I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah dengan topogafi yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit tempat tangkapan air hujan yang akan dialirkan melalui anak-anak sungai yang kemudian terkumpul pada sungai utama dan akhirnya sampai ke laut. Menurut Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012, DAS merupakan cadangan dan pemasok air yang dibutuhkan oleh pertanian, industri dan konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu, DAS melahirkan berbagai fungsi yang dapat berguna bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya melalui daya dukung yang dihasilkannya. Daya dukung DAS merupakan kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Daya dukung DAS mempunyai kapasitas penyediaan sumberdaya alam yang terbatas, terutama kemampuan lahan dalam memenuhi ketersediaan kebutuhan kehidupan, ekosistem dan tata air dalam suatu ruang atau wilayah. Pemanfaatan lahan dalam DAS yang mempunyai kapasitas terbatas (langka) melahirkan berbagai aktivitas yang bernilai ekonomis bagi manusia. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat mengakibatkan permintaan akan manfaat DAS semakin meningkat. Eksploitasi sumberdaya DAS untuk kesejahteraan manusia dapat merusak DAS, mengacaukan daur hidrologisnya, dan kemudian mengancam kelestarian DAS dan fungsi ekosistem yang terkait dengannya. 1
2 Sejak tahun 1970-an, telah terjadi degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng yang curam baik yang diakibatkan oleh pemanfaatan untuk pertanian maupun penggunaan lain seperti pemukiman dan pertambangan (Paimin, et al., 2012). Demikian juga dengan masalah ekonomi, yakni ketika masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan mengalami degradasi sumberdaya ekonomi, baik jumlah maupun kualitasnya secara signifikan (Siswoyo, 2007). Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan telah mencatat bahwa 108 DAS di Indonesia merupakan DAS kritis yang harus segera ditangani pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 (Permenhut No. P. 42/Menhut-II/2009 dan SK. 328/Menhut/II/2009). DAS Asahan-Toba juga mengalami degradasi dan termasuk salah satu DAS kritis yang memerlukan prioritas penanganan seperti tercantum pada SK Menhut No. 328/Menhut/II/2009. Data terakhir dari Dinas Kehutanan Sumatera Utara, 2008, tercatat bahwa luas lahan kritis pada DTA Danau Toba mencapai 116.426 ha (44 % dari luas daratan). Lahan kritis akan mempengaruhi kondisi DAS yang jika tidak direhabilitasi akan mengakibatkan penurunan kualitas sungai. DTA Danau Toba yang terletak pada tujuh wilayah administrasi kabupaten (Samosir, Tobasa, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo dan Dairi), terdiri dari beberapa Sub DAS. Menurut laporan Siringoringo (2009), terdapat 19 sungai (Sub DAS) yang mengalirkan airnya ke Danau Toba, yakni Sungai Pulau Kecil, Halian, Simare, Aek Bolon, Mandosi, Gopgopan, Bah
3 Tongguran, Mongu, Kijang, Sinabung, Ringo, Prembakan, Sipultakhuda dan Silang di Pulau Sumatera serta Sungai Sigubang, Bah Bolon, Guluan, Arun dan Tomok yang berada di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir. Sedangkan satusatunya sungai yang mengalir keluar dari Danau Toba adalah Sungai Asahan yang bermuara di Pantai Timur Sumatera Utara. Kelima sungai yang berada di Samosir mengalami ketidakstabilan debit air karena begitu kritisnya daerah tangkapan air masing-masing sungai. Pada musim hujan, seringkali sungai meluap, mengakibatkan longsor di sekitar alirannya dan membawa sedimen yang sangat besar ke muaranya. Kerusakan lingkungan di daerah hulu dan sepanjang sungai mengakibatkan ketidakstabilan sungai dalam mengatur tata air dan mendukung sistem kehidupan di sepanjang alirannya. Hasil akhir perubahan ini tidak hanya berdampak nyata secara biofisik berupa penurunan daya dukung lahan, namun juga secara sosial ekonomi menyebabkan masyarakat menjadi kehilangan kemampuan untuk berusaha di lahannya. Berdasarkan kajian mengenai faktor kesesuaian tempat tumbuh, sosial dan ekonomi di DTA Danau Toba yang dilakukan oleh Darwo et al. (2005) dan Wijayanto (2009), jenis tanaman yang telah dan masih potensial untuk dibudidayakan meliputi jenis tanaman pertanian, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman kehutanan serta tanaman pakan ternak yakni rerumputan. Dari sekian banyak jenis yang potensial, maka di wilayah hulu sub DAS Arun, Kabupaten Samosir, jenis tanaman yang banyak dibudidayakan adalah pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) dan kopi arabika (Coffea arabica).
4 Kegiatan budidaya pinus di sekitar Sub DAS Arun dimulai pada tahun 1970-an dan merupakan hasil dari program penghijauan dengan pola hutan rakyat (Sanudin dan Harianja, 2008). Keberadaan hutan rakyat ini dapat menjadi tambahan penghasilan bagi masyarakat dengan menjual kayunya sebagai bahan bangunan dan kayu bakar. Namun demikian, jika tidak memperhatikan azas kelestarian, maka fungsi perlindungan ekosistem yang diharapkan dari kawasan hutan akan mengalami degradasi jika kawasan hutan tersebut diekstraksi dan hanya dijadikan sebagai penyedia kebutuhan kayu. Pemerintah daerah Kabupaten Samosir yang berkewajiban untuk mengatur pemanfaatan lahan dalam kerangka perlindungan wilayah termasuk DAS dan Sub DAS (sesuai dengan pasal 5 UU no. 26 tahun 2007 tentang tata ruang dan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang pengelolaan DAS), berusaha mempertahankan tegakan pinus di Sub DAS Arun untuk mendukung fungsi konservasi wilayah. Hal tersebut dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengatur pemanenan dan peredaran hasil hutan kayu pinus di Kabupaten Samosir, sebagai upaya mengurangi ancaman kelestarian hulu dan sepanjang aliran Sub DAS Arun (Sanudin dan Harianja, 2008). Namun demikian, intervensi pemerintah berupa pembatasan pemasaran hasil hutan rakyat pinus di Kabupaten Samosir tidak terlalu efektif. Kebijakan tersebut justru menurunkan harga kayu pinus di Kabupaten Samosir yang mengakibatkan nilai hutan rakyat pinus bagi petani menjadi rendah. Hal ini kemudian memicu masyarakat untuk tidak lagi menanami lahan milik mereka
5 dengan tanaman pinus yang baru, dan menggantinya dengan tumbuhan kopi arabika yang lebih memberikan jaminan pendapatan di masa mendatang. Tanaman kopi arabika dipilih karena faktor kesesuaian tempat tumbuh, umur produksi yang lebih pendek, permintaan (pasar) yang masih terbuka dan peluang peningkatan produktivitas lahan yang masih terbuka (Suhartono, 2004; Sihaloho, 2009 dan Sihombing, 2011). 1.2 Perumusan Masalah Konversi lahan hutan rakyat menjadi ladang perkebunan kopi merupakan salah satu penyebab ketidaklestarian ekosistem di hulu sungai, karena akan semakin meningkatkan bahaya erosi lahan (Sidabutar, 2007 dan Ibarra-Montoya et al., 2011). Selain itu, dari penelitian mengenai kandungan kesuburan dan nutrien yang dikandung oleh tanah pada perkebunan kopi di Aceh diketahui bahwa ph tanah dan konsentrasi Na, Ca dan Za pada lahan perkebunan kopi arabika lebih rendah daripada yang terdapat pada padang rumput dan lahan hutan pinus (Hanisch, et al., 2011). Oleh karena itu, perlu diwaspadai laju perubahan pemanfaatan lahan untuk perkebunan kopi, karena hal tersebut dapat menjadi ancaman yang serius bagi keberadaan hutan, lingkungan dan ekosistem (Budidarsono, et al., 2000). Sesuai dengan kepentingan pengelolaan wilayah DAS dan Sub DAS yang demikian, maka penelitian mengenai nilai ekonomi pemanfaatan lahan penting dilaksanakan. Pemerintah dan masyarakat perlu mendapatkan pencerahan dari hasil penelitian dan analisis yang akurat terkait dengan nilai ekonomi
6 pemanfaatan lahan untuk komoditas tertentu, dalam hal ini hutan rakyat, di wilayah Sub DAS Arun. Analisis yang dilakukan untuk mengevaluasi kondisi sistem usaha tani yang sedang berjalan sekarang dapat dijadikan oleh para pihak terkait sebagai dasar untuk menyelaraskan kepentingan konservasi dan ekonomi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini akan berusaha menjawab permasalahan-permasalahan yang terkait dengan aspek ekonomi pengelolaan hutan rakyat di Sub DAS Arun, yakni mengenai aspek kelayakan finansial usaha hutan rakyat dengan tanaman utama pinus dan kopi arabika, daya saing dan efisiensi, kepekaan terhadap perubahan internal dan eksternal usaha tani termasuk kebijakan pemerintah dan pasar dalam rangka menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan konservasi wilayah. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis nilai ekonomi pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat dengan tanaman pinus dan kopi arabika di bagian hulu Sub DAS Arun pada DTA Danau Toba, di wilayah administrasi Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Melalui penelitian ini diharapkan tercapai beberapa tujuan, yakni: 1. Valuasi kelayakan finansial usaha hutan rakyat bagi rumah tangga petani. 2. Mengetahui nilai daya saing, efisiensi dan kepekaan hutan rakyat terhadap perubahan-perubahan internal dan eksternal usaha tani.
7 1.4 Manfaat Penelitian Melalui kegiatan penelitian ini, diharapkan akan tercapai beberapa manfaat, yaitu: 1. Tersedianya referensi berupa hasil analisis kelayakan finansial pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat di Sub DAS Arun. 2. Adanya dasar pertimbangan ilmiah bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait pemanfaatan lahan dari aspek ekonomi hutan rakyat. 3. Sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan kehutanan, khususnya di bidang valuasi ekonomi pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat bagi rumah tangga petani dan sosial.