BAB II BAHAN RUJUKAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pajak menurut beberapa ahli antara lain :

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi Bangunan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA

DEFINISI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DASAR HUKUM DAN TERMINOLOGI PBB

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak memiliki definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- Undang (dapat dipaksakan)

BAB II BAHAN RUJUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH,

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Menurut Moekijat (1989:194), ciri-ciri prosedur meliputi : tidak berdasarkan dugaan-dugaan atau keinginan.

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BUPATI JEMBRANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BUPATI KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

BAB II PENERIMAAN DAERAH DAN PENGALIHAN PBB-P2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DASAR HUKUM. ASAS PBB 1.Memberikan kemudahan dan kesederhanaan 2.Adanya kepastian hukum 3.Mudah dimengerti dan adil 4.Menghindari pajak berganda

-1- PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3091) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

WALIKOTA BAUBAU PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR : 7 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH

PEMERINTAH KOTA TEBING TINGGI

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS

BAB II LANDASAN TEORI

WALIKOTA PALANGKA RAYA

BAB III GAMBARAN DATA PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERDESAAN DAN PERKOTAAN. A. Ketentuan Umum Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan

BUPATI GOWA PERATURAN DAERAH KABUPATEN GOWA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI POLEWALI MANDAR

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BUPATI MAROS PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2011 NOMOR 12 WALIKOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PEDESAAN DAN PERKOTAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. secara adil dan merata. Pembangunan yang baik harus memiliki sasaran dan tujuan

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PAJAK

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MANGGARAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 4 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

Perpajakan Elearning # 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BUPATI BO M BA N A PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOMBANA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN TANGGAMUS

WALIKOTA PANGKALPINANG

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PULANG PISAU NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak yang beberapa. diantaranya akan penulis kutip sebagai berikut:

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 6 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

BUPATI TANA TORAJA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN DATA PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN. A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

BUPATI KEPULAUAN YAPEN

BUPATI MALUKU TENGGARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) PERDESAAN DAN PERKOTAAN

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R.

MENGENAL SEKILAS TENTANG KEBIJAKAN PEDAERAHAN PAJAK PUSAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 3 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

2.1 Pajak Secara Umum 2.1.1 Pengertian Pajak BAB II BAHAN RUJUKAN Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. www.pajak.go.id Banyaknya pengertian yang berbeda dari para ahli mengenai pajak yang tidak merubah arti pajak itu sebenarnya, karena setiap pengertian mempunyai arti dan tujuan yang sama. Sekedar untuk perbandingan, berikut ini disajikan pengertian pajak dari beberapa ahli, sebagai berikut : 1. Menurut Mardiasmo (2011; 1) pengertian pajak sebagai berikut : Pajak adalah iuran dari rakyat kepada Negara berdasarkan Undang Undang tanpa jasa imbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat diunjuk dan digunakan unuk membiayai rumah tangga Negara. 2. Menurut Diana sari (2013 ;33) pengertian pajak sebagai berikut : Pajak adalah Iuran masyarakat kepada Negara dipungut berdasarkan Undang Undang yang sifatnya dapat dipaksakan tanpa mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung dan diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dan dipungut karena adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan. 3. Menurut Muhamad zain (2008; 11) pengertian pajak sebagai berikut : Pajak Adalah iuran yang dapat dipaksakan artinya iuran yang mau tidak mau harus dibayar oleh rakyat berdasarkan undang - undang yang sifatnya dapat dipaksakan tanpa mendapatkan jasa timbal/kontra prestasi secara langsung. 6

7 Sedangkan Pajak Daerah menurut Erly Suandy (2011; 229) adalah : Pajak Daerah adalah iuran yang wajib dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan prundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan Pembangunan Daerah. Menurut Mardiasmo (2011 ;1) dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur : 1. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara yakni pengeluaranpengeluaran pemerintah, yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 2.1.2 Fungsi Pajak Menurut Diana sari (2013 ; 3) fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Fungsi penerimaan yaitu Sebagai alat (sumber) untuk memasukkan uang sebanyak banyaknya dalam kas Negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran Negara yaitu pengeluaran rutin dan pembangunan

8 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Fungsi mengatur yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu di bidang keuangan seperti bidang ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan keamanan untuk mencapai tujuan 2.1.3 Dasar Hukum Perpajakan Dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi segala pajak untuk keperluan kas negara berdasarkan Undang - Undang. Hal ini berarti beban pajak harus berdasarkan Undang - Undang, tidak boleh berbentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden. Dalam buku Muhammad zain (2008 ;16) 2.1.4 Pengelompokan Pajak Ada 3 (tiga) pengelompokkan pajak seperti yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2011; 5), yaitu: 1. Menurut Golongannya 1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak penghasilan 2) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut Sifatnya 1) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: pajak penghasilan 2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

9 3. Menurut Lembaga Pemungutannya 1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. 2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas: (1) Pajak Provinsi, contoh: Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. (2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Oyok Abunyamin (2010; 5) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi: 1. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan Undang - Undang pemerintahan (fiskus) diberi wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : 1) Wewenang untuk menentukan pajak yang terutang pada fiskus. 2) Wajib pajak bersifat menunggu (pasif).

10 3) Utang pajak yang harus masih dibayar oleh wajib pajak setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus. 2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan Undang-Undang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. 3. Withholding Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan Undang-Undang memberi kepercayaan/wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah atau wajib pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang wajib dipotong/dipungut dari wajib pajak yang wajib membayarnya. Pihak ketiga wajib menyetorkan hasil pemotongan/pemungutan pajak tersebut. Ciri-cirinya : 1) Pemotongan/pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga (bukan pemerintah/bukan fiskus). 2) Pemotongan/pemungutan pajak wajib menyetorkan hasil pemotongan/pemungutan pajak tersebut. 3) Pemerintah mengawasi pelaksanaan pemotongan/pemungutan dan penyetoran oleh pihak ketiga. 2.2 Pajak Bumi dan Bangunan 2.2.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Diana sari (2013 ;119) Pajak Bumi Bangunan adalah Pajak yang bersifat objektif yang artinya bahwa besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objeknya yaitu bumi (tanah) dan/atau bangunan. Kondisi dan keadaan dari subjek pajaknya (siapa yang menjadi penanggung atau pembayar PBB) tidak ikut dalam menentukan besarnya pajak terutang.

11 2.2.1.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan Menurut Marihot Pahala Siahan (2010; 553) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan pedalaman dan atau laut. PBB Pedesaan dan Perkotaan merupakan jenis pajak kabupaten/kota yang baru diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. 2.2.2 Asas Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Mardiasmo (2011; 311) asas Pajak Bumi dan Bangunan telah ditentukan oleh Undang-Undang, yaitu : 1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan. 2. Adanya kepastian hukum. 3. Mudah dimengerti. 4. Menghindari pajak berganda. 2.2.3 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan Dasar hukum pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 perubahan tersebut menyangkut terhadap pelaksanaannya, yang hal ini berupa Keputusan Menteri Keuangan No.1007/KMK/04/1985, keputusan bersama Direktorat Jederal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.Kep.30/PJ.7/1986, No.973-562 yang isinya pelaksanaan pelimpahan kewenangan Menteri Keuangan dalam hal penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.

12 2.2.4 Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan 2.2.4.1 Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang dimaksud dengan objek pajak bumi dan bangunan yang dikemukakan oleh Oyok Abunyamin (2010; 336) adalah Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan, pedalaman, serta laut wilayah Indonesia. Dan tubuh bumi yang berada di bawahnya seperti: sawah, ladang, kebun, pekarangan dan tambang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : 1. Letak. 2. Peruntukan. 3. Kondisi dan lingkungan. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan/atau bangunan. Dalam hal menentukan klasifikasi bangunan harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : 1. Bahan yang digunakan. 2. Rekayasa. 3. Letak. 4. Kondisi lingkungan. Termasuk dalam bangunan adalah : 1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, dan lain-lain yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut. 2. Jalan tol. 3. Kolam renang. 4. Pagar mewah. 5. Tempat olahraga. 6. Galangan kapal, dermaga. 7. Taman mewah. 8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak. 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

13 Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dikecualikan dari pengenaan PBB adalah: 1. Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, social, kesehatan, pendidikan, dan nasional, yang dimaksud untuk tidak memperoleh keuntungan. Contoh objek yang dikecualikan atau tidak dikenai PBB itu seperti: pesantren atau sejenisnya, sekolah/madrasah, tanah wakaf, rumah sakit pemerintah dan lain-lain. 2. Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu seperti museum. 3. Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 4. Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah Negara yang belum dibebani sesuatu hak. 5. Bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. 6. Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintah (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77). Berdasarkan objeknya PBB dibagi menjadi beberapa sektor yang penanganannya masuk pemerintah pusat atau daerah, yaitu : 1. PBB masuk Pajak Pusat yaitu : 1) PBB sektor perkebunan 2) PBB sektor perhutanan 3) PBB sektor pertambangan

14 2. PBB masuk Pajak Daerah 1) PBB sektor perkotaan 2) PBB sektor pedesaan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah batasan Nilai Jual Objek Pajak atas Bumi/atau Bangunan yang tidak kena pajak. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah pasal 51 ayat (4) besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) merupakan suatu batas NJOP dimana wajib pajak tidak terutang pajak. Maksudnya adalah apabila seorang wajib pajak memiliki objek pajak yang nilainya di bawah NJOPTKP, maka wajib pajak tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak. Selain itu, bagi setiap wajib pajak yang memiliki objek pajak yang nilainya melebihi NJOPTKP, maka penghitungan NJOP sebagai dasar penghitungan pajak terutang dilakukan terlebih dahulu mengurangkan NJOP dengan NJOPTKP. 2.2.4.1.1 Objek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Objek pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaaan yang dikemukakan oleh Marihot Pahala Siahaan (2010; 555) adalah bumi dan bangunan. Objek pajak PBB Pedesaan dan Perkotaan adalah bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Yang dimaksud dengan kawasan adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan, dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan

15 2.2.4.2 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Menurut pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 dan pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa subjek pajak Bumi dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. 2.2.4.3 Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Menurut pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau NJOP pengganti. Yang dimaksud dengan : 1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah objek pajak yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya 2. Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dilakukan dengan penyusutan berdasarkan kondisi objek pajak. 3. Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan hasil produksi objek pajak tersebut.

16 Besaran NJOP ditetapkan setiap tiga tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap satu tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Pada dasarnya penetapan NJOP adalah tiga tahun sekali. Hanya saja, untuk daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh bupati/walikota. Sedangkan menurut Undang-Undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No.12 Tahun 1994 tentang PBB bahwa dasar penghitungan adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari NJOP. Nilai Jual Kena Pajak (Assessment Value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Sedangkan dalam peraturan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) sudah tidak dipergunakan lagi. 2.2.4.4 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaaan Menurut pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), tarif PBB Pedesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi 0,3% (nol koma tiga persen) dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini dimaksud untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menentukan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari 0,3% (nol koma tiga persen).

17 2.2.4.5 Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Prkotaan Faktor-faktor penting dalam penghitungan PBB adalah sebagai berikut : 1. Tarif Berdasarkan ketentuan dalam Undang Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 80 ayat (1) menyatakan bahwa tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak (bumi dan bangunan) adalah paling tinggi 0,3%. Yang menjadi basis Pajak Bumi dan Bangunan adalah NJOP setelah dikurangi NJOPTKP, tarif Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 20 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah Pasal 55 : 1) Sebesar 0,1 % (nol koma satu persen) untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) 2) Sebesar 0,2% (nol koma dua persen) untuk objek pajak dengan NJOP diatas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah ) 2. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Menurut Mardiasmo (2011; 312) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila tidak terjadi transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau dengan nilai perolehan baru. Yang dimaksud dengan perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah, suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkan dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama serta telah diketahui harga jualnya. Sedangkan nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan Nilai Jual Objek Pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.

18 3. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) Menuru Diana Sari (2013; 133) Nilai Jual Kena Pajak adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan pajak, yaitu suau persentase tertentu dari NJOP. Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Objek Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Sedangkan dalam peraturan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) sudah tidak dipergunakan lagi. 4. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah batasan Nilai Jual Objek Pajak atas Bumi/atau Bangunan yang tidak kena pajak. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah pasal 51 ayat (4) besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Setelah diketahui faktor-faktor sebagaimana disebutkan di atas, maka penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutang dilakukan dengan formula sebagai berikut: NJOP Tanah =luas x nilai jual/m2 = Rp. NJOP Bangunan = luas x nilai jual/m2 = Rp. + NJOP Dasar Pengenaan = Rp. NJOPTKP = Rp. - NJOP Untuk penghitungan PBB = Rp. Tarif Pajak = % x Pajak Terutang =

19 2.2.5 Tahun, Saat, dan Tempat Pajak Terutang 1. Tahun Pajak Menurut pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994 tentang PBB dan pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim, yaitu jangka waktu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun berjalan. 2. Saat Pajak Menurut pasal 8 ayat (2) No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994 tentang PBB dan pasal 82 ayat (2) Undang-Undang PDRD, saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yang terutang. Contoh : 1) Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2011 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2011 bangunan terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2011 yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar. 2) Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2011 pada tanggal berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya. Pada tanggal 10 Januari 2011 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri satu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2011 tetap dikenakan pajak berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2011, sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pajak pada tahun 2012.

20 3. Tempat Pajak Terutang Menurut pasal 8 ayat (3) No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994 tentang PBB dan pasal 82 ayat (3) Undang-Undang PDRD, tempat pajak terutang adalah sebagai berikut : 1) Untuk daerah Jakarta, di wilayah khusus Ibu Kota Jakarta. 2) Untuk daerah lainnya, di wilayah kabupaten daerah tingkat II atau kotamadya daerah tingkat II atau kotamadya daerah tingkat II yang meliputi tempat objek pajak. 2.3 Pendaftaran, Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP) 1. Pendaftaran Menurut pasal 9 dan pasal 10 UU PBB dan pasal 83 ayat (1) UU PDRD, pendaftaran diatur sebagai berikut : 1) Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak. 2) Surat Pemberitahuan Objek Pajak harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Ditjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak. 3) Berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Ditjen Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

21 2. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Menurut Diana sari (2013; 135) Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah sarana bagi wajib pajak untuk mendaftarkan objek pajak yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung PBB terutang, sedangkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada wajib pajak. 3. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Menurut Diana Sari (2013; 143) Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat keputusan kepala kantor pajak yang memberitahukan besarnya pajak yang terutang termasuk denda administrasi kepada Wajib Pajak (WP). SKP diterbitkan apabila : 1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) : (1) Tidak diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh WP (2) Tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran 2) Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan (SPOP) yang disampaikan oleh WP : (1) Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan SPOP tidak diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP atau pengembalian SPOP lewat 30 hari setelah diterima WP, adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak. (2) Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang didasarkan atas pemeriksaan atau keterangan lain adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain

22 dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah dengan administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang. (3) SKP disampaikan kepada WP melalui : a. Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak b. Kantor Pos c. Pemerintah Daerah (4) SKP harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak SKP diterima oleh WP (5) Atas SKP dapat diajukan keberatan/pengurangan 2.4 Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Bahwa sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 167/PMK.03/2007, diatur tempat dan tata cara pembayaran PBB sebagai berikut ; 1. Pembayaran PBB terutang untuk objek pajak : 1) Pedesaan dan perkotaan dilakukan di: (1) Tempat Pembayaran (TP), yaitu Bank Umum/Kantor Pos ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran PBB dan memindahbukukan ke Bank Presepsi/Pos Presepsi. (2) Tempat Pembayaran Elektronik, yaitu Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran PBB secara elektronik dan memindahbukukan ke Bank Presepsi Elektronik/Pos Presepsi Elektronik. 2) Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan Non Migas dilakukan di Bank/Pos Presepsi. 3) Pertambangan Migas dan Energi Panas Bumi dilakukan di Bank/Pos Presepsi yang merangkap sebagai Bank Operasional (BO) III, yaitu Bank Umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pelimpahan hasil penerimaan PBB dari Bank/Pos Presepsi Elektronik, melakukan pembagian hasil penerimaan PBB dan membayar pengembalian kelebihan pembayaran PBB.

23 2. Dalam hal PBB tentang dipungut oleh petugas pemungut, setiap hari kerja petugas pemungut wajib menyetorkan hasil pemungutan PBB tersebut ke TP, kecuali untuk daerah tertentu yang sarana prasarananya sulit, penyetorannya dapat dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemungutan. 3. Pembayaran harus dilakukan sekaligus (tidak diperkenankan mencicil). 4. Jatuh tempo pembayaran PBB adalah sebagai berikut: 1) SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) Jatuh tempo 6 bulan sejak diterima 2) SKP (Surat Ketetapan Pajak) Jatuh tempo 1 bulan sejak diterima 3) STP (Surat Tagihan Pajak) Jatuh tempo 1 bulan sejak diterima 2.5 Sanksi 2.5.1 Sanksi Administrasi Menurut Mardiasmo (2011; 333), sanksi administrasi dikenakan terhadap : 1. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, ditagih dengan SKP. Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak, ditagih dengan SKP. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua piluh lima persen) dari selisih pajak yang terutang.

24 2. Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar/pembayaran kurang, maka akan dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. 3. Karena kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal : 1) Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak. 2) Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar. 4. Karena kesengajaannya sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal : 1) Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP, kepada Direktorat Jenderal Pajak. 2) Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar. 3) Tidak memperhatikan data atau meminjamkan surat atau dokumen lainnya. 4) Tidak menunjukkan atau tidak meminjamkan keterangan yang diperlukan. 1. Untuk sebab kealpaan: Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali lipat pajak terutang. Kealpaan berarti tidak sengaja, lalai, kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi Negara.

25 2. Untuk sebab kesengajaan: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya 5 (lima) kali pajak terutang. Sanksi pidana ini akan dilipatkan dua, apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarkannya denda.