JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN Volume 13 Nomor 1 Juni 2015

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

kerugian yang bisa dihitung secara nominal misalnya rusaknya lahan pertanian milik warga. Akibat bencana tersebut warga tidak dapat lagi melakukan pek

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan...

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

PENGENDALIAN SEDIMEN. Aliran debris Banjir lahar Sabo works

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang masih ada hingga sampai saat ini. Kerugian material yang ditimbulkan

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 15 TAHUN 2011 TANGGAL : 9 SEPTEMBER 2011 PEDOMAN MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta merupakan gunung paling aktif di dunia. Gunung Merapi

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. samudra Hindia, dan Samudra Pasifik. Pada bagian selatan dan timur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah dan variasi bencana

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan. Menurut Bakosurtanal, pulau di

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang

besar dan daerahnya rutin terkena banjir setiap masuk hujan. Padahal kecamatan ini memiliki luas yang sempit.hal tersebut menjadikan kecamatan ini men

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI SUB DAS KALI PUTIH JURNAL PUBLIKASI ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN STATUS POTENSI BENCANA

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab.

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru)

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis serta demografis. Dampak dari terjadinya suatu bencana akan

ABSTRAK. Kata kunci : Gunungapi, Banjir Lahar, Kerusakan Permukiman

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan melalui

MIGRASI SEDIMEN AKIBAT PICUAN HUJAN ( KASUS KALI GENDOL GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA )

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

MANAJEMEN BENCANA PENGERTIAN - PENGERTIAN. Definisi Bencana (disaster) DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa dekade terakhir, skala bencana semakin meningkat seiring dengan

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Manajemen Pemulihan Infrastruktur Fisik Pasca Bencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN MITIGASI BENCANA KEBAKARAN DI PERMUKIMAN PADAT (STUDI KASUS: KELURAHAN TAMAN SARI, KOTA BANDUNG)

MITIGASI BENCANA BENCANA :

BAB I PENDAHULUAN. (sebelah barat Gunungapi Kelud). Gambar 1.1 memperlihatkan material yang

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. harta benda, dan dampak psikologis. Penanggulangan bencana merupakan suatu

Desa Tlogolele tak Lagi Terisolir Ambrolnya Dam Kali Apu oleh hantaman banjir lahar hujan pasca erupsi Merapi 2010, menyebabkan Desa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Gempabumi yang terjadi pada 27 mei 2006 yang melanda DIY-Jateng

BAB I PENDAHULUAN. hujan setelah gunungapi meletus atau setelah lama meletus. Aliran dari lahar ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MITIGASI BENCANA TERHADAP BAHAYA LONGSOR (Studi kasus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat)

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Salah satu fungsi pembangunan sabo dam adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN 1412-6982 Volume 13 Nomor 1 Juni 2015 EVALUASI KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH DALAM MENGHADAPI BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI 2010 DI KALI PUTIH KABUPATEN MAGELANG Rosalina Kumalawati Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UNLAM Banjarmasin Jl. Brigjen Hasan Basri Banjarmasin Abstrak : Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010. Penelitian dilakukan di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Srumbung, Salam dan Ngluwar. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survei dan wawancara mendalam (in-depth interview). Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), kesbangpolinmas, dan Badan Pusat Statistik (BPS). Analisis hasil dilakukan secara eksplanatif terhadap temuan-temuan lapangan berdasarkan teori-teori yang telah ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemerintah di daerah penelitian sudah melakukan persiapan yang cukup baik, namun masih perlu melakukan perbaikanperbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan meliputi mitigasi struktural dan non struktural. Kesiapsiagaan pada masyarakat dinilai masih kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari banjir lahar kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan anjuran dari pemerintah untuk melakukan pengungsian ketika Gunungapi Merapi statusnya siaga terhadap banjir lahar. Kata kunci : Evaluasi, Kesiapsiagaan, Masyarakat, Pemerintah, Banjir Lahar PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 129 buah gunung berapi (aktif) dan sekitar 500 gunungapi yang telah punah. Gunungapi Merapi di Jawa Tengah merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia, sehingga perlu untuk memantau Gunungapi Merapi di beberapa wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah dan bagian-bagian Yogyakarta. Potensi bahaya vulkanik gunungapi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan yang biasanya disertai hamburan piroklastik, aliran lava, dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunungapi yang bercampur dengan air hujan yang turun di puncak dengan konsentrasi tinggi yang disebut dengan aliran lahar (Wahyono, 2002). Salah satu sungai yang berhulu di puncak Gunungapi Merapi yaitu Kali Putih dan mempunyai potensi terkena banjir lahar. Kali Putih merupakan daerah bahaya Gunungapi Merapi tipe I yang terjangkau debris flow. Ancaman bahaya banjir lahar akan lebih berbahaya jika terjadi di daerah yang datar dan padat pemukiman. Salah satu contoh yang terjadi yaitu di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Luapan Alamat korespondensi : email : rosalinaunlam@gmail.com 1

banjir lahar merusak pemukiman di sekitar Kali Putih (Gambar 1). Daftar jumlah bangunan dan jumlah pengungsi di daerah sekitar Kali Putih (Tabel 1). Tabel 1. Daftar Rumah dan Jumlah Pengungsi yang Terkena Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi 2010-2011 Desa Rumah Rumah Rumah Rusak Rumah Rusak Pengungsi Roboh/Hanyut Rusak Berat Ringan Sedang Jumoyo 54 36-5 1005 Gulon - 4 - - 1005 Seloboro - 2 2 7 68 Sirahan 11 58 - - - Blongkeng - 6 - - - Jumlah 65 106 2 12 2978 Sumber : BNPB, 17 Januari 2011 Gambar 1. Kondisi Rumah Terendam Pasir Akibat Lahar (Foto: Kumalawati, 2011) Dampak banjir lahar akan lebih terasa jika mengenai tempat tinggal ataupun tempat penduduk melakukan aktivitas. Pertumbuhan penduduk yang cepat, dapat mengakibatkan kebutuhan tempat tinggal juga semakin meningkat (Tabel 2 dan 3). Daerah penelitian merupakan desa-desa yang berada di sepanjang aliran Kali Putih dengan tingkat kepadatan penduduk kurang lebih sama dengan tingkat kepadatan penduduk kecamatan. Tabel 2. Perbandingan Kepadatan Penduduk di Kecamatan dan di Daerah Penelitian No Kecamatan Kepadatan di Kecamatan Kepadatan di Daerah Penelitian Jiwa/Ha Jiwa/Ha 1 Srumbung 8.34 8.65 2 Salam 13.46 13.43 3 Ngluwar 13.33 14.02 Sumber : BPS, 2012 2 JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 1-13

Tabel 3. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Daerah Penelitian No Kecamatan Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2000-2010 1 Srumbung 0.9 2 Salam 0.55 3 Ngluwar 0.32 Sumber : BPS, 2012; Hasil Pengolahan, 2012 Terjadinya banjir lahar di daerah penelitian seiring dengan peningkatan status Gunungapi Merapi. Peningkatan status Gunungapi Merapi direspon dengan cepat oleh pemerintah di daerah penelitian. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan pemerintah daerah dan masyarakat guna meminimalkan korban jiwa dan kerugian harta benda saat banjir lahar terjadi. Kesiapsiagaan merupakan salah satu upaya yang dilakukan pada fase prabencana. Upaya peningkatan kesiapsiagaan menjadi sangat penting agar pada saat terjadi bencana, manusia dapat merespons dengan cepat dan tepat sehingga jatuhnya korban jiwa dapat diminimalkan (Carter, 1991 dalam Sartohadi, dkk, 2014). Evaluasi mendalam mengenai kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar Gunungapi Merapi menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji. Menarik untuk dikaji dikarenakan (1) secara administrasi banjir lahar di Kali Putih sudah memutuskan jalur penghubung utama Yogyakarta-Semarang, (2) upaya mitigasi secara struktural dan non struktural juga diperlukan untuk mengurangi risiko bencana, (3) bangunan pengendali sedimen yang terdapat di daerah penelitian perlu dievaluasi, karena saat ini kondisinya sudah rusak terkena banjir lahar, (4) peran masyarakat perlu ditingkatkan untuk menghadapi bencana, dan (5) perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat agar kebijakan mitigasi secara non struktural dapat berjalan. Hasil evaluasi kesipasiagaan dapat digunakan untuk perencanaan jangka panjang dalam menyusun rencana kontijensi (contingency plan) agar risiko dari banjir lahar dapat diminimalkan. METODE PENELITIAN Komponen kesiapsiagaan memegang peranan penting dalam evaluasi kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi banjir lahar Gunungapi Merapi. Komponen kesiapsiagaan memiliki delapan parameter antara lain (1) pengetahuan mengenai bencana, (2) kesepakatan formal dan informal, (3) sumberdaya pendukung, (4) manajemen arah dan koordinasi dari operasi keadaan darurat, (5) perlindungan keselamatan hidup, (6) perlindungan harta benda, (7) penyesuaian Komalawati, Evaluasi Kesiapsiagaan Masyarakat Dan Pemerintah Dalam Menghadapi Banjir... 3

keadaan darurat dan pemulihan,dan (8) identifikasi cepat aktivitas pemulihan (Sutton&Tierney dalam Herwiyanti & Sudaryono, 2013). Parameter yang digunakan untuk mengukur kesiapsiagaan di daerah penelitian ada lima yaitu (1) pengetahuan bencana, (2) kesepakatan formal dan informal, (3) sumberdaya pendukung, (4) manajemen arah dan koordinasi dari operasi keadaan darurat, (5) perlindungan keselamatan hidup. Lima parameter yang dipakai tersebut diambil dari komponen kesiapsiagaan menurut Sutton dan Tierney. Hanya diambil lima karena fokus penelitian adalah kesiapsiagaan sebelum terjadinya bencana. Teknik pengambilan sampel adalah sampel bertujuan (purposive sampling) untuk menggali kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar Gunungapi Merapi. Data primer diperoleh melalui survei lapangan dan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada masyarakat dan pemerintah. Survei dilakukan pada semua kecamatan yang dilalui Kali Putih yaitu Kecamatan Srumbung, Salam dan Ngluwar. Wawancara mendalam dilakukan pada instansi pemerintah yang berkaitan erat dengan bencana yaitu BPBD, Kesbangpolinmas, Pemda, Kepala Kecamatan hingga Kepala Desa. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data kependudukan dari BPS, dan peta dasar yang bersumber dari peta RBI (Rupa Bumi Indonesia). Hasil evaluasi disajikan dalam uraian deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemerintah di daerah penelitian sudah melakukan persiapan yang cukup baik, namun masih perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan meliputi mitigasi struktural dan non struktural. Kesiapsiagaan pada masyarakat dinilai masih kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari banjir lahar kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan anjuran dari pemerintah untuk melakukan pengungsian ketika Gunungapi Merapi statusnya siaga terhadap banjir lahar. Penjelasan lebih lanjut dari hasil penelitian adalah : Kesiapsiagaan Pemerintah dalam Menghadapi Banjir Lahar Kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar di daerah penelitian secara keseluruhan sudah cukup baik, namun masih perlu adanya beberapa perbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan meliputi mitigasi struktural dan non struktural. Perbaikan yang perlu dilakukan meliputi mitigasi struktural dan non struktural. a. Bentuk Mitigasi Struktural Bencana Banjir Lahar Bahaya akibat erupsi gunungapi dapat berupa bahaya primer dan bahaya sekunder. Penanggulangan akibat bahaya primer dapat 4 JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 1-13

dilakukan dengan cara pengungsian penduduk sebelum terjadi letusan, serta sosialisasi mengenai bencana erupsi gunungapi. Penanggulanagn bencana akibat bahaya sekunder yang berupa banjir lahar, salah satunya dapat dilakukan dengan pegendalian aliran lahar dengan membuat bangunan Sabo pada alur sungai yang berpotensi mengalirkan lahar. Pengendalian bencana sedimen dilakukan dengan dasar bahwa penanganan dalam satu wilayah sungai, satu manajemen (one river management). Selain itu untuk menyelamatkan penduduk dari bahaya banjir lahar, maka juga dikembangkan sistem perkiraan dan pemberitahuan dini untuk pengungsian penduduk (Djamal dkk dalam Permatasari, 2012). Pembuatan bangunan Sabo seperti bangunan pengendali sedimen (check dam), kantong lahar (sand pocket),bendung pengendali dasar sungai (ground sill) tanggul, krib, kanalisasi, perkuatan tebing dan lain-lain telah dilaksanakan pada 10 sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi, yaitu Kali Pabelan, Kali Lamat, Kali Blongkeng, Kali Putih di lereng Barat, Kali Krasak dan Kali Batang di lereng Barat Daya, Kali Boyong dan Kali Kuning di lereng Selatan, serta Kali Gendol dan Kali Woro di lereng Tenggara (Puspani, 2008 dalam Permatasari, 2012). Bangunan pengendali sedimen merupakan salah satu upaya mitigasi struktural yang dilakukan untuk menanggulangi bencana banjir lahar di daerah penelitian. Lokasi bangunan Sabo DAM yang ada di daerah penelitian dibangun pada lereng miring (8-13%), landai atau agak miring (3 7%), datar atau hampir datar (2 7%) (Kumalawati, 2014). Jika dilihat dari proses terjadinya lahar yang terbagi menjadi tiga zona (produksi, transportasi dan sedimentasi) maka seharusnya bangunan Sabo DAM sudah sesuai dibangun pada ketiga zona tersebut. Tetapi, kondisi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Karena kekuatan aliran banjir lahar yang sangat besar, bangunan Sabo DAM justru jebol dan semakin membuat aliran menjadi semakin besar. Ditambah lagi dengan adanya material yang berupa bongkahan, maka bangunan Sabo DAM yang ikut terbawa aliran lahar dan menghantam bangunan pemukiman yang di laluinya. Diperlukan perbaikan dan perencanaan ulang untuk memperbaiki kondisi bangunan sabo DAM di daerah penelitian. Kondisi ketinggian juga sudah berubah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, jika banjir lahar akan terjadi dengan kekuatan dan intensitas yang lebih besar. Material lahar yang terjadi pasca erupsi gunungapi Merapi (2010) sudah termasuk ke dalam VEI 4, maka bangunan Sabo DAM tidak mampu lagi menahan aliran lahar, yang akhirnya meluap dan menerjang lingkungan di sekitarnya, termasuk bangunan permukiman yang berada di sepanjang aliran Komalawati, Evaluasi Kesiapsiagaan Masyarakat Dan Pemerintah Dalam Menghadapi Banjir... 5

Kali Putih. Pembangunan tanggul yang ada di tepi sungai juga belum dilakukan secara maksimal. Saat ini, hanya beberapa lokasi saja yang sudah di buat tanggul secara permanen. Sebagian besar tanggul masih dibuat dari tumpukan batu yang ditata. (bronjong). Tanggul ini hanya merupakan upaya sementara untuk mencegah luapan banjir lahar. Kenyataannya, bangunan bronjong tersebut rusak terkena banjir susulan yang terjadi di sepanjang Kali Putih (Gambar 2). Gambar. 2. Tanggul di Sepanjang Aliran Kali Putih (Kumalawati, 2011) b. Bentuk Mitigasi Struktural Bencana Banjir Lahar Mitigasi adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan/ mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi non-struktural merupakan upaya mengurangi dampak bencana dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan, kebijakan, kesadaran, pegembangan pengetahuan, komitmen masyarakat serta berbagai upaya lain yang dapt mengurangi dampak bencana. Untuk mengetahui upaya mitigasi nonstruktural yang dilakukan oleh masyarakat di daerah penelitian, maka dilakukan wawancara kepada masyarakat, diwakili oleh aparat pemerintah desa yang ada di daerah penelitian. Aparat pemerintah desa dipilih sebagai responden, karena mereka mempunyai wewenang dan kebijakan untuk memberikan pengarahan kepada warga serta mempunyai berkoordinasi secara langsung dengan pemerintah daerah setempat. Setiap desa mempunyai persepsi masingmasing mengenai upaya mitigasi non struktural yang dilakukan untuk menanggulangi bahaya banjir lahar di daerah penelitian. Upaya mitigasi non struktural yang dilakukan oleh masyarakat di daerah penelitian, dengan jumlah responden sebanyak 30 orang dapat lihat pada Tabel 4. 6 JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 1-13

Tabel 4. Persentase Hasil Wawancara Upaya Mitigasi Non Struktural di Daerah Penelitian No Pertanyaan Jawaban Jumlah Responden Persentase (%) 1 Relokasi Ya 3 10.0 Tidak 27 90.0 2 Perlu wadah atau lembaga yang membantu masyarakat untuk mengatasi banjir Ya 30 0.0 Tidak 0 100.0 3 Hal yang perlu dilakukan agar banjir lahar tidak berdampak buruk bagi warga yang tinggal di daerah bencana 4 Pemerintah di kabupaten/kota sudah membentuk pusat pengendalian operasi penanggulangan bencana 5 Pemerintah kabupaten/kota sudah melakukan sosialisasi mengenai sistem peringatan bencana 6 Upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan lembaga masyarakat untuk mengurangi resiko bencana banjir 7 Bangunan tanggul sungai apakah sudah dapat mengurangi risiko banjir lahar, 8 Pembangunan Sabo DAM yang telah ada saat ini, apakah dapat mengurangi risiko banjir lahar, 9 Pemerintah sudah melakukan perbaikan tanggul sungai di sepanjang Kali Putih untuk mengurangi risiko lahar Pembuatan tanggul 8 26.7 Normalisasi sungai 9 30.0 informasi kepada masyarakat 6 20.0 pemetaan bencana 1 3.3 Sosialisasi 6 20.0 Sudah 28 93.3 Belum 2 6.7 Sudah 28 93.3 Belum 2 6.7 Melakukan sosialisasi pada 8 26.7 Mengadakan pelatihan dan simulasi 13 43.3 Melatih masyarakat agar terampil 2 6.7 menyelamatkan harta Membuat jaringan informasi dini 7 23.3 Sudah 26 86.7 Belum 4 13.3 Sudah 21 70.0 Belum 9 30.0 Sudah 30 100.0 Belum 0 0.0 1

1) Kesediaan relokasi jika terjadi banjir lahar, hanya disetujui oleh 3 orang (10%), sedangkan 27 orang (90%) tidak setuju dengan upaya relokasi. Penduduk lebih memilih tetap tinggal di daerah asal, meskipun berada pada daerah bahaya. Jika direlokasi, mereka khawatir tidak akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Penduduk cenderung mempertimbangkan masalah ekonomi dan kenyamanan hidup. Belum tentu jika pindah di tempat yang lebih aman dari bahaya, mereka akan memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Perlu adaptasi cukup lama untuk menyesuaikan dengan kondisi yang baru. Penduduk yang setuju direlokasi, mereka beranggapan bahwa jika terjadi bencana maka akan mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda. 2) Perlu wadah atau lembaga yang membantu masyarakat untuk mengatasi banjir, secara keseluruhan (100%) responden setuju dengan adanya wadah atau lembaga yang dapat membantu masyarakat dalam mengatasi banjir lahar di daerah penelitian. Sebagian besar responden menjawab sangat memerlukan pengarahan dan simulasi mengenai upaya menanggulangi bencana banjir lahar untuk mengurangi risiko, mengurangi korban jiwa dan harta benda serta siaga dalam menghadapi bencana. Masyarakat membutuhkan penyuluhan dan pengarahan agar tidak panik saat menghadapi bencana yang terjadi di daerah sekitar mereka. 3) Usaha yang dilakukan agar banjir lahar tidak berdampak buruk bagi warga yang tinggal di daerah bencana, sebagian besar masyarakat menginginkan pembuatan tanggul sungai yang diperkuat, normalisasi sungai, serta memberikan informasi kepada masyarakat tentang prosedur tetap (protap) upaya menanggulangi bencana banjir lahar. 4) Pemerintah di kabupaten/kota sudah membentuk pusat pengendalian operasi penanggulangan bencana, tetapi sebagian besar warga belum mengetahui keberadaan dan kinerja nya. Sebagian besar warga kurang paham dengan kinerja dari lembaga yang dibentuk oleh pemerintah tersebut. 5) Pemerintah kabupaten/kota sudah melakukan sosialisasi mengenai sistem peringatan bencana. Pemerintah selalu bijak dalam memberi penyuluhan peringatan juga tempat pos-pos pengungsi, apabila tejadi banjir lahar sudah dilakukan sosialisasi, dan informasi dengan HT. 6) Upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan lembaga masyarakat untuk mengurangi risiko bencana banjir lahar diantaranya yaitu : a) Melakukan sosialisasi pada masyarakat mengenai bagaimana cara mencegah jatuhnya korban. 1

b) Mengadakan pelatihan dan simulasi tentang bagaimana menghadapi bencana alam khususnya bencana banjir lahar. c) Membuat jaringan informasi dini (early warning system) tentang gejala terjadinya bencana banjir lahar. 7) Bangunan tanggul sungai apakah sudah dapat mengurangi risiko banjir lahar, sebagian besar warga berpendapat bahwa bangunan tanggul yang ada, dapat menanggulangi banjir lahar. Tetapi sebagian warga yang menganggap bahwa bangunan tanggul belum berfungsi secara maksimal untuk mengurangi dampak banjir lahar, karena banjir lahar tetap meluap ke pemukiman warga. 8) Pembangunan Sabo DAM yang telah ada, menurut sebagian masyarakat sudah dapat menanggulangi banjir lahar, karena dapat menghambat aliran lahar. Ada sebagian yang tidak setuju atau kurang sependapat dengan pemanfaatan sabo DAM, karena material-material banjir masih meluap ke pemukiman warga. Pemanfaatan sabo DAM memang harus di evaluasi kembali, karena bangunan sabo banyak yang hanyut terbawa arus lahar dan menerjang pemukiman. 9) Pemerintah sudah melakukan perbaikan tanggul sungai di sepanjang Kali Putih untuk mengurangi risiko banjir lahar. Menurut warga, pemerintah sudah melakukan perbaikan tanggul yang berada di sepanjang aliran Kali Putih. Tetapi, sekarang sudah rusak lagi, karena tanggul yang di bangun belum permanen. Tanggul hanya di buat dari bronjong (tumbukan batu yang ditata dan di masukkan dalam kawat). Saat terjadi banjir, tanggul rusak tergerus aliran banjir. Upaya mitigasi non stuktural yang dilakukan masyarakat dan pemerintah juga dilakukan dengan memasang poster mengenai bahaya banjir lahar dan cara untuk mengatasinya. Poster di pasang di rumah rumah warga, huntara, serta lokasi yang strategis dan mudah di akses oleh banyak orang (seperti tempat ibadah, pos kampling, kantor kalurahan). Mitigasi non struktural dapat dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dapat berperan dalam manajemen bencana yang bertujuan untuk memitigasi dampak bencana banjir lahar (lihat Gambar 3 dan 4). Upaya mitigasi non struktural lebih efektif jika dilakukan dengan cara memberikan pengarahan atau sosialisasi terhadap warga masyarakat. Sebaiknya pemerintah setempat melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat dan aparat pemerintah desa. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk berdiskusi serta menampung usulan dari masyarakat. Agar masyarakat semakin tanggap terhadap bencana yang terjadi di sekitar mereka, khususnya bencana banjir lahar di sepanjang aliran Kali Putih. Pemasangan poster atau spanduk, sebaiknya perlu ditambah dengan penjelasan dari pemerintah setempat. Jika Komalawati, Evaluasi Kesiapsiagaan Masyarakat Dan Pemerintah Dalam Menghadapi Banjir... 9

hanya dipasang di beberapa tempat strategis, namun tidak dibaca serta dipahami secara seksama, upaya tersebut kurang maksimal. Gambar 3. Upaya Mitigasi Non Struktural di Daerah Penelitian (Peta Daerah Rawan banjir Lahar di Desa Sirahan) (Kumalawati, 2011) Gambar 4. Upaya Mitigasi Non Struktural di Daerah Penelitian (Kumalawati, 2011) 10 JURNAL GEOGRAFI, VOLUME 13, NOMOR 1, JUNI 2015 : 1-13

Kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar di daerah penelitian secara keseluruhan sudah cukup baik dengan adanya perbaikan berupa mitigasi struktural dan non struktural seperti yang sudah dilakukan di atas. Komponen berupa kesepakatan formal dan informal, sumberdaya pendukung, manajemen arah dan koordinasi dari operasi keadaan darurat sudah sangat jelas yang didukung dengan ketersediaan data dasar yang cukup lengkap di posko SATLAK PBP. Data yang dapat diakses antara lain peta daerah terdampak letusan dan banjir lahar Gunungapi Merapi, peta lokasi titik kumpul pengungsi tiap kecamatan, peta lokasi dan jalur evakuasi, peta lokasi peralatan pemantauan di Gunungapi Merapi, jumlah kendaraan yang tersedia dan nama pemilik kendaraan untuk evakuasi, jumlah penduduk sesuai kriteria di wilayah pengungsian, kebutuhan sarana dan prasarana per lokasi evakuasi, data rekap lokasi pengungsi dan kebutuhan perlengkapan. Semua desa yang rawan banjir lahar di daerah penelitian juga sudah terdapat arah jalur evakuasi dan posko pengungsian. Tanda dapat dengan mudah dilihat oleh masyarakat sehingga akan lebih mempermudah dan mempercepat proses evakuasi. Logistik berupa dapur umum, MCK dan kebutuhan air bersih disalurkan ke posko-posko pengungsian atau Huntara (lihat Gambar 5). Koordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah terbentuk dengan baik. Sistem penyebaran data dan informasi menggunakan sistem satu pintu. Informasi terpusat di Posko SATLAK PBP, bila di daerah maka yang wajib mengeluarkan adalah Camat. Informasi satu pintu bertujuan untuk meminimalkan berita yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan, terkait dengan banyaknya isu yang beredar mengenai banjir lahar di daerah penelitian. Gambar 5. Lokasi Huntara (Hunian Sementara) di Daerah Penelitian (Kumalawati, 2011) 1

Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Banjir Lahar Banjir lahar berdampak pada berbagai segi kehidupan manusia. Besarnya dampak banjir lahar tergantung dari kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan dari hasil survey lapangan dapat diketahui bahwa masyarakat di daerah penelitian lebih tenang dan tidak panik. Masyarakat masih beraktivitas seperti biasa ketika status dinaikkan menjadi waspada. Masyarakat mempunyai kepercayaan sendiri tentang tanda-tanda erupsi Gunungapi Merapi yaitu dari mitos (pengetahuan lokal) yang berkembang di sekitar masyarakat. Pengetahuan lokal diproduksi oleh kelompok dominan pada waktu lampau, sedangkan pengetahuan modern banyak diterapkan oleh kelompok pada saat ini. Pemaknaan atas fenomena alam dalam hal ini Gunungapi Merapi terjadi bukan hanya antara masyarakat lokal di sekitar Gunungapi Merapi dengan pihak luar melainkan juga antara sesama masyarakat di sekitar Gunungapi Merapi itu sendiri. Seperti yang terjadi pada masyarakat lokal di Kecamatan Srumbung, terdapat kearifan lokal, ketika akan terjadi gunung meletus biasanya ada benang merah lurus yang mengarah pada Gunungapi Merapi. Benang merah tersebut bukan dari layang-layang putus dan kemudian membentang, tetapi menjadi pertanda akan ada letusan. Jika dirunut benang tersebut tidak ditemukan ujung pangkalnya (Abdul Wahid, 2011 dalam Zamroni, 2011). Masyarakat di daerah penelitian dinilai masih kurang siap dalam menghadapi banjir lahar. Kesiapsiagaan pada masyarakat dinilai masih kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari banjir lahar kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan anjuran dari pemerintah untuk melakukan pengungsian ketika Gunungapi Merapi statusnya siaga terhadap banjir lahar. Harapannya kesiapsiagaan masyarakat akan lebih meningkat dengan masyarakat diberikan sosialisasi dan simulasi terkait banjir lahar Gunungapi Merapi oleh pemerintah daerah, dan dengan adanya tanda arah jalur evakuasi serta titik lokasi pengungsian yang sudah ditentukan agar lebih memudahkan masyarakat saat evakuasi. SIMPULAN 1. Salah satu aspek penting dalam menghadapi banjir lahar adalah kesiapsiagaan, 2. Kesiapsiagaan digunakan untuk meminimalkan jumlah korban jiwa dan kerugian, 3. Peningkatan kesiapsiagaan harus dilakukan bersama-sama oleh masyarakat dan pemerintah, 4. Kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi banjir lahar di daerah penelitian secara keseluruhan sudah cukup baik, 1

5. Kesiapsiagaan masyarakat dinilai masih kurang dilihat dari minimnya informasi mengenai bahaya dari banjir lahar kepada masyarakat. Masyarakat banyak yang tidak mengindahkan anjuran dari pemerintah untuk melakukan pengungsian ketika Gunungapi Merapi statusnya siaga terhadap banjir lahar. 6. Berbagai upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan di daerah penelitian dengan adanya perbaikan-perbaikan sudah dilakukan, 7. Manajemen dan stok logistik pada daerah penelitian yang terancam banjir lahar harus dipersiapkan sebelum bencana terjadi. DAFTAR PUSTAKA BNPB., 2011. Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi Di Wilayah Propinsi Jawa Tengah. http://bnpb.go.id/irw/ diakses 17 Januari 2011. BNPB., 2011. Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi Bencana, Edisi-2. BPS., 2012. Kecamatan Dalam Angka Tahun 2010/2011. Magelang : BPS Kabupaten Magelang. Psikologi Kepribadian dan Sosial. Vol. 2 No. 01 2013. Kumalawati, R., 2014. Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten Magelang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Permatasari A.L, 2012. Evaluasi Pengembangan Wilayah Pemukiman Berbasis Analisis Risiko Banjir Lahar di Daerah Sepanjang Kali Putih, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Sartohadi, J., Pratiwi. E.S., 2014. Bunga Rampai Penelitian. Pengelolaan Bencana Kegunungapian Kelud pada Periode Krisis Erupsi 2014. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Wahyono, S.A., 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Zamroni, M.I., 2011. Islam dan Kearifan Lokal dalam Menanggulangi Bencana di Jawa. Jurnal Penanggulangan Bencana. Volume 2 Nomor 1. BPS., 2012. Kabupaten Magelang Dalam Angka Tahun 2010/2011. Magelang : BPS Kabupaten Magelang. Herdwiyanti, Fima, Sudaryono. 2013. Perbedaan Menghadapi Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Ditinjau dari Tingkat Self-Efficacy pada Anak Usia Sekolah Dasar di Daerah Dampak Bencana Gunung Kelud. Jurnal Komalawati, Evaluasi Kesiapsiagaan Masyarakat Dan Pemerintah Dalam Menghadapi Banjir... 13