GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI

dokumen-dokumen yang mirip
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan L

GUBERNUR SUMATERA BARAT

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

Angka kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator penting yang

KERANGKA ACUAN PELAYANAN IMUNISASI PROGRAM IMUNISASI

No. Dok UPT.PUSKESMAS RANGKASBITUNG. Revisi KERANGKA ACUAN IMUNISASI. Tanggal Halaman A. PENDAHULUAN

DINAS KESEHATAN KOTA TANGERANG

SOP ( Standar Operasional Prosedur ) Imunisasi

PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM KIA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS INDUSTRI GRESIK

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IMUNISASI SWIM 2017 FK UII Sabtu, 14 Oktober 2017

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh, untuk

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam Sustainable Development Goals (SDG S). Tujuan ke ketiga SDGs adalah

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

cita-cita UUD Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden). Penyakit menular masih merupakan

Manfaat imunisasi untuk bayi dan anak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan Milenium atau lebih dikenal dengan istilah Millenium Development

BAB 1 PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun

PEDOMAN INTERNAL IMUNISASI UPTD PUSKESMAS LANGKAPLANCAR DINAS KESEHATAN KABUPATEN PANGANDARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Perbaikan kualitas manusia di suatu negara dijabarkan secara internasional

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 99 TAHUN : 2009 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 4 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

BAB II STUDI PUSTAKA

1 BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu penyakit sehingga seseorang tidak akan sakit bila nantinya terpapar

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR DAN ANAK BALITA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

BAB 1 PENDAHULUAN. serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. terbesar kedua dari negara South East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar. (1)

a. Meningkatkan dan mempertahankan cakupan di atas 80% dan permintaan dengan indikator desa UCI dan desa non UCI b. Upaya mencapai ETN, ERAPO, dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pencapaian derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari capaian indikator

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR

BAB I PENDAHULUAN. mencegah tubuh dari penularan penyakit infeksi. Penyakit infeksi. adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan dan sebagai bentuk nyata komitmen

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. penurunan angka kematian bayi dan balita (bayi dibawah lima tahun) adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat berbahaya, demikian juga dengan Tetanus walau bukan penyakit menular

Kata Kunci: Pengetahuan, KIPI

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. Program kesehatan di Indonesia periode adalah Program

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat bermakna dalam rangka penurunan angka kesakitan dan kematian yang

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan pembangunan nasional jangka panjang tersebut (Ranuh, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya, selain indikator Angka Kematian Ibu (AKI), Angka

PELAYANAN IMUNISASI PANDUAN BAB I DEFINISI BAB II

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN AKREDITASI PUSKESMAS

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

LEMBAR EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA AKSI DEGAP CIRAP (KADER SIGAP UCI DIGARAP) UPK PUSKESMAS KAMPUNG DALAM Lap. Inpovasi : KOTA PONTIANAK

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Nasional (SKN), salah satu indikator kerjanya ditinjau dari angka

BAB I PENDAHULUAN. intrauterin ke kehidupan ekstrauterin (Dewi, 2013 : 1). neonatus sebagai individu yang harus menyesuaikan diri dari kehidupan

2016, No Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 3, Tambahan Lembaran

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

BAB II. PEMBAHASAN MASALAH & SOLUSI MASALAH PERANCANGAN KAMPANYE PENGGUNAAN VAKSIN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UCI? TARGET: 139 desa minimal 80 % mencapai semua indikator Imunisasi ( HB-0, POL, DPT-KOMBO, DAN CAMPAK )

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR DAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bebas dari penyakit cacar oleh WHO sejak tahun 1974.

GUBERNUR SUMATERA BARAT

Christopher A.P, S. Ked Yayan A. Israr, S. Ked

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. Pendahuluan. keharmonisan hubungan suami isteri. Tanpa anak, hidup terasa kurang lengkap

BAB I PENDAHULUAN. ditimbulkannya akan berkurang (Cahyono, 2010). Vaksin yang pertama kali dibuat adalah vaksin cacar (smallpox).

BAB 1 PENDAHULUAN. Program imunisasi merupakan sub sistem dari sistem pelayanan kesehatan

HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan anak masih menjadi fokus perhatian masyarakat dunia. Hal ini

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1059/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN IMUNISASI

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan seutuhnya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian pada anak dibawah usia 5 tahun walaupun. tidak sebanyak kematian yang disebabkan oleh malnutrisi dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

Transkripsi:

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa kesehatan bayi, anak balita, anak dan wanita usia subur merupakan salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan suatu bangsa dan daerah yang berkontribusi melalui keluarga sejahtera dengan memberikan perhatian pada investasi sumber daya manusia sejak dini; b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan mempertahankan status kesehatan seluruh rakyat diperlukan tindakan imunisasi sebagai tindakan preventif sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. bahwa penyelenggaraan imunisasi adalah bagian dari bidang kesehatan yang merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi yang perlu diatur sehingga tertib, efektif dan tepat sasaran; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Imunisasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang- Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerahdaerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 1

Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143); 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606); 5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607); 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi; 2

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT dan GUBERNUR SUMATERA BARAT MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Sumatera Barat. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. 3. Gubernur adalah Gubernur Sumatera Barat. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat. 5. Kementerian adalah kementerian yang membidangi bidang kesehatan. 6. Dinas Kesehatan adalah Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. 7. Kepala Dinas Kesehatan adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. 8. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. 9. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. 10. Penyelenggaraan Imunisasi adalah serangkaian kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan imunisasi. 11. Imunisasi wajib adalah imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. 3

12. Imunisasi pilihan adalah imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit tertentu. 13. Auto Disable Syringe yang selanjutnya disingkat ADS adalah alat suntik sekali pakai untuk pelaksanaan pelayanan imunisasi. 14. Safety Box adalah sebuah tempat yang berfungsi untuk menampung sementara limbah bekas ADS yang telah digunakan dan harus memenuhi persyaratan khusus. 15. Cold Chain adalah serangkaian peralatan yang dimaksudkan untuk memelihara dan menjamin mutu vaksin dalam pendistribusian mulai dari pabrik pembuat vaksin sampai pada sasaran yang dilengkapi dengan sistem pengelolaan vaksin yang baik. 16. Perangkat anafilaktik adalah alat kesehatan dan obat untuk penanganan syok anafilaktik. 17. Dokumen pencatatan status imunisasi adalah formulir pencatatan dan pelaporan yang berisikan cakupan imunisasi, laporan KIPI, dan logistik imunisasi. 18. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek simpang, toksisitas, reaksi sensitifitas, efek farmakologis maupun kesalahan program, koinsidens, reaksi suntikan atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. 19. Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disebut Komda PP KIPI adalah komite independen yang melakukan pengkajian untuk penanggulangan kasus KIPI di tingkat daerah provinsi. 20. Kelompok Kerja Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disebut Pokja PP KIPI adalah komite independen yang melakukan pengkajian untuk penanggulangan kasus KIPI di tingkat daerah kabupaten/kota. 21. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerjanya. 22. Bayi baru lahir atau disebut neonatal adalah anak usia 0 (nol) sampai 28 (dua puluh delapan) hari. 23. Bayi adalah anak usia 0 (nol) sampai dengan 11 (sebelas) bulan 29 (dua puluh sembilan) hari atau sebelum ulang tahun pertama. 24. Batita adalah anak usia 12 (dua belas) bulan sampai dengan 36 (tiga puluh enam) bulan. 25. Balita adalah anak usia 12 (dua belas) bulan sampai dengan 59 (lima puluh sembilan) bulan. 26. Dewasa adalah orang yang berusia di atas 18 tahun. 4

27. Ibu adalah wanita usia subur yang masih dapat hamil, sedang hamil, bersalin, nifas dan menyusui. 28. Wanita usia subur yang selanjutnya disingkat WUS adalah wanita usia 15-39 tahun. 29. Masyarakat adalah perseorangan, suami, keluarga, kelompok, organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan. 30. Bulan Imunisasi Anak Sekolah yang selanjutnya disingkat BIAS merupakan imunisasi lanjutan pada anak usia sekolah. 31. Bacillus Calmette Guerin yang selanjutnya disingkat BCG merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit tuberkulosis. 32. Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B yang selanjutnya disingkat DPT-HB-Hib adalah imunisasi untuk mencegah penyakit difteri, pertusis, hepatitis B, pneumonia dan meningitis. 33. Hepatitis B pada bayi baru lahir merupakan imunisasi yang diberikan pada bayi baru lahir sampai dengan usia 7 hari untuk mencegah penyakit hepatitis B. 34. Polio merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit polio. 35. Campak merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit campak. 36. Diphtheria Tetanus yang selanjutnya disingkat DT merupakan imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar untuk mencegah penyakit difteri dan tetanus. 37. Tetanus Diphtheria yang selanjutnya disingkat TD merupakan imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar untuk mencegah penyakit difteri dan tetanus. 38. Tetanus Toxoid yang selanjutnya disingkat TT merupakan imunisasi lanjutan yang diberikan pada wanita usia subur untuk mencegah penyakit tetanus pada ibu dan bayi baru lahir. 39. Haemophillus influenza tipe b yang selanjutnya disingkat Hib merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit pneumonia dan meningitis. 40. Measles Mumps Rubellayang selanjutnya disingkat MMR merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit campak, gondongan dan rubela. 41. Human Papilloma Virusyang selanjutnya disingkat HPV merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah penyakit kanker serviks. 42. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki kemampuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 43. Asisten tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan bidang kesehatan dibawah jenjang Diploma Tiga. 5

Pasal 2 Peraturan Daerah ini bertujuan : a. menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) di Daerah; b. tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi minimal 80% secara merata di seluruh jorong/kelurahan di Daerah; c. tercapainya imunisasi lanjutan lengkap pada Batita dan anak sekolah. d. tercapainya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun); e. tercapainya eradikasi polio di Daerah; dan f. tercapainya eliminasi campak dan pengendalian penyakit rubela/ Congenital Rubella Syndrome di Daerah. Pasal 3 Ruang lingkup pengaturan Peraturan Daerah ini, meliputi: a. jenis Imunisasi; b. penyelenggaraan Imunisasi wajib; c. pencatatan dan pelaporan; d. pemantauan dan penanggulangan KIPI; e. peran serta masyarakat dan kemitraan; f. pembinaan dan pengawasan; dan g. pembiayaan. BAB II JENIS IMUNISASI Bagian Kesatu Umum Pasal 4 (1) Berdasarkan sifat penyelenggaraannya, Imunisasi dikelompokkan menjadi Imunisasi wajib dan Imunisasi pilihan. (2) Imunisasi wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. 6

(3) Imunisasi pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu. (4) Vaksin untuk imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Imunisasi Wajib Paragraf 1 Umum Pasal 5 (1) Imunisasi wajib terdiri atas: a. Imunisasi rutin; b. Imunisasi tambahan; dan c. Imunisasi khusus. (2) Sasaran pelaksanaan Imunisasi program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Bayi; b. Batita; c. anak sekolah dasar kelas 1, 2 dan 3; dan d. WUS. (3) Imunisasi wajib diberikan sesuai jadwal sebagaimana yang ditetapkan dalam pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Paragraf 2 Imunisasi Rutin Pasal 6 (1) Imunisasi rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dilaksanakan secara terus menerus sesuai jadwal. (2) Imunisasi rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. Imunisasi dasar; dan b. Imunisasi lanjutan. Pasal 7 (1) Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a diberikan pada Bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun. 7

(2) Jenis Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Bacilus Calmite Guerin (BCG); b. Diphteri Pertusi tetanus-hepatitis B (DPT-HB) atau Dipteri pertusis Tetatanus- Hepatitis B-Hemophilis Influensa type B (DPT-HB-Hib); c. Hepatitis B pada bayi; d. Polio; e. Tetanus; dan f. Campak. Pasal 8 (1) Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b merupakan Imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan dan untuk memperpanjang masa perlindungan. (2) Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada: a. Batita b. anak usia sekolah dasar; dan c. WUS. (3) Jenis Imunisasi lanjutan yang diberikan pada Batita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas Diphteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Difteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib) dan campak. (4) Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS). (5) Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas Diphteria Tetanus (DT), campak dan Tetatus Diphteria (TD). (6) Jenis Imunisasi lanjutan yang diberikan pada wanita usia subur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa Tetanus Toxoid (TT). Paragraf 3 Imunisasi Tambahan Pasal 9 (1) Imunisasi tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu. (2) Pemberian Imunisasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban pemberian Imunisasi rutin. 8

Paragraf 4 Imunisasi Khusus Pasal 10 (1) Imunisasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. (2) Jenis Imunisasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain terdiri atas : a. Imunisasi Meningitis Meningokokus; b. Imunisasi demam kuning; dan c. Imunisasi Anti Rabies (VAR). Bagian Ketiga Imunisasi Pilihan Pasal 11 (1) Imunisasi pilihan dapat berupa Imunisasi terhadap : a. pneumonia yang disebabkan oleh pneumokokus; b. diare yang disebabkan oleh rotavirus; c. influenza; d. varisela,; e. gondongan (mumps); f. campak jerman (rubella); g. demam tifoid; h. hepatitis A; i. kanker mulut rahim yang disebabkan oleh Human Papiloma Virus; j. japanese enchephalitis; k. herpes zoster; dan l. hepatitis B pada dewasa. (2) Sasaran pelaksanaan Imunisasi pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. Bayi; b. anak sampai dengan 18 tahun; dan c. Dewasa. (3) Pelayanan Imunisasi pilihan dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta. 9

BAB III PENYELENGGARAAN IMUNISASI WAJIB Bagian Kesatu Tanggung Jawab Paragraf 1 Tanggungjawab Pemerintah Daerah Pasal 12 (1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pendistribusian vaksin, auto disable syringe, safety box, dan dokumen pencatatan status Imunisasi ke seluruh kabupaten/kota di wilayahnya. (2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap penyediaan: a. peralatan pendukung cold chain, peralatan anafilaktik, dan dokumen pencatatan status Imunisasi sesuai dengan kebutuhan; dan b. ruang untuk menyimpan vaksin dan logistik Imunisasi lainnya pada instalasi yang memenuhi standar dan persyaratan teknis penyimpanan. (3) Penyediaan logistik untuk Penyelenggaraan Imunisasi wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Perencanaan Pasal 13 (1) Perencanaan Penyelenggaraan Imunisasi wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan perencanaan yang dilakukan oleh Puskesmas, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Daerah secara berjenjang. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penentuan sasaran, kebutuhan logistik, dan pendanaan. Pasal 14 (1) Penentuan sasaran Penyelenggaraan Imunisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dihitung berdasarkan angka jumlah penduduk, pertambahan penduduk serta angka kelahiran dari data yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atau dari hasil pendataan yang dapat dipertanggungjawabkan atau berdasarkan data yang ditetapkan Pusat Data dan Informasi Kementerian. (2) Perhitungan sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menentukan jumlah sasaran imunisasi dalam satu tahun yang dibagi menjadi sasaran Kabupaten/Kota. 10

Pasal 15 (1) Untuk mengetahui Vaksin yang dibutuhkan, Pemerintah Daerah menetapkan besar cakupan yang akan dicapai pada tahun yang direncanakan. (2) Penetapan target cakupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan target yang ditetapkan oleh Kementerian. Pasal 16 (1) Penyedian dan kebutuhan logistik sebagimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) meliputi : a. Vaksin; b. Auto Disable Syringe; c. safety box; d. peralatan cold chain; e. perangkat anafilaktik; f. peralatan pendukung cold chain; dan g. dokumen pencatatan status imunisasi suhu serta pencatatan logistik. (2) Peralatan cold chain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. alat penyimpan vaksin, meliputi cold room, freezer room, vaccine refrigerator,dan freezer; b. alat transportasi vaksin, meliputi cool box, vaccine carrier, cool pack, dan cold pack; dan c. alat pemantau suhu, meliputi termometer, termograf, alat pemantau suhu panas, alat pemantau/mencatat suhu secara terus-menerus, dan alarm. (3) Peralatan pendukung cold chain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. Automatic Voltage Stabilizer (AVS); b. standby generator; dan c. suku cadang peralatan cold chain. Bagian Ketiga Penyimpanan dan Pemeliharaan Logistik Pasal 17 (1) Untuk menjaga kualitas, Vaksin harus disimpan pada tempat dengan kendali suhu tertentu. (2) Tempat menyimpan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperuntukkan khusus untuk penyimpanan Vaksin. 11

Bagian Keempat Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi Wajib Pasal 18 (1) Pelayanan Imunisasi wajib dapat dilaksanakan secara massal dan perseorangan. (2) Pelayanan Imunisasi secara massal dilaksanakan di Puskesmas, Posyandu, sekolah, atau Pos pelayanan Imunisasi lainnya yang telah ditentukan. (3) Pelayanan Imunisasi secara perseorangan dilaksanakan dirumah sakit, puskesmas, klinik, pratek dokter dan dokter spesialis, pratek bidan dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Bagian Kelima Komunikasi, Informasi dan Edukasi Pasal 19 (1) Pemerintah Daerah wajib melakukan komunikasi, informasi dan edukasi tentang Penyelenggaraan Imunisasi. (2) Sebelum mendapatkan pelayanan Imunisasi, masyarakat berhak mendapatkan informasi mengenai tujuan, manfaat, jenis vaksin yang diberikan, keserentakan program. (3) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara perseorangan maupun massal. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat ke dalam media komunikasi massa dalam ruang atau luar ruang. Pasal 20 (1) Dalam hal tertentu, pelaksana Imunisasi melakukan penyaringan terhadap adanya kontraindikasi dari individu yang merupakan sasaran Imunisasi. (2) Terhadap individu yang diduga memiliki kontraindikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan pelayanan Imunisasi dengan memberikan penjelasan : a. jenis Imunisasi; b. manfaat Imunisasi; c. kemungkinan terjadinya KIPI; dan d. jadwal Imunisasi berikutnya. Pasal 21 (1) Tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan wajib melaksanakan program Imunisasi. 12

(2) Setiap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan program Imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sanksi administratif berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan / atau c. sanksi kepegawaian lainnya. (3) Sanksi kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. Bagian Keenam Pemantauan dan Evaluasi Pasal 23 (1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib melaksanakan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan Program Imunisasi wajib secara berkala, berkesinambungan, dan berjenjang. (2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengukur kinerja Penyelenggaraan Imunisasi wajib sebagai masukan dalam penyusunan perencanaan. (3) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan instrumen Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), Data Quality Self Assessment (DQS),Effective Vaccine Management (EVM),Supervisi Suportif, Surveilans KIPI, Recording and Reporting (RR), Stock Management System (SMS), Cold Chain Equipment Management (CCEM), Rapid Convinience Assessment (RCA) dan Survei Cakupan Imunisasi. BAB IV PENCATATAN DAN PELAPORAN Pasal 24 (1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala serta berjenjang sesuai peraturan perundang-undangan. 13

(2) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi cakupan Imunisasi, stok dan pemakaian vaksin, monitoring suhu, kondisi peralatan cold chain dan kasus KIPI atau diduga KIPI. Pasal 25 (1) Pelaksana pelayanan Imunisasi harus melakukan pencatatan terhadap pelayanan Imunisasi yang dilakukan. (2) Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin dilakukan sesuai peraturan perundangundangan. (3) Pencatatan pelayanan Imunisasi rutin yang dilakukan pada pelayanan kesehatan swasta wajib dilaporkan setiap bulan ke Puskesmas wilayahnya dengan menggunakan format yang berlaku. Pasal 26 (1) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berkewajiban menyampaikan laporan rekapitulasi pelaksanaan Imunisasi yang telah dilaksanakan oleh Puskesmas baik secara manual maupun elektronik kepada Dinas Kesehatan. (2) Dinas Kesehatan menyampaikan laporan rekapitulasi pelaksanaan imunisasi yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota baik secara manual maupun elektronik kepada pemerintah pusat. BAB V PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI Pasal 27 (1) Dalam rangka pemantauan dan penanggulangan KIPI, Pemerintah Daerah membentuk Komda PP KIPI. (2) Keanggotaan Komda PP KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur perwakilan dokter spesialis anak, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis forensik, farmakolog, vaksinolog, imunolog. (3) Penanggulangan KIPI harus dilaksanakan melalui kegiatan: a. surveilans KIPI dan website keamanan vaksin; b. pengobatan dan perawatan pasien KIPI; dan c. penelitian dan pengembangan KIPI. (4) Pembiayaan operasional Komda PP KIPI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (5) Komda PP KIPI ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. 14

Pasal 28 (1) Masyarakat yang mengetahui adanya dugaan terjadinya KIPI, harus melapor kepada pelaksana pelayanan Imunisasi, Puskesmas, atau dinas kesehatan setempat. (2) Pelaksana pelayanan Imunisasi, Puskesmas, atau dinas kesehatan setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan investigasi. (3) Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus segera dilaporkan secara berjenjang kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Kesehatan yang selanjutnya dilaporkan kepada Komda PP KIPI. (4) Kepala Dinas Kesehatan melalui Kementerian menyampaikan hasil investigasi kepada Komnas PP KIPI untuk dilakukan pengkajian kausalitas KIPI. (5) Hasil kajian kausalitas KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Kementerian. Pasal 29 (1) Pasien yang mengalami gangguan kesehatan diduga akibat KIPI diberikan pengobatan dan perawatan selama proses investigasi dan pengkajian kausalitas KIPI berlangsung. (2) Dalam hal gangguan kesehatan akibat KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan gangguan kesehatan berkaitan dengan Vaksin, maka pasien mendapatkan pengobatan dan perawatan. BAB VI PERAN SERTA MASYARAKAT DAN KEMITRAAN Bagian Kesatu Peran Serta Masyarakat Pasal 30 (1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab menggerakkan masyarakat agar berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan imunisasi wajib. (2) Penggerakkan peran aktif masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan: a. pemberian informasi melalui media cetak, media elektronik, dan media luar ruang; b. advokasi dan sosialisasi; c. pembinaan kader; d. pembinaan kepada kelompok binaan balita dan anak sekolah; dan/atau e. pembinaan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat. 15

Pasal 31 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pelaksanaan Imunisasi bekerjasama dengan Pemerintah Daerah. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan melalui : a. penggerakan masyarakat; b. sosialisasi Imunisasi; c. dukungan fasilitasi Penyelenggaraan Imunisasi; dan/atau d. turut serta melakukan pemantauan Penyelenggaraan Imunisasi. Bagian Kedua Forum Kemitraan Peduli Imunisasi Pasal 32 (1) Pemerintah Daerah membentuk Forum Kemitraan Peduli Imunisasi Provinsi. (2) Keanggotaan Forum Kemitraan Peduli Imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi unsur : a. instansi pemerintah yang terkait dengan urusan Kesehatan; b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi; c. perguruan tinggi; d. organisasi profesi; e. organisasi agama; f. organisasi kemasyarakatan; g. media massa; dan h. pihak lain yang terkait. (3) Forum Kemitraan Peduli Imunisasi Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: a. mempersiapkan masyarakat, khususnya tokoh masyarakat, sehingga bersedia mendukung pelaksanaan pelayanan Imunisasi dan membangun dukungan masyarakat; b. menggali peran lintas sektor; c. melakukan kegiatan untuk mengatasi tindakan-tindakan penolakan terkait pelaksanaan Imunisasi dan memberikan dukungan moril maupun material; dan d. membantu meningkatkan cakupan imunisasi wajib. (4) Forum Kemitraan Peduli Imunisasi Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. 16

BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 33 (1) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap Penyelenggaraan Imunisasi secara berkala, berjenjang dan berkesinambungan. (2) Pembinaan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. melakukan pelatihan dan bimbingan teknis. b. melakukan monitoring dan evaluasi secara berjenjang. c. memberikan penghargaan terhadap kabupaten/kota yang mencapai target cakupan Imunisasi. (3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan Imunisasi. Pasal 34 (1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap Penyelenggaraan Imunisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota secara berkala. (2) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Kabupaten/Kota melaporkan Penyelenggaraan Imunisasi di daerahnya kepada Gubernur melalui Dinas Kesehatan. (3) Pengawasan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai tolak ukur kepatuhan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap Penyelenggaraan Imunisasi. (4) Pengawasan Penyelenggraaan Imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan terhadap : a. rencana kerja yang dilaksanakan, jumlah Bayi yang diimunisasi dan kegiatan Imunisasi dimulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan evaluasi; b. cakupan program dan drop out; c. Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan; d. Logistik; dan e. kualitas dan keakuratan data Imunisasi mencakup data sasaran, data logistik, data capaian dan data pelaksanaan Imunisasi. 17

BAB VIII PEMBIAYAAN Pasal 35 (1) Pembiayaan Penyelenggaraan Imunisasi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Sumatera Barat dan sumber pembiayaan dari pihak lain yang tidak mengikat; (2) Pemerintah Daerah dapat membantu biaya penyelenggaraan imunisasi. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat. Ditetapkan di Padang pada tanggal 20 Juni 2016 GUBERNUR SUMATERA BARAT, dto IRWAN PRAYITNO Diundangkan di Padang pada tanggal 20 Juni 2016 SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT, dto ALI ASMAR LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016 NOMOR : 4 NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT : (4/2016) 18

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN IMUNISASI I. UMUM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, imunisasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit menular yang merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan sebagai salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Millennium Development Goals (MDGs) khususnya untuk menurunkan angka kematian pada anak. Kegiatan imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Mulai tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B. Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara adalah eradikasi polio (ERAPO), eliminasi campak- pengendalian rubella (EC-PR) dan Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE). Di samping itu, dunia juga menaruh perhatian terhadap mutu pelayanan dengan menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices) bagi penerima suntikan yang dikaitkan dengan pengelolaan limbah medis tajam yang aman (waste disposal management), bagi petugas maupun lingkungan. Cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata di seluruh wilayah. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya daerah kantong yang akan mempermudah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Untuk mendeteksi dini terjadinya peningkatan kasus penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, imunisasi perlu didukung oleh upaya surveilans epidemiologi. Masalah lain yang harus dihadapi adalah munculnya kembali PD3I yang sebelumnya telah berhasil ditekan (Reemerging diseases), timbulnya penyakit-penyakit menular baru (Emerging Infectious Diseases) serta penyakit infeksi yang betul-betul baru (new diseases) yaitu penyakitpenyakit yang tadinya tidak dikenal (memang belum ada, atau sudah ada tetapi penyebarannya sangat terbatas; atau sudah ada tetapi tidak menimbulkan gangguan kesehatan yang serius 19

pada manusia). Penyakit yang tergolong ke dalam penyakit baru adalah penyakit-penyakit yang mencuat, yaitu penyakit yang angka kejadiannya meningkat dalam dua dekade terakhir ini, atau mempunyai kecenderungan untuk meningkat dalam waktu dekat, penyakit yang area geografis penyebarannya meluas, dan penyakit yang tadinya mudah dikontrol dengan obat-obatan namun kini menjadi resisten. Seiring dengan kebijakan pemerintah, maka Pemerintah Provinsi Sumatera Barat berkomitmen untuk menyelenggarakan imusinasi dengan tujuan : a. menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di provinsi Sumatera Barat. b. Tercapainya cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi sesuai target RPJMN. c. Tercapainya Universal Child Immunization/UCI (Prosentase minimal 80% bayi yang mendapat IDL di suatu desa/kelurahan) di seluruh desa/kelurahan. d. Tercapainya target imunisasi lanjutan pada batita dan pada anak sekolah. e. Tercapainya validasi Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal f. Tercapainya Eradikasi Polio. g. Tercapainya Eliminasi Campak dan Pengendalian Penyakit Rubela/ Congenital Rubella Syndrome. Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Imunisasi, diharapkan mampu mencegah penularan penyakit menular yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat Sumatera Barat dan tujuan penyelenggaraan imunisasi sebagaimana dimaksud dapat tercapai. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 20

Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal 19 Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Yang dimaksud dengan kendali suhu tertentu adalah untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan ketingkat berikutnya (atau digunakan), vaksin harus selalu disimpan pada suhu yang telah ditetapkan, seperti: a. Vaksin Polio Tetes disimpan pada suhu -15 C s.d. -25 C pada freeze room atau freezer. b. Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2 C s.d. 8 C pada cold room atau vaccine refrigerator. 21

Pasal 25 Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 Pasal 32 Pasal 33 Pasal 34 Pasal 35 Pasal 36 TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 124. 22