BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VII PENUTUP. masukan berdasarkan data, informasi dan analisa terhadap data dan informasi

BAB I PENDAHULUAN. (PUMP) Perikanan Budidaya sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Usaha Perikanan Tangkap

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Nelayan dan Tengkulak

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah. Meskipun sempat menggoreskan prestasi, akan tetapi ternyata

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun

2017/04/10 07:20 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan SELAMAT HARI NELAYAN NASIONAL KE-57

I. PENDAHULUAN. adalah masalah keterbatasan modal yang dimiliki oleh para petani. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jumlah (Unit) Perkembangan Skala Usaha. Tahun 2009*) 5 Usaha Besar (UB) ,43

wbab I PENDAHULUAN No Indikator Satuan Tahun 2011 *) TAHUN 2012 **) PERKEMBANGAN TAHUN Jumlah % Jumlah % Jumlah %

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

II. LANDASAN TEORI. A. Keadaan Umum Kemiskinan Masyarakat Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia. Hai ini mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya, petani dan nelayan selalu lebih miskin dibandingkan penduduk

BAB I PENDAHULUAN. memahami dan mampu mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia berdasarkan data statistik tahun 2004, dapat dilihat dari

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak kawasan pesisir yang kaya dan sangat produktif, tetapi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengembangan BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA) Dalam Mendukung Poros Maritim

BAB I PENDAHULUAN. memiliki ekonomi yang rendah, dan hal ini sangat bertolak belakang dengan peran

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

APBNP 2015 belum ProRakyat. Fadel Muhammad Ketua Komisi XI DPR RI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Ketahanan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran sebuah

Dampak Positif UMKM Perempuan Kurangi Angka Kemiskinan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan jumlah pulau sebanyak yang dikelilingi oleh laut seluas 7,7

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RINGKASAN EKSEKUTIF. vii. LAKIP 2015 Dinas Kelautan dan Perikanan

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi dan Keadaan Umum Kabupaten Tojo Una-una

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB 19 PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. karena kendala tersebut sehingga pendapatan nelayan dan petani tambak menjadi

BAB V PEMBAHASAN. mengkaji hakikat dan makna dari temuan penelitian, masing-masing temuan

Industri Keuangan Non Bank

BAB I PENDAHULUAN. dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

BAB I PENDAHULUAN. golongan masyarakat, termasuk di golongan penduduk miskin. Beberapa hal yang menyebabkan pengangguran antara lain:

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat melalui kontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja.

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan ekonomi masyarakat dalam bidang perikanan Indonesia, telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

Paparan Walikota Bengkulu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Pertumbuhan UMKM dan Usaha Besar. Mikro, Kecil dan Menengah ,55 47, ,93 47, ,75 46,25

BAB 4 ANALISIS. Hulu. Hilir

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut.

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

I. PENDAHULUAN. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan lembaga keuangan yang

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 23/PER/M.KUKM/XI/2005 T E N T A N G

PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tabel 1. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Skala Usaha Tahun Atas Dasar Harga Konstan 2000

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2010 NOMOR 32 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di dunia (http://www.kkp.go.id). Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan luas laut terdiri dari luas laut territorial 284.210,90 Km 2, luas zone ekonomi ekslusif 2.981.211,00 Km 2 dan luas laut 12 mil sebesar 279.322 Km 2. Potensi Sumber Daya Ikan mencapai 6,52 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 5,2 juta ton per tahun yang terbagi dalam 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) mulai dari WPP 571 di Selat Malaka hingga WPP 718 di Laut Arafura-Laut Timor (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2011). Dengan potensi yang sedemikian hebat seharusnya manfaat yang diperoleh juga besar. Akan tetapi sebagian besar rakyat miskin justru mereka yang tinggal di pesisir dan pantai. Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) terdapat 38.258 desa miskin dari total 73.067 desa di Indonesia. Dari jumlah desa miskin tersebut lebih dari 25 % atau 10.640 desa merupakan desa miskin di pesisir. Menurut Nikijuluw (2001) populasi masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Dalam bidang perikanan mereka adalah kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil. 1

Sebagian terbesar dari komposisi masyarakat pesisir ini adalah nelayan yang memiliki skala usaha kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari usaha mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek Secara nasional, jumlah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil lebih dominan daripada nelayan dan usaha penangkapan ikan skala menengah dan besar. Proporsi dan perkembangan jumlah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan jumlah dan struktur armada penangkapan ikan secara nasional.. Tabel 1.1 Struktur Armada Perikanan Tangkap Nasional Kategori dan Ukuran Kapal/Perahu Tahun *) 2007-2007 2008 2009 2010 2011 2011 Kenaikan Ratarata (%) 2010-2011 Jumlah 590.314 596.184 590.352 570.827 557.140-1,42-2,40 Perahu Tanpa Motor 241.889 212.003 193.798 172.907 162.510-9,43-6,01 Perahu Motor Tempel 185.509 229.335 236.632 231.333 232.390 6,26 0,46 Kapal Motor 162.916 154.846 159.922 166.587 162.240-0,03-2,61 < 5 GT 114.273 107.934 105.121 110.163 103.120-2,44-6,39 5-10 GT 30.617 29.936 32.214 31.460 34.860 3,46 10,81 Ukuran Kapal Motor 10-20 GT 8.194 7.728 8.842 10.988 9.550 4,98-13,09 20-30 GT 5.345 5.200 7.403 7.264 7.880 11,56 8,48 30-50 GT 913 747 2.407 2.495 2.700 53,98 8,22 50-100 GT 1.832 1.665 2.270 2.347 2.380 8,00 1,41 100-200 GT 1.322 1.230 1.317 1.462 1.380 1,38-5,61 > 200 GT 420 406 348 408 370-2,42-9,31 Sumber: Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011 Tabel 1.1 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan masih digeluti kemiskinan dilihat dari skala usahanya. Salah satu dari empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, sebagaimana dibeberkan 2

oleh Mulyadi (2007) selain kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang adalah kurangnya jaminan (low level-security). Smith (1979) dan Anderson (1979) dalam (Nikijuluw, 2001) menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain, termasuk untuk keperluan jaminan kredit perbankan. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalihfungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis. Di sisi lain, sifat usaha penangkapan ikan skala kecil yang sangat tergantung pada alam (musiman). Ketidakpastian dan resiko yang sangat tinggi disamping kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing asets) sebagaimana dijelaskan diatas semakin menjauhkan nelayan atas akses perbankan. Kondisi demikian ditambah ketidakmampuan ekonomi nelayan semakin menyulitkan bagi mereka untuk memenuhi syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti perlu adanya collateral, insurance dan equity. Menurut Mulyadi (2007:138), salah satu akar kemiskinan masyarakat pantai (nelayan) adalah keterbatasan mengakses permodalan yang ditunjang 3

oleh kultur kewirausahaan yang tidak kondusif yang dilandasi dengan sifat usaha yang individual, tradisional dan subsisten. Keterbatasan akses modal itu ditandai dengan realisasi penyerapan modal melalui investasi pemerintah dan swasta selama 25 tahun pembangunan Orde Baru yang hanya 0,02 persen dari keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, kebutuhan permodalan nelayan dipenuhi oleh rentenir, tengkulak dan tauke yang dalam kenyataannya secara jangka panjang tidak banyak menolong bahkan mungkin makin menjerat utang masyarakat pantai/nelayan. Tabel 1.2 Produk Domestik Bruto (PDB) Perikanan berdasarkan Harga Berlaku, 2007-2011 Satuan: Milliar Rupiah Tahun Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 2011*) Perikanan 97.697 137.249 176.620 199.219 167.719 PDB Total 3.950.893 4.948.688 5.603.871 6.422.918 5.482.350 PDB tanpa Migas 3.534.406 4.427.633 5.138.955 5.924.008 5.019.263 Presentase PDB Perikanan Terhadap PDB Total 2,47 2,77 3,15 3,10 3,06 Terhadap PDB tanpa MIgas *) sampai dengan kwartal III tahun 2011 Sumber: Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2,76 3,10 3,44 3,36 3,34 Pada kondisi seperti tersebut di atas berakibat potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah hingga kini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan bangsa secara keseluruhan (salah satunya bisa dilihat dari kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional; lihat tabel 1.2). Sehingga diperlukan suatu kebijakan satu program yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat pantai (nelayan) sehingga selain dapat meningkatkan 4

kesejahteraan juga mendidik mereka lebih mandiri dan memiliki kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan jaminan akses permodalan bagi nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil, pada tanggal 15 Nopember 2007 telah ditandatangani kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Badan Pertanahan Nasional R.I. yang diimplementasikan dalam bentuk kegiatan Pemberdayaan Nelayan dan Usaha Penangkapan Ikan Skala Kecil untuk Peningkatan Akses Permodalan melalui Sertifikasi Hak atas Tanah. Kegiatan sertifikasi hak atas tanah nelayan dimaksudkan untuk meningkatkan status hukum hak atas tanah milik nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil, mengubah predikat modal pasif (liquid capital) menjadi modal aktif (active capital), yang dapat didayagunakan sebagai jaminan memperoleh kredit dari perbankan dan/atau lembaga keuangan non bank. Melalui upaya tersebut diharapkan nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil dapat memperoleh modal usaha untuk peningkatan skala usaha dan pengembangan ekonomi produktif lainnya. Aset nelayan berupa tanah ini dipilih karena sifat kekakuan aset nelayan yang lain yang sulit dijadikan jaminan memperoleh kredit perbankan. Adapun mekanisme pelaksanaan penyiapan calon peserta kegiatan sertifikasi hak atas tanah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil terdiri dari tiga tahapan yaitu : (1) Pra sertifikasi tanah meliputi kegiatan sosialisasi, identifikasi dan inventarisasi untuk menyiapkan data calon peserta, yang dilaksanakan pada periode tahun sebelum pelaksanaan sertifikasi (T minus 1), (2) Pelaksanaan sertifikasi hak atas tanah, dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota pada periode tahun setelah pelaksanaan sertifikasi (Tahun T) dan (3) Pasca sertifikasi tanah berupa 5

pembinaan dan fasilitasi akses permodalan bagi penerima sertifikat untuk pengembangan kapasitas nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil, yang dilaksanakan pada periode tahun setelah pelaksanaan sertifikasi (T plus 1). Gambar 1.1 Diagram Mekanisme Pelaksanaan Penyiapan Calon Peserta Kegiatan Sertifikasi Hak Atas Tanah Nelayan dan Usaha Penangkapan Ikan Skala Kecil PRA SERTIFIKASI SERTIFIKASI PASCA SERTIFIKASI SOSIALISASI SELEKSI IDENTIFIKASI VERIFIKASI SELEKSI PENETAPAN PESERTA PENETAPAN PROSES PEMBINAAN DAFTAR NOMINATIF PESERTA PROGRAM Sumber: Juknis SeHAT Nelayan Sejak pertama kali digulirkan hingga sekarang puluhan ribu bidang tanah nelayan telah berhasil ditingkatkan status hukumnya melalui Sertifikasi Hak atas Tanah (SeHAT) Nelayan. Tabel 1.3 Target dan Realisasi Sertifikasi Hak atas Tanah (SeHAT) Nelayan 2009-2014 TAHUN TARGET (Bidang) REALISASI (Bidang) 2009 1.500 1.499 2010 3.000 2.990 2011 9.000 7.552*) 2012 15.000 13.741 2013 18.000 16.789 2014 20.000 Belum ada data *) s,.d oktober 2011 Sumber: Dir PUPI DJPT KKP, SInar Harapan Edisi 18 Juni 2013 6

Pelaksanaan program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul telah dimulai sejak tahun 2009 dimana pada tahun 2010 proses sertifikasi telah selesai yang mencakup 100 bidang dan tersebar pada 3 lokasi: Tabel 1.4. Jumlah Peserta Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan 2010 No. Lokasi Jumlah Bidang 1. Kemadang, Tanjungsari 40 2. Kanigoro, Saptosari 30 3. Girikarto, Panggang 30 JUMLAH 100 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Gunungkidul Sasaran utama program ini sebagaimana dicanangkan secara nasional adalah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil di Kabupaten Gunungkidul. Sebagaimana gambaran nasional, jumlah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil di Kabupaten Gunungkidul lebih mendominasi. Hal ini dapat disimak pada data jumlah armada dan nelayan sebagaimana tabel 1.5 di bawah ini: Tabel 1.5 Jumlah armada penangkapan ikan dan nelayan di Kab. Gunungkidul tahun 2011 Jumlah Armada Jumlah Nelayan No Jenis Armada (Unit) (Orang) 1. Kapal Motor > 10 GT 37 708 2. Perahu Motor Tempel 220 3. Nelayan Tanpa Perahu 373 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Gunungkidul Pelaksanaan Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul selama ini menemui banyak kendala baik pada tahap Pra Sertifikasi, Sertifikasi maupun Pasca Sertifikasi. Pada tahap Pra Sertifikasi, terlambatnya Petunjuk Teknis dari Pusat mengakibatkan jangka waktu Sosialisasi yang sangat singkat sehingga berpengaruh kepada tingkat pemahaman baik petugas maupun calon peserta, ketentuan mengenai jumlah 7

calon peserta sering berubah sehingga mempengaruhi persiapan pelaksanaannya, identifikasi calon peserta juga menjadi kendala dikarenakan identitas diri nelayan pada KTP yang beragam menyulitkan proses verifikasi, terlalu dominannya peran pemerintah desa dalam penentuan calon peserta sehingga aspirasi nelayan sering terpinggirkan dan mempengaruhi komposisi calon peserta yang seharusnya 100% nelayan. Pada tahap pelaksanaan sertifikasi kendala yang ditemui antara lain, kriteria tanah baik dari sisi luasan maupun status dan batas-batas, topografi dan lokasi bidang tanah yang berjauhan menimbulkan kesulitan pengukuran di lapangan, pembayaran BPHTB yang dinilai masih memberatkan peserta, dan terakhir, lamanya proses penerbitan sertifikat di Kantor Badan Pertanahan Nasional yang mengakibatkan terlewatinya target waktu pensertifikatan tanah nelayan. Namun demikian pada penelitian ini tidak berfokus pada tahapan sertifikasi di Kantor Pertanahan/BPN. Sedangkan pada tahap pasca sertifikasi tidak banyak data yang menunjukkan adanya kendala yang ditemui. Minimnya perhatian terhadap tahapan ini mengakibatkan minimnya data yang bisa diperoleh terutama terkait penggunaan sertifikat yang telah diperoleh para peserta. Jangankan pembinaan, pendataan penggunaan sertifikat sebagai agunan untuk pinjaman modal nelayan hanya dilakukan secara sporadis dan tidak terstruktur secara baik. Padahal, menurut Peneliti justru pada tahap inilah inti tujuan program ini dan pada tahap ini pula inti dari pemberdayaan nelayan bisa dilaksanakan. 1.2 Rumusan Masalah Melihat berbagai kendala dan permasalahan dalam program pemberdayaan nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil melalui sertifikasi hak atas tanah nelayan tersebut kiranya perlu dirumuskan sebuah jalan 8

keluar agar maksud kebijakan bisa dicapai sesuai yang diharapkan. Unsur pemberdayaan nelayan berupa self financial mechanism untuk mewujudkan helping the poor to help themselves melalui pemanfaatan sertifikat tanah sebagai jaminan untuk penguatan akses modal kelihatannya sepertinya masih luput dari perhatian pelaku kebijakan. Sebagai salah satu strategi pemberdayaan masyarakat (community development) kebijakan ini diharapkan mampu mendorong nelayan miskin untuk secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk menanggulangi kemiskinan yang mereka alami sendiri. Sementara berbagai permasalahan yang terjadi pada tahap-tahap lainnya perlu mendapatkan perhatian serius mengingat tahapan ini juga sangat menentukan dalam pencapaian maksud kebijakan itu sendiri. Selain karena halhal yang telah diuraikan sebelumnya, ketertarikan dan tertantangnya Peneliti untuk melakukan penelitian mengenai program sertifikasi hak atas tanah nelayan dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Gunungkidul, juga disebabkan, menurut penelusuran Peneliti dari berbagai media, belum pernah dilakukan kajian atau penelitian mengenai sertifikasi hak atas tanah nelayan. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, telah disampaikan bahwa terdapat berbagai permasalahan dalam Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan yang timbul pada tahapan-tahapan pelaksanaannya baik pada tahap pra sertifikasi, sertifikasi maupun pada tahapan pasca sertifikasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini Peneliti tertarik untuk mengajukan pertanyaan penelitian: 1. Apakah Program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul tahun 2010 benar-benar dapat merubah modal pasif menjadi modal aktif sehingga meningkatkan akses permodalan nelayan? 9

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat keberhasilan Pelaksanaan Program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul dalam meningkatkan akses permodalan nelayan? 1.3 Tujuan Penelitian Berkaitan dengan pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul yang dapat merubah modal pasif menjadi modal aktif sehingga dapat meningkatkan akses permodalan. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan Program Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan di Kabupaten Gunungkidul dalam meningkatkan akses permodalan nelayan. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Pada tataran praktis, hasil penelitian diharapkan menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan perikanan tangkap terutama di Kabupaten Gunungkidul guna merumuskan kebijakan peningkatan fasilitasi modal yang lebih efektif melalui Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan. 2. Pada tataran teoritis, diharapkan menambah pengetahuan yang berkaitan dengan mekanisme Pemberdayaan Nelayan dan Usaha Penangkapan Ikan Skala Kecil melaui Sertifikasi Hak Atas Tanah Nelayan. 10