Mekanik Perkerasan Deflections Cracking Evaluasi Kapasitas Structural Kerusakan Jalan Surface Defects Struktural Profile Deformations Referencing System (Location of Pavement Characteristic Data) Sumber: Christopher Bennett, (2007) Data Collection Technologies for Road Management, Washington, D.C. II.2. 1. Jenis Evaluasi Jalan Evaluasi perkerasan ini akan mencatat karakteristik karakteristik yang mampu menggambarkan kinerja perkerasan melalui beberapa indeks. Berdasarkan pada karakteristik yang disurvei, evaluasi perkerasan dapat diklasifikasikan menjadi evalusi fungsional dan evaluasi structural (Christopher Bennett, 2007). 1. Evaluasi fungsional, yaitu evaluasi berupa informasi tentang karakteristik perkerasan jalan yang secara langsung mempengaruhi keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan serta pelayanan jalan. Karakteristik utama yang disurvei pada evaluasi fungsional ini adalah, dalam hal keamanan berupa kekesatan permukaan jalan (skid resistance) dan tekstur permukaan jalan (surface texture), serta ketidakrataan jalan ( road roughness) dalam hal pelayanan (serviceability).

2. Evaluasi Struktural, yaitu evaluasi berupa informasi tentang kinerja struktur perkerasan terhadap beban lalu lintas dan kondisi lingkungan. Dalam hal ini, survei katakteristik juga akan membantu dalam memperoleh informasi tentang kinerja struktur perkerasan, kerusakan perkerasan dan sifat mekanikal/ strukrural jalan. Kerusakan perkerasan secara tidak langsung akan mempengaruhi masalah fungsional jalan seperti kegemukan pada jalan (pavement bleeding) akan mempengaruhi kekesatan permukaan jalan (skid resistance), dan retak pada sambungan jalan yang akan mempengaruhi ketidakrataan jalan ( road roughness). 3. II.2.2 Karakteristik Perkerasan Jalan Karakteristik- karakteristik perkerasan jalan ini akan dievaluasi secara manual atau dengan mengunakan peralatan khusus dan dihitung dengan mengunakan indikator atau kondisi indeks. Oleh karena penggunaan alat yang berbeda- beda, dibutuhkan korelasi persamaan sehingga membuat pengukuran dari peralatan yang berbeda menjadi sebanding. Karakteristik- karakteristik perkerasan jalan terdiri dari 1. Tekstur permukaan jalan Karakteristik ini menentukan keamanan dan kenyamanan penguna jalan. Dalam hal keselamatan, tekstur perkerasan jalan mempengaruhi kemampuan roda bergesekan dengan permukaan jalan dalam kondisi basah. Tekstur perkerasan jalan juga berpengaruh terhadap emisi kebisingan yang disebabkan oleh lalu lintas. Jenis jenis tekstur permukaan jalan : a. Microtekstur, yaitu tekstur yang memungkinkan adhesi antara ban karet dan permukaan jalan, sangat penting untuk menghindari kendaraan selip. b. Makrotekstur, yiatu tekstur yang dapat menyalurkan sebagian besar air dari bagian bawah roda kendaraan. Tekstur ini berkisar antara 0,5 mm samapi 0,5 cm.

c. Megatekstur, yaitu tekstur yang berkisar antara 0,5 cm sampai 0,5 m. Megatekstur tidak memungkinkan roda kendaraan melakukan kontak ideal dengan permukaan jalan. Hal ini menyebabkan roda kendaraan terpental dari bagian megatekstur tersebut, yang berarti adhesi yang sesaat hilang antara bagian permukaan roda dengan permukaan jalan. Megatekstur adalah jenis karakteristik jalan yang harus dihindari, sementara mikrotekstur dan makrotekstur keduanya sangat berguna. Gambar 2.2 : Perbedaan Makrotekstur dan Mikrotekstur Sumber: Christopher Bennett, (2007) Data Collection Technologies for Road Management, Washington, D.C. 2. KekesatanPermukaan Jalan ( Skid Resistance ) Canek (2004) di dalam Christopher Bennett (2007) mendefenisikan kekesatan permukaan jalan dan hubungannya antara tekstur permukaan jalan dan kekesatan jalan, yaitu kendaraan akan mengalami selip ketika proses pengereman, percepatan serta manuver karena gesekan yang terjadi melebihi batas kekuatan gesekan yang dihasilkan oleh roda kendaraan dan permukaan jalan. Oleh karena itu, kekesatan permukaan jalan dapat didefenisikan sebagai batas koefisien gesekan antara roda kendaraan terhadap permukaan jalan dan rasio

antara gaya horizontal pada proses pengereman, manuver, dan pada proses menikung terhadap gaya vertikal yang terjadi pada roda kendaraan akibat dari beban kendaraan. Kekesatan permukaan jalan dihasilkan dari fungsi utama tekstur permukaan jalan. Ketika tekstur permukaan jalan bersentuhan dengan roda kendaraan, gaya gesekan dapt dihasilkan. Dalam kondisi basah dan kecepatan rendah ( kurang dari 70 km/ jam), mikrotekstur lebih berperan dalam menghasilkan gaya gesekan antara roda kendaraan dan permukaan jalan. Namun, dalam kecepatan tinggi ( lebih besar dari 70 km/jam), mikroteksure dan makrotekstur diperlukan untuk menghasilkan gesekan yang tinggi. Kekesatan permukaan jalan diukur dengan membandingkan antara tekstur permukaan dan korelasi gesekan perlawanan. International Friction Index (IFI) adalah salah satu metode penyajian data dari kekesatan permukaan jalan. 3. Sifat Mekanik dan Struktural Jalan Kapasitas Struktural jalan menunjukkan kemampuan perkerasan jalan dalam mendukung beban lalu lintas. Kapasitas struktural perkerasan biasanya ditentukan melalui evaluasi sifat mekanik dari setiap lapisan struktur perkerasan, seperti: modulus elastisitas, sifat kelelahan (fatigue properties), penurunan kondisi (deflection conditions), dan tegangan sisa tarik (residual tensile stresses). Sifat sifat ini dapat diukur dengan penelitian di laboratorium atau dengan melakukan test non-destruktif langsung di lapangan. Gambar 2.3: non destruktif test mengunakan falling Gambar 2.4: resilient modulus test weight deflectometer laboratorium Sumber: WASHINGTON STATE HIGHWAY PAVEMENTS (1999)

4. Kerusakan Jalan Kerusakan Jalan disebabkan oleh beban lalu lintas, kondisi lingkungan dan umur dari perkerasan. Jenis kerusakan, luas kerusakan, dan tingkat kerusakan adalah indikator kinerja perkerasan yang berkaitan langsung dengan kapasitas struktural. Evaluasi kerusakan jalan biasanya dilakukan secara manual, seperti retak yang merupakan indikasi paling umum yang sering digunakan. Pengumpulan data kerusakan jalan memiliki banyak metoda yang sehingga bentuk penyajiannya berbeda ( seperti : panjang kerusakan berbanding wilayah ; wilayah kerusakan berbanding angka). Oleh karena itu diperlukan suatu pembakuan dalam penyajian data. IRI merupakan pendekatan standar untuk pengumpulan data kerusakan yang umum digunakan. 5. Ketidakrataan Jalan ( Road Roughness) Ketidakrataan jalan memiliki pengaruh yang berar terhadap biaya operasional kendaraan, keamanan, kenyamanan dan kecepatan perjalanan. Ketidakrataan jalan merupakan hal utama dalam menilai kinerja suatu perkerasan. II.3. Pengertian dan Penyebab Ketidakrtaaan Jalan Ketidakrataan jalan ( Road Roughness) merupakan parameter kondisi yang paling banyak digunakan dalam mengevaluasi perkerasan jalan karena data ketidakrataan jalan relatif mudah untuk diperoleh, obyektif, dan berkorelasi baik dengan biaya operasional kendaraan serta parameter kondisi yang paling relevan dalam pengukuran perilaku fungsional jalan dalam waktu jangka panjang (Martin 1999).

Defenisi Ketidakrataan jalan dalam Paterson ( 1987 ) (Road Roughness) adalah: 1. Menurut Paterson (1987), ketidakrataan jalan adalah penyimpangan dari permukaan jalan yang mempengaruhi dinamika bergerak kendaraan, keselamatan, kenyamanan, kecepatan perjalanan serta dampak pada biaya operasi kendaraan. 2. Menurut the American Society of Testing and Materials (ASTM) (E867), ketidakrataan jalan adalah penyimpangan permukaan jalan yang berbeda dengan permukaan jalan normal dengan karakteristik dimensi yang mempengaruhi dinamika kendaraan, kualitas berkendara, dinamika beban, dan drainase. Ada beberapa penyebab ketidakrataan jalan, yaitu: beban lalu lintas, efek dari lingkungan, bahan dari pembuatan jalan serta penyimpangan pada proses konstruksi jalan. Pada proses konstruksi jalan, semua perkerasan jala raya memiliki penyimpangan pengerjaan sehingga menyebabkan ketidakrataan jalan. Ketidakrataan jalan dapat meningkat dikarenakan oleh beban lalu lintas dan lingkungan (Fengxuan Hu,2004). II.4. Pengukuran Ketidakrataan Jalan Pengukuran tingkat ketidakrataan permukaan jalan belum banyak dilakukan di Indonesia mengingat kendala terbatasnya peralatan sehingga persyaratan kerataan dalam pengawasan dan evaluasi terhadap konstruksi jalan yang ada tidak dapat dilakukan secara baik menurut standar nasional bidang jalan. Untuk mengetahui tingkat kerataan permukaan jalan dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan berbagai alat, seperti:

1. Roughometer NAASRA Alat ukur roughometer NAASRA adalah alat pengukur ketidakrataan permukaan jalan yang dibuat oleh NAASRA (SNI 03-3426-1994). Alat ini dipasangkan pada kendaraan jenis station wagon, apabila tidak tersedia jenis kendaraan tersebut maka dapat diganti dengan kendaraan Jeep 4 wheel drive, atau pick up dengan penutup pada baknya (Suwardo & Sugiharto, 2004). Gambar 2.5: Alat ukur Roughometerr NAASRA Dalam survai ketidakrataan permukaan jalan dengan alat ukur roughometer NASSRA diperlukan beberapa alat bantu lainnya, yaitu: Dipstick Floor Profiler yang digunakan sebagai alat pengukur perbedaan elevasi, Odometer sebagai alat pengukur jarak tempuh, dua buah beban masing-masing seberat 50 kg dan alat pengukur tekanan ban. Sebelum melakukan survei ketidakrataan permukaan jalan, maka harus ditentukan persamaan korelasi antara Dipstick Floor Profiler dengan alat ukur NAASRA terhadap nilai IRI. Persamaan korelasi ini didapatkan dengan membuat Seksi Percobaan (SP), paling sedikit dilakukan 8 SP yang dipilih dari jalan yang permukaannya sangat rata sampai yang sangat

tidak rata, panjang SP adalah 300 meter ditambah masing-masing 50 meter pada kedua ujungnya, kemudian dilakukan pengukuran profil memanjang dengan alat Dipstick FloorProfiler, selanjutnya menjalankan kendaraan survai dengan kecepatan 30 km/jam untuk mencatat ketidakrataan permukaan jalan. 2. Rolling-straight edges Tujuan pengukuran dan analisis kerataan jalan menggunakan Rolling Straight Edge adalah : (1) untuk menganalisis tingkat kerataan permukaan (profil memanjang) jalan dari hasil pengukuran dengan alat Rolling Straight Edge, (2) menganalisis dan mengevaluasi kondisi fungsi pelayanan jalan yang ada. Gambar 2.6 : Rolling-straight edges Sumber : http://www.highwaysmaintenance.com 3. MERLIN MERLIN (Machine for Evaluating Roughness using Low-cost Instrumentation) merupakan instrument yang dioperasikan secara manual yang sering digunakan untuk mengkalibrasi Response-Type Road Roughness Measuring Systems (RTRRMS). Terdiri dari roda tunggal pada frame yang dapat bergerak bergerak sepanjang jalan, dan probe melekat pada lengan digunakan untuk merekam variabilitas dari kekasaran sepanjang jalan.

Keuntungan dari MERLIN adalah biaya rendah dan memungkinkan untuk digunakan pada negara berkembang. Gambar 2.7 : MERLIN Sumber : Comparison of Roughness Measuring Instruments (Greggory Morrow, 2006) II.5 Konsep Tingkat Pelayanan Jalan Kinerja perkerasan (pavement performance) harus dapat memberikan pelayanan yang aman dan nyaman selama umur rencana. Secara umum kinerja perkerasan dapat ditentukan dengan dua cara yaitu cara objektif dan cara subjektif. Dengan cara objektif, parameter kinerja perkerasan diperoleh dari suatu pengukuran, seperti dengan menggunakan alat Roughometer NAASRA, Rolling-straight edges, MERLIN sedangkan dengan cara subjektif didasarkan kepada hasil pengamatan beberapa orang ahli. Suwardo (2004), salah satu parameter kinerja perkerasan yang dapat ditentukan dengan cara objektif adalah International Roughness Index (IRI), disebut juga dengan ketidakrataan permukaan jalan, sedangkan Road Condition Index (RCI), disebut juga dengan indeks kondisi jalan, dapat dikatagorikan kedalam penentuan parameter kinerja perkerasan secara subjektif. Kedua parameter kinerja perkerasan tersebut dikelompokan kedalam kinerja fungsional. Sukirman (1999), kinerja

fungsional berhubungan dengan bagaimana jalan tersebut memberikan pelayanan kepada pemakai jalan yaitu berupa kenyamanan mengemudi. Selain kinerja fungsional tedapat juga kinerja struktural yang dipengaruhi oleh beban lalu lintas dan lingkungan yang dapat dinyatakan dengan parameter Present Serviceability Index (PSI). 1. International Roughness Index ( IRI ) International Roughness Index ( IRI ) dikembangkan oleh Bank Dunia pada tahun 1980. IRI digunakan untuk menentukan karakteristik profil memanjang dari jalur yang dilewati roda kendaraan untuk menentukan suatu pengukuran tingkat kekasaran permukaan yang standar. Satuan yang biasanya digunakan adalah meter per kilometer (m/km ) atau millimeter per meter (mm/m). Pengukuran IRI didasarkan pada perbandingan akumulasi pergerakan suspensi kendaraan standar ( dalam mm, inchi, dll ) dengan jarak yang ditempuh oleh kendaraan selama pengukuran berlangsung ( dalam m, km, dll ). IRI adalah parameter ketidakrataan yang dihitung dari jumlah kumulatif naik turunnya permukaan arah profil memanjang dibagi dengan jarak/ panjang permukaan yang diukur. Sayer et al (1986) telah mengembangkan nilai IRI untuk berbagai umur perkerasan dan kecepatan. Untuk ketidakrataan permukaan jalan baru nilai IRI < 4 m/km yang dapat ditempuh pada kecepatan 100 km/jam dan untuk jalan lama nilai IRI < 6 m/km dengan kecepatan sekitar 80 km/jam, sepeti terlihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.8 : International Roughness Index Sumber : Fengxuan Hu.( 2004) Development Of A Direct Type Road Roughness Evaluation System 2. Road Condition Index (RCI) Road Condition Index (RCI) atau Indeks kondisi jalan adalah salah satu kinerja fungsional perkerasan yang dikembangkan oleh American Association of State Highway Officials (AASHO) pada tahun 1960an. Indeks kondisi jalan dapat digunakan sebagai indikator tingkat kenyamanan dari suatu ruas jalan yang dapat diestimasi dari ketidakrataan perumkaan jalan. Indeks kondisi jalan dapat juga ditentukan dengan pengamatan langsung secara visual di lapangan oleh beberapa orang ahli. Indeks Kondisi Jalan (Road Condition Index = RCI) adalah skala dari tingkat kenyamanan atau kinerja dari jalan, dapat diperoleh

dari pengukuran dengan alat roughometer ataupun secara visual. Skala angka RCI bervariasi dari nilai 2 10, yang dapat dilihat pada tabel 3.1 dibawah ini : Tabel 2.3. Kondisi Permukaan Jalan secara Visual Berdasarkan Nilai RCI RCI Kondisi permukaan jalan secara visual 8 10 Sangat rata dan teratur. 7 8 Sangat baik, umumnya rata. 6 7 Baik. 5 6 Cukup, sedikit sekali atau tidak ada lubang, tetapi permukaan jalan tidak rata. 4 5 Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan jalan tidak rata. 3 4 Rusak, bergelombang, banyak lubang. 2 3 Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah perkerasan hancur. 2 Tidak dapat dilalui, kecuali dengan 4 WD jeep. Sumber : Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung Dalam penentuan jenis pemeliharaan, maka pada tahap awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi jenis kerusakan yang akan ditinjau dan juga besar atau luasan kerusakan yang terjadi, sehingga didapat angka kerusakan dari tiap kerusakan yang terjadi. Adapun skala kerusakan dari tiap kategori kerusakan yang ditinjau berdasarkan metode bina marga adalah : 1. Keretakan (Cracking), jenis keretakan yang di tinjau adalah retak kulit buaya, acak, melintang, memanjang (dengan skala kerusakan 5, 4, 3, 1), dengan ketentuan lebar retakan 2 mm, 1 2 mm, < 1 mm (dengan skala kerusakan 3, 2, 1), serta luasan kerusakan > 30 %, 10 30 %, < 10 % (dengan skala kerusakan 3, 2, 1). Masingmasing keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan.

2. Alur (Rutting), diukur berdasarkan kedalaman kerusakan mulai dari skala > 20 mm, 11 20 mm, 6 10 mm, 0 5 mm (dengan skala kerusakan 7, 5, 3, 1). Masingmasing keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. 3. Lubang (Potholes) dan Tambalan (Patching), diukur berdasarkan luasan kerusakan yang terjadi yang dimulai dari skala > 30 %, 20 30 %, 10 20 %, < 10 % (dengan skala kerusakan 3, 2, 1, 0). Masing-masing keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. 4. Kekasaran permukaan, jenis kerusakan yang ditinjau adalah pengelupasan (Desintegration), pelepasan butir (raveling), kekurusan (hungry), kegemukan (fatty/bleeding), dan permukaan rapat (close texture). Dengan skala kerusakan 4, 3, 2, 1, 0. 5. Amblas (Depression), diukur berdasarkan kedalaman kerusakan yang terjadi dimulai dari skala > 5/100 m, 2 5 /100 m, 0 2 /100 m (dengan skala kerusakan 4, 2, 1). Masing-masing keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. Dari hasil pengamatan tersebut, maka di dapat nilai dari tiap jenis kerusakan yang diidentifikasi, sehingga untuk menentukan penilaian kondisi jalan didapat dengan cara menjumlahkan seluruh nilai kerusakan perkerasan yang terjadi, dapat diketahui bahwa semakin besar angka kerusakan kumulatif maka akan semakin besar pula nilai kondisi jalan, yang berarti bahwa jalan tersebut memiliki kondisi yang buruk sehingga membutuhkan pemeliharaan yang lebih baik.

3. Indeks Permukaaan atau Present Seviceability Index Indeks Permukaan (IP) atau Present Serviceability Index (PSI) dikenalkan oleh AASHTO berdasarkan pengamatan kondisi jalan meliputi kerusakankerusakan seperti retak-retak, alur, lubang, lendutan pada lajur roda, ketidakrataan permukaan dan sebagainya yang terjadi selama umur pelayanan. Tabel di bawah ini menunjukkan hubungan antara Indeks Permukaan ( PSI ) dengan Fungsi pelayanan jalan. Tabel 2.4: Hubungan Fungsi Pelayanan dan Indeks Permukaan (IP) No. Indeks Permukaan Fungsi (IP) pelayanan 1 4 5 Sangat baik 2 3 4 Baik 3 2 3 Cukup 4 1 2 Kurang 5 0 1 Sangat kurang Sumber : Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung AASHO Road Test selanjutnya memberikan persamaan Present Serviceability Index ( PSI ) yang merupakan fungsi kerusakan perkerasan antara lain : ketidakrataan, retak, alur, dan tambalan yang dinyatakan dalam persamaan : PSI = 5,03 1,09 log ( 1 + SV ) 0,01 C + P 1,38 (RD)² (2.2) Dimana : PSI = Present serviceability index SV = Slope variance ( Derajat kemiringan ) C = Cracking ( Retak ) P = Patching ( Tambalan )

RD = Rut dept ( Kedalaman alur ) lainnya, yaitu : Dari ketiga macam konsep tingkat pelayanan jalan ini memiliki hubungan satu sama Sukirman (1999) menyarankan korelasi kedua parameter yaity RCI dan IRI untuk Indonesia adalah seperti dinyatakan pada persamaan : 1,220920 ( 0,0501 ) RCI = 10 EXP IRI (2.3) Dan dapat juga ditentukan berdasarkan hubungan grafik dibawah ini. Gambar 2.9. Korelasi Antara Nilai RCI dan Nilai IRI Sumber : Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung

Tabel 2.5 : Hubungan Antara RCI dengan IRI RCI IRI Kondisi Visual dari Permukaan Perkerasan Jenis Tipikal Permukaan 8 10 0-3 Sangat mulus dan Campuran panas yang baru digelar teratur 7 8 3-4 Sangat baik, umumnya Campuran panas setelah beberapa mulus tahun layanan 6-7 4-6 Baik Lapis Tipis yang lama dari campuran panas, NACAS yang baru, LASBUTAG yang baru 5-6 6-8 Cukup, sangat sedikit atau tidak ada lubang tetapi permukaan tidak teratur 4-5 8 10 Jelek, sesekali berlubang, permukaan tidak teratur 3-4 10 12 Pecah, bergelombang, banyak lubang 2-3 12 16 Sangat pecah-pecah, banyak lubang dan total bidang perkerasan hancur 2 > 16 Tidak dapat dilalui, kecuali 4WD Lapen yang baru, NACAS yang baru, LASBUTAG setelah 2 tahun layanan, NACAS yang lama Lapem setelah 2 tahun layanan, NACAS yang lama Lapen yang lama, NACAS yang lama, jalan kerikil yang kurang terpelihara Semua jenis perkerasan tanpa layanan untuk waktu yang lama Semua jenis perkerasan dianggap diabaikan Sumber : Presentasi Program Jalan jembatan 1 Hubungan korelasi antara IRI dan RCI dapat dinyatakan dalam beberapa korelasi. Indeks Permukaan mempunyai hubungan dengan International Roughness Index (IRI, dalam m/km). IP dinyatakan sebagai fungsi dari IRI dengan rumus : Untuk perkerasan jalan beraspal : PSI = 5 0,2937 X 4 + 1,1771 X 3 1,4045 X 2 1,5803 X (2.4) Di mana : X = Log (1 + SV) ; SV = 2,2704 IRI 2 (2.5)

SV = Variasi kemiringan (10 6 x populasi dari variasi kemiringan pada interval 1ft) PSI = Present Serviceability Index IRI = International Roughness Index, m/km Paterson (1986) mengusulkan korelasi tersebut sebagai berikut: RCI ( IRI ) 0,018 = 10EXP (2.6) dan Al Omari (1994) mengusulkan korelasi sebagai berikut: RCI ( IRI ) 0,26 = 10EXP (2.7)