BAB V PEMBAHASAN. stunting pada balita ini dilaksanakan dari bulan Oktober - November 2016 di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan case control retrospektif atau studi kasus - kontrol retrospektif

BAB I PENDAHULUAN. Anak yang sehat semakin bertambah umur semakin bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. faltering yaitu membandingkan kurva pertumbuhan berat badan (kurva weight for

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan pendekatan case control yaitu membandingkan antara

BAB III METODE PENELITIAN. kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko

BAB 1 : PENDAHULUAN. meningkatkan produktifitas anak sebagai penerus bangsa (1). Periode seribu hari,

BAB I PENDAHULUAN. sering dijumpai pada anak-anak maupun orang dewasa di negara

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA UMUR PERTAMA PEMBERIAN MP ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA JATIMULYO KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations International

ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI KURANG PADA BALITA DI DESA BANYUANYAR KECAMATAN KALIBARU BANYUWANGI

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. besar. Masalah perbaikan gizi masuk dalam salah satu tujuan MDGs tersebut.

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makanan utama bayi. Pada awal kehidupan, seorang bayi sangat

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk dalam lingkup Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. yang harus ditangani dengan serius. Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, terhadap kekurangan gizi (Hanum, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 5 HASIL PENELITIAN. 5.1 Gambaran Umum Pemberian ASI Eksklusif Di Indonesia

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Anak merupakan generasi penerus bangsa untuk melanjutkan

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan dan kualitas sumber daya manusia. merupakan faktor yang menentukan untuk meningkatan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Ilmu Kesehatan Anak, khususnya bidang nutrisi. Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas Rowosari, Semarang.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 sebesar 34 per kelahiran hidup.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

Karya Tulis Ilmiah. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Gizi. Disusun Oleh: MUJI RAHAYU J.

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Global Mongolato merupakan salah satu Puskesmas yang

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB III METODE PENELITIAN A.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

Peran ASI Bagi Tumbuh Kembang Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

POLA PEMBERIAN ASI DAN PENGETAHUAN IBU (ANALISIS PERBEDAAN BALITA STUNTED DAN NON STUNTED) Rahayu Purnawati 1, Muwakhidah 2

BAB I PENDAHULUAN. pendek atau stunting. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini.

BAB I PENDAHULUAN. persentase populasi ADB di Indonesia sekitar %. Prevalensi ADB di

HUBUNGAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI) EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI UMUR 0-6 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GADANG HANYAR

BAB I PENDAHULUAN. untuk menerima bahan makanan dari lingkungan hidupnya dan. menggunakan bahan-bahan tersebut agar menghasilkan berbagai aktifitas

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan

Kata kunci : Peran Keluarga Prasejahtera, Upaya Pencegahan ISPA pada Balita

BAB 1 : PENDAHULUAN. diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. (1) anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya serta dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN

KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Gizi. Disusun oleh : AGUSTINA ITRIANI J

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan 2010 bahwa kejadian diare pada bayi terus meningkat dan

BAB I PENDAHULUAN. membandingkan keberhasilan pembangunan SDM antarnegara. perkembangan biasanya dimulai dari sejak bayi. Kesehatan bayi yang

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Diare merupakan penyakit dengan tanda - tanda perubahan frekuensi buang air

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui -2 SD di bawah median panjang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. secara eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan (IDAI, 2008).

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada saat yang bersamaan dalam satu waktu (Notoatmojo, 2003)

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. harus diperhatikan oleh ibu. Salah satu pemenuhan kebutuhan gizi bayi ialah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah air susu ibu (ASI). Air susu ibu sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. saja sampai usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI esklusif (DepKes, 2005). bulan telah ditetapkan dalam SK Menteri Kesehatan No.

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Anak pendek atau stunting adalah kondisi anak yang. gagal mencapai potensi pertumbuhan linear sehingga

STUDI DETERMINAN KEJADIAN STUNTED PADA ANAK BALITA PENGUNJUNG POSYANDU WILAYAH KERJA DINKES KOTAPALEMBANG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran seseorang hingga berusia 18 atau 24 bulan. Masa-masa bayi adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilakukan di Puskesmas Ngesrep, Puskesmas Srondol,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB V PEMBAHASAN. A. Analisis Hasil Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi September hingga

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Air susu ibu (ASI) adalah air susu yang diproduksi oleh ibu untuk

BAB I PENDAHULUAN. lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan penanaman modal sosial

BAB I PENDAHULUAN. pada berbagai bidang, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang

BAB I PENDAHULUAN. mengetahui pengetahuan yang baik tentang pentingnya dan manfaat kolostrom

BAB I PENDAHULUAN. gizi yang dimulai sejak janin berada di kandungan sampai anak berusia 2 tahun.

BAB I PENDAHULUAN. protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan masa yang tergolong rawan dalam pertumbuhan

Transkripsi:

BAB V PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita ini dilaksanakan dari bulan Oktober - November 2016 di beberapa Posyandu Balita Wilayah Binaan UPT. Puskesmas Sangkrah Surakarta. Penelitian dilakukan di enam posyandu balita. Menggunakan simple random sampling, didapatkan 30 balita pada kelompok kasus yang terdiri dari 15 balita perempuan dan 15 balita laki-laki, serta 30 balita pada kelompok kontrol yang terdiri dari 14 balita laki-laki dan 16 balita perempuan. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu tinggi balita dan umur balita berdasarkan pengukuran tinggi badan di Posyandu, kemudian menemui orang tua balita untuk menandatangani informed consent dan wawancara guna mengisi kuisioner pemberian ASI eksklusif. Setelah dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh hasil dua variabel yang signifikan secara statistik, yaitu variabel bebas ASI eksklusif dengan nilai p = 0,010 dan variabel luar riwayat BBLR dengan nilai p = 0,006. Kemudian setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, variabel bebas ASI eksklusif dan variabel luar riwayat BBLR juga menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik dengan nilai p secara berturutturut 0,034 dan 0,035. Berdasarkan hasil di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima yaitu terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting 48

49 pada balita. Hubungan ini dibuktikan dengan nilai p yang signifikan, kemudian nilai OR = 0,201 pada analisis bivariat menunjukkan bahwa ASI eksklusif merupakan faktor proteksi terhadap kejadian stunting pada balita dan setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, pemberian ASI eksklusif tetap merupakan faktor proteksi dengan OR = 0,234. Sehingga dengan kata lain, pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan kejadian stunting pada balita. Penelitian ini didapatkan lebih banyak balita pada kelompok kontrol yang mendapatkan ASI eksklusif (86,7%) dibandingkan dengan kelompok kasus (56,7%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadi (2010) bahwa kejadian stunting pada balita di Kota Banda Aceh tahun 2010 disebabkan oleh pemberian ASI tidak eksklusif. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa anak balita di wilayah Kota Banda Aceh yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko untuk mengalami stunting 5 kali lebih besar terhadap anak balita yang mendapatkan ASI eksklusif. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar ibu balita memberikan ASI yang di kombinasikan dengan susu formula. Beberapa alasan yang banyak diutarakan adalah ibu yang bekerja sehingga anak sering dititipkan, selain itu ASI yang tidak lancar dan bayi yang sudah tidak mau lagi diberikan ASI. Pemberian ASI bersamaan dengan susu formula dapat memenuhi kebutuhan gizi, namun susu formula tidak mengandung zat antibodi sebaik ASI sehingga rawan terkena penyakit (Hendra et al., 2010). Dalam ASI terdapat berbagai zat imun yang tidak akan didapatkan pada susu formula seperti immunoglobulin yang berfungsi sebagai pencegah terjangkitnya penyakit, zat sekretori yang berguna untuk

50 melumpuhkan bakteri pathogen e-coli dan berbagai virus pada saluran pencernaan, serta laktoferin yang berguna sebagai zat kekebalan yang berfungsi mengikat zat besi disaluran pencernaan. Kemudian ASI juga memiliki perbandingan whei dan casein yang sesuai dengan rasio 65:35, sedangkan susu formula memiliki rasio 20:80 sehingga menyebabkan protein dan zat-zat lainnya yang terkandung pada ASI lebih mudah diserap (Nirwana, 2014). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Victoria et al (2016) pemberian ASI secara eksklusif dapat menurunkan kejadian diare dan infeksi daripada bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif sehingga dapat mengganggu pertumbuhannya. Berdasarkan hasil wawancara, pemberian ASI yang tidak eksklusif terjadi akibat bayi yang diperkenalkan MP-ASI sebelum usia 6 bulan. Sedangkan pengenalan cairan atau makanan selain ASI sebelum usia 4 bulan juga dikaitkan dengan terjadinya defisiensi mikronutrien dalam 2 tahun pertama kehidupan. Didukung oleh penelitian Kramer (2004) manfaat utama dari ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama dibandingkan dengan 3 bulan pertama adalah pengurangan kejadian infeksi gastrointestinal. Selain itu penelitian ini juga didapatkan 6 balita stunting dan 1 balita normal yang tidak mendapatkan ASI ketika baru dilahirkan. Lebih banyaknya balita yang tidak mendapatkan ASI pada hari pertama kehidupannya pada kelompok kasus dapat disebabkan oleh karena balita tersebut tidak mendapatkan kolostrum. Sementara kolostrum yang kaya akan nutrisi dan antibodi yang penting bagi mikrobiota usus banyak didapatkan pada hari-hari pertama kehidupan (Kuchenbecker et al., 2014). Kemudian didapatkan pula 3 balita pada kelompok

51 kasus yang mendapatkan ASI saja tanpa makanan pendamping ASI (MP-ASI) hingga usia 1 tahun. Hal tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi The American Academy of Pediatrics (AAP) bahwa pemberian MP-ASI sebaiknya dimulai saat usia 6 bulan sebab ASI hanya bisa memenuhi kebutuhan dalam 6 bulan pertama saja, setelah bulan ke-6 kebutuhan gizi sudah tidak tercukupi secara penuh oleh pemberian ASI saja (Faldetta, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Simondon (2001) di Senegal yang menyatakan bahwa prevalensi stunting lebih tinggi pada balita yang mendapatkan ASI eksklusif selama lebih dari 24 bulan. Penelitian ini didapatkan bahwa proporsi balita dengan riwayat BBLR lebih banyak ditemukan pada balita stunting. Setelah dilakukan analisis, diperoleh hasil yang signifikan antara riwayat BBLR dengan kejadian stunting dengan nilai p = 0,006 dan OR = 12,429, kemudian pada analisis multivariat dengan uji regresi logistik diperoleh p = 0,03 dan OR adj = 10,510. Hal ini berarti balita dengan riwayat BBLR akan meningkatkan risiko terjadinya stunting sebesar 12,429 dibandingkan dengan balita yang tidak mempunyai riwayat BBLR. Kemudian berdasarkan analisis multivariat regresi logistik bersamaan dengan riwayat pemberian ASI eksklusif, risiko ini menjadi 10,510 kali. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suciati (2015) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara panjang badan lahir, berat badan lahir dan awal pemberian MPASI dengan kejadian stunting dengan nilai p masing-masing 0,001 (OR: 6,08), 0,006 (OR: 1,14) dan 0,003 (OR: 3,18). Didukung penelitian yang dilakukan oleh Mbuya (2010) juga menunjukkan bahwa bayi dengan riwayat BBLR mengalami stunting dengan presentase 41,4%.

52 Meilyasari (2014) memaparkan pengaruh berat badan lahir terhadap kejadian stunting terjadi pada usia 6 bulan awal, kemudian menurun hingga usia 24 bulan. Balita dengan riwayat BBLR dapat tumbuh secara optimal apabila pada 6 bulan pertama dapat mengejar pertumbuhannya. Risiko bayi yang lahir dengan riwayat BBLR untuk menjadi stunting pada usia 6-12 bulan adalah 3,6 kali dibanding bayi yang lahir dengan berat badan lahir normal (Rahayu, 2011). Bayi dengan riwayat BBLR menunjukkan terjadinya retardasi pertumbuhan di dalam uterus baik akut maupun kronis (Lammi-Keefe, 2008). Sehingga anak dengan riwayat BBLR lebih rentan untuk terkena infeksi, seperti diare dan infeksi saluran nafas bawah dan juga peningkatan risiko ikterus, anemia, gangguan paru kronis, kelelahan serta hilangnya nafsu makan dibandingkan dengan anak tanpa riwayat BBLR (Rahman et al., 2016). Penjelasan serupa telah disampaikan pula oleh Ramakrishnan (2004) berdasarkan studi pada bayi perempuan dengan riwayat BBLR di negara berkembang, ia menemukan bahwa anak dengan riwayat BBLR mengalami kegagalan pertumbuhan pada usia dini dan saat memasuki masa remaja yang kemudian akan mengalami komplikasi maternal ketika dewasa. Penelitian ini didapatkan anak dengan riwayat berat badan lahir normal yang mengalami stunting sebanyak 70%. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak cukupnya asupan nutrien untuk bayi normal yang menyebabkan terjadinya growth faltering (gagal tumbuh). Stunting yang terjadi akibat growth faltering dan catch up growth yang tidak memadai, mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal (Kusharisupeni, 2002). Pertumbuhan normal dapat dikejar apabila anak diberikan dukungan asupan gizi yang adekuat. Asupan gizi

53 yang adekuat berkaitan dengan kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan pula dan hal ini dapat dipengaruhi oleh status ekonomi keluarga (Anugraheni, 2012). Penelitian ini diperoleh hasil yang tidak signifikan antara status sosial ekonomi dengan kejadian stunting (p = 0,371). Ditemukan sebanyak 70% keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah pada kelompok kasus dan 83,3% pada kelompok kontrol. Tingkat ekonomi dinilai rendah apabila pendapatan keluarga tiap bulan dibawah batas UMR Kota Surakarta pada tahun 2016 yang dibulatkan menjadi Rp 1.400.000. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang di lakukan di Maluku Utara, penelitian tersebut menyatakan bahwa kejadian stunting dan severe stunting pada balita usia 0-59 bulan berhubungan signifikan dengan status ekonomi keluarga. Sebagian besar balita yang mengalami gangguan pertumbuhan memiliki status ekonomi yang rendah (Ramli et al., 2009). Makanan yang didapat pada keluarga dengan status ekonomi rendah biasanya akan kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin dan mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi. Keterbatasan ini akan meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anak balita (Nasikhah, 2012). Hasil yang berbeda mengenai hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian stunting ini tergantung dari bagaimana status sosial ekonomi diukur dan diklasifikasikan oleh peneliti. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab stunting pada anak adalah pendidikan orang tua, baik ayah maupun ibu. Dalam penelitian ini yang diteliti

54 adalah tingkat pendidikan ibu. Pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan antara kejadian stunting dengan tingkat pendidikan ibu dengan nilai p = 0,292. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Semarang Timur oleh Nasikhah (2012) bahwa hasil analisis bivariat dan multivariat antara kejadian stunting dengan tingkat pendidikan ibu tidak bermakna secara statistik, sedangkan tingkat pendidikan ayah merupakan faktor risiko kejadian stunting yang bermakna. Berdasarkan hasil wawancara, variabel tingkat pendidikan ibu yang tidak bermakna pada penelitian ini dapat terjadi karena status pekerjaan ibu dimana ibu yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki pekerjaan sehingga anak akan dititipkan kepada anggota keluarga lain seperti neneknya. Alam (2007) menyatakan bahwa ibu dengan pendidikan yang tinggi lebih banyak memberi susu formula pada bayinya sebab ibu bekerja dan tidak memiliki waktu untuk menyusui. Girma (2002) dalam Nasikhah (2012) menyatakan kurangnya waktu yang dimiliki oleh ibu yang bekerja untuk anaknya dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi yang selanjutnya akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan pekembangannya. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu keterbatasan waktu penelitian dan jumlah sampel penelitian. Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rule of thumb merupakan jumlah sampel minimal dalam suatu penelitian. Jumlah sampel yang minimal ini dapat menyebabkan 95% CI memiliki rentang yang lebar, sehingga menunjukkan bahwa ketepatan penelitian ini kurang. Rentang 95% CI dapat di perkecil dengan menambahkan jumlah sampel penelitian.

55 Rancangan penelitian dengan desain case control yang bersifat retrospektif juga turut menjadi kekurangan dalam penelitian ini karena ada kemungkinan terjadi recall bias. Penelitian case control juga mempunyai korelasi yang lebih lemah dibandingkan dengan penelitian cohort. Kemudian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang memungkinkan terjadi interview bias sehingga responden salah dalam menafsirkan pertanyaan dan juga kemungkinan terjadinya keterbatasan responden untuk mengemukakan pendapat dan kejujuran responden yang sulit dikendalikan dapat berpengaruh pada informasi yang di peroleh.