BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 (Amandemen 4) bahwa setiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

Bagaimana? Apa? Mengapa?

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki kekurangsempurnaan baik dalam segi

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. (verbal communication) dan komunikasi nonverbal (non verbal communication).

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

Implementasi Komunikasi Instruksional Guru dalam Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus di SLB-C1 Dharma Rena Ring Putra I Yogyakarta Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN. realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaan. (educational for all) yang tidak diskriminatif.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. memaksa manusia untuk berkomunikasi. Komunikasi juga merupakan hal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan proses-proses sosial di dalam masyarakat (Bungin 2006: 48). Dalam lembaga

Bagaimana Cara Guru Matematika Meningkatkan Kecakapan Mengenal Diri Sendiri Para Siswa? Fadjar Shadiq

BAB I PENDAHULUAN. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengenyam pendidikan. Negara harus adil dalam mendistribusikan layanan

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki tingkat intelektual yang berbeda. Menurut Eddy,

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. lembaga-lembaga kemasyarakatan. Kelompok-kelompok ini biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Guru adalah orang yang memiliki kemampuan merencanakan program

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. yang dituangkan melalui instrumen atau suara dengan unsur dasar melodi,

Implementasi Program Nawacita dalam Bidang Pendidikan untuk. Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa. Negeri 1 Bantul Tahun 2017

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 0486/UI/1992 tentang Taman Kanak-

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kelancaran proses pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia kearah

Karakteristik Anak Usia Sekolah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan pada umumnya adalah upaya membantu peserta. didik dalam merealisasikan berbagai potensi atau kemampuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkembang secara normal. Orang tua pun akan merasa senang dan bahagia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki perilaku, sikap dan mengkokohkan kepribadian. Dalam

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN TATA BUSANA PADA ANAK TUNARUNGU KELAS VII SMPLB DI SLB-B PRIMA BHAKTI MULIA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agama adalah sebagai dasar utama bagi umat muslim dan pondasi

BAB I PENDAHULUAN PENERAPAN METODE MONTESSORI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PENGURANGAN PADA PESERTA DIDIK TUNARUNGU KELAS I SDLB

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pekerjaan merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan stress. Banyak

KEGIATAN BERMAIN KEYBOARD ANAK SLOW LEARNER DI SEKOLAH INKLUSIF SD 1 TRIRENGGO BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015

PENDIDIKAN SISWA BERKEBUTUAN KHUSUS. Kuliah 1 Adriatik Ivanti, M.Psi

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus merupakan individu yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Perbedaannya hanya mereka membutuhkan metode dan kesabaran yang tinggi dalam mengurus dan mendidiknya. Anak berkebutuhan khusus dilingkungan masyarakat sendiri jumlahnya tidak sedikit. Tidak terlalu berbeda dengan anak normal lainnya, namun anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami oleh anak tersebut. Menurut IDEA (Indviduals with Disabilities Education Act Amandements) dalam Desiningrum, (: 7) anak berkebutuhan khusus memiliki klasifikasi yang dibagi menjadi 3 yaitu anak dengan gangguan fisik, anak dengan gangguan emosi dan perilaku serta anak dengan gangguan intelektual. Anak dengan gangguan fisik diantaranya adalah anak tunanetra, anak tunarungu dan anak tunadaksa sementara anak dengan gangguan gangguan emosi dan perilaku adalah anak tunalaras, anak tunawicara dan hiperaktif. Anak tunagrahita, slow learner, anak indigo dan anak Autisme termasuk kedalam klasifikasi anak dengan gangguan intelektual. Setiap klasifikasi tersebut memiliki metode dan cara tersendiri untuk menangani kekurangan dan kebutuhan kebutuhan khususnya. Anak tunagrahita termasuk ke dalam klasifikasi anak dengan gangguan kemampuan intelektual. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata rata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective dan lain lain (Somantri, 2015: 103). Tunagrahita memiliki keterbatasan dalam hal intelegensi, keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi fungsi mental lainnya. Tunagrahita sendiri memiliki pembagiannya lagi yaitu, tunagrahita ringan, sedang dan berat yang diklasifikasikan dengan taraf intelegensinya (Somantri, 2012: 106). Selain intelegensinya rendah anak 1

tunagrahita juga sulit menyesuaikan diri dan berkembang. Sebelum muncul tes formal untuk menilai kecerdasan, anak tunagrahita dianggap sebagai orang yang tidak dapat menguasai keahlian yang sesuai dengan umurnya dan tidak merawat dirinya sendiri. Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011, terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin tercatat 30.460 anak mengalami tunagrahita atau sulit menangkap informasi dan mengerti sesuatu dikarenakan kemampuan intelegnsinya. (Sumber: http://www.unicef.org/indonesia/id/sowc_bahasa.pdf) Tunagrahita sendiri terbagi kedalam beberapa penamaan disabilitas seperti kesulitan belajar, gangguan belajar, down syndrome, autis dan ADHD (Attention Deficit Hypercative Disorder). Dari klasifikasi tersebut, anak down syndrome adalah anak yang mengalami kesulitan dalam mengemukakan pendapat dan berkomunikasi dengan baik dikarenakan kesulitas fokus dan menghapal tentang seseorang atau sebuah benda. (Somantri: 2012: 108). Penamaan disabilitas tersebut terbagi kedalam beberapa kalsifikasi anak tunagrahita. Down syndrome atau biasa disebut dengan Sindroma Down adalah sebuah kelainan termasuk ke dalam disabilitas tunagrahita. Down Syndrome adalah kelainan yang ditemukan oleh Dr. John Langdon Down pada tahun 1866 atau biasa disebut dengan Sindroma Down atau trisomy 21 merupakan kelainan yang menyebabkan penderita mengalami keterlambatan dalam pertumbuhannya (lambat dalam berbicara, duduk dan jalan), kecacatan dalam bentuk fisik (bentuk kepala yang datar, hidung pesek) dan kelemahan fisik (mudah lelah dan mudah sakit) serta memiliki IQ yang relatif rendah dibandingkan dengan orang normal pada umumnya. IQ anak down syndrome dalam di kategorikan dalam 25 70. Kelainan ini diakibatkan kromoson 21 berjumlah 3 sedangkan pada orang normal hanya 2. (Gunarhadi, 2005:19). Anak down syndrome tidak seperti anak normal lainnya memiliki metode tersendiri untuk melatih dan mengasah kemampuan yang dimilikinya dikarenakan keterbatasan perkembangan otak dan mentalnya. Kekurangan yang dimiliki oleh anak down syndrome sendiri adalah kapasitas belajar yang terbatas, kemampuan sosial yang masih rendah, emosi yang masih kurang stabil dan lemahnya motivasi yang dimiliki, 2

fungsi mental yang kurang dalam memusatkan perhatian, dan fisik dan dan perkembangannya tidak secepat perkembangan anak normal. (Gunarhadi, 2005: 196). Rata rata anak down syndrome terlalu bergantung hidup kepada orang lain dan kurang mandiri dalam segala kegiatan di hidupnya. Sesuai dengan pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti anak down syndrome memiliki klasifikasi Mental Age nya tersendiri dan memiliki kesulitan dalam melakukan sesuatu yang hanya sekali dilakukan. Konsep rutinitas adalah hal yang diperlukan oleh anak down syndrome. Selain itu, anak down syndrome juga memiliki kemandirian yang rendah dalam menyelamatkan diri mereka dari bersosialisasi di lingkungan sosialnya dan mengerjakan hal hal yang membutuhkan kemandirian untuk dikerjakan sehari hari. Fakta bahwa anak down syndrome memiliki kelemahan dalam hidup secara mandiri dan kurangnya kemampuan untuk mengurus diri menghasilakn ketergantungan yang terlalu berlebih kepada orang tua dan lingkungan terdekat disekitarnya. Maka dari itu, orang tua berperan sebagai pelatih kecakapan hidup bagi anak down syndrome. Namun, seringkali pelatihan yang diberikan oleh orang tua tidak sesuai dengan standar dan metode yang seharusnya. Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah menerapkan kegiatan pembelajaran life skills yang diwajibkan bagi seluruh sekolah formal dan sekolah non formal di Indonesaia dibagi menjadi 5 kegiatan pembelajaran kegiatan life skills (Depdiknas, 2002) dalam Gunarhadi (2005: 185). Kegiatan pembelajaran life skills itu ada kecakapan mengenal diri (self-awareness), kecakapan berpikir rasional (rational thinking skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic skill) dan kecakapan vokasional (vocational skill). Life skills disini diartikan sebagai keberanian dan kemauan yang dimiliki oleh anak dalam menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhir mampu mengatasinya (Gunarhadi, 2005: 185). Pengembangan kecakapan hidup ini atau biasa disebut dengan life skills di lingkungan keluarga maupun lingkungan formal yang dirasa mampu memberikan 3

pembelajaran yang terpadu dan kegiatannya sederhana namun bervariasi dan sesederhana mungkin yang disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangan masing masing. Kegiatan pembelajaran bagi anak down syndrome yang termasuk ke dalam anak tunagrahita di SLB dilakukan dengan fokus dan terpadu menyesuaikan dengan kekurangan mereka. Hambatan anak down syndrome sendiri memiliki beberapa hambatan perhatian, hambatan ingatan (memory), hambatan bahasa, dan hambatan akademis. Hambatan hambatan tersebut sangat mempengaruhi cara anak down syndrome dalam berkomunikasi dan menangkap informasi lewat kegiatan pembelajaran life skills. Anak down syndrome umumnya mampu ditingkatkan peningkatan IQ dan kognitifnya dengan stimulasi dan kegiatan pembelajaran yang diarahka. Stimulasi dan kegiatan pembelajaran komunikasi yang baik mampu meningkatkan kecerdasan anak down syndrome. (Gunarhadi: 2005: 93) Kondisi fisik anak down syndrome juga merupakan hambatan utama dalam penerimaan dan pengiriman pesan anak down syndrome. Menurut Somantri (2012: 105) Aspek intelegensi anak down syndrome yang terhambat adalah yang bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian hubungan, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian serta berpikir abstrak adalah kesulitan yang didapatkan dalam kegiatan pembelajaran bagi anak down syndrome. Kemampuan komunikasi yang terbatas dari anak down syndrome adalah dalam menerima informasi dengan informasi jarak jauh karena kemampuan pendengaran yang kurang, sulitnya anak down syndrome dalam memikirkan hal hal yang abstrak tanpa alat pembelajaran yang konkrit dalam hal pengulangan antara perbedaan dan persamaan, dan sulitnya dalam menarik kesimpulan dari komunikasi yang diberikan yang guru. Menurut Ibu Lina saat peneliti melakukan pra penelitian anak down syndrome juga sulit jika tidak ada aspek kedekatan dan kasih sayang serta hubungan erat yang ditawarkan oleh guru di lingkungan sekolahnya. Anak down syndrome juga mengalami kesulitan saat menjadi komunikan karena mengalami kesulitan dalam artikulasi karena perkembangan fisiknya, pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana sebagaimana 4

mestinya. Karena alasan itu, mereka membutuhkan kata kata konkrit yang sering didengarnya dan pengulangan yang terus menerus (Somantri, 2012: 112). Dengan kekurangan yang dimiliki dalam hal komunikasi tersebut membuat anak down syndrome harus melakukan pendekatan dengan komunikasi secara interpersonal. Menurut DeVito (1989) komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera (Effendy, 2003:30). Pendekatan melalui komunikasi interpersonal dianggap mampu meningkatkan keinginan anak down syndrome dalam terbuka kepada guru dan memberikan gagasan karena jenis komunikasi ini dua arah. Komunikasi interpersonal juga memiliki tujuan yang sesuai dengan kesulitan komunikasi anak down syndrome yaitu tujuan mengungkapkan perhatian kepada orang lain, mempengaruhi sikap dan tingkah laku dan memberikan bantuan bagi anak down syndrome dalam melakukan pembelajaran di SLB. Komunikasi interpersonal pada hakikatnya adalah suatu proses. Kata lain dari proses, ada yang menyebut sebagai sebuah transaksi dan interaksi. Transaksi mengenai apa? Mengenai gagasan, ide, pesan, simbol, informasi, atau message. Sedangkan istilah interaksi mengesankan adanya suatu tindakan yang berbalasan. Dengan kata lain suatu proses hubungan yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi (Aw, 2011: 5). Komunikasi yang diberikan kepada anak down syndrome cenderung bersifat dua arah dan melakukan pendekatan dengan terus menerus dibandingkan komunikasi instruksional dimana guru hanya memberikan komunikasi dan tidak memberikan peran kepada anak untuk membangun hubungan personal dengan guru. Komunikasi interpersonal berperan dalam membangun jati diri seseorang, maka peran guru bukan sekedar mengajar, melainkan juga bagaimana menjalin kualitas komunikasi yang baik dengan anak down syndrome. Oleh karena itu, peran guru khususnya sebagai pengajar di sekolah luar biasa, yang siswanya memiliki keterbatasan, harus memikirkan bentuk komunikasi yang efektif agar pesan yang disampaikan tepat sasaran dan memiliki respon (feedback) yang bisa berdampak pada pembelajaran life skills yang dirasa mampu meningkatkan kemandirian dan 5

berkurangnya ketergantungan hidup anak down syndrome dari keluarga maupun lingkungan terdekatnya. Jika kegiatan pembelajaran life skill ini berhasil, tidak hanya mereka mampu mandiri untuk menolong diri sendiri dikemudian hari namun juga mampu meraih prestasi sesuai dengan bakatnya. Seperti pada 2011, Stephanie Handojo (24) anak down syndrome peraih medali emas cabang olahraga renang di ajang Special Olympics World Summer Games di Athena, Yunani, untuk nomor 50 meter gaya dada. Kompetisi ini diperuntukkan bagi ABK. (Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read//02/14/09362021/stephanie.handojo.penya ndang.down.syndrome.berprestasi.dunia) Membuktikan bahwa konsistensi pendekatan dan kegiatan pembelajaran life skills yang menyesuaikan metode dan terpadu mampu mengasah bakat dari anak down syndrome tersebut. Anak down syndrome tetap mendapatkan hak untuk mengenyam pendidikan formal dan mendapatkan kegiatan pembelajaran life skill. Meskipun anak down syndrome memiliki keterbatasan, tetapi mereka tetap bersemangat dalam mengenyam pendidikan. Anak down syndrome umumnya bersekolah di Sekolah Luar Biasa klasifikasi C yaitu sekolah yang dikhususkan bagi para penyandang tunagrahita. Mengacu kepada Permendiknas No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus No.1 Pengelompokan siswa adalah bagian A untuk siswa Tunanetra, bagian B untuk siswa Tunarungu, bagian C untuk siswa Tuangrahita ringan, Bagian C1 untuk siswa Tunagrahita sedang, Bagian D untuk siswa Tunadaksa, bagian D1 untuk siswa Tunadaksa. Sedangkan E adalah untuk anak Tunalaras (Sumber: http://www.slbn-sragen.sch.id/2011/05/03/pendidikan-bagi-anakberkebutuhan-khusus/) Pusat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Bandung di tahun 2015 terdapat 6 SLB-C yang terdapat di Bandung. SLB-C Sukapura merupakan salah satu sekolah inklusi yang berfokus kepada anak penyandang tunagrahita. (Sumber: https://ppid.bandung.go.id/data-slb-bandung) Terdapat 11 orang anak down syndrome yang mengenyam pendidikan di SLB-C Sukapura yang mendapatkan pelatihan berfokus kepada bina diri dan sosialisasi. 6

Peneliti memillih SLB C Sukapura karena memiliki jumlah anak Down Syndrome yang sesuai dengan klasifikasi dengan yang dibutuhkan peneliti. Menurut data yang dihimpun oleh peneliti, SLB C Sukapura memiliki anak down syndrome dengan jumlah yang cukup dan juga mampu bersosialiasai dan mampu latih sehingga memudahkan dalam pengambilan data dari sudut pandang anak down syndrome, SLB C ini fokus menangani anak anak tunagrahita yang hanya terdapat 6 sekolah klasifikasi C di Bandung, dan SLB C Sukapura memiliki visi dan misi untuk menumbuh kembangkan life skills anak terlebih dahulu dan menomor duakan edukasi akademik sesuai dengan yang tercantum didalam Visi dan Misi SLB C Sukapura Bandung. Kegiatan life skill seperti yang diungkapkan oleh salah satu guru di SLB C Sukapura Bandung pada saat peneliti melakukan tahap pra penelitian, menurut Ibu Lina adalah: Kami memang sangat berfokus pada life skill terlebih dahulu baru yang lain untuk anak down syndrome, apalagi yang umurnya masih dibawah 20 tahun, kami fokus kepada life skill mereka (wawancara dengan Ibu Lina) Kegiatan pembelajaran dan kurikulum terpadu mengenai life skills yang menyesuaikan anak penyandang tunagrahita, serta background pendidikan dan pekerjaan orang tua anak down syndrome disini membutuhkan bantuan guru dan pusat informasi terbanyak mengenai perkembangan anaknya adalah lewat guru di sekolahnya selain itu, didalam sekolah ini terdapat pembinaan terpadu bagi anak down syndrome dan anak autis serta penderita tunagrahita lainnya. Selain pendidikan akademik yang dibutuhkan SLB C Sukapura menyediakan pelayanan rehabilitasi media yang terdiri dari terapi wicara, fisioterapi dan terapi terapi yang dibutuhkan oleh anak anak penyandang tunagrahita khususnya down syndrome. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merumuskan masalah yaitu Analisis Proses Komunikasi Interpersonal Guru dan Anak Down Syndrome dalam Kegiatan Pembelajaran Life Skills 7

1.2 Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada komunikasi interpersonal fokus penelitian dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Proses Komunikasi Interpersonal Guru dan Anak Down Syndrome? 2. Bagaimana Komunikasi Interpersonal pada Pembelajaran Life Skills guru dan Anak Down Syndrome? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan keilmuan dan manfaat praktis dari masalah yang diteliti, maka tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mengetahui proses komunikasi interpersonal antara guru dan anak down syndrome dalam kegiatan pembelajaran life skills. 2. Mengetahui Komunikasi Interpersonal pada Pembelajaran Life Skills guru dan Anak Down Syndrome. 2.4 Manfaat Penelitian Adapun penelitian ini diharapkan memberi banyak manfaat dalam bidang akademis dan bidang praktis: 1.4.1 Bidang Teoritis Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah dan masukan bagi para pengembangannya ilmu komunikasi dan komunikasi interpersonal manusia pada umumnya. 1.4.2 Bidang Praktis Bidang pendidikan: Sebagai saran dalam memberikan fasilitas layanan penidikan melalui penerapan dan apa yang diinginkan oleh anak down syndrome mampu terinterpretasi dengan baik oleh guru dan tenaga pengajar. 1. Sekolah dan guru: Kemampuan guru untuk mengerti yang dimaksudkan oleh siswa dan kemudahan siswa untuk berkomunikasi 8

dengan guru sehingga tidak ada kesalahan interpretasi dan mampu meningkatkan keahlian sang guru dalam menerapkan komunikasi interpersonal kepada anak down syndrome di Sekolah Luar Biasa umumnya dan Sekolah Inklusi khususnya. 2. Peneliti sendiri: Pengalaman berharga sehingga dapat selalu bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan, menambah banyak wawasan bagi peneliti karena adik kandung dari peneliti sendiri adalah anak penyandang down syndrome, sehingga ilmu yang didapatkan mampu memberikan informasi yang berguna bagi perkembangan anak-anak down syndrome. 2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian 2.5.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa klasifikasi C di Jl. PSM Perumahan Bumi Asri Kiacacondong Bandung 40285. 2.5.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian di lapangan dilaksanakan mulai bulan Agustus Januari 2017. Rinciannya dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1 Periode Penelitian Bulan No. Tahapan Agustus September Oktober November Desember Januari 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Persiapan penyusunan proposal skripsi BAB I sampai BAB III dan Pra Penelitian 9

2. Pengumpulan data dari observasi awal dan pendekatan dengan anak anak down syndrome 3. Pengumpulan data dari wawancara mendalam 4. Analisis data berdasarkan indikator yang telah ditentukan 5. Penyelesaian data meliputi kesimpulan dan saran Sumber: Olahan Peneliti, 10