Angin malam menerpa wajahku kencang. Dinginnya

dokumen-dokumen yang mirip
LUCKY_PP UNTUKMU. Yang Bukan Siapa-Siapa. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

Lucu memang.. Aku masih bisa tersenyum manis, melihatmu disana tertawa lepas bersamanya.

Angin senja terasa kencang berembus di antara

Pertama Kali Aku Mengenalnya

- Sebuah Permulaan - - Salam Perpisahan -

Surat Cinta Untuk Bunda Oleh : Santi Widiasari

Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni :03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus :13

Yang Mencinta dalam Diam

Pergi Tak Kembali. Oleh: Firmansyah

Belasan kota kudatangi untuk menjadi tempat pelarianku. Kuharap di sana bisa kutemukan kedamaian atau cinta yang lain selainmu.

Sepasang Sayap Malaikat

Air mataku berlinang-linang sewaktu dokter mengatakan

Sebuah kata teman dan sahabat. Kata yang terasa sulit untuk memasuki kehidupanku. Kata yang mungkin suatu saat bisa saja meninggalkan bekas yang

Chapter I. Saudaraku,

SYAIR KERINDUAN. Genre: Puisi-puisi cinta, sahabat, keluarga semuanya tentang CINTA dan CITA-CITA.

Kakiku basah karena menginjak genangan air. Daundaun berserakan di sekitarku. Terdengar berderik saat terinjak oleh kakiku yang telanjang tanpa alas

sudah rapi kembali setelah dicukur. Ruangan-ruangan didalam bangunan ini sangat

2. Gadis yang Dijodohkan

Selalu terbuka jelas mata ini Mata ciptaan-mu Aku berjalan lemah di atas hiasan Pijakan menuju satu berita gembira

Tuhan dalam Cerita. Pada paru-paru yang terhujam dangkal ke sukma. Dikala nafas mulai menepi pada gulita tanpa suara

ROSE PAPPER AND BLOODY LILY Part 1

Satu hal lagi, mereka tahu apa yang terjadi pada keluarga pemilik rumah ini.

Ariesty Kartika. Kerangka Jiwa

BATANG BERMANFAAT. Farhan Abdul Aziz M. Kau berjalan diatas kertas Kau menari-nari diatas kertas Kau berjasa bagi kita Kau adalah pahlawanku

Cerita Senja Oleh: Dela Septariani

Mata Tomi terbelalak, ketika menyadari dia berada

RINDU. Puguh Prasetyo ~ 1

Lebih dekat dengan Mu

Matahari dan Kehidupan Kita

1 Curahan Hati Sebatang Pohon Jati

MUNGKIN KU SALAH MENGARTIKAN

Tidak, sayang. Nanti kau sakit, tegas Maya sambil mengusap rambut Amanda yang panjang terurai.

MEMBINGKAI ASA. Tarie Kertodikromo

Tak Ada Malaikat di Jakarta

Hanya Lima. Penulis: Boy Candra, Dkk Copyright 2012 by Boy Candra. Desain Sampul: (Nuzula Fildzah) Editor: (Nuzula Fildzah)

Berlari. Nurlaeli Umar

(Cintaku) Bait Pertama. Angin senja begitu halus berhembus. Sore itu, di

Cinta, bukan satu hal yang patut untuk diperjuangkan. Tapi perjuangan untuk mendapatkan cinta, itulah makna kehidupan. Ya, lalu mengapa...

Puzzle-Puzzle Fiksi. Inilah beberapa kisah kehidupan yang diharapkan. menginspirasi pembaca

Mukadimah. Aku bukan siapa-siapa Hanya mencoba untuk bercerita dari khayalan dan pengalaman

Perempuan dan Seekor Penyu dalam Senja

Perlu waktu bagi anak anak itu untuk menjadi bagian dari kegelapan sebelum pohon pohon terlihat lebih jelas. Sebelum semak semak tinggi terlihat

angkasa. Tidak ada lagi gugusan bintang dan senyuman rembulan. Langit tertutup awan kelam. Dan sesaat kemudian hujan turun dengan deras.

Dan ia baru menyadari betapa salahnya dirinya. Disana, muncul dari sebelah kirinya, ia merasakan gerakan udara yang cepat. Angin yang berhembus

Ah sial aku selingkuh!

semoga hujan turun tepat waktu

IVANA PAULINE HANDOJO -ie- JEJAK SAPUTANGAN. nulisbuku.com

Kesengsaraan adalah aku! Apakah ia kan mencampur kesedihannya atas jalinan persahabatan dengan sahabat lainnya yang serupa? Apakah ia tidak kesepian

Kilat masih terus menyambar dan menyilaukan mata. Cahaya terangnya masuk melalui celah-celah jendela dan ventilasi udara. Suara petir terus menderu

(Aku Melihatnya & Dia Melihatku)

Untuk ayah.. Kisah Sedih.

1. Aku Ingin ke Bandung

Bayangan Merah di Laut dan Tempat Untuk Kembali:

TEMAN KESUNYIAN BUKU PUISI BAGUS EKO SAPUTRO

Ruang Rinduku. Part 1: 1

Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan.

Pancor. Sebuah desa terpencil di sebelah timur pulau Lombok menawarkan kisah nyata yang begitu memotivasi dalam mengarungi dahsyatnya gelombang

Senja, Sebuah Kisah Sebuah Cerita

Wonderheart ditinggali oleh manusia-manusia yang memiliki kepribadian baik. Tidak hanya itu, hampir semua dari mereka nampak cantik dan

Sang Pangeran. Kinanti 1

Yui keluar dari gedung Takamasa Group dengan senyum lebar di wajahnya. Usaha kerasnya ternyata tak sia-sia. Dia diterima berkerja di perusahaan itu

Ketika mimpi menjadi sebuah bayangan, aku menanyakan "kapan ini akan terwujud?" Mungkin nanti, ketika aku telah siap dalam segalagalanya

Mata ini sulit terpejam dan pendar-pendar rasa sakit di hati tidak dapat hilang menusuk dan menancap keras.

CINTA 2 HATI. Haii...! Tiara terkejut, dan menatap pada pria itu. Pada saat itu, ternyata pria itu juga menatap kearah Tiara. Mereka saling menatap.

PENJAGAL ANGIN. Tri Setyorini

DIPA TRI WISTAPA MEMBILAS PILU. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

Sebening Air Mata Tuhan

Di Pantai Pasir Putih

Adam Aksara MENANTI CINTA. Penerbit. Nulisbuku.com

Oleh: Yasser A. Amiruddin

HW Prakoso. Yang Terabaikan. ~ Kumpulan Naskah Gatot!! ~ Publishing

huh, akhirnya hanya mimpi, ucapnya sambil mengusap dada.

Dari jarak sepuluh meter bisa kukenali siapa lelaki yang duduk menundukkan kepalanya dan bertumpu pada lengannya yang ia letakkan di atas lutut.

BAB 1. *** Seoul International High School

Pasang Surut Ombak Segare Sopianus Sauri XII IPA

Tubuh-tubuh tanpa bayangan

PATI AGNI Antologi Kematian

Mencintai, adalah satu kata bermakna kompleks yang dapat mengubah seluruh hidup manusia. Mencintai adalah aku dan kamu. Dia dan orang lain.

Untuk siapa pun yang meyakini, kalau semua dapat dirubah.

Rumah Sakit Jiwa. S uster Kometa memandang pilu ke arah luar

KOPI DI CANGKIR PELANGI..

Sayang berhenti menangis, masuk ke rumah. Tapi...tapi kenapa mama pergi, Pa? Masuk Sayang suatu saat nanti pasti kamu akan tahu kenapa mama harus

Kierkegaard dan Sepotong Hati

LOVE STORY. Kisahnya beberapa tahun yang lalu.

Musim Semi Merah. Dyaz Afryanto

Kura-kura dan Sepasang Itik

Sore yang indah bergerak memasuki malam. Langit yang bertabur warna keemasan mulai menghitam dengan taburan bintang-bintang. Aku masih duduk di kursi

Bagian 1 : Tak Kan Kubiarkan Kau Merebutnya Dariku!


KASIH. Embusan angin panas menghempas Membakar semua yang dilaluinya Bara panas membara membahana Menghanguskan makhluk persada

Tanpa awan dan angin, takkan pernah ada hujan. Tapi jika awan, angin dan hujan bersama, bukankah akan timbul badai besar?

SINOPSIS MENGGAPAI CINTA PANDANGAN PERTAMA

FAIRA FA. Sakura In The Fall. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

Simoan DELAPAN SIMOAN

Budi Mulyanto. Hati Bicara

HANYA KAMU BAB 1 AMANDA

Yarica Eryana. Destiny. Penerbit HKS

Sahabat Terbaik. Semoga lekas sembuh ya, Femii, Aldi memberi salam ramah. Kemarin di kelas sepi nggak ada kamu.

Ulat Si Pencemburu Ulung

Xen.. aku tutup mata kamu sebentar ya oke? ujar Ican dengan hati-hati menutupi maksudnya. Kalau aku tidak mau bagaimana? jawab Xena santai.

Transkripsi:

Terbangnya Kupu-Kupu Surga Angin malam menerpa wajahku kencang. Dinginnya menyusup tajam lewat pori-pori yang tidak seberapa tebalnya. Dua lembar kain pun nyatanya tidak cukup untuk menghangatkanku saat menerobos sepinya tengah malam. Aku tidak tahu akan dibawa ke mana kali ini. Baginya, aku adalah sumber malapetaka yang menimpa hidupnya. Aku adalah sumber kesedihan di setiap helaan napasnya. Yang kutahu memang begitu. Sebelum membawaku pergi dari rumah, ia menatapku nanar dengan titik-titik air yang menggenangi sudut matanya. Ia mengusap pipiku perlahan, tetapi dalam hitungan detik kemudian ia berubah kembali menjadi kasar. Sambil membawaku beranjak, ia tumpahkan makian dan sumpah serapah, membuat sakit telinga siapa pun yang mendengarnya. Sore tadi, dengan pahit kurasakan bagaimana rasanya kelaparan. Aku sudah meronta, mengeluarkan tangis sekencang mungkin, tetapi tidak ada makanan yang diberikan untukku. Tidak ada air yang bisa melepas rasa hausku. Hanya asinnya air mata yang bisa kurasakan hambar dari sudut mulutku. Sore tadi juga, kembali aku 1

mendapatkan sumpah serapah dan ribuan kalimat makian yang ia lontarkan. Telingaku sakit mendengarnya, bahkan hatiku juga ikut merasakan. Belum lagi, sebuah cubitan kecil meninggalkan memar di dekat pergelangan tanganku. Aku masih belum mengerti, kenapa ia begitu membenciku? Apa kesalahan yang sudah kuperbuat sebelumnya? Apa aku diciptakan hanya untuk menjadi ladang tumpahan kebenciannya? Seingatku, Allah tidak menitipkan pesan apa-apa selain titah menyembah-nya dan patuh dengan perkataan manusia yang kelak aku sebut orang tua. Malaikat pun tidak memberi tahu garis besar jalan hidup yang akan aku jalani. Ia hanya menyampaikan pesan Sang Pemilik alam tentang umurku, jodohku, dan matiku. Aku benar-benar bingung. Langkahnya berhenti, lantas menaruhku di dekat kakinya. Dalam remangnya waktu menjelang subuh, ia sibuk mencari sesuatu dari balik semak dan setumpukan sampah. Entah apa yang ia cari. Aku tidak ingin peduli, apalagi harus bertanya. Aku hanya ingin protes kalau aku kedinginan. Rumput-rumput setengah basah ini membuatku merasa dingin yang luar biasa, menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Tidak bisa kubayangkan bagaimana dinginnya di kutub sana. Aku meronta. Aku menangis. Namun, sia-sia saja. Ia tetap resah berlarian mencari sesuatu hal yang aku juga tidak tahu. Aku kencangkan suara tangisku, berharap ia lekas membawaku ke tempat yang lebih hangat. Namun, nihil. Rumput-rumput ini tidak memberikanku kenyamanan sedikit pun. Kain yang membalut tubuhku telah basah olehnya. Jangan kamu tanya bagaimana sakitnya merasakan hawa dingin sedini hari ini. Juga, jangan kamu tanya bagaimana aku harus waspada dari kemungkinan 2

ancaman hewan-hewan buas. Aku berusaha menggeserkan posisi tubuhku agar menghadap ke arahnya. Aku coba miringkan badanku ke kanan, tetapi tidak berhasil. Begitu pun sebaliknya. Gerakanku malah membuat rumput-rumput lembap ini membasahi seluruh kain yang menutupi badanku. Aku putus asa! Ya Allah, suruh Izrail-Mu menjemputku sekarang! Kembalikan lagi aku ke surga-mu. ***** Ia masih memandangku dengan mata yang berair, menggenangi wajahnya yang selalu menampakkan kesedihan dan kemuraman. Helai-helai rambutnya menari mengiringi tiupan angin subuh ini. Entah berapa lama ia mendiamkanku di sini, di bawah langit yang hitam dan suasana yang sangat sunyi. Aku nyaris menggigil menahan rasa dingin, ditambah basah yang belum juga hilang dari tubuhku. Tidak ada yang bisa aku perbuat untuk mengusir rasa ngilu ini. Aku hanya bisa menangis dan meronta, berharap ia segera menggendongku dan memelukku erat. Anakku..., lirihnya. Aku sedikit tersentak. Apa yang ia katakan barusan? Anakku? Anakku... Kali ini suara isakan tertahan ikut terdengar. Aku semakin bingung. Ada apa dengan manusia ini? Ia memanggilku, tetapi belum juga menggendongku. Kukencangkan tenagaku agar keluar menjadi tangisan keras yang akan memecah hening subuh ini. Tangisan yang akan membuat seluruh penghuni langit dan bumi iba. 3

Anakku... Ia bergegas melangkah dengan isakan yang masih terdengar memilukan, menjauh dari tempatku dibaringkan di atas sehelai kantong kresek hitam yang susah payah ia temukan di antara tumpukan sampah. Langkahnya semakin menjauh, lantas menghilang menjadi satu titik kecil di antara kegelapan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku benar-benar ditinggalkannya, sendiri dalam tangisan. Langit masih saja hitam. Sulit kubedakan apakah itu warna sebenarnya atau serupa kabut yang membuatnya berwarna gelap. Sayup di antara tangisanku, terdengar kalimatkalimat takbir dikumandangkan. Perlahan, rasa takut dan sakitku memudar seiring dengan merdunya kalimat-kalimat suci itu bergema, digantikan dengan rasa hangat dan aman yang membuatku berhenti menangis. Bias-bias cahaya bisa kulihat dari langit. Awalnya berupa titik kecil, lalu membesar menjadi sinar yang menyilaukan mata. Aku mengembangkan senyum dari bibir mungilku. Inikah saatnya aku kembali ke surga? Mungkinkah cahaya itu dikirim-nya untuk menerangi jalan pulangku? Samar kudengar beberapa langkah kaki, membuat cahaya tadi menghilang perlahan seiring dengan semakin mendekatnya kaki-kaki itu. Aku diam dan kembali menggigil. Rasanya ingin kembali menangis mengetahui bahwa tadi itu bukanlah waktuku untuk kembali pulang. Astaghfirullahalaziim! Ada bayi! Ada bayi! teriak salah seorang dari pemilik langkah-langkah tadi. Seorang pria paruh baya dengan uban yang menghiasi janggutnya segera mengangkat dan menghangatkanku dalam gendongannya. Sorban putih yang menghiasi pundaknya berpindah menyelimuti tubuhku. Aku mulai merasa hangat. Beberapa orang yang berjalan di belakangnya setengah 4

berlari mendekat. Kulihat wajah-wajah penuh kecemasan dan kengerian memandangiku. Bayi siapa ini, Wak? salah seorang bertanya. Namun, pria yang menggendongku bergeming. Dekapannya semakin erat pada tubuh mungilku. Kita bawa saja dulu ke masjid. Sebentar lagi ikamah, ujarnya sambil berlalu. ***** Saat pagi datang, aku tahu bahwa aku sedang berada di dalam sebuah masjid bersama pria paruh baya yang mereka panggil Wak Haji dan beberapa orang yang menolongku subuh tadi. Mereka tidak henti-hentinya menatapku dengan perasaan iba bercampur geram. Sesekali aku berusaha tersenyum, tetapi seringnya kukeluarkan tangisan. Seluruh tubuhku rasanya ngilu dan dingin meskipun aku sudah ditidurkan dengan alas sebuah bantal dan selimut yang lumayan tebal. Aku tidak tahu apakah tangisanku keluar karena rasa sakit yang sedang kurasakan atau rasa sakit hati karena seorang perempuan yang kuketahui ia memanggilku Anakku dan seharusnya aku panggilnya dengan sebutan ibu membuangku di tengah gelapnya dini hari. Aku terus menangis dan meronta. Bukan. Bukan karena aku tidak berterima kasih kepada Wak Haji dan orang-orang yang menolongku, bukan juga karena aku tidak suka ditidurkan di atas bantal dengan selimut tebal ini, melainkan aku meronta kepada Allah. Aku memanggil- Nya terus-menerus dan memohon agar aku bisa pulang. Mungkin kehadiranku di dunia ini memang tidak diharapkan. 5

Buktinya, baru saja tiga hari aku melihat dunia dan mencoba memahami keadaan yang ada, aku sudah dibuang. Rasa dingin yang kurasakan perlahan menghilang. Begitu pun dengan rasa ngilu di sekujur tubuhku. Sekarang aku mulai merasa hangat. Aku yakin jika kehangatan ini datang dari Allah agar aku tenang, agar aku ikhlas. Kulihat Wak Haji dan beberapa orang yang masih berada di masjid masih berbincang-bincang. Kudengar mereka akan menyisir seluruh rumah di kampung untuk mencari tahu siapa yang sudah membuangku. Pun, beberapa pria sudah ditugaskan untuk mencari informasi siapa yang baru saja melahirkan di kampung tetangga. Di tengah rasa hangat yang sudah menyelimuti tubuh dan menjalari hatiku, aku tersenyum menatap Wak Haji. Pria paruh baya yang baik itu baru saja mengatakan akan membawaku pulang dan mengurusku hingga besar seperti anak kandungnya sendiri jika mereka tidak berhasil menemukan perempuan yang sudah membuangku itu. Sebuah cahaya menyilaukanku menerobos lewat jendela masjid. Aku tersenyum gembira. Itu tentu saja bukan cahaya matahari pagi. Itu pasti cahaya dari langit. Allah sudah mendengarku. Allah mengabulkan keinginanku untuk kembali pulang ke surga. Cahaya itu kian benderang, kemudian memelukku dan mengangkatku meninggalkan Wak Haji dan orang-orang baik itu. Aku tidak sempat berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada mereka yang mulai panik setelah tidak mendengarkan suara tangis dan melihat ragaku menjadi kaku. Dalam pangkuan cahaya yang membawaku pulang ke surga ini, aku tersenyum dan melambaikan tangan kepada mereka. Mungkin mereka tidak akan melihat, tetapi seandainya mereka tahu, mereka 6

akan bahagia melihatku pulang kembali ke surga Allah dan menjadi kupu-kupu yang terbang bebas menyemai kebahagiaan di taman-taman yang sangat indah. Semoga aku bertemu lagi dengan kalian di surga- Nya nanti. 7

Fajar, Mentari, dan Senja Desember, 2012 Senja menerobos hujan dengan langkah-langkah yang sedikit panjang. Di beberapa bagian, air genangan sisa hujan membasahi sepatu. Diliriknya Seiko cokelat muda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Di sudut taman kota, seorang pria masih menunggu Senja dengan setia. Hatinya gegap gempita. Sesekali senyumnya merekah ketika menyadari kenyataan bahwa tepat beberapa menit lagi, ia akan kembali bertemu dengan Senja, teman sepermainannya semasa kecil dulu, yang sekarang sudah menjelma menjadi seorang wanita dewasa yang cerdas, anggun, dan mandiri. Terbayang di matanya ketika dulu ia sering menggoda Senja dengan menyembunyikan sepasang sandal miliknya yang tergeletak di teras rumah. Atau, Senja yang selalu riang mengantarkan sekantong sedang jambu air ketika pohon di rumahnya tengah berbuah lebat. Ah, masa-masa indah itu. Fajar? Sebuah suara mengagetkannya, membuyarkan semua lamunannya dalam sekejap. Ketika ia menoleh ke kanan, ia mendapati seorang gadis dengan tatapannya yang masih seteduh dulu. Seorang gadis yang bertahun-tahun menjebaknya dalam perasaan rindu yang 8

salah. Seorang gadis yang membuatnya nekat kembali ke kampung halamannya, membawa Tari dan Embun, membawa cinta yang dulu ia simpan rapat dari siapa pun, membawa setitik harapan untuk menyembuhkan luka-luka lamanya. Senja pun mematung sesaat. Ia hampir tidak percaya mendapati Fajar yang kini berdiri gagah dengan kemeja garis-garis vertikal berwarna biru. Rambutnya sekarang lebih rapi tertata. Senyumnya masih sama manisnya seperti dulu. Senja merasa bahagia, sekaligus ngilu. Kenyataan yang dihadapinya sekarang lebih tegang daripada rindurindu yang selalu mencekamnya bertahun-tahun. Ia harus lebih siap menerima luka, yang mungkin akan jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya. Senja, kamu cantik sekali. Fajar, apa kabar Tari dan Embun? Senja berusaha tetap melemparkan senyum, meskipun pertanyaan yang ia lontarkan itu membuat degup jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Fajar terdiam. Ia tidak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari mulut Senja, bukan kalimat-kalimat rindu seperti yang ia nantikan. Ada perih di hatinya, sedikit. Mereka baik-baik saja, Senja. Suasana hening sesaat. Senja mematung memunggungi Fajar. Untuk apa kamu menyuruhku datang ke sini, Jar? Senja, mungkin ini gila, tapi aku tidak ingin hidup tersiksa seperti yang aku rasakan selama ini. Fajar menundukkan wajahnya, sedikit dalam. Bertahun-tahun aku hidup dalam perasaan bersalah, Senja. Tidakkah kamu ingin kita memulainya sekarang? Fajar semakin tertunduk. 9

Dengan cemas ia menantikan jawaban apa yang akan keluar dari bibir Senja. Tidak, Fajar. Aku tidak bisa sebodoh itu melukai perasaan Tari dan Embun. Hidup kita sudah berbeda. Tidak ada takdir yang Tuhan berikan untuk kita hidup bersama. Takdirmu dengan Tari, bukan denganku. Fajar membalikkan badannya ke arah Senja. Perempuan yang dicintainya itu masih saja mematung memunggunginya. Hidupku tidak bahagia bersama Tari, Senja. Hidupku hampa. Apa dengan kita hidup bersama, luka-lukaku selama ini bisa hilang, Jar? Suara Senja meninggi. Setidaknya, sembuhkanlah sedikit dari luka yang tidak mau hilang ini dengan tidak hadir di hidupku lagi. Jangan tambah luka ini dengan memaksaku ikut denganmu melukai Tari dan Embun. Senja berbalik dan menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Kamu masih sakit hati, Senja? Bodoh sekali pertanyaanmu, Jar! Tidak perlu aku jawab pun kamu pasti sudah tahu! ujar Senja ketus. Seharusnya kamu tidak perlu kembali ke sini. Kamu tidak perlu mencariku. Aku sudah lelah, Jar. Tujuh tahun harus aku lewati dengan luka yang tidak bisa aku hilangkan. Senja mengusap ujung matanya. Ada titik air yang sedikit menggenang di sana. Fajar kontan saja kikuk, merasa bersalah dengan ucapannya barusan. Aku kembali untuk menyembuhkan lukamu, Senja! Aku akan menebus semua sakit hatimu dengan banyak kebahagiaan. Kasih aku kesempatan, aku mohon. Menyembuhkan luka katamu? Senja menyelidik. 10