BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indah Riezky Pratiwi, 2014

dokumen-dokumen yang mirip
PENTINGNYA PEMECAHAN MASALAH Fadjar Shadiq, M.App.Sc (Widyaiswara PPPPTK Matematika)

MEMANFAATKAN ALFAMETIKA DAN CRYPTARITHMS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERNALAR SISWA Fadjar Shadiq

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu matematika sampai saat ini, seperti Pythagoras, Plato,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang akan

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB II. Kajian Teoretis

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yaitu membekali diri dengan pendidikan. Terdapat pengertian pendidikan menurut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

BAB I PENDAHULUAN. dapat berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. dan kritis (Suherman dkk, 2003). Hal serupa juga disampaikan oleh Shadiq (2003)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Matematika perlu. diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk

BAB I PENDAHULUAN. pelajaran matematika perlu diberikan kepada siswa mulai dari sekolah dasar,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Kehidupan yang semakin meng-global ini memberikan tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riva Lesta Ariany, 2014

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan sehari- hari maupun dalam ilmu pengetahuan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR MELALUI MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA MATERI LINGKARAN SISWA KELAS VIII

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi. Matematika terbentuk

BAB I PENDAHULUAN. intelektual dalam bidang matematika. Menurut Abdurrahman (2012:204)

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika sejatinya dipandang sebagai alat untuk mengembangkan cara

BAB I PENDAHULUAN. matematika. Matematika dapat membekali siswa untuk memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berpikir merupakan satu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan terarah kepada suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam kelangsungan hidupnya sehari-hari. Bicara mengenai matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Masalah merupakan suatu hal yang sangat melekat di. kehidupan manusia, mulai dari masalah yang dengan mudah dipecahkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Angie (Uno : 2009) menyatakan tanpa disadari

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Irvan Noortsani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan cepat dan pesat sering kali terjadi dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mempunyai peran penting

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang mungkin menggunakan salah satu dari arti kata tersebut sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sehari-hari. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. mampu mengerjakan dan memahami matematika dengan benar. keadaan di dalam kehidupan sehari-hari dan di dunia yang selalu berkembang

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB I PENDAHULUAN. disampaikan oleh guru matematika, kesulitan siswa dalam menalar dan

BAB I PENDAHULUAN. dan sekaligus pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia). Matematika juga

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Metakognitif. Menurut Flavell (1976) yang dikutip dari Yahaya (2005), menyatakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran. Efektivitas itu sendiri menunjukan taraf tercapainya suatu tujuan.

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vika Aprianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Balitbang Depdiknas (2003) menyatakan bahwa Mata pelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2016 PENERAPAN PENDEKATAN CREATIVE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Proses pembelajaran matematika di perguruan tinggi membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip matematika. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. dahulu kita harus mengetahui definisi dari masalah itu sendiri. Prayitno (1985)

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya peradaban dunia membawa perubahan terhadap budaya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi saat ini, bangsa Indonesia dihadapkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

TINJAUAN PUSTAKA. dan sasarannya. Efektivitas merujuk pada kemampuan untuk memiliki tujuan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penalaran Matematika yang mencakup kemampuan untuk berpikir secara logis dan sistematis merupakan ranah kognitif Matematika yang paling tinggi (Kusnandi, 2002). Ministry of Singapore Education (2009) menjelaskan bahwa penalaran Matematis berkaitan dengan kemampuan menganalisis situasi Matematika dan membangun argumen yang logis. Peningkatan kualitas siswa dalam proses bernalar Matematis merupakan suatu hal penting yang sedang menjadi fokus dalam dunia pendidikan Matematika untuk dilakukan pengkajian secara lebih mendalam. Depdiknas (Shadiq, 2004) menyatakan bahwa materi Matematika dan penalaran Matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi Matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar Matematika. Penalaran Matematis merupakan habit of mind yang dapat dikembangkan melalui pengaplikasian Matematika dalam berbagai konteks yang berbeda. Dengan demikian dapat dilihat secara jelas mengenai pentingnya melatih penalaran dalam pembelajaran Matematika melalui pengaplikasian masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan penggunaan penalaran Matematis dalam proses penarikan kesimpulan atas masalah yang dihadapi. Penarikan kesimpulan dan proses membuat suatu pernyataan baru yang benar haruslah didasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Dalam proses benalar Matematis ini siswa harus beralasan yang logis dalam setiap penarikan kesimpulan dan membuat pernyataan baru, sehingga keterampilan bernalar Matematis siswa sangat perlu untuk ditingkatkan dan dilatih melalui belajar Matematika. Dapat dibayangkan bagaimana keterampilan berpikir siswa bila dalam belajar matematika tidak menyertakan proses bernalar. Dikhawatirkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep sehingga akan terjadi

2 miskonsepsi yang selanjutnya akan menyebabkan suatu kegagalan dalam proses pemecahan masalah. Kesulitan yang dialami siswa disebabkan karena siswa terlalu menekankan proses pemahaman konsep pada hapalan saja tanpa menggunakan proses bernalar. Ministry of Singapore Education (2009) mengemukakan bahwa penalaran Matematika merupakan salah satu aspek dalam komponen proses pemecahan masalah yang mengembangkan upaya untuk memperoleh solusi masalah dengan menerapkan pengetahuan Matematika dan melibatkan keterampilan siswa berfikir dan bernalar. NCTM (2000) menambahkan bahwa orang yang bernalar dan berpikir secara analitis cenderung memperhatikan pola, struktur atau aturan-aturan baik dalam situasi kehidupan sehari-hari atau yang berupa simbolik. Mereka bertanya jika pola yang mereka amati tersebut muncul secara kebetulan atau bahkan jika terjadi karena suatu alasan; mereka melakukan dugaan dan selanjutnya membuktikan. Melalui proses membangun keterampilan bernalar yang cukup, Guru dapat membantu siswa mempelajari apakah penalaran Matematis diperlukan dalam proses pembelajaran. Proses bernalar Matematis sangat penting dikembangkan melalui belajar Matematika terutama dalam upaya mengembangkan keterampilan berpikir siswa. Prabawa (2010) menjelaskan bahwa di era teknologi dan perdagangan bebas, kemampuan bernalar Matematis menjadi hal yang akan sangat menentukan keberhasilan peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi, sehingga penalaran Matematis menjadi satu hal penting yang harus terus dikembangkan selama proses pembelajaran. Cooney, dkk. (Shadiq, 2004) menjelaskan bahwa suatu pertanyaan akan menjadi masalah jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pelaku. Jacob (Shadiq, 2004) mengemukakan bahwa everyone knows that it is easy to do a puzzle if someone has told you the answer. That is simply a test of memory. You can claim to be a mathematician only if you can solve puzzles that you have never studied before. That is the test of reasoning. Dari kedua definisi di atas diperoleh garis merah mengenai

3 keterkaitan antara masalah dan karakteristik dari suatu tes penalaran. Dengan demikian untuk melihat bagaimana penalaran Matematis seseorang dapat dilihat dari bagaimana mereka menyelesaikan masalah. Proses pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan proses bernalar. Proses bernalar dianggap sebagai suatu aktivitas berpikir dalam memecahkan masalah. Proses bernalar siswa dapat dilihat dari bagaimana siswa memecahkan masalah, di mana siswa diharapkan dapat berlatih menggunakan pola pikir tingkat tinggi dan berargumentasi dalam setiap langkah yang diambilnya dalam memecahkan masalah. Proses bernalar Matematis siswa dapat dilihat penggambarannya melalui bagaimana seseorang memecahkan masalah, karena proses bernalar Matematis merupakan salah satu bagian yang penting dalam aspek pemecahan masalah. Dengan demikian kesuksesan dan kegagalan siswa dalam memecahkan masalah matematika dapat juga menggambarkan bagaimana proses penalaran Matematis yang mereka libatkan dalam memecahkan masalah. Pemecahan masalah sudah menjadi fokus utama dalam Kurikulum Matematika Singapura selama lima belas tahun terakhir. Untuk sukses dalam menyelesaikan berbagai jenis masalah khususnya masalah nonrutin, seorang siswa harus menerapkan empat tipe kemampuan Matematika yaitu konsep Matematika, keterampilan, proses, dan Metakognisi. Aspek dalam kemampuan proses adalah penggunaan Heuristik (Yoong dan Tiong, 2006). Dengan demikian keterampilan siswa dalam menggunakan Heuristik selanjutnya akan turut mempengaruhi bagaimana kesuksesan siswa dalam memecahkan masalah. Lai, dkk. (2009) menjelaskan bahwa melalui Heuristik, dapat dijelaskan setiap tahap-tahap pengerjaan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dalam tugas pemecahan masalah. Dapat dikatakan bahwa ketika pemecah masalah mengimplementasikan Heuristik, hal itu dapat menghantarkan mereka menuju penemuan solusi. Pemikiran tentang Heuristik adalah mengenai strategi umum yang harus dipatuhi dan secara nyata seperti yang dijelaskan oleh Polya.

4 Lai, dkk. (2009) mengatakan bahwa secara jelas Heuristik dapat dilihat dalam proses bernalar (Penalaran) yang mana dipandang secara garis besar sebagai sebuah proses kognitif dalam membuat penjelasan sebagai hasil dari menghubungkan, menyimpulkan, keyakinan, tindakan, dan feeling. Selanjutnya ditambahkan oleh English yang dikutip oleh Lai (2009) bahwa penalaran Matematis meliputi proses menganalisis data, membuat konjektur, membuat argumentasi, membentuk dan membenarkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan logika, dan menegaskan suatu proses pembuktian. Seperti yang dikemukakan, proses ini memungkinkan berbagai tipe-tipe berpikir conditional, proportional, spatial, critical thinking,dan penalaran induktif dan deduktif. Terdapat fakta-fakta yang mengumpamakan suatu hubungan yang sangat erat antara Heuristik terhadap penalaran Matematika dan dapat mempengaruhi kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan akhirnya membentuk sebuah generalisasi. Heuristik memiliki peran penting dalam proses bernalar. Hal ini berhubungan dengan bagaimana langkah-langkah dan strategi siswa dalam memecahkan masalah yang diberikan kepada mereka. Heuristik siswa dalam proses bernalar dapat dilihat melalui penjelasan, langkah-langkah dan strategi yang bisa diberikan oleh siswa sebagai hasil dari proses bernalar Matematis yang mereka lakukan. Pada kenyataannya, Heuristik tidak selalu menjamin tercapainya kebenaran dalam proses penyelesaian masalah, namun proses tersebut menjadi hal yang paling penting, karena berkaitan dengan bagaimana siswa berusaha mencari jalan keluar untuk mendekatkan masalah pada solusi yang diharapkan. Yoong dan Tiong (2006) mengatakan bahwa Guru Matematika sering berkeinginan agar siswa dapat menunjukan strategi yang berbeda dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berfikir kreatif siswa dan untuk mematahkan persepsi umum bahwa masalah Matematika selalu hanya memiliki satu cara yang benar dan satu-satunya jawaban yang benar. Guru berharap siswa dapat lebih berfikir keras untuk memecahkan masalah dengan menggunakan strategi yang berbeda. Melalui penggunaan strategi yang berbeda tersebut Guru memperoleh pemahaman yang mendasar tentang

5 bagaimana siswa berfikir secara Matematis, seringkali dalam cara yang benarbenar tidak terduga, jawaban yang benar ataupun salah. Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pengkajian secara lebih mendalam mengenai kemampuan Heuristik yang mengarah pada keterampilan siswa dalam menggunakan Heuristik dengan tujuan untuk memperkuat keterampilan proses pemecahan masalah. Penalaran Matematis yang menjadi salah satu komponen dalam pemecahan masalah menjadi fokus dalam pengembangan keterampilan Heuristik ini. Selanjutnya akan dilakukan pengkajian mengenai hal hal yang berhubungan dengan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis. Dengan harapan, melalui kegiatan eksplorasi ini ditemukan solusi mengenai hal hal apa saja yang berhubungan dengan kemampuan Heuristik yang dapat dikembangkan oleh Guru dalam proses pembelajaran yang dilakukan agar siswa dapat melakukan proses bernalar Matematis yang baik dalam memecahkan masalah yang dihadapkan kepada mereka. Tiong, dkk. (2005) mengatakan bahwa dalam pelaksanan proses pembelajaran, tidak semua jenis Heuristik dapat diajarkan oleh Guru secara eksplisit, karena kenyataannya kadangkala ada beberapa Heuristik yang digunakan oleh siswa diperoleh dari pengalaman pemecahan masalah mereka pribadi atau yang diidentifikasi ketika mereka mengobservasi pemecahan masalah dari orang lain. Kita juga dapat mempelajari macam-macam Heuristik melalui pengujian dan belajar berdasarkan pada contoh yang ada pada textbook. Alasan yang paling penting untuk mempelajari Heuristik adalah karena Heuristik dapat membantu menyelesaikan masalah pada topik yang tidak familiar, walaupun sebenarnya tanpa bantuan Heuristik pun, siswa mungkin masih bisa menyelesaikan masalah, dalam hal ini Heuristik hanya meningkatkan kesempatan untuk menemukan solusi yang tepat. Sekarang ini, yang menjadi pusat perhatian adalah tipikal pembelajaran yang seperti apa yang dapat memberikan kontribusi terhadap kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis siswa. Selain harus menyediakan lingkungan belajar yang mampu memotivasi siswa untuk dapat mengeksplorasi kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis yang mereka miliki, Guru

6 harus kreatif dalam mengembangkan pola pembelajaran yang mampu mengarahkan siswa menuju kesusksesan dalam penggunaan Heuristik dalam penalaran Matematis yang pada mulanya tidak menjamin kesuksesan pemecahan masalah ke arah pencapaian kesuksesan dalam memecahkan masalah Matematika. Foong (1991) menyatakan bahwa metode pembelajaran yang tradisional dan yang bersifat imitasi tidak cukup memberikan jaminan bahwa pemecahan masalah dapat berkembang untuk para siswa, seperti secara bebas membuat keputusan, memeriksa, penyelidikan alternatif jawaban, pengujian hipotesis, diskusi, dan mengevaluasi proses dan hasil. Guru dimungkinkan untuk berpindah ke arah sebuah asas tipe pedagogik yang berbeda yang dalam hal ini merupakan model pembelajaran dengan tujuan menanamkan kepada siswa tentang efektivitas dari strategi Heuristik dan Metakognitif dalam pemecahan masalah yang akan dengan mudah membantu siswa dalam menemukan solusi dari berbagai masalah. Selain itu juga mengenai tipe pembelajaran di mana Guru menganjurkan siswanya untuk sering menyelesaikan masalah, menanamkan berfikir secara bebas dan yang meminta beragam pendekatan solusi yang berbeda akan membuat siswanya kaya akan pengalaman pemecahan masalah. Mansur (Prabawa, 2010) menjelaskan tentang kenyataan yang ada di lapangan, di mana proses pembelajaran di sekolah terlalu banyak ditekankan pada aspek doing tetapi kurang menekankan pada aspek thinking. Apa yang diajarkan di ruang kelas lebih banyak berkaitan dengan keterampilan manipulatif atau berkaitan dengan bagaimana mengerjakan sesuatu tetapi kurang berkaitan dengan mengapa demikian dan apa implikasinya. Dengan kata lain basis pemahaman dan belajar hanya berupa hapalan saja, bukannya penalaran, pemecahan masalah atau kemampuan berpikir sebagai basis pemahaman. Akibatnya pengembangan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah Matematis siswa menjadi terhambat. Menyadari pentingnya pengembangan suatu strategi pembelajaran dalam upaya meningkatkan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis yang dalam hal ini menunjang kesuksesan siswa dalam pemecahan masalah, mutlak diperlukan adanya tipikal pembelajaran yang lebih dapat melibatkan siswa secara aktif dalam mengembangkan keterampilan berpikir mereka.

7 Ministry of Singapore Education (2009) menyatakan bahwa dalam Singapore Math framework, terdapat salah satu komponen yang kajiannya sangat berhubungan erat terhadap aspek kemampuan proses, yaitu komponen Metakognisi. Metakognisi (thinking about thinking) berhubungan dengan kesadaran akan kontrol terhadap proses kemampuan berfikir seseorang dalam hal penggunaan stategi pemecahan masalah. Komponen ini menjelaskan tentang proses monitor seseorang dalam berfikir dan self-regualtion seseorang dalam belajar. Pengalaman Metakognisi merupakan hal penting untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah mereka. Borich (Yamin, 2013) mengatakan bahwa Metakognisi merupakan strategi untuk melaksanakan dan memonitor model berpikir yang melibatkan penalaran si pebelajar dan terfokus pada penggunaan penalaran. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat keterkaitan antara metakognisi dan penalaran. Schoenfeld (Hurme dan Järvelä, 2001) menegaskan bahwa pengetahuan Metakognitif membantu siswa untuk merepresentasikan mental model dari suatu masalah dan menghubungkannya dengan konsep. Pengetahuan Metakognitif juga memandu untuk mencapai tujuan dari proses berfikir serta pencapaian solusi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan Metakognitif memegang peranan penting dalam ketercapaian keberhasilan dari proses pemecahan masalah. Hurme dan Järvelä (2001) mengatakan bahwa setelah membentuk mental model dari suatu masalah, siswa harus memutuskan Heuristik atau algoritma yang digunakan dalam konteks. Disinilah pengetahuan Metakognitif memegang peran yang besar, kemampuan ini mempengaruhi keputusan yang dibuat. Berdasarkan tinjauan di atas, dapat dilihat bahwa pengetahuan Metakognitif siswa sangat mempengaruhi pengambilan keputusan siswa dalam penggunaan Heuristik yang dipilih. Dengan demikian untuk mengharapkan siswa dapat memiliki kemampuan Heuristik yang baik, siswa juga harus ditunjang dengan pengetahuan Metakognisi yang baik. Douglas, dkk. (2009) mengemukakan suatu fakta bahwa pelajar dengan semua tingkatan umur memiliki kesulitan yang berarti dalam melakukan proses penalaran yang cermat. Mereka menggunakan sedikit Heuristik yang tidak selalu

8 tepat, contohnya dugaan tentang suatu kejadian sering didasarkan pada proses recall dari contoh-contoh yang mudah, tapi contoh tersebut sering tidak representatif (Heuristik yang tersedia). McLaren, et. al. (Douglas, dkk, 2009) menjelaskan bahwa siswa pemula memiliki kesulitan mengingat langkah-langkah yang mereka gunakan dalam prosedur-prosedur sederhana. Tanpa catatan yang cermat mengenai apa-apa saja yang telah mereka lakukan, terlepas apakah dugaan yang mereka pilih bekerja atau tidak, penelitian mereka mengenai pengawasan dan pengaturan Metakognitif tidak akan terkumpul dengan baik. Hal ini merupakan suatu tantangan yang harus diperjuangkan oleh pelajar yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi, contohnya, dalam belajar prosedur melalui latihan-latihan pengerjaan soal. Kwang (2000) menjelaskan bahwa bimbingan dalam penggunaan Metakognitif dalam mengajarkan Matematika tidak pernah dibuat secara eksplisit oleh Guru, walaupun benar bahwa beberapa siswa mengembangkan beberapa kesadaran Metakognitif dan kemudian mengkaitkannya dalam kontrol mereka. Sebagian besar Guru memberikan berbagai bimbingan kepada siswanya dalam mengatur proses pemecahan masalah mereka (contohnya mendukung siswa untuk mengoreksi kembali pekerjaan mereka. Kegiatan evaluasi terhadap proses pemecahan masalah yang telah dilakukan menjadi salah usaha yang dapat dilakukan dalam upaya mengontrol kesadaran berpikir siswa. Kesadaran akan pentingnya kegiatan evaluasi ini harus ditanamkan dalam diri siswa. Selain dikaji dari proses pembelajaran seperti apa yang cocok dan berkontibusi dalam peningkatan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis siswa, juga ditemukan salah satu aspek yang penting untuk dikaji secara lebih mendalam karena memiliki kontribusi dalam peningkatan hasil belajar siswa. Hasil ini sesuai dengan pendapat Verschaffel dan de Corte (Somakim, 2010) yang menyatakan bahwa penyelesaian masalah Matematika saat ini difokuskan terhadap sikap dan keyakinan siswa dan kapasitas mereka untuk mengaplikasikan pengetahuan Matematika dalam masalah-masalah yang bersifat non-rutin. Mereka juga mendokumentasikan bahwa keyakinan yang kuat dari siswa dapat berfungsi sebagai alat untuk meramalkan (predictor) keberhasilan dan

9 prestasi siswa dalam penyelesaian masalah yang autentik. Faktor keyakinan ini dimunculkan beberapa ahli sebagai faktor yang efektif dalam mengerjakan tugastugas pemecahan masalah. Self Efficacy mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan, Membantu seberapa jauh seorang siswa dapat bertahan untuk tetap bertindak dalam suatu aktivitas yang dijalankannya, serta berpengaruh terhadap pola reaksi dan reaksi emosionalnya (Bandura, 1997). Kontribusi dari Self Efficacy tersebut sangat diperlukan oleh siswa dalam memecahkan masalah yang diberikan kepada mereka. Ketika mereka memiliki Self Efficacy yang tinggi tentunya mereka akan tetap bertahan dan tidak mudah menyerah pada aktivitas sebelum mereka dapat memecahkan masalah tersebut, serta Self Efficacy sangat mempengaruhi keputusan yang mereka buat. Self Efficacy dapat membantu siswa untuk dapat mengumpulkan informasi yang sebanyak mungkin yang diperlukan sesuai dengan kualitas Self Efficacy yang mereka miliki. Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat ada keterkaitan antara strategi Metakognitif dan kualitas Self Efficacy Matematis siswa dalam mengatur penggunaan Heuristik dalam penalaran Matematis. Karena melalui pengetahuan Metakognitif akan terbentuk mental model yang selanjutnya memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses pemilihan strategi yang diyakini memenuhi permasalahan yang ada. Disini juga diperlukannya peran Self Efficacy Matematis yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang mereka buat yang dalam hal ini bisa berupa keputusan dalam memilih Heuristik yang tepat untuk memecahkan masalah yang diberikan kepada mereka. Selain itu Self Efficacy Matematis mampu membuat siswa bertahan lebih lama dan lebih berjuang dalam memecahkan masalah, sehingga strategi Metakognitif dan Self Efficacy Matematis yang dilakukan bertujuan untuk mengarahkan siswa dalam memilih Heuristik yang tepat. Heuristik yang pada awalnya hanya merupakan upaya yang bisa dilakukan siswa untuk mendekatkan mereka kepada pemecahan masalah namun tidak menjamin kesuksesan dalam pemecahan masalah tersebut, melalui strategi pembelajaran Metakognitif Guru dapat mengarahkan siswa untuk dapat berpikir

10 tingkat tinggi (Metakognisi) dalam menggunakan Heuristik yang tepat, sehingga kesuksesan pemecahan masalah akan tercapai dengan baik. Selain faktor pembelajaran dan Self Efficacy, ada faktor lain yang diduga berkontribusi terhadap kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis siswa dalam belajar Matematika, yaitu kelompok kemampuan awal Matematis siswa yang bisa digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu kelompok atas, kelompok tengah dan bawah. Menurut Galton (Prabawa, 2010) setiap siswa mempunyai kemampuan berbeda dalam memahami Matematika, dari sekelompok siswa yang tidak dipilih secara khusus, akan selalu kita jumpai siswa yang kemampuannya berada pada kelompok atas, tengah dan bawah, karena kemampuan siswa (termasuk kemampuan dalam Matematika) menyebar secara distribusi normal. Perbedaan kemampuan yang dimiliki siswa tidak semata-mata merupakan bawaan dari lahir tapi juga karena pengaruh lingkungan. Oleh karena itu pemilihan lingkungan belajar khususnya strategi pembelajaran yang dipilih harus dipertimbangkan secara matang. Pemilihan strategi pembelajaran harus mampu mengakomodasi kemampuan awal Matematika siswa yang heterogen sehingga dapat memaksimalkan hasil belajar. Krutetski (Prabawa, 2010) menambahkan bahwa banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa siswa yang berada pada kelompok atas akan memperoleh prestasi yang tinggi, tidak perduli metode belajar apapun yang diterapkan. Sehingga usaha lebih dapat dilakukan melalui penerapan pembelajaran yang mampu mengakomodasi kemampuan siswa yang berada pada kelompok tengah dan bawah sehingga melalui pengimplementasian pembelajaran tersebut dapat membantu siswa pada kelompok tengah dan bawah dalam meningkatkan kemampuan Matematika yang mereka miliki. Syah (2010) menambahkan bahwa pendekatan belajar (approach to learning) dan strategi atau kiat melaksanakan pendekatan serta metode belajar termasuk faktor-faktor yang turut menentukan tingkat efisiensi dan keberhasilan belajar siswa. Sering terjadi seorang siswa yang memiliki kemampuan ranah cipta (kognitif) yang lebih tinggi daripada teman-temannya, ternyata hanya mampu mencapai hasil yang sama dengan yang dicapai teman-temannya itu. Namun

11 sebaliknya, seorang siswa yang sebenarnya hanya memiliki kemampuan ranah cipta rata-rata atau sedang dapat mencapai puncak prestasi (sampai batas optimal kemampuannya) yang memuaskan lantaran menggunakan pendekatan belajar yang efisien dan efektif. Dengan demikian terlihat bagaimana suatu tipikal pembelajaran mampu memberikan kontribusi secara efektif dan efisien pada berbagai kelompok kemampuan awal Matematis. Reigeluth dan Merril (Uno dan Lamatenggo, 2010) menjelaskan bahwa dalam pengembangan teori belajar, beberapa ahli melakukan pengelompokan beberapa jenis variabel pembelajaran. Klasifikasi variabel-variabel pembelajaran dibagi menjadi 3, yaitu (1) kondisi pembelajaran, (2) metode pembelajaran, dan (3) hasil pembelajaran. Kondisi pembelajaran didefinisikan sebagai faktor yang mempengaruhi efek metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Menurut (Uno dan Lamatenggo, 2010) kondisi pembelajaran diklasifikasikan oleh Glaser berupa komponen analisis bidang studi dan kemampuan awal. Kondisi pembelajaran berinteraksi dengan metode pembelajaran, dan hakikatnya tidak dapat dimanipulasi. Metode pembelajaran didefinisikan sebagai cara-cara berbeda untuk mencapai pembelajaran yang berbeda dengan kondisi pembelajaran yang berbeda. Klasifikasi yang ketiga, hasil pembelajaran, mencakup semua efek yang dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda. Hasil pembelajaran biasa berupa hasil nyata (actual outcomes) dan hasil yang diinginkan (desired outcomes). Dengan demikian, kondisi pembelajaran yang dalam hal ini kemampuan awal Matematis dapat menjadi faktor yang mempengaruhi efek metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Penelitian ini didasarkan pada beberapa penelitian mengenai pentingnya kemampuan Heuristik dalam pemecahan masalah Matematika. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli terpusat pada analisis kesalahan siswa dalam memecahkan masalah non rutin melalui penelitian kualitatif, dan salah satu diantaranya berupa penelitian yang difokuskan pada bagaimana Guru melatih penggunaan Heuristik terutama dalam penguasaan penerapan strategi Draw a model dan Guess-and-Check melalui pengerjaan workout examples. Disini

12 peneliti berkeinginan untuk mengembangkan penelitian berdasarkan masalahmasalah yang muncul dari beberapa penelitian terdahulu. Ide penelitian ini merupakan pengembangan yang dilakukan dari beberapa peneltian yang telah dilakukan sebelumnya. Hanya saja sebagian besar dari penelitian tersebut dipusatkan pada Heuristik dalam pemecahan masalah. Disini peneliti ingin melakukan pengkhususan pada kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis. Penalaran Matematis merupakan aspek yang ada dalam proses siswa memecahkan masalah. Heuristik sangat berperan penting dalam proses penalaran Matematis sebagai tahapan berpikir dalam melakukan proses bernalar. Penelitian yang mengkaji tentang kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis dan Self Efficacy Matematis melalui strategi pembelajaran Metakognitif ini merupakan penelitian yang belum pernah dilakukan, sehingga peneliti berniat untuk mengembangkannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengajukan penelitian dengan judul: Penerapan Strategi Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Heuristik dalam Penalaran Matematis dan Self Efficacy Matematis pada Siswa SMP. 1.2 Rumusan Masalah Masalah yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis siswa yang memperoleh strategi pembelajaran Metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan maupun jika ditinjau antara masing-masing kriteria kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah)? 2. Apakah peningkatan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis pada siswa yang memperoleh strategi pembelajaran Metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan maupun jika ditinjau antara masing-masing kriteria kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah)?

13 3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (strategi pembelajaran Metakognitif dan konvensional) dan kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis siswa? 4. Apakah terdapat perbedaan Self Efficacy Matematis siswa yang memperoleh strategi pembelajaran Metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan maupun jika ditinjau antara masingmasing kriteria kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah)? 5. Apakah peningkatan Self Efficacy Matematis pada siswa yang memperoleh strategi pembelajaran Metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional maupun jika ditinjau antara masingmasing kriteria kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah)? 6. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (strategi pembelajaran Metakognitif dan konvensional) dan kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan Self Efficacy Matematis siswa? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Menelaah perbedaan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis siswa yang memperoleh strategi pembelajaran Metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan maupun jika ditinjau antara masing-masing kriteria kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah). 2. Menelaah peningkatan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis pada siswa yang memperoleh strategi pembelajaran Metakognitif dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan maupun jika ditinjau antara masing-masing kriteria kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah). 3. Menelaah interaksi antara pembelajaran (strategi pembelajaran Metakognitif dan konvensional) dan kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis siswa.

14 4. Menelaah perbedaan Self Efficacy Matematis siswa yang memperoleh strategi pembelajaran Metakognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan maupun jika ditinjau antara masingmasing kriteria kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah). 5. Menelaah peningkatan Self Efficacy Matematis pada siswa yang memperoleh strategi pembelajaran Metakognitif dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional maupun jika ditinjau antara masingmasing kriteria kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah). 6. Menelaah interaksi antara pembelajaran (strategi pembelajaran Metakognitif dan konvensional) dan kemampuan awal Matematis (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan Self Efficacy Matematis siswa. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Siswa, melalui strategi pembelajaran Metakognitif siswa mampu meningkatkan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis ketika berhadapan dengan berbagai masalah non-rutin terutama dalam masalah penalaran Matematis dan Self Efficacy Matematis sebagai faktor penunjang pencapaian prestasi siswa dalam belajar Matematika. 2. Guru, melalui penelitian ini diharapkan menjadi sumberi informasi bagi para Guru Matematika untuk dapat mengenal dan mengembangkan strategi pembelajaran Metakognitif dalam upaya meningkatkan kemampuan Heuristik dalam penalaran Matematis serta Self Efficacy Matematis siswa SMP sebagai salah satu metode alternatif dalam menyampaikan informasi kepada siswa. 3. Bagi peneliti lainnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi pendahuluan untuk lebih memahami strategi pembelajaran Metakognitif dalam pembelajaran Matematika sekaligus langkah awal dalam mengembangkan proses belajar mengajar yang tepat di kelas.