DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA RENA YUNITA RAHMAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

MODEL EKONOMI DAN DAMPAK IMPLEMENTASI PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CINA BAGI PERDAGANGAN GULA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

INTEGRASI PASAR BERAS DAN GULA DI THAILAND, FILIPINA DAN INDONESIA DESI ARYANI

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN. CAFTA dibuat untuk mengurangi bahkan menghapuskan hambatan

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA. Iwan Hermawan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

POSISI PERDAGANGAN DAN DAYA SAING GULA INDONESIA DI PASAR ASEAN. Trade Position and Competitiveness of Indonesia Sugar in ASEAN Market

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Kata kunci: China ASEAN Free Trade Area (CAFTA), ekspor, impor, volume, harga

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR KEDELAI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

SILABUS. : Perdagangan Pertanian Nomor Kode/SKS : ESL 314 / 3(3-0)2

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia. The Demand for Raw Sugar in Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LABA PERUSAHAAN INDUSTRI DAN PRODUKTIFITAS TENAGA KERJA DI PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2006

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara,

BAB I PENDAHULUAN. anggota ASEAN pada ASEAN Summit di Singapura pada Juni Pertemuan tersebut mendeklarasikan pembentukan Asian Free Trade Area

PENINGKATAN EKSPOR CPO DAN KAKAO DI BAWAH PENGARUH LIBERALISASI PERDAGANGAN (SUATU PENDEKATAN MODEL GRAVITASI) OLEH MARIA SITORUS H

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

MODEL PASAR JAGUNG, PAKAN DAN DAGING AYAM RAS DI INDONESIA: SUATU ANALISIS SIMULASI ARISTO EDWARD

III KERANGKA PEMIKIRAN

1 Universitas Indonesia

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

MODEL PASAR JAGUNG, PAKAN DAN DAGING AYAM RAS DI INDONESIA: SUATU ANALISIS SIMULASI ARISTO EDWARD

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

Transkripsi:

1 PROSPEK PERDAGANGAN GULA INDONESIA DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA RENA YUNITA RAHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : PROSPEK PERDAGANGAN GULA INDONESIA DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan oleh sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Februari 2013 Rena Yunita Rahman NRP H353100061

3 ABSTRACT RENA YUNITA RAHMAN. Prospect of Indonesian Sugar Trade in the Implementation of ASEAN-China Free Trade Agreement Framework (BONAR M. SINAGA as the Chairman and SRI HERY SUSILOWATI as a Member of the Advisory Committee). Sugar is an important and strategic commodity because it is one of the main foodstuff and sugar cane as a raw material of sugar produced by a large part of farmers in Indonesia. Globalization and unfair trade, including sugar trade, will affect the development of the sugar industry in Indonesia. Implementation of Asean-China Free Trade Agreement will reduce and eliminate tariff and non-tariff barriers. Domestic production of sugar has not been able to fulfill the high demand for sugar in Indonesia. The objectives of study are to analyze the factors which influence demand for and supply of sugar in domestic and world markets, to evaluate the impact of economic policy in agricultural sector on the performance of Indonesian sugar trade for the period 2004-2010, and to forecast the impact of economic policy in agricultural sector and external factor on the performance of Indonesian sugar trade for the period 2011-2014 and 2015-2020. Indonesian Sugar Trade Model was constructed as a simultaneous equations system and estimated by 2SLS method with SYSLIN procedure. Historical and forecasting were simulated using NEWTON method with SIMNLIN procedure. Indonesian sugar import from China is more responsive than Indonesian sugar import from Thailand to changes in sugar import tariff, but the share of Indonesian sugar import from Thailand larger than Indonesian sugar import from China so that reducing import tariff policy will increase sugar import from Thailand larger than China. Elimination of import tariff will increase consumer s surplus higher than decreasing of producer s surplus but net surplus decrease because government s tariff revenue also decrease. This study suggest that to increase sugar consumer s and producer s welfare (net surplus) the combinations of reducing sugar import tariff, increasing price of sugar, expansion of sugar cane plantations and strengthening the role of State Logistics Agency could be an appropriate policy instruments. Keywords : sugar industry, ACFTA, import tariff, producer s and consumer s surplus

4 RINGKASAN RENA YUNITA RAHMAN. Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan SRI HERY SUSILOWATI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Gula adalah komoditas penting dan strategis karena sebagai salah satu bahan makanan pokok dan bahan baku gula dihasilkan oleh sebagian besar petani di Indonesia. Globalisasi dan perdagangan yang tidak fair, termasuk perdagangan gula, akan mempengaruhi pengembangan industri gula di Indonesia. Implementasi Perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) diwujudkan dengan pengurangan dan penghapusan hambatan tarif dan non-tarif. Kebutuhan gula di Indonesia belum mampu dipenuhi oleh produksi gula dalam negeri sehingga kecenderungan impor gula di Indonesia semakin meningkat. Permasalahan yang terjadi dalam industri gula nasional tidak hanya on farm tetapi juga off farm. Di sisi on farm masalah yang cukup menonjol adalah rendahnya produktivitas gula disamping masalah ketersediaan lahan, sedangkan masalah off farm terutama berkaitan dengan rendahnya inefisiensi pabrik gula (Kementerian Perindustrian, 2009). Selama hampir setengah dekade penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat semakin memperkuat kekhawatiran dan ketidakberdayaan Indonesia yang tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Pemerintah melalui beberapa kementerian dan instansi telah melakukan usaha-usaha guna meningkatkan daya saing produk Indonesia, terutama setelah pemberlakuan kesepakatan ACFTA. Dalam perjanjian ACFTA, komoditas gula dikategorikan sebagai komoditas High Sensitive List (HSL) sehingga masih diperbolehkan adanya intervensi pemerintah berupa tarif dan akan mengalami penurunan atau penghapusan tarif menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Ditjen KPI, 2005). Penurunan atau penghapusan tarif impor dapat menjadi ancaman dengan semakin banyaknya gula impor yang akan memenuhi pasar dalam negeri. Untuk mengantisipasi terjadinya perubahan faktor lingkungan internal dan eksternal dalam membangkitkan kembali industri gula nasional dalam era perdagangan bebas ACFTA maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan-kebijakan periode historis dan strategi kebijakan antisipatif di masa mendatang sehingga pengembangan industri gula nasional lebih berdayaguna baik bagi kesejahteraan produsen, konsumen maupun perekonomian nasional. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis keragaan pasar gula Indonesia ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, (2) mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kinerja industri gula Indonesia dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2004-2010, dan (3) meramalkan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal berkaitan dengan liberalisasi perdagangan gula dalam skema ACFTA terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2011-2014 dan 2015-2020.

5 Model Perdagangan Gula Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan yang terdiri dari dua blok, yaitu blok pasar gula Indonesia dan blok pasar gula dunia. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 30 persamaan dengan 20 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Model terdiri dari 30 variabel endogen dan 74 predetermined variable yang terdiri dari 15 lag variabel endogen dan 59 variabel eksogen, sehingga total variabel dalam model adalah 104 variabel. Jumlah variabel yang paling banyak dalam suatu persamaan adalah 7 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan bahwa setiap persamaan struktural yang terdapat dalam model adalah over identified. Selanjutnya, model diestimasi menggunakan metode 2SLS dengan prosedur SYSLIN. Simulasi historis dan peramalan menggunakan metode NEWTON dengan prosedur SIMNLIN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan rentang waktu tahun 1981 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas gula hablur baik pada perkebunan tebu besar negara, swasta, dan rakyat kurang responsif terhadap peningkatan luas areal perkebunannya. Respon permintaan gula rumah tangga terhadap peningkatan harga riil gula eceran juga inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sedangkan penurunan permintaan gula industri tidak dipengaruhi secara nyata oleh peningkatan harga riil gula tingkat pedagang besar. Impor gula Indonesia dari China lebih responsif dibandingkan impor gula Indonesia dari Thailand terhadap perubahan tarif impor gula, tetapi pangsa impor gula Indonesia dari Thailand lebih besar daripada pangsa impor gula dari China. Ekspor gula Brazil lebih responsif dibanding ekspor gula Thailand terhadap perubahan produksi gula negara tersebut. Perilaku impor gula negara importir gula (India, Amerika, dan China) dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia. Evaluasi dampak kebijakan ekonomi disektor pertanian yang meliputi peningkatan harga gula sebesar 25 persen, peningkatan harga pupuk sebesar 33 persen, penurunan tarif impor gula 49 persen, peningkatan luas areal 20 persen, dan penurunan kuota impor 50 persen meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kecuali pada kebijakan penurunan tarif impor gula 49 persen. Alternatif kebijakan yang memberikan kondisi terbaik adalah kebijakan peningkatan harga gula 25 persen karena memberikan peningkatan kesejahteraan konsumen dan produsen (net surplus) paling besar, terutama bagi petani perkebunan rakyat. Peramalan penghapusan tarif impor gula akan meningkatkan surplus konsumen yang lebih besar dari penurunan surplus produsen tetapi kesejahteraan masyarakat (net surplus) menurun karena penerimaan pemerintah dari tarif impor juga menurun. Pemerintah sebaiknya memilih opsi menurunkan tarif sampai dengan 50 persen sesuai dengan ketentuan yang masih diperbolehkan dalam perjanjian ACFTA. Untuk meningkatan kesejahteraan konsumen dan produsen gula (net surplus) maka sebaiknya dilakukan kebijakan kombinasi penurunan tarif impor, peningkatan harga gula petani, peningkatan luas areal perkebunan tebu, dan penguatan peran BULOG. Kata kunci : industri gula, ACFTA, tarif impor, surplus produsen dan konsumen

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 PROSPEK PERDAGANGAN GULA INDONESIA DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA RENA YUNITA RAHMAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Pimpinan Ujian Tesis/Wakil PS.EPN : Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

9 Judul Tesis : Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China Nama Mahasiswa : Rena Yunita Rahman Nomor Pokok : H353100061 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua Dr. Ir. Sri Hery Susilowati, MS Anggota 2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian Mengetahui : 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 21 Desember 2012 Tanggal Lulus :

10 KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN- China. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hery Susilowati, MS selaku anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan kepada penulis dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis yang telah memberikan banyak masukan bagi perbaikan tesis ini. 3. Kepala Sekretariat Dewan Gula Indonesia (DGI) beserta staf atas bantuan data dan informasi yang diberikan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian tesis. 4. Dr. Ir. Evita Soliha Hani, M.P., Ir. Anik Suwandari, M.P., Dr. Ir Yuli Hariyati, M.S., dan seluruh staf pengajar Program Studi Agribisnis Universitas Jember atas perhatian dan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan studi. 5. Orang tua penulis, Saiful Rahman dan Indah Susilowati, yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis selama menyelesaikan studi. 6. Seluruh saudara-saudariku tercinta (Novi Yulia Rahman, Kusnandar Hidayat, Dian Rosita Rahman dan Arif Rahman Hakim) atas doa, perhatian, dan kasih sayang yang tulus sehingga penulis mampu menyelesaikan studi.

11 7. Fajar Andika, S.E atas doa, perhatian, semangat, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis selama menyelesaikan studi. 8. Teman-teman mahasiswa di Program studi EPN Angkatan 2010 (Mba Erni, Mba Fanny, Mba Kanti, Mas Danil, Mas Ardhiyan, dan Pak Ujang) atas kebersamaan, perhatian, dan dukungan hingga perjuangan ini dapat kita lalui tahap demi tahap. 9. Teman-teman Wisma Bintang (Mba Isra, Mba Lisda, Mba Reikha, Nana, Novita, Dea, Nining, Iip, Depta, Pia, Mitha, dan Mey) atas motivasi, semangat, dan bantuannya selama penyelesaian tesis ini. 10. Seluruh staf kependidikan di Mayor Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (Mba Ruby, Mba Yani, Pak Johan, Ibu Kokom, dan Pak Husen) yang membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi ini. 11. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga segala doa, bantuan, semangat, perhatian, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari penelitian ini masih banyak keterbatasan dan kekurangan. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi para pengguna dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan inspirasi untuk penelitian berikutnya. Bogor, Februari 2013 Penulis

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 28 Februari 1988. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Saiful Rahman dan Indah Susilowati. Pada Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jember dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jember. Selama kuliah penulis aktif menjadi asisten pada Laboratorium Ekonomi Pertanian. Penulis menyelesaikan program sarjana pada tahun 2010 dengan predikat lulusan terbaik. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi Pascasarjana pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN). Pada tahun 2011 penulis memperoleh Bakrie Graduate Fellowship dari Bakrie Center Foundation yang membantu penulis dalam penyelesaian studi.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR... xxii DAFTAR LAMPIRAN...xxiii I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 8 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 11 II. TINJAUAN PUSTAKA... 13 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia... 13 2.2. Profil Struktur Industri Gula Indonesia... 16 2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Pergulaan Indonesia... 19 2.4. Kebijakan Pergulaan di Negara-Negara Anggota ASEAN-China Free Trade Area... 28 2.5. Tinjauan Studi Terdahulu... 32 III. KERANGKA TEORITIS... 37 3.1. Fungsi Permintaan Gula... 37 3.1.1. Permintaan Gula oleh Rumah Tangga... 38 3.1.2. Permintaan Gula oleh Industri... 40 3.2. Fungsi Impor Gula... 41 3.3. Respon Bedakala Produksi Komoditas Pertanian... 43 3.4. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Perdagangan Gula... 44 3.4.1. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk... 45 3.4.2. Kebijakan Harga Patokan Petani Gula... 46 3.4.3. Kebijakan Tarif Impor Gula... 47 3.4.4. Kebijakan Kuota Impor Gula... 50

14 xiv IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS... 53 4.1. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data... 53 4.2. Spesifikasi Model Perdagangan Gula... 53 4.2.1. Luas Areal Perkebunan Tebu Indonesia... 55 4.2.2. Produktivitas Gula Hablur Indonesia... 56 4.2.3. Produksi... 58 4.2.3.1. Produksi Gula Kristal Putih... 58 4.2.3.2. Produksi Gula Indonesia... 58 4.2.4. Penawaran Gula Indonesia... 59 4.2.5. Permintaan Gula Indonesia... 59 4.2.5.1. Permintaan Gula Rumah Tangga... 59 4.2.5.2. Permintaan Gula Industri... 60 4.2.5.3. Permintaan Gula Indonesia... 61 4.2.6. Harga Gula Indonesia... 61 4.2.6.1. Harga Gula Tingkat Petani... 61 4.2.6.2. Harga Gula Tingkat Pedagang Besar... 62 4.2.6.3. Harga Eceran Gula Indonesia... 63 4.2.6.4. Harga Impor Gula Indonesia... 63 4.2.7. Impor Gula Indonesia... 64 4.2.7.1. Impor Gula Indonesia dari Thailand... 64 4.2.7.2. Impor Gula Indonesia dari China... 64 4.2.7.3. Total Impor Gula Indonesia... 65 4.2.8. Ekspor Impor Gula Dunia... 65 4.2.8.1. Ekspor Gula Brazil... 65 4.2.8.2. Ekspor Gula Thailand... 66 4.2.8.3. Total Ekspor Gula Dunia... 66 4.2.8.4. Impor Gula India... 67 4.2.8.5. Impor Gula Amerika Serikat... 67 4.2.8.6. Impor Gula China... 68 4.2.8.7. Total Impor Gula Dunia... 68 4.2.9. Harga Gula Dunia... 69 4.3. Prosedur Analisis... 69

xv 15 4.3.1. Identifikasi Model... 69 4.3.2. Metode Estimasi Model... 70 4.3.2.1. Uji Statistik F... 71 4.3.2.2. Uji Statistik-t... 71 4.3.2.3. Uji Statistik Durbin-h... 72 4.3.3. Validasi Model... 73 4.3.4. Simulasi Model... 74 4.3.4.1. Simulasi Historis (Ex Post Simulation)... 74 4.3.4.2. Simulasi Peramalan (Ex Ante Simulation)... 76 4.3.5. Metode Peramalan... 79 4.4. Analisis Perubahan Indikator Kesejahteraan... 80 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA... 83 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia... 83 5.2. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Impor, dan Stok Gula Indonesia... 85 5.2.1. Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi... 85 5.2.2. Konsumsi Gula Rumah Tangga dan Industri... 86 5.2.3. Impor Gula Indonesia... 87 5.2.4. Stok Gula Indonesia... 89 5.3. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Gula Dunia... 91 5.4. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia... 92 5.4.1. Produksi Gula Dunia... 92 5.4.2. Konsumsi Gula Dunia... 94 5.5. Ekspor dan Impor Gula Dunia... 95 5.5.1. Ekspor Gula Dunia... 95 5.5.2. Impor Gula Dunia... 97 5.6. Impor Gula Indonesia... 98 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 101 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model... 101

16 xvi 6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran dan Permintaan Gula di Pasar Domestik dan Dunia... 102 6.2.1. Areal Perkebunan Tebu Indonesia... 102 6.2.2. Produktivitas Gula Hablur Indonesia... 106 6.2.3. Permintaan Gula Indonesia... 111 6.2.3.1. Permintaan Gula Rumah Tangga... 111 6.2.3.2. Permintaan Gula Industri... 113 6.2.4. Harga Gula Indonesia... 115 6.2.4.1. Harga Riil Gula Tingkat Petani... 115 6.2.4.2. Harga Riil Gula Tingkat Pedagang Besar... 116 6.2.4.3. Harga Riil Gula Eceran... 117 6.2.4.4. Harga Impor Riil Gula Indonesia... 118 6.2.5. Impor Gula Indonesia... 119 6.2.5.1. Impor Gula Indonesia dari Thailand... 120 6.2.5.2. Impor Gula Indonesia dari China... 121 6.2.6. Ekspor Impor Gula Dunia... 123 6.2.6.1. Ekspor Gula Brazil... 123 6.2.6.2. Ekspor Gula Thailand... 124 6.2.6.3. Total Ekspor Gula Dunia... 125 6.2.6.4. Impor Gula India... 126 6.2.6.5. Impor Gula Amerika Serikat... 127 6.2.6.6. Impor Gula China... 129 6.2.6.7. Total Impor Gula Dunia... 131 6.2.7. Harga Riil Gula Dunia... 131 VII. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2004-2010... 133 7.1. Evaluasi Daya Prediksi Model... 133 7.2. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia... 133 7.2.1 Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani... 134 7.2.2 Peningkatan Harga Pupuk... 136 7.2.3 Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu... 139

xvii 17 7.2.4 Penurunan Tarif Impor Gula... 141 7.2.5 Penurunan Kuota Impor Gula... 143 7.3. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2005-2010... 145 VIII. PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTANIAN DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TAHUN 2011-2014 dan 2015-2020... 151 8.1. Peramalan Dampak Kebijakan terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia... 151 8.1.1. Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian... 152 8.1.1.1. Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani... 152 8.1.1.2. Penguatan Peran BULOG... 154 8.1.1.3. Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu... 156 8.1.1.4. Swasembada Absolut Gula... 158 8.1.1.5. Penghapusan Tarif Impor Gula... 161 8.1.1.6. Penurunan Tarif Impor Gula... 163 8.1.2. Simulasi Tunggal Perubahan Faktor Eksternal... 168 8.1.2.1. Peningkatan Produksi Gula China... 168 8.1.2.2. Peningkatan Produksi Gula Thailand dan Brazil... 170 8.1.3. Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian 172 8.1.3.1. Simulasi Kombinasi Tarif Impor dan Harga Gula Tingkat Petani... 172 8.1.3.2. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Luas Areal Perkebunan... 175 8.1.3.3. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Produksi Gula China, dan Stok Gula... 178 8.1.3.4. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Luas Areal, dan Stok Gula... 180 8.2. Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia... 183 8.2.1. Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian... 183 8.2.2. Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Perubahan Faktor Eksternal... 193

18 xviii 8.2.3. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Ekstrnal... 196 IX. KESIMPULAN DAN SARAN... 203 9.1. Kesimpulan... 203 9.2. Saran... 205 9.2.1. Saran Kebijakan... 205 9.2.2. Saran Penelitian Lanjutan... 206 DAFTAR PUSTAKA... 209 LAMPIRAN... 215

19 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China Free Trade Area... 14 2. Jumlah Impor Gula Mentah di Indonesia Tahun 2003-2009... 17 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional... 20 4. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir... 49 5. Analisis Dampak Kebijakan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir... 51 6. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia 83 7. Perkembangan produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010... 85 8. Konsumsi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010... 87 9. Impor Gula Kristal Putih, Gula Mentah, dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010... 88 10. Stok Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010... 89 11. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Dunia Gula Tahun 2004-2011... 91 12. Produksi Gula di Beberapa Negara Produsen Terbesar Gula Dunia Tahun 2008-2010... 93 13. Konsumsi Gula di Beberapa Negara Konsumen Terbesar Gula Dunia Tahun 2007-2009... 94 14. Negara Eksportir Gula Dunia Tahun 2008-2010... 96 15. Negara Importir Gula Dunia Tahun 2008-2010... 97 16. Impor Gula Indonesia dari Thailand, China, Singapura, dan Australia Tahun 2001-2010... 98 17. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Besar Negara (APTN) 102 18. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Besar Swasta (APTS) 104 19. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Rakyat (APTR)... 105 20. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Negara (YGHN) 107 21. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Swasta (YGHS) 108

xx 20 22. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Rakyat (YGHR) 110 23. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Gula Rumah Tangga (DGRT).. 112 24. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Gula Industri (DGIN)... 114 25. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Tingkat Petani (HRGP)... 115 26. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Tingkat Pedagang Besar (HRGPB)... 116 27. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Eceran (HRGE)... 118 28. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Riil Gula Indonesia (HRGINA) 118 29. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Indonesia dari Thailand (MGITH) 120 30. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Indonesia dari China (MGICN) 122 31. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Gula Brazil (XGBR)... 123 32. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Gula Thailand (XGTH)... 125 33. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula India (MGIN)... 126 34. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Amerika Serikat (MGUS)... 128 35. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula China (MGCN)... 129 36. Hasil Estimasi Persamaan Harga Gula Dunia (HRGW)... 131 37. Dampak Peningkatan Harga Gula sebesar 25 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010... 135 38. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 33 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010... 137 39. Dampak Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu 20 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010... 140 40. Dampak Penurunan Tarif Impor Gula 49 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010... 142 41. Dampak Peningkatan Kuota Impor Gula 50 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010... 144 42. Evaluasi Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian Periode 2004-2010... 146 43. Peramalan Dampak Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani 30 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 152 44. Peramalan Dampak Peningkatan Stok Gula Indonesia 20 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 155 45. Peramalan Dampak Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu 30 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 157

xxi 21 46. Peramalan Dampak Swasembada Absolut Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 159 47. Peramalan Dampak Penghapusan Tarif Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 162 48. Peramalan Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 166 49. Peramalan Dampak Peningkatan Produksi Gula China terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 169 50. Peramalan Dampak Peningkatan Produksi Gula Thailand dan Brazil terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 171 51. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor dan Harga Gula Tingkat Petani dan terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia 174 52. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Luas Areal terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 176 53. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Produksi Gula China, dan Stok Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 179 54. Peramalan Dampak Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Luas Areal, dan Stok Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia... 181 55. Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020... 186 56. Peramalan Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Gula terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020... 189 57. Peramalan Dampak Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020... 192 58. Peramalan Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020... 194 59. Peramalan Dampak Perubahan Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020... 198

22 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia Tahun 2009 18 2. Mekanisme Terjadinya Ekspor-Impor... 41 3. Dampak Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk... 45 4. Dampak Kebijakan Harga Patokan Petani... 46 5. Dampak Pengenaan Tarif Impor... 48 6. Dampak Kuota Impor... 50 7. Diagram Keterkaitan Variabel dalam Model Ekonomi Perdagangan Gula Indonesia... 54

23 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data dan Sumber Data Model Perdagangan Gula Indonesia... 216 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Perdagangan Gula Indonesia... 224 3. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen dalam Model Perdagangan Gula Indonesia... 225 4. Program Estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 228 5. Hasil Estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 233 6. Program Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 253 7. Hasil Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 260 8. Program Simulasi Historis Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 265 9. Hasil Simulasi Historis Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 272 10. Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2011-2020 Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode STEPAR dan Prosedur FORECAST dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 274 11. Hasil Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2011-2020 Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode STEPAR dan Prosedur FORECAST dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 277 12. Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2020 Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 281 13. Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2020 Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 284

24 xxiv 14. Program Simulasi Peramalan Nilai Dasar Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 287 15. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 291 16. Program Simulasi Peramalan Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 293 17. Hasil Simulasi Peramalan Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 299

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), dapat dilihat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar yaitu sekitar 15.3 persen pada tahun 2010 atau merupakan urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran. Akan tetapi, sekalipun sektor pertanian mempunyai kontribusi yang cukup besar laju pertumbuhan sektor pertanian merupakan yang terendah dibandingkan sektor lain, yaitu hanya 2.9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian mengalami kelesuan karena perhatian dibidang pertanian mulai menurun. Sebagai pondasi kehidupan sebuah negara, sektor pertanian dewasa ini tengah menghadapi tantangan terberat yaitu era globalisasi. Salah satu ciri dari era globalisasi adalah perdagangan bebas yang ditandai dengan semakin meningkatnya arus perdagangan barang maupun jasa diantara negara-negara di dunia. Globalisasi dan perdagangan bebas memberikan peluang terbukanya ruang yang lebih besar untuk memperluas volume usaha pertanian. Menurut Departemen Pertanian (2010), arus perdagangan dalam mekanisme pasar yang murni adalah mengalir dari negara yang mempunyai comparative advantages ke negara yang tidak mempunyai comparative advantages (trade creation). Tumbuhnya trade creation diantara bangsa-bangsa akan meningkatkan kesejahteraan semua bangsa di dunia. Hal inilah yang menjadi spirit dari lahirnya isu globalisasi dan liberalisasi. Perdagangan internasional menjadi suatu faktor utama yang dapat membawa masyarakat Indonesia kearah kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Masalah perdagangan bukan hanya masalah ekonomi tetapi juga masalah politik. Masalah perdagangan bukan saja masalah menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan mitra dagang. Adanya perbedaan kekuatan politik dan militer merupakan godaan untuk mengubah hubungan yang semula bersifat sukarela dan saling menguntungkan dan bersifat paksaan. Karena itu, diperlukan kewaspadaan terhadap kemungkinan tersebut dan mengambil langkah persiapan

2 menghadapi hal tersebut. Iklim perdagangan yang terbuka dapat terus berjalan dengan melestarikan aturan main yang dapat menunjang keterbukaan dari sistem internasional. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan kewaspadaan terhadap godaan negara besar untuk menggunakan kekuatan ekonomi dan politik setiap kali ada sektor yang mengalami kemunduran dalam daya saing (Kartadjoemena, 2000). Kesadaran akan manfaat peranan perdagangan internasional bagi kesejahteraan penduduknya mendorong sejumlah negara tetangga membentuk organisasi kerjasama ekonomi regional yang memiliki kepentingan untuk membangun kekuatan ekonomi bersama. Sebagai bagian dari tatanan perekonomian dunia, Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka harus ikut melaksanakan perdagangan bebas. Pengalaman pertama kerjasama perdagangan bebas regional yang diikuti Indonesia adalah kerjasama pada kawasan perdagangan bebas ASEAN yang dikenal dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Kerjasama ini diterapkan melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang diwujudkan dengan penurunan tarif hingga menjadi 0-5 persen, penghapusan pembatasan kuantitatif, dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Gula dalam skema CEPT-AFTA dimasukkan dalam kategori Sensitive List yang harus telah diturunkan tarifnya pada tahun 2010 (Tim Tarif Depkeu, 2010). Implementasinya pemerintah berhasil mengupayakan tarif impor gula diatas 5 persen, yaitu 10 persen untuk gula putih dan 5 persen untuk gula mentah. Pengalaman kedua Indonesia mengikuti kelompok perdagangan regional adalah kesepakatan perdagangan bebas Indonesia-China melalui skema ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Pelaksanaan ACFTA ini telah dimulai pada tahun 2004 yang diwujudkan dengan menghilangkan atau mengurangi hambatanhambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif. Kesepakatan perjanjian perdagangan ACFTA ini memberikan tantangan dan peluang bagi berbagai komoditas pertanian yang diproduksi di Indonesia baik untuk tujuan ekspor maupun memenuhi kebutuhan nasional. Beberapa pihak menilai liberalisasi ACFTA hanya akan memberikan dampak negatif bagi kinerja perdagangan Indonesia. Ketakutan tersebut muncul mengingat daya saing produk asal China sangat tinggi terlebih bila dibandingkan dengan produk asal Indonesia. Oleh karena itu, banyak pihak yang menginginkan pemerintah melakukan

3 renegosiasi terhadap perjanjian perdagangan tersebut. Namun, sebagian pihak lainnya yang optimis yakin bahwa liberalisasi ACFTA akan membawa dampak positif bagi sektor pertanian. Keyakinan ini yang kemudian mendorong Indonesia untuk turut serta dalam liberalisasi awal ACFTA. Early Harvest Programme (EHP) merupakan tahapan awal liberalisasi ACFTA yang terdiri dari penghapusan tarif antara produk negara ASEAN dengan produk China dan sebaliknya untuk delapan jenis produk yang terdiri dari kelompok produk hewan hidup (live animals), daging, dan jeroan yang bisa dimakan (meat and edible meat & offal), ikan termasuk udang (fish), produk susu (dairy products), produk hewan lainnya (other animal products), tanaman hidup (live trees), sayur (edible vegetables), dan produk buah serta kacang-kacangan (edible fruits and nuts) dengan pengecualian untuk jagung manis. Komoditas pertanian seperti beras, gula, jagung, dan kedelai dimasukkan dalam kategori produk High Sensitive List (HSL) yang tarifnya baru akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Ditjen KPI, 2005). Sejak kesepakatan ACFTA mulai diberlakukan, tren neraca perdagangan Indonesia dengan China semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 neraca perdagangan non migas Indonesia dengan China mengalami defisit sebesar US$ 1.293 miliar. Pada tahun 2008 menurun tajam sebesar US$ 7.160 miliar. Hingga tahun 2012 neraca perdagangan Indonesia dengan China masih mengalami defisit. Defisit perdagangan Indonesia China pada tahun 2012 sebesar US$ 5.875 miliar (Kementerian Perdagangan, 2012). Data ini menunjukkan semakin banyaknya komoditi non migas dari China yang masuk ke Indonesia. Semakin menurunnya surplus dalam neraca perdagangan Indonesia disebabkan semakin timpangnya neraca ekspor Indonesia dan China. Dalam beberapa tahun terakhir China juga telah melakukan lompatan ekonomi yang sangat besar dan menjadi penguasa ekonomi terbesar kedua di dunia. Terlebih lagi, pemerintah China mempunyai keeratan hubungan dengan masyarakat China perantauan yang berada di seluruh dunia terutama ASEAN. Hal ini memberikan peluang kepada China untuk mampu mengintegrasikan ASEAN dan menjadikannya mitra di bidang ekonomi.

4 Tidak hanya produk-produk impor dari China yang banyak memasuki pasar konsumsi Indonesia, tetapi juga produk-produk impor asal negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Impor produk pertanian dari Thailand mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, sehingga membuat neraca perdagangan Indonesia dengan Thailand juga terus mengalami defisit. Pada tahun 2010 defisit perdagangan Indonesia dengan Thailand mencapai US$ 3.4 miliar. Produk-produk pertanian dari negara ASEAN yang mendominasi pasar domestik adalah beras, gula, tepung dan olahannya, buah, sayuran dan olahannya serta produk makanan lain. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (2010), secara keseluruhan Singapura merupakan negara yang mendominasi ekspor ke negaranegara ASEAN yaitu sebesar 40.91 persen, diikuti oleh Malaysia sebesar 20.22 persen dan Thailand 16.28 persen, sedangkan Indonesia hanya mampu menguasai pasar ASEAN sebesar 12.34 persen. Meskipun dalam neraca perdagangan ASEAN Indonesia belum mengalami defisit, namun pertumbuhan impor lebih besar daripada ekspor sehingga tetap diperlukan upaya antisipatif. Wacana penurunan tarif impor gula sebagai komoditas High Sensitive List yang akan mulai diturunkan tarifnya pada tahun 2015 menjadi isu menarik untuk diwaspadai. Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh penduduk di Indonesia bahkan juga di dunia. Berdasarkan catatan Dewan Gula Indonesia (2011) kebutuhan gula kristal putih untuk konsumsi langsung adalah 2.574 juta ton, sedangkan jumlah kebutuhan gula kristal rafinasi sebesar 2.058 juta ton. Jumlah tersebut sangat tinggi apabila dilihat dari kinerja produksi gula dalam negeri yang hanya mampu menghasilkan gula hablur sebesar 3.159 juta ton (Ditjenbun, 2011). Tingginya kebutuhan gula nasional yang selama ini belum mampu dipenuhi oleh produksi lokal membuat pemerintah melakukan kebijakan impor. Beberapa impor gula Indonesia didatangkan dari negara ASEAN. Tren kenaikan konsumsi gula di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat serta pertumbuhan industri makan dan minuman. Terkait dengan perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dikhawatirkan akan

5 semakin mengancam industri gula domestik yang tengah bangkit dari keterpurukan. Negara-negara anggota ASEAN memiliki kontribusi yang berbeda-beda terhadap perkembangan perjanjian perdagangan bebas ACFTA sekalipun jenis produk pertanian yang dihasilkan hampir sama karena adanya kesamaan kondisi iklim dan budaya. Manfaat perdagangan bebas ACFTA yang akan dipetik oleh negara-negara ASEAN tergantung pada daya saing produk pertanian negaranegara ASEAN itu sendiri. Hal ini terlihat setelah perjanjian perdagangan bebas ACFTA diberlakukan, Thailand masih memimpin sebagai pengekspor gula terbesar di antara negara ASEAN yang lain, baik untuk gula mentah maupun gula kristal rafinasi. Untuk impor gula, jenis gula yang paling banyak diimpor oleh Indonesia adalah gula kristal rafinasi. Bahkan terjadi peningkatan melebihi dua kali lipat untuk impor gula kristal rafinasi ini dari tahun 2008 yang hanya sebesar 424.8 ribu ton menjadi 1.28 juta ton pada tahun 2009 (FAO Statistic Division, 2011), sedangkan Malaysia sebagai negara pengimpor gula terbesar di ASEAN lebih banyak mengimpor gula mentah daripada gula kristal rafinasi. Sebagai komoditas khusus, gula merupakan salah satu dari kebutuhan pangan yang sangat penting bagi kebutuhan sehari-hari baik dalam rumah tangga maupun industri makanan dan minuman. Prospek utama pengembangan industri gula nasional adalah untuk memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia berupaya meningkatkan produksi dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula. Akan tetapi, produksi gula yang dihasilkan oleh Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri, sehingga impor gula harus diadakan setiap tahunnya. Hal ini membuat target swasembada gula tahun 2007, 2008, dan 2009 yang telah dicanangkan pemerintah tidak terealisasi. Saat ini pemerintah mencanangkan target swasembada gula akan tercapai pada tahun 2014. Untuk mencapai target tersebut, sejak tahun 2004 pemerintah melakukan suatu Program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Tentunya keberhasilan program ini sangat berkaitan dengan kemampuan industri gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestiknya yang selama ini belum terbukti.

6 Ketidakmampuan produksi dalam negeri memenuhi kebutuhan nasional disebabkan oleh inefisiensi pengolahan yaitu kapasitas dan efisiensi teknis pabrik gula yang sangat rendah. Rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula disebabkan oleh tingginya biaya produksi dan umur mesin pabrik gula yang sudah tua. Hal ini menyebabkan rendemen tebu yang diterima petani rendah dan kualitas gula yang diproduksi juga menjadi kurang baik. Selain karena faktor inefisiensi, rendahnya rendemen tebu juga karena tidak diterapkannya teknologi penggunaan varietas bibit unggul pada budidaya tebu sehingga kualitas tebu giling yang dihasilkan petani juga rendah. Data yang ada menunjukkan bahwa struktur produksi gula dan rendemen tebu cenderung mengalami penurunan. Rendemen Indonesa tidak pernah lagi mencapai 15 persen seperti yang pernah terjadi pada tahun 1929. Rendemen tertinggi hanya 8.1 persen pada 2008 dan turun kembali tahun 2009 menjadi 7.76 persen dan semakin menurun pada tahun 2010 menjadi 6.96 persen (Dewan Gula Indonesia, 2012). Hal ini menjadi pemicu langkah pemerintah melakukan impor gula yang terus mengalami peningkatan. Dampak dari membanjirnya impor gula adalah turunnya harga gula di pasar domestik. Penurunan ini tentunya akan menyebabkan harga gula domestik menjadi lebih rendah daripada harga pokok produksi gula. Kondisi ini yang selanjutnya menyebabkan gula dalam negeri Indonesia menjadi tidak kompetitif lagi dibandingkan gula impor sehingga Indonesia menjadi sasaran pasar impor gula dunia. Harga gula dunia ini merupakan referensi bagi produsen dan importir ketika bertransaksi. Harga gula mentah pada Bursa Berjangka New York terbilang fluktuatif. Demikian juga dengan harga gula kristal rafinasi pada London International Financial Futures and Options Exchange (LIFFE). Setelah naik pada kisaran 32.04 cents per pound untuk gula kristal rafinasi dan 34.78 cents per pound untuk gula mentah kembali menunjukkan gejala penurunan baik pada kuartal I maupun ke II tahun 2011. Penurunan ini disebabkan stok gula dunia yang diperkirakan melimpah terkait dengan kenaikan produksi. Namun demikian harga gula dunia yang lebih murah ini berpotensi mendorong pabrik gula kristal rafinasi untuk lebih meningkatkan impor gula mentah (raw sugar). Harga gula mentah yang tinggi ini merupakan motivator bagi para petani untuk menanam tebu dan

7 perbaikan dalam praktek usaha pertaniannya. Soewandi (2012) menyatakan penurunan harga gula dunia perlu diwaspadai terkait dengan status Indonesia sebagai produsen sekaligus pengimpor gula. Dimana perubahan harga gula di pasar dunia akan berdampak terhadap terbentuknya harga di pasar domestik. Pencegahan masuknya gula kristal rafinasi yang notabene mendapat fasilitas keringanan tarif 0-5 persen ke pasar konsumen harus menjadi komitmen negara terkait dengan perlindungan produksi berbasis sumberdaya lokal. Terlebih lagi saat ini pemerintah melakukan kesepakatan ACFTA, dimana selama hampir setengah dekade penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat semakin memperkuat kekhawatiran dan ketidakberdayaan Indonesia yang tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Pemerintah melalui beberapa kementerian dan instansi telah melakukan usaha-usaha guna meningkatkan daya saing produk Indonesia, terutama setelah pemberlakuan kesepakatan ACFTA. Dalam perjanjian ACFTA, komoditas gula dikategorikan sebagai komoditas High Sensitive List (HSL) sehingga masih diperbolehkan adanya intervensi pemerintah berupa tarif dan akan mengalami penurunan tarif mulai tanggal 1 Januari 2015. Sehingga masih ada waktu bagi pemerintah untuk membangkitkan kembali industri gula nasional. Implikasi jangka panjang yang perlu diwaspadai adalah berbaliknya neraca perdagangan sehingga Indonesia menjadi pasar produk China dan ASEAN lain. Cadangan devisa China pada tahun 2009 sebesar US$ 2.13 trilliun dan dalam jangka waktu enam bulan telah bertambah menjadi sebesar US$ 185.6 miliar. Hal ini menunjukan bahwa China dapat memborong sumber komoditas ekspor sektor pertanian di Malaysia, Thailand dan Indonesia (Irianto, 2009). Penghapusan tarif impor dapat menjadi ancaman dengan semakin banyaknya gula impor yang akan memenuhi pasar dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya perubahan faktor lingkungan internal dan eksternal dalam membangkitkan kembali industri gula nasional dalam era perdagangan bebas ACFTA maka menarik untuk dilakukan penelitian yang mampu mengevaluasi kebijakankebijakan periode historis dan strategi kebijakan antisipatif dimasa mendatang sehingga kebangkitan industri gula nasional lebih berdayaguna baik bagi kesejahteraan produsen, konsumen maupun perekonomian nasional.

8 1.2. Perumusan Masalah Gula sebagai komoditas penting dan strategis bagi masyarakat tidak hanya dirasakan pentingnya bagi konsumen sebagai pengguna akhir tetapi juga bagi kalangan produsen yang mengolah komoditi ini dengan value added tersendiri. Sedangkan disisi lain, industri gula nasional menghadapi permasalahan yang cukup kompleks. Hal ini membuat semakin perlunya penelitian terkait dengan implementasi kebijakan perdagangan dalam skema ACFTA yang berhubungan dengan intervensi kebijakan industri gula negara eksportir dan importir gula pada negara-negara ASEAN dan China serta strategi kebijakan terkait dengan kebangkitan industri gula nasional. Industri gula dalam negeri masih dihadapkan pada persoalan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan gula baik untuk konsumsi langsung (rumah tangga) maupun konsumsi tidak langsung (industri) yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Ketidakmampuan ini ditunjukkan pula dengan kegagalan realisasi program swasembada gula tahun 2007, 2008, dan 2009. Rencana swasembada gula selanjutnya dicanangkan oleh pemerintah akan terealisasi pada tahun 2014, dimana tepat satu tahun sebelum gula terlibat dalam liberalisasi perdagangan bebas ACFTA. Program Revitalisasi Industri Gula 2010-2014 menjadi salah satu program prioritas untuk terwujudnya target swasembada gula 2014 sekaligus menutup neraca perdagangan gula nasional. Melalui program revitalisasi ini pemerintah menargetkan produksi gula nasional dapat mencapai 5.70 juta ton pada tahun 2014 yang terdiri dari 2.96 juta ton gula konsumsi dan 2.75 juta ton gula kristal rafinasi (Renstrabun, 2010). Swasembada gula dapat tercapai dan keterlibatan gula dalam liberalisasi perdagangan bebas ACFTA dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperoleh surplus dari perdagangan tersebut apabila pemerintah mengatasi permasalahan pada industri gula secara serius. Permasalahan pada industri gula nasional tidak hanya on farm tetapi juga off farm. Berdasarkan uraian sebelumnya maka secara rinci permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Ketidakmampuan produksi gula nasional memenuhi kebutuhan gula menyebabkan kecenderungan impor gula di Indonesia semakin meningkat. Inefisiensi ekonomis yang selama ini terjadi dalam struktur industri gula

9 domestik menyebabkan Indonesia tidak memiliki daya saing dalam menghadapi gula impor (Kementerian Perindustrian, 2009). Lebih jauh membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok pada kran impor ini sama artinya dengan membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran. 2. Masalah swasembada gula sudah sangat sering disebut sebagai salah satu tujuan nasional yang mudah dicapai. Hal ini mengingat Indonesia pernah menjadi eksportir gula kedua di dunia. Akan tetapi, target peningkatan produksi yang seringkali dicanangkan pemerintah setiap tahunnya tidak dapat tercapai. Kementerian Pertanian (2012) menyatakan bahwa target produksi 5.7 juta ton gula yang terdiri dari 2.9 juta ton gula kristal putih dan 2.7 juta ton gula kristal rafinasi akan terpenuhi apabila penyediaan lahan minimal seluas 350 ribu hektar, investasi pembangunan pabrik gula baru dan revitalisasi pabrik gula berjalan sesuai dengan rencana. Namun karena penyediaan areal baru belum dapat dipenuhi, maka pemerintah melakukan revisi target pencapaian produksi untuk tahun 2011. 3. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih menganut dualisme gula, yaitu gula kristal putih (GKP) dan gula kristal rafinasi (GKR), sedangkan negara lain sudah menganut satu gula dimana hanya ada gula dan gula mentah saja. Natsir (2012) menyatakan, sebagai negara yang menganut dualisme gula mekanisme perdagangan, distribusi, dan produksi gula diatur oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Namun, kenyataanya pemerintah kurang tegas dalam pengaturan dan pengawasannya. Hal ini yang menyebabkan gula kristal rafinasi yang notabene kualitasnya lebih putih dan diperuntukan bagi industri merembes ke pasar konsumsi. 4. Tim Nasional Revitalisasi Gula (2010) menyatakan bahwa masalah kebijakan fiskal seperti tarif bea masuk, belum sepenuhnya mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Pemberlakuan kebijakan keringanan tarif impor sebesar 0-5 persen yang selama ini diberlakukan pemerintah terhadap gula mentah (raw sugar) berpengaruh pada keragaan perdagangan gula secara simultan, dimana perubahan keragaan perdagangan gula ini berdampak pula terhadap perubahan kesejahteraan pelaku perekonomian gula. Hal ini muncul sehubungan dengan kecenderungan terus menurunnya harga gula dunia baik

10 untuk raw sugar maupun white sugar dikarenakan meningkatnya produksi di sejumlah negara produsen utama yang potensial menambah stok dunia. Pemberian fasilitas keringanan tarif ini berpotensi mendorong pabrik gula kristal rafinasi lebih memilih mengimpor gula mentah sehingga petani akan kembali masuk dalam perangkap liberalisasi perdagangan gula yang sarat akan distorsi. 5. Kebijakan pemerintah dengan menetapkan harga patokan petani (HPP) dalam era liberalisasi perdagangan yang kini dijalankan merupakan salah satu bentuk ketidakefisienan kebijakan. HPP gula ditujukan pemerintah untuk melindungi kepentingan petani. Dimana apabila harga lelang berada dibawah HPP maka selisih harga akan dibayarkan pemerintah kepada petani yang disebut dana talangan. Namun yang terjadi adalah harga lelang tidak pernah berada dibawah HPP gula sehingga harga dasar gula tersebut yang menjadi patokan pabrik gula atau pedagang sebagai harga terendah (KPPU, 2010). 6. Lembaga keuangan atau perbankan belum optimal dalam mendukung Program Revitalisasi Industri gula Nasional yang direncanakan oleh pemerintah untuk mencapai Swasembada Gula 2014. Petani masih mengalami kesulitan dalam mengakses kredit karena rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi petani untuk mendapatkan kredit. Sehingga, permasalahan modal masih menjadi problematika bagi petani tebu rakyat untuk persiapan penanaman dan pemanenan tebu (Tim Nasional Revitalisasi Industri Gula, 2009). Untuk menyederhanakan permasalahan industri gula nasional yang begitu kompleks maka penelitian ini memerlukan seperangkat model ekonometrika yang komprehensif sehingga mampu mengintegrasikan perubahan-perubahan internal maupun eksternal pada keterpaduan perdagangan komoditas gula serta dampaknya terhadap kesejahteraan konsumen, produsen serta penerimaan pemerintah dalam skema liberalisasi perdagangan ACFTA. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prospek perdagangan

11 gula Indonesia dalam kerangka implementasi perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis keragaan pasar gula Indonesia ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2. Mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kinerja industri gula Indonesia dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada era pra liberalisasi ACFTA (2004-2010). 3. Meramalkan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal berkaitan dengan liberalisasi perdagangan gula dalam skema ACFTA terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2011-2014 dan 2015-2020. Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan merumuskan strategi industri gula domestik dalam implementasi kerangka perjanjian pasar bebas ASEAN-China. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji prospek perdagangan gula Indonesia pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula Indonesia. Oleh karena itu, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini dibatasi pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA tahun 2015 dan tercapainya target swasembada gula yang dilakukan pemerintah melalui Program Revitalisasi Industri Gula Nasional, sehingga kebijakankebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini berada dalam lingkup kedua hal tersebut. 2. Disagregasi pengusahaan perkebunan tebu dalam penelitian ini hanya dilakukan berdasarkan status pengusahaan perkebunan tebu yaitu perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Disagregasi berdasarkan provinsi ataupun kepulauan tidak dilakukan, sehingga kebijakan pemerintah yang akan dievaluasi tidak sampai pada tingkat tersebut.

12 3. Penelitian ini tidak mengkaji pasar input usahatani tebu dan produk industri tersiernya. 4. Kajian ini tidak melakukan analisis secara detail mengenai proses dalam setiap subsistem produksi, tetapi melihat bagaimana kemampuan pabrik gula dalam melakukan kegiatan produksi. 5. Karena ketiadaan data time series produksi tebu, maka data produksi yang digunakan dalam penelitian ini sudah dalam wujud gula hablur, sehingga produktivitas yang digunakan juga merupakan produktivitas gula hablur. 6. Dalam penelitian ini baik Gula Kristal Putih (GKP) maupun Gula Kristal Rafinasi (GKR) dianggap sama atau homogen yang selanjutnya disebut sebagai gula, sedangkan untuk gula mentah dilakukan konversi setara gula. 7. Permintaan gula Indonesia hanya didisagregasi berdasarkan penggunanya yaitu konsumen rumah tangga dan industri. Untuk konsumen industri tidak dibedakan berdasarkan penggunaan bahan bakunya, baik yang menggunakan gula kristal putih, gula kristal rafinasi maupun gula mentah dianggap sama. 8. Data impor gula yang digunakan merupakan data resmi. Data impor gula yang tidak resmi, ilegal, dan tidak tercatat seperti penyelundupan tidak diakomodir dalam penelitian ini. 9. Data harga impor gula yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibedabedakan berdasarkan asal negara impornya. Data harga impor gula yang digunakan adalah data harga impor gula Indonesia. 10. Simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari (1) simulasi tunggal yang mencakup kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal, dan (2) simulasi kombinasi yang mencakup keduanya. 11. Simulasi kebijakan tarif impor yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan skema penghapusan dan penurunan tarif yang telah disepakati pemerintah dalam kerangka ACFTA, sehingga tidak dilakukan simulasi tarif diluar perjanjian tersebut.

13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dengan negara China. Pada bulan November 2001 melalui ASEAN-China Summit di Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam, China menawarkan sebuah proposal ASEAN-China Free Trade Area untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Lima bidang kunci kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar-negara, dan pengembangan di sekitar area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti pada bulan November 2002 dengan penandatanganan The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation (CEC) yang dihadiri oleh Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN dan China. Naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA. Kesepakatan CEC dalam pertemuan tersebut juga mengandung tiga pilar yaitu liberalisasi, fasilitasi, dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi meliputi perdagangan bebas barang, jasa, dan investasi dalam kawasan ACFTA. Namun, dalam kesepakatan tersebut juga diberikan differential treatment and flexibility bagi negara-negara anggota ASEAN yang belum berkembang seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Peserta ASEAN-China Summit pada bulan November 2004 menandatangani naskah The Framework Agreement on Trade in Good yang berlaku pada 1 Juli 2005. Berdasarkan kesepakatan ini, enam negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan China) sepakat melakukan penurunan tarif secara bertahap dengan target penurunan tarif hingga nol persen. Untuk negara ASEAN yang diberikan differential treatment and flexibility akan mengikuti kesepakatan ACFTA pada tahun 2015. Adapun secara rinci tahapan peristiwa yang akhirnya mencetuskan ACFTA dimana mempengaruhi kesepakatan pemerintah Indonesia terhadap perdagangan bebas dengan ASEAN-China disajikan pada Tabel 1.

14 Tabel 1. Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China Free Trade Area Waktu Peristiwa 1991 Kesepakatan AFTA (dipercepat menjadi tahun 2001) 1991 1997 (Desember) The People s Republic of China (PRC) secara resmi menjadi mitra dialog ASEAN Joint Statement kepala negara: ASEAN-PRC sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya menyongsong abad 21 Pada KTT ASEAN-PRC para kepala negara menyepakati 2000 (November) gagasan pembentukan ACFTA 2001 (Maret) Pembentukan ASEAN-China Economic Expert Group Pada KTT ASEAN-China para kepala negara menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and PRC 2003 Perundingan ACFTA dimulai dan selesai bulan Juni 2004 Bali Concord (proposal Indonesia ASEAN Community" 2003 diterima): AFTA menjadi bagian dari ASEAN Economic Community (AEC) 2004 (November) Kesepakatan ACFTA untuk barang ditandatangani 2007 Sumber : Basri (2010) Kesepakatan ASEAN Charter dan AEC Blue Print ditandatangani 2008 (Desember) ASEAN Charter berlaku Perjalanan ACFTA hingga disetujui pemerintah Indonesia cukup lama yaitu dimulai pada tahun 1991. Ketika ASEAN menyepakati China sebagai rekan saing dalam perdagangan bebas, secara tidak langsung kesepakatan ini mengarahkan sistem ekonomi negara anggota ASEAN bertransformasi ke sistem ekonomi liberalis China. Tujuan dari Framework Agreement ACFTA ini adalah (1) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak, (2) meliberalisasikan perdagangan barang, jasa, dan investasi, (3) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak, dan (4) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Selain itu, kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (1) penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang, (2) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa, dan (3) membangun rezim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ACFTA.

15 Penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang, telah disepakati melalui tiga skenario yaitu (1) Early Harvest Programme (EHP), (2) Normal Track Programme, dan (3) Sensitive dan Highly Sensitive. EHP bertujuan untuk mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap dan efektif dimulai pada 1 Januari 2004 bagi produk EHP dan menjadi nol persen pada 1 Januari 2006. Cakupan produk yang masuk ke dalam EHP adalah produk yang masuk ke dalam Chapter 01 s/d 08 yaitu hewan hidup (01), daging dan produk daging dikonsumsi (02), ikan (03), dairy product atau produk susu (04), produk hewan lainnya (05),tumbuhan (06), sayuran dikonsumsi kecuali jagung manis (07), dan buah-buahan dikonsumsi (08). Jumlah kelompok EHP meliputi 530 pos tarif (HS 10 digit), sementara produk produk spesifik yang ditentukan melalui kesepakatan bilateral antara lain kopi, minyak kelapa (CPO), bubuk kakao, barang dari karet, dan perabotan. Penurunan tarif bea masuk pada Normal Track Programme dimulai sejak tanggal 20 Juli 2005, yang menjadi nol persen pada tahun 2010, dengan fleksibilitas pada produk-produk yang akan menjadi nol persen pada tahun 2012. Adapun produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tarif bea masuk 20 persen pada tahun 2012 dan akan menjadi 0-5 persen mulai tahun 2018. Komoditas yang masuk daftar High Sensitive List (HSL) seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarif bea masuknya akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Kementerian Keuangan, 2011). Preferensi penurunan tarif untuk ketiga skenario tersebut disepakati melalui Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dengan ketentuan kandungan lokal ACFTA sebesar 40 persen yang secara operasional menggunakan SKA Form E. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dalam skema ACFTA dilakukan secara bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kepentingan perlindungan terhadap produk Indonesia yang dianggap belum mampu untuk bersaing dengan produk negara peserta FTA. Penurunan tarif di Indonesia telah dilakukan secara sepihak sejak era reformasi. Hal ini terjadi atas dorongan IMF sewaktu Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997 yang mengharuskan Indonesia untuk lebih terbuka pada

16 perdagangan. Pada prosesnya penurunan tarif di Indonesia dilakukan secara bertahap yaitu dari rata-rata 6 persen, 4 persen di tahun 2008 kemudian dari 4 persen ke 3 persen tahun 2009, dan memasuki tahun 2010 menjadi nol persen melalui Normal Track pada perdagangan ACFTA (Pasaribu, 2010). 2.2. Profil Struktur Industri Gula Indonesia Gula terdiri dari beberapa jenis yang dilihat dari tingkat keputihannya melalui standar ICUMSA (Internatioal Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam skala internasional unit (IU) sebagai berikut : Raw Sugar (Gula Mentah) Raw sugar adalah gula mentah yang berbentuk kristal berwarna kecokelatan dengan bahan baku dari tebu. Gula mentah ini merupakan gula setengah jadi dari pabrik-pabrik penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan. Jenis gula gula mentah ini yang paling banyak diimpor untuk diolah menjadi gula kristal putih ataupun gula kristal rafinasi. Untuk menghasilkan gula mentah diperlukan proses dari penilaian tebu penggilingan pemurnian nira penguapan pengkristalan merah (gula mentah). Refined Sugar (Gula Kristal Rafinasi) Gula kristal rafinasi ini merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah. Adapun tahapan produksi gula kristal rafinasi yaitu dari raw sugar preparation affination karbonasi penyaringan pertukaran ion evaporasi sentrifugal gula kristal rafinasi pengemasan. Pemasaran gula kristal rafinasi dilakukan secara khusus oleh distributor gula khusus yang telah mendapat persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula kristal rafinasi yang disahkan oleh Departemen Perindustrian. Pemenuhan gula kristal rafinasi dalam negeri sebelum tahun 2000 dilakukan melalui impor. Namun dengan ekspektasi harga yang terus meningkat dan produksi dula dalam negeri yang menurun, pada tahun 2003-2005 mulai terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Kemudian pada tahun 2006-2008 usaha industri gula kristal rafinasi bertambah menjadi 7 pelaku usaha, dan bertambah lagi di tahun 2009 menjadi 8 pelaku usaha yang mempu mempunyai

17 kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per tahun. Berdasarkan data KPPU (2010) pelaku usaha dalam industri gula kristal rafinasi antara lain : 1. PT Angles Product, Bojonagara, Serang-Banten 2. PT Jawamanis, Cilegon-Banten 3. PT Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten 4. PT Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap-Jawa Tengah 5. PT Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap-Jawa Tengah 6. PT Sugar Labinta 7. PT Makassar Tene 8. PT Duta Sugar International. Pelaku industri gula kristal rafinasi dalam negeri sepenuhnya mengimpor gula mentah untuk kemudian diolah menjadi gula kristal rafinasi. Adanya peningkatan jumlah pabrik gula dalam negeri juga meningkatkan jumlah gula mentah yang diimpor setiap tahunnya. Berikut ini adalah data peningkatan impor gula mentah untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri yang membutuhkan gula kristal rafinasi. Tabel 2. Jumlah Impor Gula Mentah di Indonesia Tahun 2003-2009 Tahun Perusahaan Rekomendasi (ton) Izin Impor (ton) Jumlah (ton) 2003 5 394 070 398 070 350 582 2004 5 923 000 757 750 478 250 2005 5 1 226 000 999 100 808 200 2006 6 1 081 000 1 056 250 952 387 2007 6 1 492 450 1 447 700 1 255 522 2008 7 1 661 230 1 404 730 1 231 470 2009 8 1 670 000 1 670 000 1 670 000 Sumber : GAPMMI, 2010 Industri yang menjadi konsumen gula kristal rafinasi antara lain industri makanan, minuman, dan farmasi. Sejak tahun 2002 hingga September 2008 pemerintah memperbolehkan industri makanan dan minuman mengimpor sendiri gula kristal rafinasi. Namun seiring dengan berkembangnya industri gula kristal rafinasi dalam negeri dan terus menurunnya harga dunia gula kristal rafinasi yang ternyata berimbas kepada petani gula, maka kemudian pada bulan September 2008 pemerintah membatasi impor gula kristal rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan minuman. Industri makanan dan minuman tersebut

18 kemudian diarahkan untuk melakukan pembelian gula kristal rafinasi dari produk pabrik gula kristal rafinasi dalam negeri. Gula Kristal Putih (Gula Pasir) Gula kristal putih merupakan gula yang paling banyak digunakan untuk rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula di dekat perkebunan tebu dengan cara menggiling tebu dan melakukan proses pemutihan. Gula kristal putih dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu gula kristal putih ICUMSA 250, Gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA 250-350, dan Gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA 350-450. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka warna gula akan semakin cokelat dan rasanya akan semakin manis. Tahapan proses memproduksi gula kristal putih antara lain tebu gilingan nira evaporator kristal sentrifugal sulfitasi gula kristal putih (gula pasir). Pelaku industri gula kristal putih didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI dengan jumlah sebanyak hampir 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Produksi gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja, yaitu PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu, dan Sugar Group. Secara keseluruhan pangsa produksi gula kristal putih dapat dilihat dalam gambar berikut : (13) (10) 1.78% (11) 1.42% (12) 1.36% 0.98% (9) 4.15% (08) 5.59% (07) 6.16% (06) 6.24% 0.84% (14) 0.38% (15) 18.96% (01) (05) 8.61% 18.72% (02) (4) 9.16% 15.64% (03) (01) Sugar Grop (02) PTPN X (03) PTPN XI (04) PT Gula Madu Plant (05) PT RNI (06) PT Kebon Agung (07) PTPN IX (08) PTPN VII (09) PT RNI II (10) PT Pemuka Sakti Manis Indah (11) PT Madubaru (12) PTPN II (13) PTPN XIV (14) PT Gorontalo (15) PT Laju Perdana Indah Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2010 Gambar 1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia Tahun 2009

19 Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa PTPN X, PTPN XI, dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun 2009 yaitu 18.72 persen, 15.64 persen, dan 18.96 persen. Sugar Group merupakan satu-satunya perusahaan yang telah efisien dalam industri gula sehingga perusahaan ini mampu menjadi leader dalam industri gula kristal putih. Kemampuan industri gula swasta didukung oleh teknologi modern dan pola usaha integratif yang telah dijalankan, sehingga terbukti mampu memberikan daya saing yang tinggi. 2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Pergulaan Indonesia Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting Indonesia. Industri pergulaan di Indonesia dimulai pada tahun 1673 yaitu sejak berdirinya pabrik gula tebu pertama di Batavia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930 dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dan rendemen mencapai 11.0 persen hingga 13.8 persen. Produksi puncak pernah mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Sudana, 2000). Sepanjang sejarahnya, industri gula termasuk produk yang paling teregulasi diantara produk-produk lainnya. Industri gula merupakan salah satu yang tingkat distorsinya paling tinggi. Hal ini dikarenakan disamping gula termasuk dalam produk pokok yang bernilai strategis dalam kebutuhan masyarakat, struktur pasar gula oligopoli. Dikatakan ologopoli sebab sekalipun perkebunan tebu diusahakan oleh ribuan petani namun produksi gula hanya dihasilkan oleh puluhan pemain yaitu pabrik gula nasional yang bernaung dibawah pengusahaan negara maupun swasta. Sebagai komoditas yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap industri pergulaan nasional. Kebijakan yang diterapkan pemerintah tersebut tidak hanya berkaitan dengan input, produksi, dan pemasaran saja tetapi sudah mencakup

20 dimensi yang cukup luas hingga pada kebijakan harga dan kebijakan impor. Kebijakan yang mempengaruhi pasang surut industri pergulaan nasional disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional Kebijakan Perihal Tujuan INPRES No. 9 Tahun 1975, 22 April 1975 Kepmen Perdagangan dan Koperasi No.122/Kp/III/81, 12 Maret 1981 Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987 Intensifikasi tebu (TRI) Tata niaga gula pasir dalam negeri Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik UU No.12/1992 Inpres No 5 Tahun 1997, 29 Desember 1997 Budidaya tanaman Program pengembangan tebu rakyat Memberikan kebebasan kepada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998 Kep Menperindag No. 25 /MPP/Kep/1/1998 Kepmenperindag No. 505/MPP/Kep/10/1998 Kepmenhtbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999 Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997 Komoditas yang diatur tata niaga impornya Perdagangan dan distribusi minyak goreng dan gula pasir Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992 Tata niaga impor gula untuk menjaga kelancaran arus barang dilakukan oleh importir produsen (IP) Perdagangan dan distribusi gula pasir hasil produksi PT Perkebunan Nusantara/PT Rajawali Nusantara Indonesia ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi

21 Kep Menperindag No. 230/MPP/Kep/6/1999, 4 Juni 1999 Kep Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999 Kep Menperindag No. 717/MPP/Kep/12/1999 Kepmenkeu No. 568/KMK.01/1999 Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002 3 Juli 2002 Kep Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002 SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004, 17 September 2004 Kepmen Perdagangan No.02/M/Kep/XII/ 2004, 7 Desember 2004 Mencabut Kepmenperindag No. 505/MPP/Kep/10/1998 Tata niaga impor gula Pencabutan tata niaga impor gula dan beras Penetapan tarif bea masuk atas impor beras dan gula Perubahan bea masuk Tata niaga impor gula Ketentuan impor gula Perubahan atas keputusan menteri perindustrian dan perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang impor gula Menciptakan iklim perdagangan minyak goreng dan gula pasir yang berorientasi pasar Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula dengan pembatasa jumlah importir dan izin impor hanya untuk importir produsen Impor gula dan beras dapat dilaksanakan oleh importir umum Untuk menjaga kepentingan petani dan konsumen tarif bea masuk atas impor gula sebesar 20 persen (gula mentah) dan 25 persen (gula kristal putih) Peningkatan efektivitas bea masuk melalui penggantian dari tarif ad-valorem menjadi tarif spesifik Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen. Pembatasan pelaku impor gula, jumlah pasokan gula impor, kualitas gula, waktu impor dan harga penyangga atau penjamin Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 3 800.00 per kilogram dan atau apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan

22 Kep Menperindag No. 08/M-DAG/ Per/4/2005 Permendag No. 18/M- DAG/PER/4/2007 Permenkeu No. 86/PMK.010/2005 Permentan No. 57/Permentan/KU.430/7/ 2007 Perubahan atas Keputusan Menteri Perdagangan No.02/M/Kep/XII/200 4 tentang perubahan atas Keputusan Menperindag No. 527/2004 tentang impor gula Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Keringanan tarif bea masuk atas impor gula Pedoman pelaksanaan kredit ketahanan Pangan dan Energi Ketentuan impor gula tidak hanya mengatur tentang harga patokan tetapi juga jumlah pasokan Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 4 900.00 per kilogram dan apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Gula tebu dengan ICUMSA minimal 1200 IU bea masuk menjadi Rp 250 per kilogram dan gula bit, gula murni menjadi Rp 530 per kilogram Besar kredit untuk usahatani tebu Rp 12 500 000.00 Permendag No. 19/M- DAG/PER/5/2008 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 5 000.00 per kilogram dan atau apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Permenperind No.83/M- IND/Per/11/2008 Permenperind No. 91/M- IND/PER/11/2008 Pemberlakuaan Standar Nasional Indonesia (SNI) gula kristal rafinasi Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula Penggunaan sertifikat produk tanda standart nasional secara wajib agar menghasilkan gula kristal rafinasi yang sesuai dengan persyaratan SNI Dalam rangka mendukung revitalisasi pabrik gula melalui keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan pabrik gula guna peningkatan kapasitas produksi gula nasional

23 Permenperind No.95/M- IND/PER/11/2008 Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam rangka Penerapan/Pemberlak uan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Gula Kristal Rafinasi Untuk melaksanakan sertifikasi dan pengujian mutu produk gula kristal rafinasi Permendag No. 560/M- DAG/PER/4/2009 SK Mendag No.111/M- DAG/2/2009 Permenkeu No.150/PMK.011/2009 24 September 2009 Permenperind No. 44/M- IND/PER/4/2010 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula kristal rafinasi Penetapan tarif bea masuk atas impor gula Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M- IND/PER/11/2008 tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp 5 350.00 per kilogram dan apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat distribusi gula kristal rafinasi Menjaga stabilitas harga gula dalam negeri tarif bea masuk atas impor gula kristal rafinasi Rp 400 per kilogram dan gula mentah Rp 150 per kilogram Memperluas peserta program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula dengan syarat pabrik gula tidak memproduksi gula kristal rafinasi, mengganti sebagian/seluruh komponen peralatan dengan teknologi yang lebih baik Sumber : Sudana et al.(2002) dan Susila (2005a), KPPU (2010), Kementerian Perindustrian (2008), Kementerian Perdagangan (2009), dan Kementerian Keuangan (2009) Pada masa pra 1975 sebagian tanaman tebu diusahakan oleh pabrik gula di atas tanah persewaan. Tarif sewa tanah untuk tanaman tebu setiap tahun ditetapkan oleh pemerintah yang sekaligus meliputi persewaan tanah untuk tanaman tebu, dan tembakau. Penetapan tarif sewa tanah yang rendah setiap tahun menimbulkan masalah karena pemilik tanah hilang minatnya untuk menyewakan

24 tanahnya pada pabrik gula. Apabila ditetapkan terlalu tinggi, maka biaya pokok produksi gula akan menjadi tinggi pula. Amang (1993) menjelaskan bahwa pada tahun 1975 melalui Inpres No. 9 Tahun 1975 pemerintah menghapus sistem sewa tanah dan menggantikannya dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Dalam sistem ini diintrodusir paket kredit dan input yang bertujuan mendorong petani perorangan bergantung dalam suatu kelompok untuk menanam tebu ditanahnya. Pada sistem TRI ini juga dimaksudkan agar terdapat suatu pemisahan yang jelas antara tanggung jawab produsen tebu (dilakukan oleh petani) dan pengolahan tebu menjadi gula pasir (oleh pabrik gula). Pada tahun 1980 pemerintah melakukan modifikasi sistem TRI dengan memberikan pengarahan kepada pabrik gula untuk memberi bimbingan dan bantuan langsung kepada petani melalui Koperasi Unit Desa (KUD) baik dalam hal penyediaan benih, pengelolaan lahan, panen, dan proses pengangkutan. Namun demikian, Hariyati (2003) mengemukakan bahwa sejak dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 1975 telah merubah sejarah baru yang merombak sistem persewaan perkebunan menjadi sistem tebu rakyat. Sejak saat itu kehadiran petani sebagai partner pabrik gula menyebabkan terjadinya pemisahan tanggung jawab, produksi, dan pengolahan, sehingga dalam produksi gula terbagi menjadi dua segi yaitu produksi tebu dan industri pengolahannya. Pelaku utama dalam produksi gula terbagi menjadi petani dan pabrik gula sehingga kebijakan produksi gula tidak boleh terlepas dari perilaku keduanya. Harapan bahwa kehidupan ekonomi petani dapat meningkat melalui program TRI tidak terwujud. Selama pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 1975 segala hal menyangkut tebu mulai dari penyediaan lahan, proses tebang, dan angkut tebu serta penggilingan diatur dan dikuasai KUD yang ditunjuk pemerintah. Akibatnya petani menjadi pihak yang dirugikan, tingkat keuntungan yang diperoleh petani dari tanaman tebu lebih kecil daripada jenis tanaman lain, sehingga secara psikologis petani kehilangan kebebasan untuk mengolah lahan pertaniannya sendiri. Menyikapi perkembangan yang negatif akan pelaksanaan TRI serta seiring dengan semakin menurunnya produksi gula nasional dan tingkat kebutuhan konsumsi gula nasional yang terus meningkat pemerintah kemudian mencabut Inpres No. 9 Tahun 1975. Pencabutan kebijakan ini diikuti dengan

25 Keputusan Menperindang No. 25/MPP/Kep/I/1998 yang intinya menetapkan BULOG tidak lagi menangani perdagangan gula. Hafsah (2003) menyatakan penerbitan keputusan ini terjadi karena adanya keterikatan Indonesia dengan IMF (Internasional Monetary Fund) dengan Letter of Intent-nya terutama tentang pelaksanaan butir nomor 44 dari Letter of Intent tersebut tentang pembebasan tata niaga komoditi pertanian termasuk gula, yang harus dilakukan sejak Januari 1999. Pada tahun 1999 ketika krisis ekonomi Indonesia mulai membaik harga gula dalam negeri mengalami penurunan. Hal ini disebabkan harga gula dunia yang terus menurun, nilai tukar rupiah yang menguat serta tidak adanya tarif impor. Keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut monopoli BULOG dalam pengadaan gula dan menerapkan tarif impor gula sebesar nol persen mengakibatkan industri gula lokal terancam. Kenyataannya pada saat itu, gula impor lebih murah daripada harga gula lokal menunjukkan ketidakefisienan dari industri gula lokal di Indonesia sehingga banyak pabrik gula domestik terancam bangkrut karena tidak dapat bersaing dengan gula impor. Wibowo (2009) menyatakan kebijakan tersebut telah membawa ekonomi pertebuan nasional berada pada titik nadir menuju liberalisasi yang menekan produksi tebu petani. Tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk merevitalisasi agribisnis tebu sehingga parameter produksi dan produktivitas serta nilai tambah agribisnis berbasis tebu benar-benar menunjukkan kinerja yang memprihatinkan. Pemerintah mengeluarkan SK Menhutbun No. 228/KPTS-IV/1999 untuk melindungi produsen dalam negeri dengan menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2 500.00 per kilogram. Namun, kebijakan ini tidak didukung oleh rencana dan tindak lanjut dari pemerintah sehingga kebijakan ini menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, ketika pemerintah menetapkan kebijakan ini ternyata pemerintah dan BUMN perkebunan tidak memiliki dana yang memadai. Akibatnya kebijakan tersebut tidak terealisasi dan harga gula petani masih mengalami ketidakpastian. Pemerintah kemudian mengambil jalan keluar dengan mengeluarkan SK Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999 dengan melakukan pembatasan jumlah impor dan hanya memberikan izin impor kepada importir produsen. Melalui kebijakan ini pemerintah mampu mengendalikan volume impor sehingga harga gula dalam negeri dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan.

26 Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Walau tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri sudah terlalu banyak serta masih adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Dalam jangka waktu 4 bulan melalui surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 717/MPP/Kep/12/1999 pemerintah mencabut tata niaga impor gula dan beras yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2000, sehingga perdagangan komoditas gula diserahkan kepada mekanisme pasar. Melalui surat Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.01/1999 yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2000 maka semua importir baik importir umum (IU) maupun importir produsen (IP) termasuk BULOG diperbolehkan mengimpor gula dengan ketentuan dikenakan bea masuk sebesar 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih. Namun, karena dirasa tarif advalorem tersebut kurang efektif maka melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 324/KMK.01/2002 tarif tersebut diganti menjadi tarif spesifik yaitu Rp 550.00 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih. Tingkat tarif ini terus berlaku hingga tahun 2004. Pada tahun 2004 dalam rangka mendukung program akselerasi pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakan sebelumnya, yaitu dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 dimana pemerintah kembali melibatkan BUMN seperti BULOG dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia dalam perdagangan gula di Indonesia. BULOG mempunyai peran sebagai distributo tunggal untuk memasarkan gula milik PTPN dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) melalui jaringannya yang tersebar diseluruh Indonesia. Ketentuan impor gula yang tertuang dalam SK Menperindag No. 527/2004 telah mendatangkan permasalahan baru dalam industri pergulaan nasional. Hal ini mengingat dalam kebijakan tersebut pemerintah membagi pemasaran gula menjadi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi. KPPU (2010) menyatakan

27 bahwa segmentasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan tidak seimbangnya pasokan dan permintaan. Pemisahan yang dilakukan untuk menjaga gula kristal putih diatas Harga Dasar Gula (HDG) tidak efektif sebab adanya perbedaan harga yang cukup signifikan. Kondisi ini yang membuat gula kristal rafinasi yang seringkali dimaksudkan untuk kepentingan industri banyak ditemukan beredar dipasaran. Target produksi gula konsumsi tahun 2009 tidak tercapai, sedangkan sebagian stok gula konsumsi nasional diserap oleh industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah serta rumah tangga, sehingga terjadi lonjakan harga di pasar dunia maupun di pasar domestik. Industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah sebelumnya menggunakan pasokan gula kristal rafinasi. Oleh karena itu, pada tahun 2009 pemerintah menetapkan penurunan tarif bea masuk impor gula kristal rafinasi dan gula mentah melalui revisi peraturan Menteri Keuangan No. 150/PMK.011/2009, dimana tarif bea masuk gula kristal rafinasi turun 49.4 persen menjadi Rp 400.00 per kilogram dari sebelumnya Rp 700.00 per kilogram dan gula mentah dari Rp 550.00 per kilogram menjadi Rp 150.00 per kilogram. Pemerintah memperpanjang pemberlakuan tarif bea masuk tersebut hingga April 2010. Tata niaga penyaluran gula nasional pada tahun 2010 dan 2011 tidak tertata dengan baik sekalipun pemerintah telah secara serius mengatur distribusi gula kristal rafinasi melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.111/M- DAG/2/2009 tentang penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula. Penyaluran gula kristal rafinasi tidak lagi langsung ditujukan kepada industri pengguna tetapi melalui distributor, sehingga gula kristal rafinasi impor banyak yang masuk ke pasar konsumsi rumah tangga dan industri kecil. Pemerintah tidak melakukan sistem pengawasan yang baik terhadap peredaran gula kristal rafinasi di pasar umum. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mewujudkan swasembada gula. Target untuk swasembada gula sebenarnya telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2002 pemerintah untuk tercapai pada tahun 2007. Namun kemudian target tersebut mundur menjadi tahun 2008, lalu mundur lagi menjadi tahun 2009 walaupun dengan catatan swasembada hanya untuk gula konsumsi

28 masyarakat atau gula kristal putih dan bukan untuk industri. Kegagalan target swasembada gula ini produksi gula nasional yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional dan kurang ketertarikan investor dalam menanamkan modal di sektor perkebunan tebu di Indonesia. Bahkan saat ini target swasembada dicanangkan oleh pemerintah tercapai pada tahun 2014. 2.4. Kebijakan Pergulaan di Negara-Negara Anggota ASEAN-China Free Trade Area Perkembangan ekonomi dunia saat ini telah mengarah pada keterbukaan hubungan ekonomi antar bangsa. Dewasa ini, dunia melihat ASEAN sebagai kawasan yang strategis. ASEAN mampu membuktikan diri sebagai perhimpunan yang mampu menciptakan stabilitas di kawasannya serta mampu meningkatkan kekuatan ekonominya. Salah satu mitra dagang terbesar ASEAN adalah China. Kesepakatan perdagangan yang tengah dijalankan oleh kedua pihak tersebut tentunya hanya akan memberikan dampak negatif apabila kedua belah pihak tidak mampu melindungi produk dalam negerinya. Demikian halnya untuk komoditas pertanian seperti gula yang juga menjadi bagian dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China. Masing-masing negara ASEAN yang memproduksi gula dan China yang selain produsen juga pengimpor gula turut menerapkan kebijakannya untuk melindungi dan meningkatkan kapasitas produksi gula. Thailand Kebijakan industri gula di Thailand dijalankan oleh Thai Cane and Sugar Board yang memiliki keanggotaan petani (grower), pabrik gula (miller) dan pemerintah. Dalam berusahatani, para petani tebu di Thailand mendapat bantuan kredit dari bank dengan bunga di bawah harga pasar. Besarnya kredit ini disesuaikan dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik. Hafsah (2003) menyatakan bahwa Thailand telah menetapkan kebijaksanaan pasar domestik dan impor gulanya dengan cara membagi produksi gula domestik menjadi tiga kuota yaitu kuota A untuk pasar domestik, kuota B untuk ekspor, dan kuota C untuk kelebihan kuota A dan B. Dalam pelaksanaannya jumlah kuota A ditetapkan oleh pemerintah Thailand, sedangkan kuota B untuk ekspor gula dilakukan oleh Thai Cane and Sugar Board. Penetapan harga tebu petani dilakukan oleh pemerintah deengan menggunakan total penerimaan pabrik

29 gula dari kuota A dan kuota B sebagai dasar perhitungannya. Tidak hanya itu, harga gula domestik juga ditunjang oleh pengenaan tarif bea masuk impor sebesar 65 persen untuk volume impor dengan minimum akses sebesar 13 105 ton dan pemberlakuan tarif sebesar 104 persen untuk impor gula diatas minimum akses. Filipina Filipina merupakan salah satu contoh negara yang mempunyai kebijakan pembangunan gula nasional yang komprehensif, saling terkait dan konsisten satu dengan yang lainnya baik di tingkat makro hingga mikro maupun nasional hingga daerah. Sama halnya dengan Indonesia, Filipina juga mencanangkan program swasembada gula sehingga agribisnis gula tidak terlepas dari perhatian utama pemerintahnya. Pambudy, et al. (2005) menyatakan bahwa Filipina mempunyai kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 5 juta orang dalam agribisnis gula. Luas lahan tebu Filipina saat ini mencapai 368 ribu hektar dengan produktivitas rata-rata yang baru mencapai 60 ton per hektar yang masih jauh lebih rendah dari produktivitas tebu di Thailand yang mencapai 180 ton per hektar. Namun demikian, data hingga bulan Juni 2003 menunjukkan bahwa produksi gula di Filipina sudah mencapai 2.12 juta ton. Pencapaian jumlah produksi gula yang cepat ini menjadikan target swasembada gula di Filipina tercapai pada tahun 2003, lebih cepat dari target yang dicanangkan yaitu tahun 2007. Pemerintah Filipina membebankan tanggung jawab pergulaan pada Sugar Regulatory Administration (SRA) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga ini mempunyai kemampuan untuk mengikat semua institusi yang terlibat dalam agribisnis gula di Filipina. Lembaga ini mempunyai mandat meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan sektor industri gula nasional dengan lebih meningkatkan partisipasi sektor swasta serta meningkatkan kesejahteraan para buruh gula (www.sra.gov.ph). Kebijakan umum yang diterapkan untuk melindungi industri gula di Filipina antara lain : 1. Free enterprise, yaitu baik penduduk lokal maupun asing dapat berpartisipasi dalam perdagangan gula selama mempunyai kapabilitas keuangan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.

30 2. Gula yang diproduksi didalam negeri diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan prioritas berikutnya untuk memenuhi kuota ekspor gula ke Amerika Serikat 3. Impor gula diusahakan dalam bentuk raw sugar agar dapat memberikan keuntungan padarefiners. Impor gula harus dididasarkan atas Executive Order yang diterbitkan oleh Presiden atas rekomendasi Departemen Pertanian untuk kemudian ditenderkan diantara traders. Selain kebijakan umum, pemerintah Filipina juga melakukan proteksi terhadap pasar pergulaan nasionalnya dengan menjaga harga pasar domestik relatif tinggi melalui kebijakan tarif bea impor. Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah Filipina adalah dengan menetapkan minimum akses sebesar 150 ribu ton dengan tarif 50 persen dan sebesar 80 persen untuk impor gula atas minimun akses. Sedangkan untuk impor gula di negara ASEAN pemerintah memberlakukan tarif preferensi sebesar 65 persen (Hafsah, 2003). China Industri gula China memiliki sejarah panjang dan telah mengalami perubahan yang signifikan dalam beberapa tahun ini. Industri gula China telah tumbuh lebih dari 300 persen sejak reformasi ekonomi dimulai pada tahun 2004. Pertumbuhan industri pergulaan di China disertai dengan berbagai tekanan baik internal maupun eksternal yang telah mengakibatkan restrukturisasi mesin dan peralatan pabrik gula yang signifikan di dalam negeri. Pemerintah China berupaya untuk mengejar pengembangan industri gula melalui serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan surplus produsen dan petani, peningkatan kualitas produk gula dan perlindungan yang besar bagi lingkungan. Manajemen teknologi yang kreatif dan inovatif menjadi sarana utama pencapaian pengembangan industri gula China (Zhu, et al. 2007). Perkembangan konsumsi yang lebih tinggi daripada produksi membuat China saat ini menjadi salah satu konsumen gula terbesar di dunia. Sekalipun China merupakan negara importir, namun pemerintah China juga memberikan kebijakan proteksi dan promosi untuk industri pergulaannya. Dalam merumuskan kebijakannya pemerintah China melibatkan State Development and Reform Commission (SDRC) yang bertanggung jawab membuat perencanaan

31 pembangunan industri gula jangka panjang, State Economic and Trade Commision (SETC) yang bertanggung jawab terhadap pengendalian produksi, kementerian pertanian yang bertanggung jawab langsung terhadap pengaturan lahan tebu, Kementerian perdagangan yang mengatur ekspor dan impor gula, serta China Sugar Association yang membantu pemerintah dalam melaksanakan pengendalian kebijakan makro dan masukan bagi pengembangan industri gula. Adapun serangkaian kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah China dalam mendukung industri pergulaannya antara lain (Pambudy, et al. 2005) : 1. Menerapkan sistem tanggung jawab produksi keluarga di wilayah pedesaan yang membangkitkan antusiasme para petani tebu untuk meningkatkan produksi. 2. Memberikan insentif berupa pangan kepada petani tebu untuk menjamin kecukupan pangan dan menjaga agar tetap menanam tebu. 3. Memberikan subsidi berupa pembangunan irigasi pada lahan-lahan yang ditanami tebu dan pembukaan lahan kering dataran tinggi untuk dijadikan lahan tebu. 4. Melepaskan seluruh kendali pembelian dan kontrak penjualan gula pada mekanisme pasar. 5. Menerapkan pajak pendapatan yang cukup tinggi terhadap pabrik gula sebesar 33 persen dan PPN sebesar 17 persen. 6. Menerapkan kebijakan proteksi dengan menerapkan kuota impor pada tahun 2003 sebesar 1.85 juta ton, dan tahun 2004 sebesar 1.94 juta ton dengan tarif sebesar 30 persen untuk gula putih dan 20 persen untuk gula mentah. Impor diatas kuota yang telah ditetapkan dikenakan tarif impor sebesar 76 persen. Pemerintah China juga tengah menerapkan konsep pembangunan keberlanjutan untuk industri gula. Li, et al. (2006) menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan industri gula China dilakukan sedemikian rupa sehingga produksi berada dalam kondisi yang seimbang dengan untuk input sumberdaya yang terbarukan seperti energi. Dorongan ini dilakukan dengan menekankan pada pengurangan dampak negatif lingkungan yang signifikan terkait dengan produksi gula di China dan seluruh dunia. Sebagai bagian dari tujuan jangka panjangnya, pemerintah China juga akan melakukan penekanan pada

32 pemanfaatan produk hilir yang selama ini hanya dikenal sebagai limbah. Sehingga, arah industri gula di China akan melalui proses produksi yang dikenal dengan 3P atau Planting-Processing-Production Cycle. 2.5. Tinjauan Studi Terdahulu Sanjaya (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan produksi tebu Indonesia jauh lebih responsif jika dilakukan dengan pendekatan intensifikasi, artinya peningkatan penawaran dilakukan dengan meningkatkan produktivitas tanaman tebu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan terkait dengan kebijakan harga faktor-faktor input produksi produk pertanian seperti kebijakan harga pupuk, harga pestisida, dan tingkat upah buruh. Berdasarkan nilai elastisitas penawaran tebu di Indonesia, jumlah penawaran tebu pada tahun 2025 mendatang diproyeksikan sebesar 70.531 juta ton sedangkan proyeksi jumlah kebutuhan total tebu nasional adalah sebesar 63.158 juta ton sehingga pada tahun 2025 dapat disimpulkan bahwa program swasembada gula dapat tercapai. Studi mengenai liberalisasi perdagangan gula yang dikaji oleh Hariyati (2003) menyatakan bahwa penerapan liberalisasi gula ditandai dengan penghapusan tarif diikuti dengan pelepasan tata niaga gula yang berarti stok gula sama dengan nol. Kondisi ini berdampak pada penurunan penawaran secara drastis sebesar 35.9 persen dan kenaikan harga gula domestik sebesar 14.3 persen, kenaikan harga gula petani sebesar 10.6 persen meningkatkan produksi gula. Pemenuhan kebutuhan nasional yang dilakukan dengan impor menyebabkan meningkatnya impor gula sebesar 34.5 persen. Kenaikan impor gula indonesia menyebabkan kenaikan harga impor dunia sehingga juga akan mengakibatkan kenaikan harga gula dunia. Refomasi tarif telah menjadi isu penting di awal dekade kedua sejah abad 20. Tarif yang tinggi dipercaya menjadi penyebab kekacauan ekonomi pada beberapa negara. Ellison, et al. (1995) mempelajari voting Kongres Reformasi Tarif untuk gula pada tahun 1912 untuk menyelidiki pengaruh para konstituen terhadap kebijakan perdagangan terutama kebijakan tarif. Hasil studi yang diperoleh kongres reformasi tarif tersebut terjadi karena adanya sebuah gerakan

33 nasional yang memang menginginkan reformasi tarif. Akibat dari hal inilah yang kemudian membuat sebagian kalangan menilai bahwa legislator atau para konstituen memiliki tingkat visibilitas dan akuntabilitas politik yang tinggi dalam pengaturan sebuah kebijakan perdagangan. Selain itu, sifat dari industri gula dan tarif gula itu sendiri menyebabkan munculnya sekelompok produsen yang ingin bersaing. Dalam mengevaluasi efektivitas dari kelompok-kelompok ini, penulis menjelaskan bahwa mereka hanya terkonsentrasi pada pencarian keuntungan yang relatif kurang penting peranannya dalam industri gula. Terbentuknya kelompokkelompok ini merupakan dampak yang timbul dari kebijakan pemerintah terhadap kebijakan penurunan tarif itu sendiri. Lebih lanjut studi mengenai tarif juga dikaji oleh Malian dan Saptana (2003) yang menyatakan bahwa penetapan tarif impor gula sebesar Rp 550.00 per kilogram untuk gula tebu (raw sugar) dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih (refined sugar) dalam kondisi harga gula dunia yang rendah dan nilai tukar rupiah yang makin menguat, belum cukup merangsang petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas pasokan tebu. Tanpa adanya perubahan kebijakan atau kebijakan tambahan bagi petani tebu, maka pendapatan bersih petani tebu relatif tidak meningkat. Dengan asumsi harga gula dunia sebesar US$ 225 per ton, nilai tukar rupiah antara Rp 8 500.00 sampai Rp 8 700.00, rendemen tebu 6.00 persen sampai 6.50 persen dan kepada petani diberikan management fee sebesar 20 persen, maka tarif spesifik yang dipandang layak bagi petani tebu berkisar antara Rp 950.00 per kilogram hingga Rp 1 300.00 per kilogram. Hutabarat (2011) menganalisis dampak pemotongan tarif dalam kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Metode analisis keseimbangan umum yang dilakukan menggunakan dua skenario yaitu (1) liberalisasi penuh (pemotongan tarif sebesar 100 persen) pada seluruh produk pertanian ASEAN dan China dan (2) liberalisasi penuh pada seluruh produk yang diperdagangkan ASEAN dan China. Pada skenario (1) memberikan hasil tingkat kesejahteraan masyarakat menurun sebesar Rp 128.96 miliar tetapi pada skenario (2) tingkat kesejahteraan meningkat sebesar Rp 2.878 triliun. Untuk kegiatan ekspor, jumlah ekspor hasil olahan pertanian menurun sebesar 0.74 persen sampai 24.64 persen pada skenario (1), sedangkan pada skenario (2) ekspor seluruh produk pertanian

34 menurun sebesar 0.6 persen sampai 28.21 persen. Untuk impor produk olahan pertanian pada skenario (1) meningkat antara 0.06 persen sampai 2.62 persen dan pada skenario (2) impor untuk seluruh produk pertanian meningkat antara 0.43 persen sampai 4.08 persen kecuali gandum menurun 0.15 persen. Sehingga skenario liberalisasi penuh bagi komoditas yang diperdagangkan di sektor pertanian belum tentu diikuti dengan perbaikan pada produksi dan ekspor komoditas andalannya. Hadi dan Nuryanti (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk pengembangan perekonomian gula nasional ke depan antara lain (1) mempertahankan kebijakan proteksi dengan pengenaan tarif Rp 550.00 per kilogram untuk gula mentah dan Rp 700.00 per kilogram untuk gula putih yang dikombinasikan dengan pengaturan, pengawasan, dan pembatasan impor, (2) berjuang bersama negara yang tergabung dalam kelompok G-33 agar negara-negara maju dan berkembang tertentu menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan, dan (3) melakukan upayaupaya perbaikan efisiensi industri gula nasional, baik pada tingkat budidaya tebu maupun proses pengolahan di pabrik gula. Hasil studi simulasi kebijakan dalam suatu model ekonometrik industri gula domestik yang dilakukan oleh Susila (2005b), menunjukkan bahwa dalam situasi perdagangan yang distorsif, kebijakan yang berkaitan langsung dengan harga output lebih efektif dibandingkan kebijakan yang berkaitan dengan input, guna mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Kebijakan harga provenue lebih efektif bila dibandingkan dengan tariff-rate quota, tarif impor, dan subsidi input. Terhadap kebijakan pemerintah, perkebunan rakyat lebih responsif dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan perkebunan swasta. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah menciptakan medan persaingan yang lebih adil, industri gula Indonesia masih memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan harga provenue, tarif impor, tarif rate quota, dan subsidi input merupakan beberapa pilihan kebijakan guna pengembangan industri gula Indonesia.

35 Hasil penelitian Abidin (2000) tentang liberalisasi perdagangan gula menyatakan bahwa setiap perubahan dalam harga dunia atau tingkat proteksi akan mempengaruhi harga ekspor maupun impornya. Sebagian besar negara eksportir (70 persen) memberikan subsidi ekspor antara 8 persen sampai 102 persen dan 30 persen negara eksportir memberlakukan pajak ekspor antara 6 persen sampai 52 persen yang berarti bahwa negara eksportir pada umumnya merangsang ekspor melalui subsidi. Sedangkan di negara importir, sebagian negara importir (54 persen) memberikan subsidi impor antara 17 persen sampai 48 persen dan 46 persen negara importir lainnya memberlakukan pajak impor atau bea masuk sebesar 7 persen sampai 173 persen. Ini menunjukkan adanya kepentingan yang sangat beragam dari negara eksportir maupun importir yang saling memberlakukan proteksi kepentingan negaranya. Suparno (2004) yang melakukan penelitian tentang evaluasi perubahan kesejahteraan petani tebu pasca liberalisasi perdagangan gula dari tahun 1995-2002 menjelaskan bahwa kebijakan penghapusan tata niaga gula oleh BULOG menurunkan kesejahteraan bersih (net walfare) masyarakat. Hal ini dikarenakan kenaikan harga eceran gula dapat menurunkan daya beli konsumen yang dipicu oleh intervensi IMF melalui pengurangan subsidi. Selain itu, kenaikan impor gula sebesar 20 persen yang disebabkan penurunan tarif impor nol persen menyebabkan penurunan kesejahteraan baik dari sisi konsumen maupun produsen. Walaupun terjadi kenaikan penerimaan pemerintah, namun tidak mampu mengkompensasi penurunan kesejahteraan tersebut.

36

37 III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Fungsi Permintaan Gula Keadaan konsumsi dan permintaan suatu komoditas sangat menentukan banyaknya komoditas yang dapat digerakkan oleh sistem tata niaga dan memberikan arahan bagi produsen berapa besar mereka harus memproduksi (Limbong dan Sitorus, 1987). Secara umum dikatakan bahwa selera dan kekuatan membeli sebagai faktor-faktor yang menentukan konsumsi sedangkan dalam teori ekonomi, permintaan terhadap gula dapat dirumuskan sebagai berikut : Dx = f Hx, I, Hy, P, S........(01) dimana : Dx = Jumlah produk gula yang diminta Hx = Harga komoditas gula I = Pendapatan Hy = Harga barang lain yang berkaitan dengan konsumsi gula P = Jumlah penduduk atau konsumen gula S = Selera Seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang secara rasional dihadapkan pada berbagai pilihan yang lengkap dan konsisten tentang sederetan preferensinya. Koutsoyiannis (1985) memberikan asumsi untuk teori indifference curves sebagai berikut : 1. Rasionalitas Konsumen diasumsikan rasional, dimana berusaha memaksimumkan utilitinya berdasarkan pendapatannya dan harga pasar tertentu. Konsumen juga diasumsikan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang semua informasi yang relevan. 2. Utiliti adalah ordinal Konsumen dianggap dapat menyusun secara berurutan pilihan-pilihannya terhadap berbagai kelompok barang berdasarkan tingkat kepuasan setiap kelompok. 3. Tingkat substitusi marginal yang menurun (diminishing marginal rate of substitution). Pilihan-pilihan (preferences) disusun dalam bentuk kurva

38 indiferen yang diasumsikan cembung (convex) pada titik origin. Hal ini menunjukkan bahwa slope kurva indiferen adalah menaik. Slope kurva indiferen ini disebut sebagai tingkat substitusi marginal dari suatu komoditi. 4. Total utiliti tergantung pada kuantitas komoditi yang dikonsumsi. Secara matematis ditulis : U = f(q 1,q 2,,q n ). 5. Konsistensi dan transitivitas dalam pilihan Pilihan preferensinya dibatasi oleh kendala pendapatannya, oleh karenanya problem pilihan konsumen adalah menentukan sejumlah konsumsi yang optimum didalam opportunity set-nya. Fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang diturunkan dari fungsi konsumsi atau utilitas konsumen. Konsumen terdiri dari dua golongan yaitu konsumen akhir atau konsumen yang mengolah lagi produk yang dikonsumsinya (industri). 3.1.1. Permintaan Gula oleh Rumah Tangga Secara umum, fungsi permintaan diturunkan dari fungsi utilitas konsumen yang dimaksimumkan dengan kendala pendapatan (Henderson dan Quandt, 1980). Diasumsikan fungsi utilitas konsumen adalah sebagai berikut : U = U Q G, R..(02) dimana : U = Total utilitas konsumen mengkonsumsi gula Q G R = Jumlah konsumsi gula = Jumlah konsumsi komoditi lain Jika harga gula dinotasikan sebagai P G dan harga barang lain sebagai P r dengan asumsi semua pendapatan digunakan utuk mengkonsumsi barang, maka fungsi kendala pada tingkat pendapatan tertentu (Y) bagi konsumen adalah : Y = P G Q G + P r R...(03) Dengan memasukkan fungsi kendala (persamaan 03) ke dalam fungsi utilitas (persamaan 02) maka dapat digambarkan fungsi Langrange sebagai berikut : Z = U Q G, R + λ(y P G Q G P r R)..(04) dimana : λ = Lagrange Multiplier

39 Untuk mendapatkan utilitas maksimum, maka syarat pertama adalah turunan parsial dari fungsi Lagrangian harus sama dengan nol. Z = U λp Q G Q G = 0 G......(05) Z.......(06) R = U R λp r = 0 Z......(07) λ = (P G Q G + P r R Y) = 0 Dari persamaan 05, 06, dan 07 diatas maka diperoleh : U = λ P.......(08) Q G atau λ = U Q G G U R = λp r atau λ = P G Q G + P r R = Y P G U R P R jika U Q G = MU G dan U R = MU r maka :........(09).........(10) λ = MU G P G = MU r P r.........(11) dan MU G MU r = P G P r = MRS G,r.....(12) Persamaan 12 menyatakan bahwa kepuasan konsumen akan maksimum pada kondisi dimana rasio marjinal utilitas terhadap harga sama untuk semua komoditi, yaitu sebesar koefisien pengganda Lagrangian (λ). Penyelesaian P G dan P r pada persamaan 12 disubstitusikan pada persamaan 10 sehingga diperoleh fungsi permintaan terhadap gula yaitu : Q G = f(p G, P r, Y)....(13) Persamaan tersebut menyatakan bahwa permintaan gula kristal putih dipengaruhi oleh harga gula, harga komoditi lain sebagai alternatif, dan tingkat pendapatan konsumen. Dengan asumsi bahwa model permintaan bersifat dinamis maka elastisitas permintaan atas harga gula, elastisitas permintaan atas harga komoditi lain, dan elastisitas pendapatan dapat dihitung baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dolan (2006) menambahkan bahwa selain dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang lain, dan pendapatan permintaan suatu barang juga dipengaruhi selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, dan harapan harga.

40 3.1.2. Permintaan Gula oleh Industri Sebagai bahan baku untuk industri makanan dan minuman, permintaan terhadap gula dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu melalui fungsi keuntungan. Produsen yang rasional akan berproduksi pada tingkat keuntungan yang maksimum (Debertin, 1986). Input yang digunakan pada kondisi keuntungan maksimum berada pada jumlah yang optimal. Adapun persamaan keuntungan dapat dituliskan sebagai berikut : π = P. Y r i X i (14) dimana : π = Keuntungan P = Harga output yang dihasilkan oleh industri makanan dan minuman Y = Jumlah produksi r i = Harga input gula X i = Jumlah input gula dengan menurunkan fungsi keuntungan tersebut terhadap masing-masing input maka diperoleh : δπ δxi = P. δy δx r i = 0... (15) i atau P. PM i = r i...(16) dimana PM i adalah produk marjinal dan P.PM i adalah nilai dari produk marginal input gula. Pada persamaan diatas penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.PM i ) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasi dari kondisi tersebut adalah permintaan suatu input oleh industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan (r), harga output (P), dan teknologi produksi (PM i ). Disamping itu, permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistorsi pasar. Pada industri makanan dan minuman, permintaan terhadap gula selain dipengaruhi oleh harga gula juga dipengaruhi oleh harga input alternatif lain, yaitu harga pemanis alternatif dan tingkat suku bunga. Dalam model ekonomi, permintaan gula industri tersebut dituliskan sebagai berikut : D f = f(p f, P m, i)......(17)

41 dimana D f adalah permintaan gula kristal rafinasi oleh industri makanan dan minuman, P f adalah harga gula kristal rafinasi, P m adalah harga produk makanan dan minuman, dan i adalah tingat bunga. 3.2. Fungsi Impor Gula Perdagangan internasional memungkinkan setiap negara melakukan spesifikasi produksi dan barang-barang tertentu sehingga mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dengan skala produksi yang besar. Adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh setiap negara menyebabkan negara tersebut berusaha menghasilkan produk dengan biaya yang relatif lebih rendah. Perbedaan sumber daya inilah yang akan menyebabkan perbedaan harga dan akan menentukan keputusan suatu negara untuk melakukan ekspor dan impor. P D A P A r x S A P P ES P B P W D B S B m s ED 0 Q A Q 0 Q E Q 0 Q B Q Negara A (Eksportir) Pasar Dunia Negara B (Importir) Sumber : Tweeten, 1992 Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Ekspor-Impor Proses ekspor dan impor dunia diilustrasikan oleh Gambar 2. Suatu negara (negara A) akan mengekspor suatu komoditi gula ke negara lain (negara B) karena harga di negara A sebelum terjadinya perdagangan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Di negara A terjadi kelebihan produksi (excess supply) karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya, sehingga negara A berkesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak negara B mengalami kelebihan permintaan (excess demand) karena konsumsi domestiknya lebih

42 besar daripada produksi domestiknya sehingga harga di negara B lebih tinggi. Oleh karena itu, negara B membeli komoditi gula dari negara lain yang harganya relatif lebih murah. Komunikasi yang terjadi antara negara A dan negara B menyebabkan terjadinya perdagangan dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa sebelum terjadinya perdagangan dunia harga di negara A adalah P A, sedangkan di negara B adalah P B. Penawaran di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia lebih tinggi dari P A sedangkan permintaan di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia lebih kecil dari P B. Pada saat harga dunia (P W ) sama dengan P A maka di negara A tidak terjadi excess supply (ES) namun di negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar s. Tetapi, jika harga dunia (P W ) sama dengan P B maka dinegara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar r, namun di negara B tidak terjadi excess demand (ED). Dari P A dan P B tersebut maka akan terbentuk kurva ES dan ED di pasar dunia, dimana perpotongan antara kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar dunia sebesar P W. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara A akan mengekspor gula sebesar x dan negara B akan mengimpor gula sebesar m. Permintaan impor terjadi karena suatu negara membeli barang dari negara lain yang disebabkan karena berbagai faktor antara lain (1) produksi barang dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi, (2) barang tersebut sangat penting dalam proses kehidupan namun negara tersebut tidak dapat memproduksi dengan baik akibat adanya keterbatasan teknologi dan iklim, dan (3) suatu negara mempunyai teknologi tetapi tidak mempunyai bahan baku (dalam hal ini negara tersebut akan melakukan re-ekspor) (Purwanto, 2002). Indonesia merupakan negara importir untuk komoditas gula. Salah satu hal yang menentukan jumlah impor adalah konsumsi. Secara sederhana, persamaan impor gula dapat dinyatakan sebagai berikut : M G = C G Q G + S G....(18) dimana: M G = Jumlah impor gula C G = Jumlah konsumsi gula

43 Q G = Jumlah produksi gula S G = Jumlah Stok gula Pendekatan selanjutnya didekati dari fungsi konsumsi yang membentuk fungsi permintaan yang dinyatakan sebagai berikut : C G = f(p G, PS, Y, Pop, D y, S).. (19) dimana : C G P G Y = Jumlah konsumsi gula = Harga gula = Tingkat pendapatan Pop = Jumlah Penduduk D y S = Distribusi pendapatan = Selera Dari persamaan 19 dapat diketahui apabila harga gula menurun maka konsumsi akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Selain itu, konsumsi juga akan dipengaruhi oleh (1) harga komoditi lain yang bersifat substitusi dan komplementer, (2) jumlah penduduk, dan (3) laju pertumbuhan konsumsi. Sedangkan untuk impor, suatu negara akan mencari harga yang lebih murah. Oleh karena itu, nilai tukar akan mempengaruhi jumlah barang yang diimpor oleh suatu negara. Dengan demikian, persamaan impor dapat dinyatakan sebagai berikut : M G = f(p G, C G, ER, Z, M G(t 1) ).. (20) dimana : M G P G C G ER Z = Jumlah impor gula = Harga gula = Jumlah konsumsi gula = Nilai tukar = Faktor lain yang mempengaruhi impor M G(t 1) = Impor gula tahun sebelumnya 3.3. Respon Bedakala Produksi Komoditas Pertanian Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan-perkiraan di masa mendatang serta pengalaman

44 masa lalu. Harga output komoditas pertanian tidak dapat dipastikan pada saat produk tersebut ditanam. Dengan kata lain, petani harus mengambil keputusan produksi berdasarkan perkiraan atas produknya tahun lalu. Hal ini mengacu pada adanya bedakala (lag) diantara dua periode, yaitu saat menanam dan memanen. Respon petani setelah bedakala sebagai dampak perubahan pada harga-harga input dan produk serta kebijakan pemerintah. Jika peningkatan harga diperkirakan oleh petani akan berlangsung terus pada periode berikutnya, maka petani akan merubah komposisi sumber daya pada masa tanam mendatang, sehingga pengaruh kenaikan harga tersebut baru akan terlihat pada periode tanam berikutnya. Apabila kemungkinan adanya ekspektasi demikian dapat diterima maka hubungan-hubungan yang spesifik diantara harga harapan dengan harga di masa lalu dapat dibuat. Sehingga model dapat dikembangkan menjadi dinamik yang dirintis oleh Nerlove melalui persamaan parsial. Nerlove (1958) menjelaskan bahwa petani pada setiap periode produksi akan merevisi dugaan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai proporsi yang normal terhadap perbedaan yang terjadi dengan yang sebelumnya dianggap normal. Atau petani juga akan menyesuaikan perkiraan harga dimasa mendatang dalam bentuk proporsi dari selisih antara perkiraan dengan kenyataannya. 3.4. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Perdagangan Gula Proses pembentukan harga gula dunia dalam perdagangan internasional ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan dunia. Akan tetapi, karena setiap negara eksportir dan importir mempunyai kepentingan yang berbeda-beda maka pemerintah melakukan intervensinya terhadap perdagangan gula. Intervensi pemerintah ini diperlukan baik untuk mengatur mekanisme perdagangan gula internasional maupun melindungi pelaku ekonomi gula dalam negeri. Beberapa kebijakan yang terkait dengan kinerja pasar gula antara lain kebijakan tarif impor, suku bunga, harga pokok pembelian, subsidi sarana produksi, suku bunga, dan lain-lain. Namun, yang akan dijelaskan dalam penelitian ini hanyalah dampak kebijakan harga pokok pembelian dan kebijakan tarif impor sesuai dengan fenomena yang terjadi sekarang.

45 3.4.1. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Pupuk sebagai salah satu sarana produksi pertanian mempunyai peran yang cukup penting dalam peningkatan produktivitas pertanian. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) pupuk untuk melindungi petani sebagai konsumen pupuk agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhannya dengan harga yang lebih murah yang berada di bawah harga keseimbangan. Dampak kebijakan HET pupuk terhadap surplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada gambar 4. Harga F S P 0 E P 1 B C HET A D Jumlah Q 1 Q 0 Q 2 Gambar 3. Dampak Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Apabila pemerintah melakukan intervensi dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) maka akan mengakibatkan jumlah yang diproduksi menjadi sebesar Q 1 dan jumlah yang diminta oleh konsumen sebesar Q 2. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari respon konsumen yang meningkat jika harga pupuk turun, sehingga kebijakan ini akan efektif jika pemerintah memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) yaitu sebesar Q 2 Q 1 sehingga besarnya pengeluaran pemerintah sebesar Q 1 BCQ 2 Kebijakan HET pupuk ini akan berdampak pada perubahan surplus konsumen dan produsen. Sebelum adanya kebijakan HET pupuk surplus konsumen sebesar P 0 FE dan surplus produsen P 0 EA, sedangkan setelah adanya kebijakan HET pupuk surplus konsumen sebesar P 1 CF dan surplus produsen sebesar P 1 BA. Kebijakan HET pupuk ini menambah surplus konsumen sebesar P 0 ECP 1 dan mengurangi surplus produsen sebesar P 0 ECP 1.

46 3.4.2. Kebijakan Harga Patokan Petani Gula Harga patokan petani (HPP) untuk produk gula ini merupakan harga minimal yang diterima petani. Harga ini menjadi signal atau patokan bagi importir untuk melakukan impor karena impor gula baru dapat dilakukan apabila petani tebu menerima harga minimal sama dengan HPP yang ditetapkan oleh pemerintah. Penentuan harga patokan petani ini menggunakan biaya pokok produksi (BPP) tebu atau gula petani. Penetapan kebijakan HPP gula diatur melalui seperangkat kebijakan pemerintah melalui SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 tentang ketentuan impor gula yang telah direvisi dengan mengeluarkan perangkat Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M- DAG/PER/4/2005. Peraturan Menteri Perdagangan ini tidak hanya mengatur tentang penetapan harga patokan akan tetapi juga mengatur jumlah pasokan gula. Tujuan utama pemerintah menetapkan HPP gula adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan pendapatan petani dalam upaya untuk meningkatkan produksi tebu dan produktivitas lahan menuju swasembada gula. Selain itu, HPP juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gula bagi masyarakat konsumen dengan harga yang stabil dan terjangkau. Dampak kebijakan harga patokan petani terhadap surplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada gambar 4. Harga C S P 1 E F G HPP P 0 B A Q 1 Q 0 Q 2 D Jumlah Gambar 4. Dampak Kebijakan Harga Patokan Petani

47 Penetapan HPP gula oleh pemerintah sebesar P 1 mengakibatkan jumlah produksi gula menjadi sebesar Q 2 dan jumlah yang diminta oleh konsumen Q 1. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari respon konsumen yang menurunkan volume permintaan gula jika harga gula naik, sehingga kebijakan ini akan efektif jika pemerintah membeli kelebihan produksi gula (excess supply) sebesar Q 2 Q 1, sehingga besarnya pengeluaran pemerintah sebesar Q 1 EGQ 2. Kebijakan HPP gula ini akan berdampak pada perubahan surplus konsumen dan produsen. Sebelum adanya kebijakan HPP surplus konsumen sebesar P 0 BC dan surplus produsen P 0 BA, sedangkan setelah adanya kebijakan HPP surplus konsumen sebesar P 1 EC dan surplus produsen sebesar P 1 GA. Kebijakan HPP ini mengurangi surplus konsumen sebesar P 0 BEP 1 dan meningkatkan surplus produsen sebesar P 1 GBP 0. 3.4.3. Kebijakan Tarif Impor Kebijakan perdagangan dibidang impor akan diartikan sebagai tindakan yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha untuk melindungi atau mendorong pertumbuhan industri didalam negeri. Kebijakan dibidang impor ini dapat dikelompokkan menjadi kebijakan tarif dan non tarif. Oktaviani (2010) mengemukakan apabila ditinjau dari aspek asal komoditinya, terdapat dua macam tarif yaitu tarif ekspor dan tarif impor. Apabila ditinjau dari mekanisme perhitungannya terdapat tiga macam tarif yaitu tarif ad valorem (ad valorem tariff), tarif spesifik (specific tariff), dan tarif campuran (compound tariff). Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka presentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor dan tarif campuran merupakan gabungan dari tarif ad valorem dan tarif spesifik. Tarif merupakan pajak yang dikenakan atas impor suatu barang dimana suatu tarif akan cenderung menaikkan harga dan menurunkan jumlah yang dikonsumsi, dan menaikkan produksi domestik (Samuelson dan Nordhaus, 2001). Kebijakan tarif ini disatu sisi bertujuan untuk mengurangi volume impor, namun disisi lain akan meningkatkan produksi dalam negeri melalui perbaikan harga. Pemberlakuan tarif impor akan menyebabkan kenaikan harga produk di negara importir, penurunan konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor,

48 dan adanya penerimaaan pemerintah yang berasal dari tarif impor tersebut. Pemberlakuan tarif impor ini akan menguntungkan produsen domestik karena harga impor suatu komoditas cenderung lebih mahal daripada harga domestiknya. Dampak ekonomi dari pengenaan tarif impor oleh negara importir ditunjukkan oleh Gambar 5 dengan menggunakan asumsi-asumsi antara lain (1) hanya ada dua negara yaitu negara A sebagai importir, (2) tarif impor yang dilakukan adalah tarif impor spesifik, dan (3) negara impor adalah negara besar dimana perubahan jumlah impor dapat mempengaruhi harga dunia. P P P S A ES S B P w + t P w P w a b c e d α β 1 2 3 4 D A ED - t Q Q Q q p q p q c q c q e Q c Q c Q p Q p q e (a) Negara Importir (b) Pasar Dunia (c) Negara Eksportir Sumber : Tweeten, 1992 Gambar 5. Dampak Pengenaan Tarif Impor Esensi dari kebijakan tarif impor adalah untuk melindungi produsen domestik. Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui apabila pemerintah memberlakukan kebijakan tarif sebesar t maka menyebabkan biaya impor menjadi lebih tinggi sehingga menggeser kurva ED sejajar ke bawah dengan jarak vertikal sesuai dengan besarnya tarif menjadi ED-t. Kondisi ini menyebabkan harga dunia turun menjadi Pw sedangkan harga impor yang diterima konsumen di negara importir (Gambar 5a) akan meningkat menjadi P w + t. Meningkatnya harga impor ini menyebabkan permintaan konsumen terhadap komoditas yang perdagangkan menjadi turun sebesar q c, sebaliknya produksi domestik akan meningkat sebesar q p. Adanya kebijakan tarif ini membuat volume impor negara importir menjadi turun menjadi q p - q c, sedangkan pada negara eksportir, dengan harga dunia P w ED D B

49 kelebihan penawaran akan turun menjadi Qc -Qp (Gambar 5c). Pada pasar dunia, akan terbentuk keseimbangan baru yaitu pada tingkat harga dunia sebesar P w dan volume perdagangan sebesar q e (Gambar 5b). Pengenaan tarif impor terhadap suatu komoditas menyebabkan kenaikan harga komoditas tersebut sehingga akan menurunkan konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor, dan adanya penerimaan pemerintah dari tarif. Sedangkan di negara eksportir terjadi penurunan harga sehingga menyebabkan berkurangnya volume ekspor. Dampak perubahan kesejahteraan dari adanya pemberlakuan tarif impor dianalisis melalui perubahan-perubahan surplus konsumen dan surplus produsen serta adanya penerimaan pemerintah dari tarif dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Indikator Negara Importir Negara Eksportir Surplus Konsumen (a + b + c + d) 1 Surplus Produsen a (1 + 2 + 3 +4) Penerimaan Pemerintah c + e --- Kesejahteraan nasional bersih e b d (2 + 3 + 4) Kesejahteraan dunia bersih b d 2 4 Berdasarkan pada Tabel 4, terlihat bahwa secara umum pengenaan tarif impor ini akan menurunkan kesejahteraan dunia. Di negara eksportir akan terjadi penurunan kesejahteraan nasional bersih sebesar daerah (2 + 3 + 4) sedangkan di negara importir dampaknya terhadap kesejahteraan nasional sangat ditentukan oleh elastisitas penawaran ekspor. Semakin elastis kurva ES maka daerah (b + d) akan lebih luas dari daerah (e), sehingga secara umum negara importir akan semakin dirugikan dengan adanya tarif impor. Pada Tabel 4 dapat diketahui pula bahwa penurunan tarif impor berarti akan memperkecil penurunan kesejahteraan masyarakat dunia. Konsumen di negara importir akan menerima kenaikan harga yang lebih rendah sedangkan produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih tinggi.

50 3.4.4. Kebijakan Kuota Impor Kuota impor merupakan instrumen pembatasan kuantitas barang yang dapat diimpor dalam kurun waktu tertentu. Kuota impor disebut mengikat (binding) apabila kuantitas impor yang diperbolehkan berada di bawah kuantitas impor yang terjadi dalam perdagangan bebas. Kondisi sebaliknya berlaku untuk kuota impor yang tidak mengikat (non-binding) (Arifin et al., 2007). Kuota impor digunakan oleh negara-negara berkembang untuk melindungi produsen dalam negeri. Kuota impor akan menyebabkan penawaran domestik turun, yang pada gilirannya akan meningkatkan harga domestik. Dampak pemberlakuan kuota impor terhadap mekanisme perdagangan dunia dapat dilihat pada Gambar 6. P S A S A P P P d a P w x P w e b c y d ES 1 2 3 4 S B D A Q q p q p q c q c q e ED q e ED Q D B Q c Q c Q p Q p Q (a) Negara Importir (b) Pasar Dunia (c) Negara Eksportir Sumber : Tweeten, 1992 Gambar 6. Dampak Kuota Impor Pada analisis ini diasumsikan terdapat dua negara yaitu negara A sebagai negara importir dan negara B (atau gabungan beberapa lainnya) sebagai negara eksportir. Negara A juga diasumsikan sebagai negara besar dalam perdagangan. Berdasarkan gambar tersebut keseimbangan mula-mula terjadi pada saat harga dunia sama dengan harga domestik (P) dan jumlah impor dari negara A sebesar q c -q p = q e. Adanya pembatasan impor oleh negara A sebesar q e menyebabkan kurva permintaan impor negara A menjadi kurva patah ED dan berpotongan dengan kurva ES membentuk harga P w. Akan tetapi, pada harga ini di negara A terjadi kelebihan permintaan. Kelebihan permintaan ini akan hilang pada tingkat harga domestik P d yaitu pada perpotongan antara kurva permintaan S A dan kurva

51 penawaran domestik ditambah kuota impor S A, dimana kurva S A sejajar dengan jarak horizontal sebesar kuota yang ditetapkan. Dengan demikian terlihat pembatasan impor akan menyebabkan peningkatan harga domestik di negara A dan harga dunia sehingga volume perdagangan menjadi berkurang. Selanjutnya dengan adanya kebijakan pembatasan volume impor maka kebijakan ini akan berpengaruh pada besarnya kesejahteraan yang dapat diperoleh baik oleh eksportir maupun importir. Perubahan kesejahteraan (surplus) dari Gambar 6 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis Dampak Kebijakan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Indikator Negara Eksportir Negara Importir Surplus Konsumen -(a+b+c+d) 1 Surplus Produsen a -1-2-3-4 Penerimaan Pemerintah (b+e) - Kesejahteraan nasional bersih -(c+d+e) -2-3-4 Kesejahteraan dunia bersih -(c + d + 2 + 4) Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa secara umum dampak dari pemberian kuota impor akan menurunkan kesejahteraan dunia. Secara keseluruhan kebijakan kuota impor akan menyebabkan terjadinya penurunan kesejahteraan dunia sebesar daerah (c + d + 2 + 4). Distorsi perdagangan internasional yang telah dipaparkan dalam penelitian ini difokuskan pada kebijakan distorsi perdagangan di Indonesia sebagai negara pengimpor gula yaitu berupa pemberlakukan tarif impor dan kuota impor.

52

53 IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS 4.1. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan rentang waktu penelitian tahun 1981-2010. Periode dengan rentang waktu yang panjang ini dilakukan dengan harapan agar dapat memberikan performance yang lebih memuaskan. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari instansi-instansi terkait dengan tema penulisan tesis ini seperti Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan Republik Indonesia, Dewan Gula Indonesia (DGI), dan Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk kelengkapan serta penyesuaian data juga dilakukan pengumpulan data dari beberapa publikasi seperti Food Agricultural Organization (FAO), World Bank (WB), United States Development of Agricultural (USDA), dan International Monetary Fund (IMF). Sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut, semua variabel dalam bentuk nominal diriilkan terlebih dahulu, termasuk untuk Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tukar, dan suku bunga Bank Indonesia (BI). Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan program komputer yaitu SAS 9.1 for Windows. 4.2. Spesifikasi Model Perdagangan Gula Indonesia Model merupakan suatu abstraksi atau penyederhanaan dari fenomena yang ada di dunia nyata. Melalui penyederhanaan ini idealnya yang dimunculkan adalah komponen-komponen penting dari fenomena yang sesungguhnya diamati, sehingga kita dapat menduga secara akurat atau mendekati kondisi dan perilaku fenomena tersebut. Salah satu model pendekatan kuantitatif yang sering digunakan untuk analisis masalah ekonomi adalah model ekonometrika (Hallam, 1990). Model ekonometrika adalah suatu model statistik yang menghubungkan variabel-variabel ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang mencakup unsur stochastic yang terdiri dari satu atau lebih variabel penganggu (Intriligator, 1978).

54 54 SHS Keterangan : = variabel endogen = variabel eksogen = faktor konstanta SHS Gambar 7. Diagram Keterkaitan Variabel dalam Model Perdagangan Gula Indonesia