BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KESIMPULAN. Sebagai sistem yang memihak kepada laki-laki, patriarki telah membuat

BAB I PENDAHULUAN. tinggal masing-masing dengan kondisi yang berbeda. Manusia yang tinggal di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. pelajaran atau moral atau bahkan sindiran (James Danandjaja, 1984:83).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju dan

BAB I PENDAHULUAN. buku cerita dongeng sebelum tidur akibat sibuk bekerja.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dari generasi ke generasi yang semakin modern ini

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

MENINDAS PEREMPUAN MELALUI ALAM (Representasi Perempuan dan Alam dalam Perspektif Ekofeminisme dalam Film Maleficent )

BAB I PENDAHULUAN. cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini

BAB IV ANALISIS DATA

REPRESENTASI FEMINISME DALAM FILM SNOW WHITE AND THE HUNTSMAN

BAB I PENDAHULUAN. bentuk atau gambar. Bentuk logo bisa berupa nama, angka, gambar ataupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan teknologi dan budaya, cerita yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ibunya, dan sekaligus menjadi inti cerita dalam film dari Arab Saudi berjudul

BAB IV ANALISIS DATA. Dalam tahap ini, peneliti mulai menerapkan proses representasi yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggunakan pendekatan deskriptif interpretatif.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

KONSEP DIRI DALAM IKLAN ROKOK A MILD (Analisis Semiotika Tentang Konsep Diri dalam Iklan Rokok A Mild Versi Cowok Blur Go Ahead 2011) Fachrial Daniel

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV KESIMPULAN. Bab keempat memuat kesimpulan dari uraian yang ada pada bab satu

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN DESAIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TUGAS ARTIKEL TENTANG PERANCANGAN FILM KARTUN

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak bisa apa apa di bawah bayang bayang kekuasaan kaum pria di zaman

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Barthes. Sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian ini hanya memaparkan situasi atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. SD, mulai kelas 1-3 SD, antara umur 5-10 tahun. Selain itu dongeng juga

BAB I PENDAHULUAN. Dwarfs (1937), Cinderella (1950), Sleeping Beauty (1959), The Little

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak

TOKOH, PENOKOHAN CERITA DONGENG PUTRI CINDERELLA DENGAN BAWANG MERAH BAWANG PUTIH DAN PERBANDINGANNYA (SUATU TINJAUAN STRUKTURAL DAN DIDAKTIS) OLEH

BAB I PENDAHULUAN. permainan modern seperti game on line dan play station. Dongeng dapat

BAB I PENDAHULUAN. penting mengenai peran serta posisi seseorang di kehidupan sosial.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB III GAGASAN BERKARYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Iklan-iklan yang muncul pada media elektronik seperti melalui televisi semuanya memiliki persamaan yaitu ingin

BAB I PENDAHULUAN. calon konsumen membeli atau menggunakan suatu produk atau jasa yang

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. yakni Bagaimana struktur novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf? dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media

Kaum Adam, Jadilah Pria Sejati

BAB I PENDAHULUAN. satu sama lain. Plautus, Filsuf dari Roma mengatakan wanita tanpa kosmetik

BAB I PENDAHULUAN. Pada beberapa tahun kebelakang ini budaya Indonesia mulai menghilang sedikit demi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, media massa juga melakukan banyak

Bab 1. Pendahuluan. Film Hachiko : A Dog s Story adalah film drama yang didalamnya

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB IV PENUTUP. diciptakan oleh kebudayaan sebagai sebuah imaji yang membentuk. bagaimana sosok laki-laki ideal seharusnya. Hasil konstruksi tersebut

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi.

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan topeng sebagai ciri khasnya. Tari topeng Betawi awalnya dipentaskan

BAB V. Refleksi Hasil Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media

FEMINISME DALAM DONGENG

BAB 1 PENDAHULUAN. seorang pengarang akan mencoba menggambarkan realitas yang ada ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan kaum pria dizaman industrialisasi dewasa ini. perfilman karena target penontonnya adalah perempuan, suatu strategi yang

PENDAHULUAN BABI. Masa remaja adalah masa yang penuh gejolak, masa yang penuh dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perkembangan film sebagai salah satu media massa di Indonesia

BAB IV TINJAUAN KARYA

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah.

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan pribadi individu untuk menjadi dewasa. Menurut Santrock (2007),

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. 1. menggunakan media massa adalah bahwa media massa menimbulkan

BAB IV ANALISIS DATA. Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan. untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya.

Pemaknaan Lokal terhadap Teks Global Melalui Analisis Tema Fantasi

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibahas. Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang digunakan

Transkripsi:

I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Disney merupakan salah satu rumah produksi yang telah banyak menghasilkan film-film animasi. Namun berbeda dengan rumah produksi lainnya, film-film animasi karya Disney seringkali identik dengan tema-tema puteri kerajaan. Dalam film-film tersebut, puteri kerajaan selalu digambarkan sebagai seorang perempuan cantik, baik hati, dan lemah lembut. Sedangkan raja atau pangeran, digambarkan sebagai seseorang laki-laki yang memegang kekuasaan dan dapat menyelamatkan sang puteri dari bahaya (sumber: www.about.com). Penggambaran-penggambaran ini dapat dilihat dalam film-film seperti Sleeping Beauty, Aladdin, Cinderella, Snow White and The Seven Dwarf, dan lain-lain. Gambar I. 1 Beberapa contoh film bertemakan Puteri Kerajaan karya Disney (sumber: www.images.google.com) Dalam Sleeping Beauty, untuk membangunkan Puteri Aurora yang dikutuk tertidur selamanya oleh penyihir jahat, seorang pangeran harus menciumnya Karena dalam film tersebut diceritakan bahwa, hanya dengan ciuman cinta sejati saja kutukan penyihir jahat dapat dipatahkan. Begitu juga dalam film Aladdin, Puteri Jasmine yang 1

2 ditahan oleh Jafar, seorang perdana menteri yang jahat, membutuhkan pertolongan Aladdin agar dapat meloloskan diri. Tidak berbeda jauh dengan cerita pada film Sleeping Beauty dan Aladdin, peran laki-laki dalam film Cinderella juga terbilang penting. Meski pangeran dalam film ini diceritakan tidak harus melakukan aksi-aksi berbahaya untuk menyelamatkan Cinderella, namun sosok pangeran inilah yang digambarkan mampu mengeluarkan Cinderella dari penderitaan siksaan ibu dan kedua saudara tirinya. Contoh lain film bertemakan puteri karya Disney yang menunjukkan pentingnya peran laki-laki untuk menyelamatkan sang puteri, juga dapat dilihat pada film Snow White and The Seven Dwarf yang dirilis pada tahun 1937 ini. Memiliki cerita yang hampir sama dengan Sleeping Beauty, dalam film ini diceritakan Snow White yang diceritakan meninggal akibat memakan apel beracun diselamatkan oleh sang pangeran dengan memberikannya ciuman cinta sejati (sumber: www.disneyanimation.com). Gambar I. 2 Snow White yang meninggal akibat makan apel beracun diselamatkan oleh Pangeran (sumber: www.images.google.com) Dalam Snow White and The Seven Dwarf, Disney menggambarkan perempuan cantik bagai puteri kerajaan sebagai seorang yang berkulit putih, berbibir merah, dan berambut hitam. Hal ini dilihat dari

3 perkataan Ibu Snow White saat ia sedang mengandung, ia berharap kelak anak yang dikandungnya menjadi anak yang memiliki kulit seputih salju, bibir semerah darah, dan rambut sehitam eboni (Sideman, 1967:305). Setelah sebelumnya Disney selalu menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah dan membutuhkan pertolongan laki-laki, kemudian pada tahun 1995 Disney kembali merilis sebuah film dimana tidak ada lagi penggambaran perempuan sebagai sosok yang lemah. Film tersebut adalah Pocahontas. Dalam film ini perempuan digambarkan dari sisi yang berbeda, bahwa perempuan adalah sosok yang kuat, juga dapat ikut berperang, dan bahkan mampu menyelamatkan laki-laki. Dengan kemunculan film Pocahontas inilah menjadi titik perubahan penggambaran perempuan dalam film-film karya Disney. Film-film lain karya Disney yang menampilkan perempuan sebagai sosok yang kuat adalah seperti Mulan, The Princess and the Frog, Brave, Alice in Wonderland, Tangled, Frozen, dan lain-lain (sumber: www.about.com). Tidak hanya menampilkan perempuan sebagai sosok yang tidak lagi lemah, kini Disney juga menampilkan perempuan dengan ciri fisik dan karakter yang berbeda. Dalam penelitian yang berjudul Penggambaran Tokoh Puteri (Princess) Dalam Film Kartun Disney (Analisis Komparasi Era Klasik VS Era Kontemporer) oleh Dhian Kartika Febriyanti menjelaskan, film klasik bertemakan puteri karya Disney menampilkan perempuan sebagai sosok yang bertubuh kurus, bekulit putih, tekstur kulit flawless, bersifat pasif, patuh, dan cenderung bergantung pada orang lain. Sedangkan dalam film-film kontemporernya, Disney menggambarkan seorang puteri dengan tubuh yang lebih curvy (berlekuk), berwajah bulat, berambut keriting dan

4 berantakan, kuat, mampu melakukan aksi penyelamatan, dan tidak lagi membutuhkan pertolongan laki-laki (Febriyanti, 2014:1). Pada film-film klasik Disney seperti Cinderella, Snow White, dan Sleeping Beauty, puteri-puteri tersebut digambarkan sebagai sosok yang feminin sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam penelitian oleh Febriyanti (2014) diatas. Fisik tokoh Cinderella, Snow White, dan Sleeping Beauty digambarkan sebagai perempuan yang langsing, tidak berotot, dan memiliki lekukan pinggul. Selain itu sebagai seorang puteri mereka juga digambarkan memiliki kesamaan Bahasa tubuh, seperti harus berdiri tegak, lengan selalu diluruskan dekat dengan tubuh, dan saat berdansa, puteri akan membiarkan pangeran memimpin gerakan mereka (Shannon, 2015:4). Sedangkan pada film puteri kontemporer karya Disney seperti Mulan dan Brave, puteri digambarkan lebih sebagai sosok perempuan yang tomboy. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Febriyanti (2014) sebelumnya. Gambar I. 3 Film Mulan (Sumber: www.images.google.com) Dalam film Mulan, tokoh Mulan digambarkan memotong rambut panjangnya menjadi pendek agar rambutnya lebih mirip dengan rambut laki-laki. Selain itu Mulan juga digambarkan sebagai seorang

gadis pemberani dan tegas yang mampu ikut berperang demi negaranya. 5 Gambar I. 4 Film Brave (Sumber: www.images.google.com) Begitu pula dalam film Brave, Puteri Merida digambarkan sebagai puteri yang tegas dan tidak peduli pada penampilannya. Puteri Merida senang membiarkan rambutnya yang merah dan keriting terurai lepas, ia juga memiliki wajah yang bulat dan tubuh yang berlekuk. Puteri Merida juga tidak memiliki hobi seperti menjahit atau berdansa, layaknya puteri-puteri kebanyakan. Puteri Merida lebih senang bertualang, berkuda dan memanah. Pada film Mulan dan Brave, karakter puteri yang tomboy ini sangat ditonjolkan. Namun, meski film ini berhasil menggambarkan sosok kepribadian perempuan yang berbeda dengan sosok puteri pada dongeng-dongeng klasik Disney kebanyakan, tetap saja pada akhir film ini ditunjukkan bahwa penting bagi seorang perempuan untuk memiliki calon suami dan berkeluarga. Para tetua dalam keluarga Mulan menganggap, hal membanggakan bagi seorang perempuan untuk keluarganya adalah dengan memperoleh calon suami yang baik. Walaupun Mulan berhasil memenangkan peperangan dan menyelamatkan negaranya, hal ini tidak berarti bila ia tidak memiliki pendamping hidup. Memiliki kisah hidup yang hampir sama, film

6 Brave juga menceritakan mengenai Puteri Merida yang sangat menolak perjodohannya. Puteri Merida menganggap sebuah pernikahan dapat menghambatnya dari kebebasan yang ia miliki. Penggambaran karakter Puteri Merida dalam film Brave ini sangat bertentangan dengan karakter puteri pada film-film Disney sebelumnya. Pada film sebelumnya seorang Puteri selalu digambarkan bersemangat menikah dengan laki-laki yang menyelamatkan mereka. Maggiore dalam Chornelia (2003:2) berpendapat bahwa perempuan selalu digambarkan sebagai seorang yang diam, tanpa ambisi, indah, subur, dan bersemangat untuk menikah. Namun penggambaran mengenai perempuan tersebut dipatahkan dalam film Brave. Tidak semua perempuan memiliki suatu ambisi dan bersemangat menikah, perempuan juga berhak mengambil keputusan dan menentukan tujuan hidup yang terbaik untuk dirinya sendiri. Tidak berhenti pada film Brave, pada Mei 2014 Disney kembali mengeluarkan film terbarunya berjudul Maleficent 1. Dalam film ini juga, Disney menggambarkan perempuan sebagai sosok yang kuat bahkan mampu menyelamatkan kaum atau negaranya sendiri. 1 Maleficent merupakan sebuah kata dalam Bahasa Inggris yang berarti perilaku atau efek yang jahat atau mencelakakan. Maleficent merupakan kebalikan dari kata Beneficent yang berarti melakukan atau memproduksi suatu hal baik. Maleficent ini memiliki kesamaan arti dengan kata berawalan mal- lainnya seperti malignant, malevolent, dan malicious. Dalam film Maleficent ini, nama Maleficent tidak hanya menyampaikan arti sesuatu yang jahat, tetapi sekaligus berarti magnificent atau dalam Bahasa Indonesia berarti sangat bagus atau indah. Hal ini menunjukkan karakter Maleficent bukan hanya sebagai peri jahat namun juga sebagai peri yang indah, elegan, dan mempesona. (Sumber: www.vocabulary.com)

7 Gambar I. 5 Film Maleficent (Sumber: www.images.google.com) Namun, tidak hanya ditampilkan sebagai wanita yang kuat dan mandiri saja, dalam film ini diperlihatkan sifat keibuan Maleficent yang penyayang dan pelindung. Selain itu, Maleficent juga digambarkan sangat dekat dengan alam. Secara umum, sebenarnya film Maleficent ini bercerita mengenai dongeng klasik Disney yang biasa dikenal masyarakat dengan judul Sleeping Beauty atau dalam Bahasa Indonesia disebut Puteri Tidur. Berbeda dengan dongeng klasik Sleeping Beauty, cerita film ini lebih difokuskan pada kisah si peri jahat Maleficent, yang mengutuk Puteri Aurora (Sleeping Beauty) agar tertidur selamanya. Dalam film ini, diceritakan mengenai alasan sebenarnya mengapa Maleficent si peri jahat tersebut akhirnya sampai mengutuk Puteri Aurora. Hal menarik yang peneliti lihat dari film Maleficent karya Disney ini adalah, bagaimana cara film ini dikemas secara berbeda dengan dongeng klasiknya. Film ini tidak lagi ditayangkan sebagai film animasi, namun ditayangkan sebagai film fantasi. Film bergenre fantasi ini sendiri, dalam website www.filmsite.org, merupakan sebuah film yang akan membawa penonton kedalam dunia dongeng, tempat yang tidak ada di dalam dunia nyata. Film fantasi biasanya berisi

8 elemen-elemen seperti sihir, mitos, keajaiban, dan keluarbiasaan. Sasaran penonton untuk film fantasi ini juga dapat beragam, tergantung pada konten cerita pada film tersebut. Alasan lain peneliti ingin meneliti film Maleficent ini adalah karena dalam film Maleficent ini tidak menonjolkan Cinderella complex seperti pada film-film Disney kebanyakan. Cinderella complex sendiri merupakan sebuah konsep psikologi emosi perempuan mengenai ketergantungan mereka kepada laki-laki baik dalam segi finansial maupun kebutuhan yang lainnya. Colette Dowling seorang peneliti buku asal Amerika, merupakan orang yang pertama kali menulis buku mengenai Cinderella complex ini. Dowling beranggapan bahwa, kebanyakan perempuan tidak percaya diri bahwa mereka dapat hidup mandiri dan membangun sendiri dunianya, perempuan seringkali lebih memilih untuk mencari seorang laki-laki agar dapat melindunginya (sumber: www.empowher.com). Diceritakan dalam film ini Maleficent sebagai perempuan yang tidak hidup bergantung pada laki-laki, ia mampu hidup mandiri. Bahkan digambarkan Maleficent pemimpin yang kuat dan dihormati oleh kaumnya. Penggambaran Maleficent yang tidak terpengaruh dengan konsep Cinderella complex ini sesuai dengan konsep feminisme mengenai peran dan posisi perempuan selalu tersubordinasikan dengan posisi laki-laki (Murniati, 2004:XXVII). Perempuan tidak harus selalu dikonstruksikan sebagai mahkluk yang lemah dan bergantung pada laki-laki, namun perempuan juga dapat hidup mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Karakter Maleficent dalam film Maleficent karya Disney ini dilihat oleh peneliti mengandung pesan-pesan yang sesuai dengan salah satu konsep dalam feminisme, yaitu ekofeminisme. Ekofeminisme sendiri

9 merupakan sebuah konsep mengenai perempuan yang secara kultural selalu dikaitkan dengan alam. Ekofeminisme berpendapat tentang adanya hubungan konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi. Isu ekologi disini diartikan bahwa perempuan secara tidak sadar telah dinaturalisasi dan alam telah difeminisasi. Maksud dari dinaturalisasi adalah saat perempuan disebut sebagai binatang. Sedangkan maksud dari alam telah difeminisasi adalah saat alam ditambang, dikuasai, dan ditaklukkan oleh laki-laki. Perbuatan yang dilakukan laki-laki terhadap alam tersebut, dengan kata lain juga dapat dilakukan kepada perempuan (Tong, 2008:360). Dalam film Maleficent ini sendiri, ditunjukkan terdapat seorang raja yang berusaha ingin menguasai alam. Namun dalam usahanya menguasai alam inilah, ia juga berusaha menaklukkan Maleficent yang digambarkan sebagai penguasa alam. Usaha menguasai alam dan perempuan yang dilakukan oleh raja inilah, yang sesuai dengan konsep alam yang telah difeminisasi dan perempuan yang dinaturalisasi oleh manusia yang berciri maskulin. Disney memang seringkali membuat film dengan tema mengenai puteri-puteri kerajaan. Dari banyak film-film tersebut, perempuan selalu digambarkan memiliki karakter yang penyayang, baik hati, dan dekat dengan alam. Misalnya sebagai contoh tokoh Snow White, ia digambarkan sebagai sosok yang sangat menyayangi binatang, Snow White pun tinggal di Hutan bersama dengan tujuh kurcaci yang juga menyayangi Snow White.

10 Gambar I. 6 Snow White menyayangi binatang dan hidup bersama tujuh kurcaci (Sumber: www.images.google.com) Namun dari beberapa film Disney mengenai puteri-puteri kerajaan ini, perempuan juga seringkali digambarkan sebagai sosok yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan laki-laki. Tetapi penggambaran mengenai perempuan yang lemah ini tidak lagi muncul pada film Maleficent. Maleficent memang digambarkan sebagai sosok yang penyayang dan dekat dengan alam, namun Maleficent tidak digambarkan lemah. Maleficent adalah sosok perempuan yang kuat, mandiri, dan mampu mengambil keputusannya sendiri. Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana teks media memperlihatkan tanda dan lambang mengenai perempuan dan alam yang berkaitan ekofeminisme. Untuk meneliti teks media ini lebih mendalam, peneliti memilih menggunakan metode analisis semiotika, dengan menggunakan teori Roland Barthes. Semiotika sendiri merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji data. Tanda-tanda adalah suatu perangkat yang dapat dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah manusia dan bersama manusia. Pada dasarnya, semiotik mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan

11 mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objekobjek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Suatu tanda dapat menandakan sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Sobur, 2013:15). Barthes dalam teorinya berpendapat, bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Teori semiotik yang dikemukakan Barthes ini sendiri sebenarnya merupakan turunan dari teori semiotik milik de Saussure. Barthes menyempurnakan kembali teori semiotik milik Saussure yang hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif saja dengan mengembangkannya hingga pada sistem penandaan konotatif. Selain itu Barthes juga melihat aspek penandaan lain yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Dengan adanya relasi yang dikemukanan oleh Barthes inilah yang membuat teori mengenai tanda semakin lebih berkembang, karena relasi tersebut akan ditetapkan oleh pemakai tanda (Sobur, 2003, dalam Vera, 2014:27). Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik meneliti mengenai representasi perempuan dan alam dalam perspektif ekofeminisme pada film Maleficent ini.

12 I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana representasi perempuan dan alam dalam perspektif ekofeminisme dalam film Maleficent karya Disney? I.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti adalah untuk mengetahui bagaimana representasi perempuan dan alam dalam perspektif ekofeminisme dalam film Maleficent. I.4 Batasan Masalah Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Peneliti ingin melihat bagaimana film Maleficent merepresentasikan perempuan dan alam melalui perspektif ekofeminisme. Sehingga metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode semiotika. Dalam penelitian ini peneliti akan memfokuskan penelitian dalam bentuk komunikasi yang erat kaitannya dengan penggambaran perempuan dalam film. Sedangkan untuk meneliti representasi, batasan penelitian berdasarkan unit analisis berupa sintagma dan paradigma yang terdapat dalam film Maleficent ini. I.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini untuk berbagai pihak adalah sebagai berikut:

13 I.5.1 Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti selaku mahasiswa mengenai metodologi penelitian komunikasi semiotika. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai analisis semiotika mengenai representasi perempuan dan alam melalui perspektif ekofeminisme dalam film Maleficent. I.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai bagaimana perempuan dan alam direpresentasikan melalui perspektif ekofeminisme dalam film Maleficent. Selain itu dari film ini masyarakat juga diharapkan dapat menjadi individu yang mampu berpikir kritis dan dapat memaknai pesan yang tersimpan dalam sebuah film.