BAB II KAJIAN TEORETIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORETIS. A. Pemecahan Masalah, Model Pembelajaran Means Ends-Analysis, Model. Pembelajaran Konvensional, dan Teori Sikap

BAB II KAJIAN TEORETIS. a. Pengertian MEA Means-Ends Analysis (MEA) terdiri dari tiga unsur kata yakni: means,

BAB I PENDAHULUAN. memberikan konstribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Taufik Rahman, 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. Becker dan Shimada (1997: 1) mengungkapkan bahwa we propose to call problem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dianugerahi kemampuan dan kekuatan berpikir. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern sehingga mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB II KAJIAN TEORI. Rahmawati, 2013:9). Pizzini mengenalkan model pembelajaran problem solving

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah , 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. dahulu kita harus mengetahui definisi dari masalah itu sendiri. Prayitno (1985)

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam menghadapi

2016 PENERAPAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP

BAB II KAJIAN TEORETIS. A. Kemampuan Pemahaman Matematis, Metode Pembelajaran Buzz. Group, Pembelajaran Konvensional, dan Sikap

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi tantangan zaman yang dinamis, berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah, menurut. Kurikulum 2004, adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

Model Pembelajaran Means-Ends Analysis Sebagai Salah Satu Alternatif untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika. Andhin Dyas Fitriani

, 2015 PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pengembangan kemampuan matematis peserta didik. Matematika

BAB II KAJIAN TEORITIK

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, tiap individu senantiasa menghadapi masalah, dalam

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi

DISPOSISI MATEMATIS SISWA DITINJAU DARI KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH BERBENTUK OPEN START DI SMP NEGERI 10 PONTIANAK

I. PENDAHULUAN. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini semakin pesat.

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia menjadi perhatian saat memasuki abad ke-21.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan siswa tidak menyukai belajar matematika, karena mereka

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

Senada dengan standar isi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006, The National Council of Teachers of Mathematics

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIII-F SMPN 14 BANJARMASIN MELALUI MODEL PEMBELAJARAN MEANS END ANALYSIS (MEA) Muhammad Azhari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pembelajaran matematika bertujuan untuk melatih pola

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkan ilmu pengetahuan lainnya. Menurut Hadi, (2005:3) bahwa

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riva Lesta Ariany, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam pengertian individu memiliki potensi untuk tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, karena pendidikan yang berkualitas dapat menghasilkan tenaga-tenaga

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang diberikan oleh Ennis (2002), berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan

2014 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE (TTW) DI SEKOLAH DASAR

BAB II KAJIAN TEORETIS. (2006:10) mengemukakan, Belajar matematika merupakan suatu perubahan. praktis bersikap positif, bertindak aktif dan kreatif.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dapat menuju kearah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto

Oleh Nila Kesumawati Jurusan Pendidikan Matematika, FKIP Universitas PGRI Palembang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang ingin maju. Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang berkualitas

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORETIS

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORETIS A. Model Pembelajaran Means Ends-Analysis, Model Pembelajaran Konvensional,Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematik 1. Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) Model pembelajaran Means-Ends Analysis adalah salah satu model pembelajaran yang merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah Suherman (2008, hlm. 6). Penyajian materi pada model pembelajaran ini dilakukan dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic Suherman (2008, hlm. 6). Karena penyajian materi yang disajikan berbasis heuristic, maka dalam penyajian materi tidak dilakukan dengan algoritma yang rutin. Pembelajaran ini dilakukan dengan langkah-langkah penyajian materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, analisis menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadi konektivitas, pilih strategi solusi. Strategi solusi yang digunakan adalah strategi heuristic, bukan menggunakan algoritma rutin. Model pembelajaran Means-Ends Analysis menurut Miftahul huda (2013, hlm. 294) Secara etimologis, Means-Ends Analysis terdiri dari tiga unsur kata yaitu Means, Ends, dan Analysis. Means yang berarti cara, Ends yang berarti tujuan, serta Analysis yang berarti menyelidiki dengan sistematis.secara keseluruhan, strategi Means-Ends Analysis (MEA) bisa diartikan sebagai suatu strategi untuk menganalisis permasalahan melalui berbagai cara untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Selain sebagai model pembelajaran, Means-Ends Analysis merupakan suatu proses atau cara yang dapat dilakukan untuk memecahkan suatu masalah kedalam dua atau lebih subtujuan dan kemudian dikerjakan berturut-turut pada masing-masing subtujuan tersebut Suharnan (Fitriani, 2012:67). Means-Ends Analysis adalah suatu proses yab ng digunakan pada pemecahan masalah di mana mencoba untuk mereduksi perbedaan antara current state (pernyataan sekarang) dan goal sate (tujuan). Langkah-langkah mereduksi perbedaan tersebut dilakukan secara berulang- 10

11 ulang sampai tidak terdapat lagi perbedaan antara current sate (pernyataan sekarang) dan goal state (tujuan). Dalam pembelajaran langkah-langkah tersebut diuraikan sebagi berikut: 1. Siswa dijelaskan tujuan pembelajaran. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih; 2. Siswa dibantu mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, dll); 3. Siswa dikelompokan menjadi 5 atau 6 kelompok (kelompok yang dibentuk harus heterogen), dan memberi tugas/soal pemecahan masalah kepada setiap kelompok; 4. Siswa dibimbing untuk mengidentifikasi masalah, menyederhanakan masalah, hipotesis, mengumpulkan data, membuktikan hipotesis, menarik kesimpulan; 5. Siswa dibantu untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan; 6. Siswa dibimbing untuk menyimpulkan materi yang telah dipelajari. model MEA adalah suatu model pembelajaran yang mengoptimalkan kegiatan pemecahan masalah, dengan melalui pendekatan heuristik yaitu berupa rangkaian pertanyaan yang merupakan petunjuk untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang memberi kemudahan bagi siswa. Proses pembelajaran dengan model Means-Ends Analysis (MEA) memotivasi siswa untuk aktif dalam kegiatan pemecahan masalah. Siswa mengelaborasi masalah menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana. Tentunya dalam tahap ini siswa dituntut untuk memahami soal atau masalah yang dihadapi. Kemudian mengidentifikasi perbedaan antara kenyataan yang dihadapi dengan tujuan yang ingin dicapai, setalah itu siswa menyusun sub-sub masalah tadi agar terjadi konektivitas atau hubungan antara sub masalah yang satu dengan sub masalah yang lain dan menjadikan sub masalah-sub masalah tersebut menjadi kesatuan, siswa mengajarkan berturut-turut pada masing-masing sub masalah tersebut. Pada tahap ini siswa memikirkan solusi yang paling tepat, efektif dan efisien untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Setelah itu dilakukan

12 pengecekan kembali untuk melihat hasil pengerjaan dan mengoreksi jika terdapat kesalahan perhitungan atau kesalahan dalam pemilihan strategi solusi. Glass and Holyoak (Fitriani, 2012 hlm. 69) menyatakan bahwa model pembelajaran Means-Ends Analysisi memuat dua langkah yang digunakan berulangulang. Langkah-langkah yang dilakukan tersebut adalah: a. Mengidentifikasi perbedaan antara current state dan goal state. b. Menggunakan suatu tindakan untuk mengelaborasi perbedaan tersebut. Prosedur dua langkah tersebut direduksi perbedaan (difference reduction). Prosedur tersebut menghendaki seorang pemecah masalah untuk menentukan tujuan (ends) dari suatu masalah yang hendak dicapai dan cara (means) yang dapat membentuknya untuk mencapai tujuan tersebut. Proses awal yang dilakukan dalam Means-Ends Analysis adalah memahami suatu masalah yang meliputi proses pendekatan current state (pernyataan sekarang) dan goal state (tujuan). Setelah dilakakuan pendeteksian current state dan goal state perlu dicari perbedaan di antara kedua hal tersebut. Kemudian dilakukan pereduksian perbedaan tersebut. Keadaan ini perlu disesuaikan dengan keperluan agar suatu submasalah menjadi suatu keadaan yang nantinya dapat teraplikasikan pada masalah yang ada. Selanjutnya gunakan perbedaan antara current state dan goal state untuk menyelesaikan prosedur yang digunakan. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2009) dengan judul Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (Thesis), yang dilaksanakan di Salah Satu SMP Kota Bandung. Berdasarkan hasil pengolahan data menunjukan bahwa rata-rata peningkatan kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen setelah pembelajaran lebih besar daripada ratarata peningkatan siswa kelas kontrol. Sedangkan berdasarkan angket, pada umumnya siswa menunjukan sikap positif. Maka dari penjelasan mengenai model pembelajaran Means-Ends Analysis diatas yang mengoptimalkan kegiatan pemecahan masalah, penulis tertarik untuk menggunakan pembelajaran Means-Ends Analysis untuk melihat apakah

13 pembelajaran Means-Ends Analyisis dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. 2. Pembelajaran Konvensional Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991, hlm. 523) konvensional artinya berdasarkan kebiasaan atau tradisional. Jadi, konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru. Pada umumnya pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang lebih terpusat pada guru. Akibatnya terjadi praktik belajar pembelajaran yang kurang optimal karena guru membuat siswa pasif dalam kegiatan belajar pembelajaran. Metode yang sering dipakai adalah ekspositori. Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru sudah banyak berkurang, karena tidak terus menerus berbicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal disertai tanya jawab. Siswa tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Guru bersama siswa berlatih menyelesaikan soal latihan dan siswa bertanya jika belum mengerti. Guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara individual, menjelaskan lagi kepada siswa secara individual atau klasikal. Siswa dapat mengerjakan sendiri atau bertanya kepada temannya serta disuruh guru mengerjakan kembali di papan tulis. Walaupun dalam hal terpusatnya kegiatan pembelajaran masih kepada guru tetapi dominasi guru sudah banyak berkurang. 3. Pemecahan Masalah Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, karena siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin, karena melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematika seperti aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian dan komunikasi matematika dapat dikembangkan secara lebih baik. Polya (1973, hlm. 3) mengemukakan bahwa pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu saja dapat dicapai. Selain itu Ruseffendi (2006, hlm. 335) mengemukakan

14 Pemecahan Masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi dan kompleks dibandingkan dengan tipe pembelajaran yang lainnya Pemecahan masalah menurut Suwarkono (Widya, 2013 hlm. 276) adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Pemecahan masalah menurut Joyce dan Weil (Khotimah, 2011 hlm. 8) adalah Penerapan beberapa aturan untuk yang belum diketahui sebelumnya oleh pelajar. Pemecahan masalah merpakan suatu usaha untuk mecari pembenaran dari suatu masalah. Berdasarkan definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah proses seseorang untuk menerapkan tahapan dalam menyelesaikan suatu masalah. Menurut Polya (1973, hlm. 5), solusi pemecahan masalah terdidi dari empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah-langkah yang dikerjakan. Untuk menyelesaikan suatu masalah dengan pendekatan pemecahan masalah, kita dapat mengikuti langkah-langkah dari Polya (1973, hlm. 5) sebagai berikut: 1. Memahami Masalah Hal ini meliputi: a. Apakah yang tidak diketahui? data apa yang diberikan? bagaimana kondisi soal? b. Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk persamaan atau hubungan lainnya? c. Apakah kondisi yang diberikan cukup untuk mencari apa yang ditanyakan? d. Buatlah gambar atau tuliskan notasi yang sesuai 2. Menyusun Strategi Hal-hal yang dilakukan ketika menyusun strategi penyelesaian diantaranya: a. Menyelesaikan kembali masalah itu kedalam bentuk yang lebih dimengerti. b. Mengingat kembali apakah masalah yang dihadapi telah dikenal dengan baik sebelumnya, baik masalah yang sama maumpun dalam bentuk berbeda c. Menentukan definisi atau aturan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

15 d. Perhatikan apa yang harus dicari (dibuktikan), dapatkah kita mengkondisikan sesuatu yang lebih sederhana sehingga kita dapat memperoleh apa yang dicari (dibuktikan) e. Menyelesaikan masalah dalam bentuk informasi yang lebih sederhana f. Mengembangkan data yang diberikan berdasarkan aturan yang sudah diketahui 3. Menjelaskan strategi Hal-hal yang dilakukan ketika menjalankan strategi diantaranya: a. Lakukan rencana strategi itu untuk memperoleh penyelesaian dari masalah b. Perhatikan apakah setiap langkah yang dilakukan sudah benar. 4. Memeriksa hasil yang diperoleh a. Memeriksa setiap langkah yang dilakukan b. Menggunakan hasil yang diperoleh pada masalah lainnya. Empat langkah pemecahan masalah dari Polya tersebut merupakan yang penting untuk dikembangkan melalui berbagai macam strategi pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah matematik dapat diukur oleh suatu indikator. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini sebagai mana yang dikemukakan oleh Sumarmo (Juanda, 2013, hlm. 18) sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsurunsur yang diperlukan. 2. Membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikan. 3. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika didalam atau diluar matematika 4. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil yang sesuai permasalahan asal serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. 5. Menerapkan matematika secara bermakna. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, Kemampuan pemecahan masalah siswa adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah secara tidak rutin dan kemampan menggali informasi dari suatu masalah, kemudian mengolah informasi sehingga dapat menyelesaikan masalah, dan terakhir dapat melakukan koreksi dari penyelesaian masalah yang dilakukan.

16 4. Disposisi Matematik Menurut Karlimah (2010, hlm. 10) belajar matematika tidak hanya mengembangkan aspek kognitif melainkan juga perlu untuk mengembangkan aspek afektif diantaranya adalah memiliki rasa ingin tahu, perhatian, refleksi atas cara berfikir dan percaya diri serta sikap ulet dalam memecahkan masalah yang diberikan. Sikap-sikap tersebut dinamakan dengan disposisi. Ada beberapa pengertian dari disposisi itu sendiri, diantaranya yaitu menurut Ritchhart (Yunarti, 2013, hlm. 23) yang mendefinisikan disposisi sebagai perkawinan antara kesadaran, motivasi, inklinasi, dan kemampuan atau pengetahuan yang diamati. Disposisi menurut Katz (1993) adalah a disposition is a tendency to exhibit frequently, consciously, and voluntarily a pattern of behavior that is directed to a broad goal. Artinya disposisi adalah kecenderungan untuk secara sadar (consciously), teratur (frequently), dan sukarela (voluntary) untuk berperilaku tertentu yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu.sedangkan didalam konteks matematika, disposisi matematika (mathematical disposition) menurut NCTM (1991) berkaitan dengan bagaimana siswa memandang dan menyelesaikan permasalahan, apakah percaya diri, tekun, berminat, dan berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Selain itu berkaitan dengan kecenderungan siswa untuk merefleksi pemikiran mereka sendiri. Sumarmo (2010) mengungkapkan bahwa disposisi matematis adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika. Disposisi matematis (mathematical disposition) menurut Kilpatrick et al. (2001, hlm. 131) adalah sikap produktif atau sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna, dan berfaedah. Kilpatrick et al. menyatakan bahwa, Student disposition toward mathematics is major factor in determining their educational success. Dari pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa disposisi matematis merupakan faktor utama dalam menentukan kesuksesan belajar matematika siswa. Untuk mengukur disposisi matematis siswa diperlukan beberapa indikator. Adapun beberapa indikator yang dinyatakan oleh NCTM (1989, hlm. 233) adalah: 1. Kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah matematika,

17 mengkomunikasikan ide-ide, dan memberi alasan. 2. Fleksibilitas dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode alternatif untuk memecahkan masalah. 3. Bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika. 4. Ketertarikan, keingintahuan, dan kemampuan untuk menemukan dalam mengerjakan matematika. 5. Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi proses berpikir dan kinerja diri sendiri. 6. Menilai aplikasi matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan sehari-hari. 7. Penghargaan (appreciation) peran matematika dalam budaya dan nilainya, baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa. Disposisi matematis siswa dikatakan baik jika siswa tersebut menyukai masalahmasalah yang merupakan tantangan serta melibatkan dirinya secara langsung dalam menemukan atau menyelesaikan masalah dalam mata pelajaran matemamtika. Selain itu siswa merasakan dirinya mengalami proses belajar saat menyelesaikan tantangan tersebut. Dalam prosesnya siswa merasakan munculnya kepercayaan diri, pengharapan dan kesadaran untuk melihat kembali hasil berpikirnya atau siswa mengulas kembali hasil dari pembelajaran yang telah dia lakukan. B. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN Penelitian yang di susun oleh Sri pada tahun 2014 tentang kemampuan berfikir kritis dan hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dengan hasil yang berpengaruh baik secara signifikan terhadap kemampuan berfikir kritis dan hasil belajar pesrta didik itu relevan dengan model pembelajaran yang akan saya ujikan, yaitu model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dan yang membedakannya adalah aspek yang akan di ujikannya. Penelitian yang di susun oleh Riki pada tahun 2013 tentang kemampuan pemecahan masalah dengan model pembelajaran matematika tipe Group

18 Investigation dengan hasil berpengaruh baik secara signifikan terhadap kemampuan masalah matematik itu relevan dengan aspek kognitif yang akan saya ujikan, yaitu kemampuan pemecahan masalah dan yang membedakannya adalah model pembelajaran yang digunakan. Penelitian yang di susun oleh Dahniar pada tahun 2013 tentang kemampuan penalaran dan disposisi matematis dengan model eliciting activities dengan hasil pembelajaran model Eliciting Activities efektif pada kemampuan penalaran dan disposisi matematis siswa dalam materi lingkaran itu relevan dengan aspek afektif yang akan saya ujikan, yaitu disposisi matematik dan yang membedakannya adalah model yang digunakan. Ketiga penelitian yang telah dilakukan diatas itu mendukung penelitian yang akan saya lakukan dan relevan dengan judul yang saya akan ujikan, yaitu Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Dispisisi Matematik Melalui Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) Pada Siswa SMA. C. Kerangka Pemikiran atau Diagram/Skema Paradigma Penelitian 1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan kerangka logis yang mendudukkan masalah penelitian di dalam kerangka teoretis yang relevan, juga ditunjang oleh penelitian terdahulu. Kondisi awal siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional di kelas menyebabkan siswa tidak aktif. Tidak aktifnya siswa di kelas karena pembelajaran yang masih mengandalkan ceramah, sehingga keaktifan siswa selama proses pembelajaran berlangsung kurang. Kesulitan dalam menyelesaikan soal yang tidak rutin pada pelajaran matematika menjadi indikasi masih rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dalam pembelajaran matematika. Model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) merupakan model pembelajaran yang memfasilitasi berkembangnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa, guru menjadikan siswa aktif di kelas, keingintahuan siswa dalam

19 memahami materi, keberanian mengungkapkan pendapat, menghargai pendapat orang lain, serta memiliki kemampuan dalam mengaplikasikan materi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa melalui materi trigonometri aturan sinus dan cosinus. Kerangka pemikiran penelitian ini dituangkan dalam bentuk bagan yang terdapat pada Bagan 1. Pembelajaran dengan Model Means Ends Analysis (MEA) Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Pembelajaran Konvensional Disposisi matematik terhadap model pembelajaran Means Ends Analysis (MEA)dan Konvensional Bagan 1 Kerangka Pemikiran 2. Asumsi dan Hipotesis a. Asumsi Ruseffendi (2010, hlm. 25) mengatakan bahwa asumsi merupakan anggapan dasar mengenai peristiwa yang semestinya terjadi dan atau hakekat sesuatu yang sesuai dengan hipotesis yang dirumuskan. Dengan demikian, anggapan dasar dalam penelitian ini adalah: 1) Perhatian dan kesiapan siswa dalam menerima materi pelajaran matematika akan meningkatkan hasil belajar siswa.

20 2) Penyampaian materi dengan menggunakan teknik pembelajaran yang sesuai dengan keinginan siswa akan membangkitkan motivasi belajar dan siswa akan aktif dalam mengikuti pelajaran sebaik-baiknya yang disampaikan oleh guru. b. Hipotesis Berdasarkan anggapan dasar di atas, maka penulis mengemukakan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran Means-End Analysis (MEA) lebih baik daripada siswa yang belajar menggunakan pembelajaran konvensional. b. Disposisi matematik siswa yang memperoleh model pembelajara Means-Ends Analysis (MEA) lebih baik dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. c. Terdapat korelasi antara disposisi matematik dengan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA). d. Terdapat korelasi antara disposisi matematik dengan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.