124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH ,

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

PENDAHULUAN Latar Belakang Fosfat adalah unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan. Dalam sel fosfat berada d

PENDAHULUAN Latar Belakang Keracunan Al merupakan salah satu faktor utama yang membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah masam. Pengaruh yang pen

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan krisis energi sampai saat ini masih menjadi salah satu

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengaruh cekaman Al terhadap pertumbuhan tanaman, paling nyata terlihat pada perpanjangan dan pertumbuhan akar. Tingkat ker

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh

V. PEMBAHASAN 5.1 Pertumbuhan di Lokasi Penanaman

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al.

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum) merupakan tanaman semusim yang tergolong

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitan Bahan dan Alat

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Kering Masam

I. PENDAHULUAN. karena nilai gizinya sangat tinggi. Kedelai mempunyai kandungan protein yang

I. PENDAHULUAN. setelah beras. Selain itu juga digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku

PENDAHULUAN Latar Belakang Umumnya lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol). Masalah utama yang dihadapi pada t

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pertanaman padi seperti lahan gogo, sawah tadah hujan, hingga sistem irigasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TOLERAN LAHAN MASAM DI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. tanaman, baik untuk pertumbuhan vegetatif maupun generatif. Unsur hara P pada

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Menurut Cock (1985), ubikayu merupakan salah satu tanaman penghasil

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk terus meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan 1,34%

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

I. PENDAHULUAN. Benih merupakan salah satu masukan usaha tani yang mempengaruhi tingkat

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang


II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengaruh Pemupukan NPK Majemuk pada Kualitas Benih. Benih bermutu yang dihasilkan dari suatu produksi benih ditunjukkan oleh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penentuan Karakter Morfologi Penciri Ketahanan Kekeringan Pada Beberapa Varietas Kedelai

BAB I PENDAHULUAN. minyak bumi pun menurun. Krisis energi pun terjadi pada saat ini, untuk

I. PENDAHULUAN. terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merill) merupakan salah satu komoditas pangan utama

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (Subagyo, dkk, 2000). Namun demikian, tanah Ultisol ini memiliki kandungan

BAB I. PENDAHULUAN. mempunyai nilai gizi cukup tinggi (Simatupang et al., 2005). Di antara jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

Tanggap Fisiologi Akar Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) terhadap Cekaman Aluminium dan Defisiensi Fosfor di dalam Rhizotron

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga

FISIOLOGI ADAPTASI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP TOKSISITAS ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM KARLIN AGUSTINA

Latar Belakang. Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu tanaman pangan penting

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

I. PENDHULUAN. pertanian dalam pembangun suatu perekonomian adalah menghasilkan bahan pangan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam tinggi tanaman jagung hibrida

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu tanaman pangan yang sudah lama dikenal oleh

DISTRIBUSI DAN AKUMULASI ALUMINIUM PADA AKAR SORGUM (Sorghum bicolor (L) Moench) MELALUI UJI PEWARNAAN HEMATOKSILIN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keharusannya memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Berdasarkan Sensus

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Jagung manis atau lebih dikenal dengan nama sweet corn (Zea mays

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu dari enam komoditas

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. satuan waktu rata-rata selama periode tertentu. Pengukuran laju pengisian biji

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian

I. PENDAHULUAN. Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600-

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN

tanaman pada fase perkembangan reproduktif sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Kondisi cekaman kekeringan dapat menyebabkan gugurnya

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Inceptisol

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Produktivitas padi pada tahun 2015 hanya mencapai 5,28 t/ha (Badan Pusat

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

IV. HASIL PENELITIAN

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang

II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

PEMBAHASAN UMUM Di Indonesia, kondisi lahan untuk pengembangan tanaman sebagian besar merupakan lahan marjinal yang kering dan bersifat masam. Kendala utama pengembangan tanaman pada tanah masam adalah cekaman aluminium dan kurangnya unsur hara makro terutama fosfor (Ma, 2000). Usaha untuk mengurangi masalah tersebut adalah penggunaan tanaman yang toleran terhadap cekaman Al dan efisiensi hara, baik efisiensi serapan (sensitive) maupun efisiensi penggunaan (tolerance). Serangkaian percobaan yang telah dilakukan berhasil mengungkap beberapa informasi yang dapat dimanfaatkan dalam perbaikan genotipe sorgum untuk toleransi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam. Berdasarkan hasil pengujian di lapangan, terdapat perbedaan toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman Al dan defisiensi P di tanah masam yang ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan bahan kering, produksi biji, maupun kadar gula total yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan baku bioetanol. Kemampuan menghasilkan bahan kering dan produksi biji genotipe sorgum dapat meningkat hingga dua kali lipat saat ditumbuhkan pada tanah masam dengan kondisi kejenuhan Al rendah dan P cukup dibandingkan dengan kondisi Al tinggi dan tanpa P (Tabel 1.3 dan 1.8). Hal ini menunjukkan respon yang tinggi pada karakter agronomis sorgum apabila dilakukan perbaikan lingkungan tumbuh. Peningkatan bobot kering tajuk dan komponen hasil genotipe toleran pada kondisi Al rendah tidak memerlukan pemupukan P dosis tinggi di tanah masam. Peningkatan dosis pupuk P diperlukan untuk meningkatkan nilai padatan terlarut total genotipe sorgum baik pada tanah masam dengan kejenuhan Al tinggi maupun rendah. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan tingkat toleransi genotipe ZH-30-29-07 di tanah masam Lampung dan tanah masam Tenjo Jawa Barat. Hal ini diduga akibat perbedaan kondisi cekaman lingkungan pada saat seleksi untuk menetapkan pengelompokan genotipe ZH-30-29-07 di tanah masam Lampung. Kandungan Al dd tanah masam tempat seleksi di Lampung hanya 1.35 me/100 g (Sungkono, 2010), sedangkan Al dd di tanah masam Tenjo lebih

124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH-30-29-07, tetapi hal ini tidak terjadi pada Numbu serta genotipe peka B-69 dan B-75. Diduga ketiga genotipe tersebut sudah memiliki kestabilan genetik yang lebih baik dibandingkan genotipe ZH-30-29-07. Untuk memperjelas hasil penelitian di lapangan dilakukan serangkaian percobaan di rumah kaca menggunakan rhizotron serta percobaan pada larutan hara, dan analisis di laboratorium. Hasil penelitian di larutan hara dan laboratorium dapat mengungkapkan komponen-komponen yang berperan dalam mekanisme eksternal dan internal terhadap toksisitas Al dan peningkatan penyerapan serta penggunan P pada genotipe sorgum. Percobaan menggunakan rhizotron mengungkapkan kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi bercekaman Al dan defisiensi P di tanah masam. Diameter sebaran akar dan jumlah akar primer yang dapat dilihat melalui percobaan ini menunjukkan terjadi penurunan pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P. Genotipe toleran tetap memiliki kondisi perakaran dan tajuk yang lebih baik dibandingkan genotipe peka (Tabel 3.5, Gambar 3.1 dan Gambar 3.3). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perakaran yang baik mampu menunjang pertumbuhan tajuk tanaman. Pertumbuhan akar genotipe toleran di tanah masam tidak dibatasi oleh tingginya Al dan defisiensi P. Hasil analisis kandungan P total jaringan dan efisiensi penggunaan hara P menunjukkan bahwa sorgum memiliki mekanisme internal (toleransi) dalam menghadapi cekaman P rendah di tanah masam dengan meningkatkan efisiensi penggunaan P internal (interrelated), sebaliknya genotipe peka memiliki mekanisme eksternal (penghindaran) melalui peningkatan kadar P total jaringan. Pada percobaan laju serapan spesifik didapatkan informasi bahwa sorgum toleran memiliki mekanisme peningkatan efisiensi penggunaan P yang terjadi pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan sorgum toleran membentuk bahan kering akar yang tinggi pada kondisi Al tinggi dan P rendah. Bobot kering akar yang tinggi menunjukkan akar lebih panjang dan rambut akar yang lebih banyak. Kondisi ini akan meningkatkan kontak akar

125 dengan tanah. Menurut Junk et al (1993) faktor kontak akar dengan tanah sangat penting dalam penyerapan hara P yang memiliki mobilitas rendah. Mekanisme toleransi terhadap toksisitas Al dapat ditunjukkan dari percobaan pada larutan hara, uji pewarnaan hematoksilin dan analisis root regrowth. Hasil-hasil percobaan ini menunjukkan bahwa genotipe sorgum toleran Al mampu membentuk bahan kering lebih tinggi, serta memiliki akar dan tajuk lebih panjang daripada genotipe peka pada kondisi bercekaman Al. Nilai panjang akar relatif (PAR) genotipe toleran juga lebih tinggi daripada genotipe peka. Hal ini berkaitan dengan kemampuan genotipe toleran dalam menghadapi cekaman toksisitas Al. Genotipe toleran mampu mencegah Al masuk ke bagian tajuk tanaman dan hanya mengakumulasikan Al pada epidermis akar. Hal ini ditunjukkan dari hasil percobaan pada uji pewarnaan hematoksilin. Distibusi Al yang diamati melalui potongan mikroskopis ujung akar menunjukkan bahwa pada genotipe toleran Al hanya di distribusikan pada jaringan epidermis akar dengan nilai kuantitatif rendah yang menunjukkan akumulasi Al rendah, dan sebaliknya pada genotipe peka (Gambar 5.1 sampai 5.12). Kemampuan mencegah masuknya Al ke dalam jaringan tanaman tersebut dapat meningkatkan kemampuan sorgum dalam menumbuhkan kembali akar sekunder setelah tercekam Al. Hal ini dapat dilihat pada percobaan root regrowth yang menunjukkan kemampuan Numbu menumbuhkan kembali akar setelah terkena cekaman Al hingga konsentrasi 148 µm (Gambar 6.1). Pada kondisi bercekaman Al dan pemberian P kurang terjadi penurunan bobot kering total, laju serapan spesifik, kadar P jaringan, dan efisiensi penggunaan P (Tabel 4.2, 4.6, 4.9 dan 4.11). Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh Al dan rendahnya ketersediaan P pada kondisi bercekaman Al. Menurut Rao et al. (1999) keberadaan Al tidak hanya menghambat ketersediaan P tetapi juga menghambat transpor dan penggunaannya, Ion Al bermuatan positif dapat berasosiasi dengan gugus fosfat dari ATP atau fosfolipid membran sehingga mempengaruhi efektivitas transportasi proton. Hasil percobaan laju serapan spesifik ini menjelaskan pula bahwa laju serapan sangat tergantung pada genotipe. Setiap genotipe diduga memiliki transpor fosfat tersendiri. Transpor fosfat merupakan protein-protein yang

126 berasosiasi dengan membran yang terlibat dalam penyerapan P. Menurut Marschner (1995) terdapat dua mekanisme transpor fosfat yaitu yang memiliki afinitas tinggi (high affinity system) yang umumnya bekerja pada P rendah dan yang memiliki afinitas rendah (low affinity system) yang bekerja ketika P cukup. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan laju serapan spesifik P pada kondisi bercekaman Al (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi bercekaman Al terjadi penekanan baik pada high affinity system maupun low affinity system. Genotipe toleran Numbu memiliki laju serapan spesifik P sebesar 4.09 mg/g bobot kering akar/hari (Tabel 4.8). Nilai LSS ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata genotipe sorgum pada kondisi tanpa cekaman dan P kurang (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan aktivitas high affinity system yang dimiliki Numbu masih aktif bekerja pada kondisi P kurang. Serangkaian hasil percobaan yang telah diuraikan di atas baik di lapangan, rumah kaca maupun laboratorium secara keseluruhan menunjukkan bahwa sorgum memiliki mekanisme dalam menghadapi cekaman toksisitas Al dan defisiensi P berupa kemampuan menghasilkan bahan kering pada saat tercekam Al dan defisiensi P, peningkatan penyerapan hara, peningkatan efisiensi penggunaan hara P, kemampuan menahan distribusi Al pada jaringan akar dan kemampuan menumbuhkan akar setelah tercekam Al. Pemahaman terhadap mekanisme toleransi ini dapat digunakan untuk seleksi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam. Seleksi adalah prosedur dalam program pemuliaan tanaman yang memilih sejumlah individu atau galur yang memenuhi kriteria seleksi untuk suatu karakter dari suatu populasi yang beragam atau populasi bersegregasi (Stoskopf et al, 1993) Berdasarkan serangkaian hasil percobaan yang telah di lakukan seleksi untuk toleransi terhadap toksisitas Al pada populasi segregan dapat menggunakan parameter panjang akar relatif (PAR) dan metode root regrowth karena tidak bersifat destruktif, sementara uji pewarnaan hematoksilin yang bersifat destruktif dapat digunakan untuk seleksi terhadap toksisitas Al untuk generasi lanjut. Kelebihan metode root regrowth selain tidak destruktif adalah tidak memerlukan kondisi lingkungan yang berbeda dan tidak memerlukan kontrol, sehingga dapat diaplikasikan pada populasi bersegregasi. Kelemahannya adalah

127 tidak dapat menghilangkan pengaruh perbedaan kondisi awal bahan genetik. Untuk mengatasi perbedaan kondisi awal perbedaan bahan genetik antara genotipe toleran dan peka seleksi dapat menggunakan parameter PAR. Kelebihan menggunakan nilai PAR adalah dapat menghilangkan pengaruh perbedaan kondisi awal bahan genetik genotipe toleran dan peka, sedangkan kelemahannya adalah memerlukan perlakuan kontrol. Penggunaan kontrol dapat menyulitkan pada populasi segregan karena kondisi bahan genetik yang masih terus bersegregasi. Seleksi terhadap toleransi defisiensi hara P pada generasi lanjut dapat menggunakan nilai laju serapan spesifik dan efisiensi penggunaan P yang bersifat destruktif. Kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P juga berkorelasi terhadap kemampuan membentuk bahan kering dalam keadaan tercekam Al (Tabel 3.9). El Bassam (1998) melaporkan bahwa karakter efisiensi penggunaan hara N, P dan K telah digunakan dalam pemuliaan gandum untuk lahan-lahan bermasukan rendah. Kelebihan menggunakan parameter ini adalah ketepatan nilai yang didapatkan karena melalui percobaan di rumah kaca dengan kondisi yang lebih terkontrol dibandingkan percobaan di lapangan, serta menggunakan ketepatan hasil analisis kandungan hara jaringan tanaman yang lebih menggambarkan aktivitas fisiologi dan biokimia tanaman. Kelemahan menggunakan parameter ini adalah biaya analisis di laboratorium yang mahal dan tahapan pekerjaan analisis yang sangat komplek. Berdasarkan efisiensi penggunaan P dan bobot kering pada keadaan P rendah, maka didapatkan pengelompokan genotipe sorgum menurut Metode Baligar et al (1997), yaitu: 1. Efisien dan responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai berat kering yang lebih tinggi dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe dan mempunyai EPP lebih tinggi dibanding rata-rata seluruh genotipe. Genotipe tersebut adala Numbu 2. Efisien dan tidak responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih tinggi dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih rendah dibanding rata-rata seluruh genotipe 3. Tidak efisien dan responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih rendah dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih tinggi dibanding rata-rata seluruh genotipe

128 4. Tidak efisien dan tidak responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih rendah dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih rendah dibanding rata-rata seluruh genotipe. Kelompok genotipe ini adalah ZH-30-29-07, B-69 dan B-75. Pengelompokan ini dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat adaptasi genotipe sorgum terhadap defisiensi hara P yang dapat digunakan untuk menunjukkan kesesuaian lingkungan target pengembangan sorgum. Genotipe Numbu (toleran) dalam penelitian ini termasuk kelompok sorgum efisien dan responsif terhadap hara P, sedangkan ZH-30-29-07, B-69 dan B-75 termasuk dalam kelompok sorgum tidak efisien dan tidak responsif terhadap hara P di larutan hara (Gambar 7). Pengelompokan ke dalam efisien dan responsif pada Numbu menunjukkan bahwa Numbu memiliki adaptasi luas terhadap cekaman di tanah masam. Tingkat adaptasi luas ini menyebabkan Numbu mampu berproduksi tinggi pada lingkungan bercekaman Al dan defisiensi P. Jadi Numbu cocok dikembangkan baik pada tanah masam maupun tanah-tanah non marjinal. 3.0 2.5 rata-rata bobot kering efisien & tidak responsif efisien & responsif numbu numbu numbu 2.0 EPP 1.5 1.0 0.5 0.0 b75 b75 b75 b69 b69 b69 0.1 zh zh tidak efisien & tidak responsif 0.2 zh tidak efisien & responsif BK 0.3 0.4 rata-rata EPP 0.5 Gambar 7. Pengelompokan empat genotipe sorgum berdasarkan efisiensi penggunaan P dan bobot kering pada kondisi bercekaman Al dan P rendah di larutan hara

129 Untuk mendapatkan genotipe sorgum yang efisien dan responsif terhadap hara P dapat menggunakan metode pemuliaan Shuttle Breeding. Menurut Ortiz et al (2011), Shuttle Breeding adalah salah satu prosedur dalam pemuliaan tanaman yang melakukan seleksi tanaman pada dua kondisi lingkungan berbeda yaitu kondisi optimum dan kondisi lingkungan bercekaman secara bergantian. Tujuan menggunakan metode ini adalah untuk mengakumulasikan gen-gen produktivitas yang berperan dalam peningkatan produksi pada kondisi optimum, dan meningkatkan akumulasi gen-gen toleransi yang mengendalikan toleransi tanaman pada seleksi di lingkungan bercekaman. Hubungan antara toleransi Al dan defisiensi P dari data lapangan dan percobaan menggunakan rhizotron menunjukkan bahwa pada Al tinggi genotipe sorgum toleran tidak responsif terhadap penambahan pupuk P. Hal ini menunjukkan sifat efisiensi terhadap penggunaan hara P sangat tergantung terhadap cekaman Al, sehingga seleksi diarahkan terlebih dahulu terhadap toleransi Al kemudian dilanjutkan terhadap toleransi defisiensi hara P. Artinya karakter-karakter yang menunjukkan toleransi sorgum terhadap cekaman Al seperti panjang akar, kemampuan menghasilkan bahan kering, kemampuan menahan distribusi Al pada ujung akar dan kemampuan menumbuhkan kembali akar setelah terkena cekaman dapat digunakan lebih awal pada kegiatan seleksi. Data dari penelitian ini memberi gambaran bahwa mekanisme toleransi Al pada tanaman sorgum berbeda-beda. Dalam kaitan dengan hara P, mekanisme toleransi ada yang dipengaruhi dan ada yang tidak dipengaruhi oleh efisiensi P. Baligar et al (1997) melaporkan bahwa genotipe jagung dan sorgum yang toleran Al tidak selalu efisien dalam menggunakan hara P. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa sorgum Numbu (toleran) memiliki beberapa mekanisme adaptasi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam yaitu: 1) memiliki diameter sebaran akar dan jumlah akar primer yang lebih banyak daripada genotipe peka 2) memiliki akar lebih panjang, 3) memiliki laju serapan spesifik P tinggi, 4) meningkatkan efisiensi penggunaan P pada saat bercekaman Al dan defisiensi P, 5) mampu menahan distribusi Al ke bagian tengah akar, dan 6) memiliki kemampuan menumbuhkan kembali akar yang rusak akibat terkena cekaman Al.