BAB II DASAR TEORI 2.1 Aplikasi Backfill di PT Antam Tbk UBPE Pongkor

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Uji Pengendapan dengan Variasi Konsentrasi Koagulan dan Variasi Konsentrasi Flokulan

PRAKTIKUM OPERASI TEKNIK KIMIA I SEDIMENTASI

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN

Laporan Praktikum Teknik Kimia I Sedimentasi

PEMISAHAN MEKANIS (mechanical separations)

KLASIFIKASI PADATAN MENGGUNAKAN ALIRAN FLUIDA

MODUL 1.06 SEDIMENTASI

I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan

Coagulation. Nur Istianah, ST,MT,M.Eng

HUKUM STOKES. sekon (Pa.s). Fluida memiliki sifat-sifat sebagai berikut.

Pengaruh Koagulan dan Flokulan Terhadap Pengendapan di Dalam Thickener Untuk Pemanfaatan Tailing di PT Antam Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor

Laporan Khusus Laboratorium Opersi Teknik Kimia I SEDIMENTASI. Disusun oleh: ZAKIATUL FITRI

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1. 2 Tujuan Percobaan

Teori Koagulasi-Flokulasi

Koagulasi Flokulasi. Shinta Rosalia Dewi 9/25/2012 1

PROSES PENGOLAHAN AIR LIMBAH PADA IPAL INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT BTIK LIK MAGETAN

PENGARUH WAKTU TINGGAL CAIRAN TERHADAP PENURUNAN KEKERUHAN DALAM AIR PADA REAKTOR ELEKTROKOAGULASI. Satriananda 1 ABSTRAK

PRE-ELIMINARY PRIMARY WASTEWATER TREATMENT (PENGOLAHAN PENDAHULUAN DAN PERTAMA)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Air Secara Umum Air adalah suatu senyawa hidrogen dan oksigen dengan rumusan kimia H 2 O.

PENGARUH PENAMBAHAN BITTERN PADA LIMBAH CAIR DARI PROSES PENCUCIAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengendapan Timbal Balik Sol Hidrofob

PENENTUAN KAPASITAS UNIT SEDIMENTASI BERDASARKAN TIPE HINDERED ZONE SETTLING

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MODUL PRAKTIKUM MEKANIKA FLUIDA

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mutu air adalah kadar air yang diperbolehkan dalam zat yang akan

Supernatan yang dihasilkan dari thickener ini (di zone of clear liquid) masih mempunyai nilai BOD yang besar, karena itu air dikembalikan ke unit

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

ALIRAN FLUIDA. Kode Mata Kuliah : Oleh MARYUDI, S.T., M.T., Ph.D Irma Atika Sari, S.T., M.Eng

Oleh: Rizqi Amalia ( ) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc

Teknik Bioseparasi. Dina Wahyu. Genap/ March 2014

BAB I PENDAHULUAN. bahan-bahan yang ada dialam. Guna memenuhi berbagai macam kebutuhan

PERANCANGAN INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

Proses Pengolahan Air Minum dengan Sedimentasi

SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLING FILM EVAPORATOR DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 L atar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK PERCOBAAN H-3 SOL LIOFIL

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisa aliran berkembang..., Iwan Yudi Karyono, FT UI, 2008

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR SUNGAI

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Warna dan Zat Organik

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin tinggi dan peningkatan jumlah industri di Indonesia.

Laporan Praktikum Operasi Teknik Kimia I Efflux Time BAB I PENDAHULUAN

KARAKTERISTIKA ALIRAN DAN BUTIR SEDIMEN

Perancangan Instalasi Unit Utilitas Kebutuhan Air pada Industri dengan Bahan Baku Air Sungai

a. Pengertian leaching

PEMBAHASAN. I. Definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam

BAB II LANDASAN TEORI

MIKROMERITIK. Dhadhang Wahyu Kurniawan Laboratorium Farmasetika Unsoed Twitter: Dhadhang_WK Facebook: Dhadhang Wahyu Kurniawan 6/19/2013

LABORATORIUM PERLAKUAN MEKANIK

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

MODUL KULIAH : MEKANIKA FLUIDA DAN HIROLIKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DESAIN KOLAM PENGENDAPAN

LABORATORIUM PERLAKUAN MEKANIK

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA I VISKOSITAS CAIRAN BERBAGAI LARUTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

KAJIAN PEMANFAATAN LIMBAH PENAMBANGAN EMAS (STUDI KASUS: PEMANFAATAN TAILING DI PT. ANTAM UBPE PONGKOR)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

VI. DASAR PERANCANGAN BIOREAKTOR. Kompetensi: Setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat membuat dasar rancangan bioproses skala laboratorium

Rumus bilangan Reynolds umumnya diberikan sebagai berikut:

Aliran Fluida. Konsep Dasar

PROSES RECOVERY LOGAM Chrom DARI LIMBAH ELEKTROPLATING

SEMINAR AKHIR. Mahasiswa Yantri Novia Pramitasari Dosen Pembimbing Alfan Purnomo, ST. MT.

BAB 3 METODE PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PEMBUATAN TAWAS DARI ALUMINIUM

FISIKA DASR MAKALAH HUKUM STOKES

PENGARUH ph PADA PROSES KOAGULASI DENGAN KOAGULAN ALUMINUM SULFAT DAN FERRI KLORIDA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FORMULIR FORMAT SAMPUL MUKA LAPORAN PENGABDIAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR ASAM BASA PT. BIOTECH SURINDO. Disusun Oleh: Tony Handoko, ST, MT

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 3 SEDIMENTASI. Sedimentasi adalah pemisahan solid-liquid menggunakan pengendapan secara

Minggu 1 Tekanan Hidrolika (Hydraulic Pressure)

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

DAFTAR ISI. Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PENGESAHAN PRAKATA DEDIKASI RIWAYAT HIDUP PENULIS ABSTRACT

Optimasi Penggunaan Koagulan Pada Pengolahan Air Limbah Batubara

MAKALAH FLUID MIXING CLARIFIER TANK PADA PT.HINDOLI

FIsika KTSP & K-13 FLUIDA STATIS. K e l a s. A. Fluida

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. air dapat berasal dari limbah terpusat (point sources), seperti: limbah industri,

BAB VIII PEMISAHAN PADAT - CAIR

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

PENGARUH PENCAMPURAN TERHADAP REAKSI HIDROLISA AlCl 3

SEMINAR TUGAS AKHIR APLIKASI ELEKTROKOAGULASI PASANGAN ELEKTRODA BESI UNTUK PENGOLAHAN AIR DENGAN SISTEM KONTINYU. Surabaya, 12 Juli 2010

TUGAS MANAJEMEN LABORATORIUM PENANGANAN LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN LUMPUR AKTIF DAN LUMPUR AKTIF

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nurul Faqih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. PT Antam (Persero) Tbk. UBPE (Unit Bisnis Pertambangan Emas) Pongkor

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI 2.1 Aplikasi Backfill di PT Antam Tbk UBPE Pongkor Dalam operasi penambangannya, PT Antam Tbk UBPE Pongkor menggunakan metoda penambangan cut and fill. Material pengisi (filling material) untuk mengisi kembali area yang telah ditambang adalah slurry tailing sisa pengolahan bijih emas. Slurry tailing sisa pengolahan bijih emas ini terlebih dahulu diencerkan di unit backfill dam. Kemudian dipisahkan padatan dan airnya di unit thickener backfill seperti terlihat dalam Gambar 2.1. Agar prosesnya sempurna dan cepat, maka dilakukan penambahan zat penggumpal koagulan dan flokulan. Underflow slurry yang dihasilkan kemudian ditambahkan semen dan zat additif untuk meningkatkan kohesi di lokasi semen silo. Setelah itu material pengisi dipompa menuju lombong dan dilakukan penambahan batuan sisa agar didapat sebuah permukaan efektif yang dapat dilalui oleh manusia dalam waktu beberapa hari dan dapat dilalui oleh alat berat dalam waktu satu minggu atau lebih. Batuan sisa yang tidak terpakai biasanya dibuang sementara ke dalam lombong, untuk kemudian digunakan. Diagram alir proses backfilling ini dapat dilihat di Lampiran I. Gambar 2.1 Gambar Skematik Thickener (Siemens PLM Software) Bab II Dasar Teori 8

Sistem pemisahan antara padatan dan air dengan penambahan koagulan dan flokulan dalam unit thickener dapat dilihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Sistem Pemisahan Antara Padatan dan Air dengan Penambahan Koagulan dan Flokulan dalam Unit Thickener 2.2 Definisi Thickener Thickener adalah sebuah alat berupa tangki besar dengan dasar berbentuk kerucut yang berfungsi untuk mengentalkan (thickening) slurry pada underflow dan menghasilkan overflow yang lebih jernih. Feed untuk thickener berupa slurry encer dimasukkan melalui bagian tengah (center well). Di dalam thickener terjadi pemisahan solid-liquid berdasarkan pengendapan gravitasi yaitu partikel padatan slurry akan turun dan mengendap ke dasar sedangkan cairannya naik ke permukaan. Untuk mempercepat proses pengendapan dan mendapatkan air limpahan yang jernih, pada thickener ditambahkan flokulan dan koagulan. Komponen-komponen thickener dan skematik aliran slurry di dalamnya dapat dilihat di Lampiran G. Gaya yang memisahkan antara solid dengan liquid pada thickener ada dua, yaitu: 1. Gravitasi Partikel mengendap ke bawah oleh gaya berat. Bab II Dasar Teori 9

2. Gaya apung (partikel naik ke atas) Volume umpan yang masuk ke thickener lebih besar daripada slurry yang keluar melalui underflow sehingga air akan naik dan meluap ke saluran overflow. Gaya mengapung tergantung pada volume atau banyaknya bijih yang masuk ke thickener relatif terhadap ukuran thickener. Jika padatan yang masuk ke thickener lebih banyak daripada yang keluar dari underflow, akan mengakibatkan bed level naik bahkan akan meluap jika tidak segera ditangani. Sebaliknya, jika padatan yang keluar dari underflow lebih banyak daripada yang masuk ke thickener, maka bed level-nya akan turun dan bahkan underflow-nya menjadi encer di bawah setpoint kekentalan yang ditentukan. 2.3 Sedimentasi dan Aglomerasi Partikel Sedimentasi adalah pemisahan partikel padat dari suatu cairan dengan memanfaatkan gaya gravitasi (Kelly dan Spottiswood, 1982). Padatan yang diperoleh masih berupa pulp dengan konsentrasi padatan yang lebih tinggi dari keadaan semula, sedangkan air limpahan diharapkan dalam keadaan yang jernih. Proses ini dikenal sebagai proses pengentalan (thickening). Umumnya proses sedimentasi berlangsung secara kontinyu dengan menggunakan thickener. Sedangkan proses sedimentasi dalam penelitian berlangsung di dalam tabung silinder. 2.3.1 Pengendapan pada Kondisi Free Settling Free settling adalah suatu proses pengendapan partikel padat tunggal di dalam fluida yang stasioner (Sudarsono, 2003). Pada kondisi ini terjadi pengendapan partikel dengan konsentrasi partikel yang relatif rendah di dalam suspensi. Partikel terendapkan sebagai individu-individu yang tidak berinteraksi dengan partikel di sekitarnya. Empat asumsi yang dipakai untuk penyederhanaan proses free settling adalah: Bab II Dasar Teori 10

1. Partikel padat tidak porous, incompressible, dan berbentuk bulat. 2. Fluida bersifat incompressible dan cukup untuk menghilangkan pengaruh dinding. 3. Pada setiap titik di dalam fluida, percepatan gravitasi dianggap seragam. 4. Partikel bergerak bebas, tidak ada interaksi antar partikel. Pada kondisi tunak, kecepatan jatuh maksimum dapat diperoleh dari persamaan: dv m = mg m' g D (2.1) dt dimana: m = massa partikel (g) m = massa fluida yang dipindahkan (g) g = percepatan gravitasi (cm/det 2 ) D dv dt = gaya gesek (dyne) = percepatan partikel Skematik arah gaya-gaya pergerakan partikel di dalam fluida air ditunjukkan dalam Gambar 2.3. D m g mg Gambar 2.3 Arah Gaya-gaya Pergerakan Partikel di Dalam Air Bab II Dasar Teori 11

Untuk aliran turbulen berlaku hukum Newton (Brown, 1951), dimana untuk partikel berbentuk bulat yang luasnya adalah A= πd 2 /4, maka: V m 4 gd( ρs ρl) = 3. Cd. ρl 1/2 (2.2) Untuk aliran laminar atau viscous berlaku hukum Stokes (Brown, 1951) dimana: V m 2 ( ρs ρl) gd = (2.3) 18μ dengan: V m = kecepatan terminal partikel (cm/detik) ρ s = massa jenis partikel (g/cm 3 ) ρ l = massa jenis medium cair (g/cm 3 ) d C d = diameter partikel (cm) = tahanan gesek μ = koefisien viskositas medium cair (cpoise) Besarnya harga C d tergantung pada besarnya bilangan Reynold (Re) untuk setiap kondisi pengendapan. Bilangan Reynold (Re) dirumuskan sebagai: Vm Re. d. ρ = l (2.4) μ Bilangan Reynold menggambarkan kondisi aliran fluida dengan batasan-batasan sebagai berikut: Jika Re < 3, Aliran akan bersifat laminar dan besarnya tahanan gesek hanya dipengaruhi gaya viskositas dan harga C d, dimana: Bab II Dasar Teori 12

24 C d = (2.5) Re Jika 3 < Re < 600, Terjadi transisi dimana gaya viskositas cukup untuk berpengaruh. 18.5 C d = (2.6) 0.6 Re Jika Re > 600 Aliran air bersifat turbulen dimana gaya viskositas dapat diabaikan dan harga C d relatif tetap, yaitu: C = 0.44. (2.7) d 2.3.2 Pengendapan pada Kondisi Hindered Settling Partikel-partikel yang ada di dalam suspensi lumpur berinterferensi satu sama lain sehingga mempengaruhi gerak partikel lainnya dan kecepatan pengendapan partikel berlangsung relatif lebih rendah dibandingkan pada kondisi free settling. Persamaan kecepatan pengendapan partikel di dalam aliran laminar pada kondisi hindered settling (Currie, 1973) dapat ditulis: dimana: V h gd 2 ( ρ ) s ρb = (2.8) 18μ b ρ b = berat jenis lumpur (g/cm 3 ) ρ s = massa jenis partikel (g/cm 3 ) d = diameter partikel (cm) g = percepatan gravitasi (cm/det 2 ) V h = kecepatan terminal hindered settling (cm/det) μ b = koefisien viskositas lumpur (cpoise) Bab II Dasar Teori 13

Pada kondisi hindered settling, selain gaya gravitasi, banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi gerakan partikel, yaitu: 1) Bentuk partikel. 2) Gesekan antar partikel. 3) Gesekan partikel dengan dinding. Dalam keadaan ini, konsentrasi padatan bertambah sehingga partikel tidak bergerak dalam cairan biasa tetapi terjadi di dalam lumpur yang relatif lebih padat. 2.4 Luas Permukaan dan Kedalaman Thickener Pemakaian thickener dalam suatu operasi pengolahan bahan galian bertujuan untuk memisahkan fasa cair dari fasa padat berdasarkan prinsip sedimentasi secara kontinyu. Apabila dapat diasumsikan bahwa keluaran dari suatu thickener terdiri dari overflow yang hanya mengandung air saja (semua padatan terendapkan), maka luas permukaan pengendapan thickener dapat ditentukan dengan prinsip neraca bahan. Gambar 2.4 menunjukkan skema neraca air di dalam thickener. F Q Q U Gambar 2.4 Skema Neraca Air pada Thickener Bab II Dasar Teori 14

Neraca air yang masuk dan keluar thickener (Currie, 1973) adalah sebagai berikut: 1. Air yang masuk ke thickener per jam L W T F = F m3 /jam (2.9) 2. Air yang keluar sebagai underflow per jam L W T F = U m3 /jam (2.10) 3. Air yang keluar dari thickener sebagai overflow yang jernih = Q m 3 /jam (2.11) dimana: Q = volume overflow (tanpa partikel padat) L F = dilusi umpan, dinyatakan sebagai nisbah berat air terhadap berat padatan di dalam umpan L U = dilusi underflow, dinyatakan sebagai nisbah berat air terhadap berat W F T padatan di dalam underflow = berat umpan padat yang masuk ke dalam thickener selama waktu T jam A = luas permukaan (m 2 ) V t = kecepatan pengendapan partikel (m/jam) Jika kondisi tunak tercapai, aliran yang masuk ke thickener sama dengan aliran yang keluar, sehingga: atau, Q m 3 /jam + LU Q = W L WF T L F T ( - ) (m F U m3 /jam = LF W T F m3 /jam (2.12) 3 /jam) (2.13) Bab II Dasar Teori 15

W untuk setiap T A W T F = F ton/jam, karena Q= AV. t, maka: ( L L ) F V t U (m 2 ) (2.14) untuk setiap W F WF A = 24 ton padatan per hari: ( L L ) F V t U (m 2 ) (2.15) Dari persamaan (2.14), kecepatan pengendapan partikel di dalam thickener adalah: V W T F t = ( L L ) F A U (m/jam) (2.16) Kedalaman thickener yang dibutuhkan dalam proses pengendapan adalah: H C TC. Vt.( δ 1) = (m) (2.17) δτ ( 1)( L L ) F U Dimana: T C = waktu yang dibutuhkan agar dilusi endapan lumpur dapat menjadi L U, dihitung pada saat berakhirnya pengendapan bebas (jam) H C = kedalaman thickener (tinggi zona kompresi) (m) δ = berat spesifik umpan padat kering (kg/m 3 ) τ = berat spesifik lumpur rata-rata di zona kompresi (kg/m 3 ) V t = kecepatan pengendapan partikel (m/jam) 2.5 Pengendapan pada Tabung Silinder Proses batch sedimentation di laboratorium dilakukan di dalam suatu tabung silinder. Pada proses sedimentasi akan terbentuk zona-zona yaitu: Bab II Dasar Teori 16

1) Zona A disebut zona supernatant clear liquid 2) Zona B adalah zona lumpur 3) Zona C adalah zona transisi antara B dan D 4) Zona D disebut juga zona endapan padatan terkonsentrasi Gambar skematik keempat zona yang terbentuk untuk distribusi berbagai ukuran partikel dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Proses Batch Sedimentation pada Berbagai Distribusi Ukuran Partikel (Kelly dan Spottiswood, 1982) Bab II Dasar Teori 17

Pada penelitian ini dipakai distribusi ukuran tailing yang relatif kecil dimana proses sedimentasinya ditunjukkan pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 Proses Batch Sedimentation pada Distribusi Ukuran Partikel yang Relatif Kecil (Currie, 1973) Mekanisme pengendapannya adalah sebagai berikut: 1) Saat awal sedimentasi, konsentrasi padatan sepanjang tabung silinder relatif seragam. Setelah sedimentasi dimulai, kondisi tunak segera tercapai dan semua partikel telah mencapai kecepatan terminal. Pada kondisi ini sedimentasi berlangsung secara free settling. 2) Selama antar muka A-B dan B-D jaraknya terpisah cukup jauh, pengendapan dalam zona B berlangsung secara free settling dan partikelpartikel mengendap dengan kecepatan terminal V m maksimum. Tetapi setelah beberapa saat, konsentrasi padatan dalam zona B mulai meningkat dan laju pengendapan mulai menurun. Pada bagian dasar tabung akan terbentuk lumpur padat (sludge) sehingga laju pengendapan menurun Bab II Dasar Teori 18

secara kontinyu. Selama itu, massa jenis dan viskositas suspensi di sekitar partikel yang bergerak ke bawah akan semakin tinggi yang menyebabkan V m turun drastis. Kecepatan terminal V m akan terus menurun sampai pada suatu titik transisi dimana kondisi free settling tidak lagi berlangsung dan selanjutnya pengendapan terjadi dengan kondisi hindered settling. 3) Setelah lumpur menjadi pulp yang kental (zona D) maka zona B akan hilang dan proses sedimentasi akan berubah menjadi proses pemadatan secara perlahan di zona D. Secara umum, kurva ketinggian zona-zona yang terbentuk pada batch sedimentation terhadap waktu ditunjukkan pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Kurva Ketinggian Zona-zona yang Terbentuk pada Batch Sedimentation Terhadap Waktu (Currie, 1973) Bab II Dasar Teori 19

Laju sedimentasi dalam kondisi free settling dapat dipercepat dengan penambahan zat aditif seperti koagulan dan flokulan (penggumpal). Jika penggumpalan yang terjadi cukup sempurna (proporsional), maka garis batas yang tajam akan selalu tampak antara zona A yang berupa cairan bersih dan zona B yang berupa lumpur. Jika penggumpalan tidak sempurna, maka garis pemisah antara zona A dan zona B tidak terlalu tajam (tidak terlalu jelas) dan air limpahan (supernatant liquid) akan keruh. 2.6 Mekanisme Koagulasi dan Flokulasi Untuk mempercepat proses sedimentasi, diperlukan penambahan bahan penggumpal koagulan dan flokulan yang akan menimbulkan koagulasi dan flokulasi. Koagulasi adalah proses penggumpalan partikel-partikel halus menjadi partikel kecil sehingga menjadi lebih berat dan mudah mengendap dengan bantuan bahan kimia. Bahan/reagen kimia yang membantu proses koagulasi disebut koagulan. Flokulasi adalah proses penggumpalan partikel-partikel kecil menjadi flok (flocs) sehingga mempercepat pengendapan. Bahan/reagen kimia yang membantu proses flokulasi disebut flokulan. Gambar 2.8 menunjukkan berbagai ukuran padatan dalam fluida air. Gambar 2.8 Variasi Ukuran Padatan dalam Media Air (Modul Pelatihan Koagulasi dan Flokulasi, 2008) Bab II Dasar Teori 20

2.6.1 Koagulasi Partikel koloid dan suspensi tidak dapat langsung mengendap karena ukurannya yang halus. Hal ini disebabkan oleh total interaksi antar partikel dalam slurry, yaitu: 1. Gaya tarik-menarik London-Van Der Waals, yaitu gaya tarik-menarik antara dua partikel yang memiliki massa. Ikatan ini sangat lemah dan hanya efektif ketika kedua partikel berada pada jarak yang sangat dekat sehingga partikel-partikel tersuspensi dapat menggumpal apabila saling berdekatan. 2. Gaya tolak-menolak akibat muatan listrik pada permukaan partikel. Partikel-partikel dalam slurry memiliki muatan listrik pada permukaannya, yang jenis muatannya tergantung dari sifat permukaan partikel dan media fluidanya. Secara umum, partikel suspensi dalam air pada ph lebih besar dari 4 memiliki muatan negatif. Gaya tolak akibat muatan sejenis ini menghalangi partikel-partikel suspensi untuk saling mendekat sampai jarak efektif untuk dapat berikatan Van Der Waals. Akibatnya, partikel tidak dapat menggumpal dan menjadi stabil dalam suspensi. Sifat listrik ini sangat kuat untuk partikel yang berukuran sangat halus, dimana rasio luas permukaan terhadap berat partikel semakin besar sehingga total muatan per berat juga semakin besar. Skematik gaya tolak-menolak akibat muatan listrik ini dapat dilihat pada Gambar 2.9. Bab II Dasar Teori 21

Gambar 2.9 Gaya Tolak-menolak Antar Partikel Bermuatan Negatif (Modul Pelatihan Koagulasi dan Flokulasi, 2008) 3. Gaya gravitasi. Semakin berat partikel maka semakin cepat partikel mengendap. Untuk itu, partikel harus digumpalkan sehingga menjadi berat. Jika partikel tidak menggumpal atau masih dalam ukuran yang sangat halus maka gaya gravitasi akan lebih rendah bila dibandingkan dengan gaya listrik sehingga partikel tetap stabil dalam koloid/suspensi. Koagulasi dapat dibantu oleh dua metode, yaitu: 1. Agitasi Pengadukan dapat membuat partikel-partikel saling berdekatan sampai jarak efektif dimana gaya tarik Van Der Waals lebih kuat daripada gaya dorong akibat muatan listrik. Namun, pengadukan yang terlalu kuat dapat merusak kembali flok yang telah terbentuk karena ikatan antar partikel ini relatif lemah. 2. Penambahan koagulan Penggunaan koagulan yang memiliki muatan listrik yang berlawanan dapat menetralkan muatan listrik partikel. Koagulan akan berperan sebagai pengikat partikel koloid/suspensi akibat perbedaan jenis muatan listrik. Dengan bantuan pengadukan pelan, proses destabilisasi koloid/suspensi ini Bab II Dasar Teori 22

akan membentuk gumpalan-gumpalan kecil. Skematik proses destabilisasi koloid ini dapat dilihat pada Gambar 2.10. Gambar 2.10 Destabilisasi Partikel Koloid (Modul Pelatihan Koagulasi dan Flokulasi, 2008) Jumlah koagulan adalah faktor yang sangat penting. Penambahan koagulan yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan muatan positif dalam slurry sehingga terjadi gaya tolak-menolak antar partikel positif sehingga akan sulit untuk diendapkan. Mekanisme penetralan muatan listrik dapat dilihat pada Gambar 2.11. Bab II Dasar Teori 23

Gambar 2.11 Mekanisme Penetralan Muatan Listrik (Modul Pelatihan Koagulasi dan Flokulasi, 2008) Reagen kimia koagulan biasanya berupa garam anorganik/garam logam (metal salt), seperti garam alumunium (Al 3+ ), besi (Fe 2+ dan Fe 3+ ), magnesium (Mg 2+ ), dan kapur (Ca 2+ ). Beberapa jenis koagulan yang umum digunakan adalah sebagai berikut: 1. Ferric Chloride (FeCl 3 ) Dalam bentuk padat maupun cair (27-43%), bersifat sangat asam dan korosif. 2. Ferrous Chloride (FeCl 2 ) Dalam bentuk cair (8-14%) besi, bersifat sangat asam dan korosif. 3. Ferric Sulphate [Fe 2 (SO 4 ) 3 ] Dalam bentuk padat dan cair (10-13%), bersifat sangat asam dan korosif. 4. Ferrous Sulphate (FeSO 4 ) Dalam bentuk padat dan cair (5-12%) besi, bersifat sangat asam dan korosif. 5. Alumunium Chloride (AlCl 3 ) Dalam bentuk padat dan cair, bersifat asam dan sedikit korosif. Bab II Dasar Teori 24

Gumpalan-gumpalan kecil yang terbentuk dari proses koagulasi ini umumnya berukuran tidak cukup besar untuk dapat mengendap dengan cepat. Jika partikel tersebut memiliki densitas yang tinggi, mungkin akan mengendap dengan cepat. Namun jika partikel tersebut memiliki densitas yang rendah, dibutuhkan proses flokulasi untuk membentuk flok yang berukuran lebih besar agar dapat mengendap dengan cepat. 2.6.2 Flokulasi Flokulasi adalah suatu proses untuk menggumpalkan partikel-partikel kecil (fine flocs) menjadi gumpalan (flocs) yang cukup besar dan mudah untuk mengendap dengan menambahkan bahan kimia yaitu flokulan. Flokulan yang digunakan umumnya berupa polimer organik yang mudah larut dalam air. Mekanisme flokulasi ini dapat dilihat pada Gambar-gambar 2.12, 2.13, dan 2.14. Gambar 2.12 Mekanisme Flokulasi (1) (Moss dan Dymond) Bab II Dasar Teori 25

Gambar 2.13 Mekanisme Flokulasi (2) (Moss dan Dymond) Gambar 2.14 Mekanisme Flokulasi (3) (Modul Pelatihan Koagulasi dan Flokulasi, 2008) Flokulan memiliki sifat dapat mengumpulkan partikel dengan menempel pada partikel (adsorbtion) dan dengan rantai polimernya yang panjang dapat menangkap banyak partikel kecil sekaligus membentuk flok. Dalam proses Bab II Dasar Teori 26

pengendapannya, polimer ini juga akan menabrak flok lainnya sehingga menghasilkan gumpalan yang lebih besar dan lebih berat lagi. Flokulasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan operasi thickener. Jumlah flokulan yang ditambahkan ke dalam thickener tergantung kepada tipe bijihnya. Bijih yang berat dan kasar hanya sedikit membutuhkan flokulan karena bijih tersebut mudah mengendap. Bijih yang halus dan sukar mengendap akan membutuhkan flokulan yang lebih banyak. Flokulasi akan berjalan dengan baik jika umpan slurry-nya cukup encer. Oleh karena itu, slurry yang masuk ke thickener diencerkan terlebih dahulu di dalam feed distributor box. Perlu diketahui bahwa flok yang telah terbentuk sangat mudah pecah dan hancur maka harus dijaga agar tidak terjadi pengadukan atau turbulensi berlebihan pada center well. Sebagian besar flokulan komersial yang tersedia adalah flokulan polyacrylamide dan turunannya (Moss dan Dymond). Pada dasarnya, polyacrylamide berupa nonionic (tidak bermuatan). Namun, polyacrylamide dimodifikasi sehingga menjadi bermuatan (anionic maupun cationic) supaya rantai polimernya dapat mengembang lebih panjang akibat gaya tolak-menolak akibat muatan listrik pada titik-titik tiap komponen polimer itu. Oleh karena itu flokulan memiliki muatan positif (cationic) atau negatif (anionic). Pada kebanyakan slurry bijih, partikel memiliki muatan negatif sehingga flokulan cationic juga dapat berfungsi untuk menetralkan muatan listrik (fungsi koagulasi) dan menempel lebih kuat. Namun, flokulan anionic umumnya memiliki berat molekul yang lebih besar sehingga lebih efektif untuk meningkatkan kecepatan pengendapan. Secara umum, struktur kimia polyacrylamide dapat dilihat pada Gambar 2.15. Bab II Dasar Teori 27

Gambar 2.15 Struktur Kimia Polyacrylamide dan Turunannya (Moss dan Dymond) Gugus utama penyusun polyacrylamide adalah gugus amid dan gugus karboksilat. Gugus amid berfungsi untuk mengadsorpsi dan membuat rantai flokulan menjadi kuat. Sedangkan gugus karboksilat berfungsi untuk memanjangkan dan mengembangkan rantai flokulan sehingga proses bridging (penjembatanan antar partikel) dapat berlangsung dengan mudah. Sebenarnya, gugus karboksilat juga dapat mengadsorpsi permukaan partikel namun tidak sebaik gugus amid. Bab II Dasar Teori 28

MODERATE TO HIGH VERY HIGH MODERATE SLIGHT NONIONIK 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 ph Gambar 2.16 Daerah Aktivitas Flokulan pada Selang ph 1-14 (Richardson, 1984) Gambar 2.16 menunjukkan daerah aktivitas berbagai jenis flokulan pada selang ph 1-14. Pada ph dibawah 4, flokulan jenis nonionik menunjukkan aktivitas yang lebih baik daripada flokulan anionik. Gugus amid di dalam flokulan anionik fungsinya digantikan oleh gugus karboksilat yang telah menjadi inert. Keberadaan gugus karboksilat pda ph rendah dapat mengurangi ikatan hidrogen yang tersedia di dalam flokulan. Pada selang ph 5-10, aktivitas flokulan anionik moderat lebih baik daripada flokulan nonionik. Hal ini diakibatkan gugus karboksilat mengembang menjadi gugus yang aktif sedangkan gugus karboksilat ini tidak terdapat pada flokulan nonionik. Pada ph tinggi (di atas 11), flokulan anionik moderat tidak dapat berfungsi secara efektif. Bab II Dasar Teori 29