BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan yang dilakukan. Seperti halnya yang terjadi di Bali.

BAB I PENDAHULUAN. Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara

I. PENDAHULUAN. menggalakkan pembangunan dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. Bantul secara umum masih dalam kategori sedang. hampir sama dengan Peran Pemerintah Daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR

I. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia memposisikan pembangunan pertanian sebagai basis utama

ANALISIS PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN IRIGASI DI DAERAH IRIGASI LIMAU MANIS KOTA PADANG SUMATERA BARAT OLEH

BAB I PENDAHULUAN. (Kementerian Pertanian, 2014). Sektor pertanian sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

BAB I PENDAHULUAN. sekarang telah dikembangkan seluas Ha yang terdiri dari irigasi

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

AgroinovasI. Badan Litbang Pertanian. Edisi Desember 2011 No.3436 Tahun XLII

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara Pertanian, artinya sektor pertanian dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian masih memegang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Menurut Nuhung (2006), untuk membangun sosok pertanian yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

1. BAB I PENDAHULUAN

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. lipat pada tahun Upaya pencapaian terget membutuhkan dukungan dari

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

BAB I PENDAHULUAN. kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok selalu terjadi, baik secara

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 50 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

NO LD. 23 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengertian dari irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dengan tujuan tertentu seperti meningkatkan kesejahteraan, menciptakan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan

kelembagaan irigasi, sehingga kinerjanya berpengaruh pada tingkat manajemen air irigasi akan semakin tinggi konflik kebutuhan air irigasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan pedesaan merupakan bagian integral dari pembangunan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 50 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR MENTERI DALAM NEGERI,

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

OUTCOME PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IRIGASI ANAI PROPINSI SUMATERA BARAT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

INTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMBAHARUAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN IRIGASI PRESIDEN REBUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Asas otonomi daerah merupakan hal yang hidup sesuai dengan kebutuhan dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia diperuntukkan sebagai lahan pertanian. Keadaan seperti ini menuntut kebijakan sektor pertanian yang disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi di lapangan dalam mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kesejahteraan bangsa (Dillon dkk, 2009:23). Paradigma pembangunan di Indonesia selama ini yang dominan dalam pembangunan adalah suatu paradigma yang meletakkan peran pemerintah pada posisi sentris. Baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan pembangunan. Dan paradigma ini mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak, karena paradigma tersebut sangat tidak mempercayai kemampuan masyarakat dalam membangun diri. Sehingga banyak proyek dan program pembangunan yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat, karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat (Jacob, 2000 dalam Sukino, 2014:59). Pembangunan pertanian yang berpusat pada masyarakat harusnya akan meningkatkan perekonomian masyarakat karena disana masyarakat bebas untuk mengatur peraturan dan melakukan berbagai program pemerintah berbasis kebutuhan masyarakat itu sendiri. Cara agar program pemerintah tersebut supaya selaras dengan kebutuhan masyarakat adalah dengan keikutsertaan masyarakat. Keikutsertaan masyarakat diharapkan mampu membuat masyarakat dapat memandirikan diri mereka sendiri (Kartasasmita, 1996 dalam Amanah, 2014:17). Pada negeri yang besar seperti Indonesia dan dengan kompleksitas persoalannya, dimensi modal sosial hampir diabaikan, jauh berada di luar alam pikir pembangunan. Padahal, di berbagai belahan dunia dewasa ini, kesadaran akan pentingnya faktor tersebut cukup tinggi, dan sedang menjadi kepedulian bersama. Social capital (modal sosial) diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesaling percayaan dan kesaling

2 menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama (Hasbullah, 2006:3). Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama di antara mereka (Fukuyama, 1999 dalam Ulinnuha, 2012:28). Modal sosial berbeda dengan istilah modal manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk kepada dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki individu. Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi membangun jaringannya. Salah satu kumci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu hubungan sosial (Hasbullah, 2006:7). Kelompok merupakan salah satu inti dari konsep modal sosial. Kecenderungan suatu entitas sosial dengan masyarakatnya untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan akan sangat menentukan kuat atau tidaknya modal sosial mereka. Gerakan-gerakan sosial yang terorganisir dalam suatu grup atau perkumpulan dengan maksud mensejahterakan dan memberi keuntungan bagi anggotanya akan menentukan kecepatan perkembangan masyarakat dimana perkumpulan itu tumbuh. Kajian-kajian yang menyangkut modal sosial selama ini cenderung memperlihatkan bahwa semakin aktif masyarakat terlibat dalam suatu perkumpulan, dan semakin banyak perkumpulan atau kelompok sosial yang ada akan memberikan dampak positif di tengah masyarakat tersebut dan juga akan memberi pengaruh positif pada dunia di luarnya (Hasbullah, 2006:34). Banyak kelompok yang dilahirkan di tengah masyarakat ataupun merupakan program dari pemerintah lahir dengan bertujuan untuk memberi keuntungan kolektif bagi kelompok dan memudahkan bagi pemerintah dalam melihat ke bawah terkait petani yang sudah dikelompokkan. Kelompok tersebut dalam kegiatan pertanian sehari-hari dapat kita lihat dalam berbagai aktivitas

3 usahatani, yaitu kelompok yang saling membantu dalam bidang penyiapan sarana dan prasarana dalam usahatani, melakukan kelembagaan dalam budidaya, kelompok dalam pengolahan hasil pertanian, bahkan kelompok yang membentuk sebuah kelembagaan untuk memudahkan dalam aspek pemasaran sehingga mereka dapat menjamin harga produk pertanian yang mereka hasilkan agar tidak berada di bawah harga pasar. Semua kelompok itu didirikan tentu atas dasar mencari kesejahteraan bagi kelompok, yang nanti keuntungannya tentu juga akan mereka terima secara personal untuk rumah tangga mereka masing-masing. Salah satu dari kelompok tersebut adalah adanya perkumpulan petani pemakai air (P3A). Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) merupakan kelompok yang ada di masyarakat dimana anggotanya adalah petani yang memanfaatkan air sebagai sarana pengairan sawah mereka. P3A dibentuk untuk memfasilitasi dan mengatur pembagian air bagi petani dimana pembentukannya berdasarkan pada luasan areal sawah dan di daerah irigasi setempat. Pada prinsipnya organisasi ini sudah ada sejak air irigasi mulai menjagi bagian dari kehidupan pertanian. Pada mulanya organisasi seperti ini terkait erat dengan lembaga pemerintah desa sebagi pusat pengatur kegiatan masyarakat desa, meskipun ada yang berdiri sendiri seperti Subak di Bali, yang dalam perkembangananya organisasi ini sudah ada sejak lama secara tradisional dan mengakar pada kehidupan masyarakat (Kartasapoetra dkk, 1994:173). Pengelolaan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab dari Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Artinya, segala tanggung jawab pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di tingkat tersier menjadi tanggung jawab lembaga perkumpulan petani pemakai air (pada beberapa daerah lebih dikenal dengan Mitra Cai, Subak, HIPPA, Dharma Tirta) termasuk perkumpulan petani pemakai air tanah / P3AT (Pusposutardjo, 2000:28). Menurut Utami (2016:58 ), pengelolaan jaringan irigasi tersier memiliki beberapa permasalahan. Dalam kegiatan operasi jaringan, terkadang Tuo Banda tidak menjalankan tanggungjawabnya dengan semestinya, sehingga pembagian air tidak merata. Dalam kegiatan pemeliharaan jaringan, biasanya daerah hulu saja yang mendapatkan perhatian petugas, sedangkan bagian tengah dan hilir

4 diserahkan tidak begitu mendapat perhatian, hal ini menyebabkan rendahnya motivasi kerja dan kurangnya kemampuan dalam pemeliharaan jaringan irigasi. Dalam kegiatan rehabilitasi jaringan, masih kurangnya kesadaran P3A terhadap irigasi yang mengalami kerusakan. Dalam mengelola jaringan irigasi tersier, yang sepenuhnya kewenangan menjadi milik P3A, tentu saja modal sosial menjadi bagian yang sangat penting. Hal ini karena P3A merupakan salah satu komunitas/kelompok yang berada di masyarakat, sehingga penting untuk dikaji, serta modal sosial menjadi perekat bagi P3A dalam mengelola jaringan irigasi tersier. Mawarni (2000) dalam Mardikanto dkk (2014:49) mengidentifikasi beberapa hal tentang pentingnya moda l sosial, yaitu sebagai berikut: (a) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas, (b) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas, (c) mengembangkan solidaritas, (d) memungkinkan mobilitas sumberdaya komunitas, (e) memungkinkan pencapaian bersama, dan (f) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. B. Rumusan Masalah Sarwan (2004:109) menyatakan bahwa jaringan irigasi yang diabaikan menyebabkan prasarana yang sudah terbangun tidak dapat berfungsi sesuai yang direncanakan dan jaringan irigasi rusak sebelum waktunya / umur bangunan sehingga diperlukan biaya rehabilitasi jaringan yang besar. Penyediaan air melalui irigasi merupakan solusi yang dapat mengatasi kekurangan air untuk keperluan pertanian dan rumah tangga. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan pengelolaan jaringan irigasi tersier tersebut. Menurut PP No. 20 Tahun 2006, P3A diberikan hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengembangan sistem irigasi tersier. P3A merupakan lembaga yang bersifat formal, keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia dan memiliki unsur-unsur manajemen modern yaitu pembagian kerja dan tanggung jawab secara rasional dan objektif (Suharno, 1995 dalam Mustaniroh, 2001:2). Pembentukan P3A diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan operasi dan pemeliharaan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani (Mustaniroh, 2001:3).

5 Sumatera Barat memiliki 1884 kelompok P3A. Diantaranya, terdapat 1377 yang merupakan P3A pemula, kemudian 317 merupakan P3A madya dan 190 merupakan P3A maju (Lampiran 1). Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Kola Jaya merupakan salah satu P3A yang berada di Sumatera Barat. P3A ini berada di Kelurahan Koto Lalang, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang. P3A Kola Jaya merupakan P3A yang telah meraih prestasi baik di tingkat Kota, Provinsi, maupun Nasional. Sekarang jumlah anggota dari P3A ini sudah berjumlah 331 orang. Dari jumlah anggota sebanyak itu, semua anggota P3A tergabung dalam 5 kelompok tani yang ada di Kelurahan Koto Lalang (Lampiran 2). Untuk luas area kerja, P3A ini memiliki luas area kerja seluas 220 Ha. Daerah irigasi yang menjadi wilayah kerja dari P3A adalah Daerah Irigasi Limau Manih, Daerah Irigasi Koto Lalang, Daerah Irigasi Lubuk Napa dan Daerah Irigasi Lubuk Hantu. DI Koto Lalang merupakan salah satu wilayah kerja dari P3A Kola Jaya. DI Koto Lalang sekarang telah berubah jenis irigasinya dari irigasi sederhana menjadi irigasi semi teknis pada tahun 2013. Dalam mencukupi kebutuhan air, maka P3A Kola Jaya harus mampu dalam mengelola jaringan irigasi tersier pada DI Koto Lalang. Hal tersebut dikarenakan wewenang dalam pengelolaan jaringan irigasi tersier pada DI Koto Lalang menjadi wewenang penuh dari P3A Kola Jaya. Pengelolaan DI Koto Lalang yang sepenuhnya dikelola oleh P3A Kola Jaya tentu harus memperhatikan kebutuhan antara bagian hulu, tengah dan hilir. Hal ini mengingat bahwa air menjadi sumber daya alam yang dibutuhkan oleh setiap petani dalam usahatani padi sawah dan harus diorganisir dengan baik agar tidak adanya saling tumpang tindih antar petani yang memakai air sehingga memunculkan konflik untuk mendapatkan air. Adanya kepentingan individu untuk mendapatkan air yang berasal dari modal fisik yang sama yaitu DI Koto Lalang, membuat petani harus saling bekerjasama dalam setiap kegiatan pengelolaan jaringan irigasi tersier. Jika kekompakan petani dalam mengelola jaringan itu ada, maka seluruh anggota P3A Kola Jaya akan mendapatkan air yang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing secara berkelanjutan. Oleh karena itu, kegiatan pengelolaan jaringan irigasi tersier pada DI Koto Lalang harus dikerjakan secara bersama oleh P3A Kola Jaya, agar kepentingan individu anggota pun dapat terpenuhi dalam mendapatkan air.

6 Dari dulu hingga sekarang, gotong royong selalu menjadi nilai-nilai positif yang hadir pada pengelolaan jaringan irigasi tersier oleh P3A Kola Jaya. Dengan adanya kerjasama tersebut, maka pekerjaan akan menjadi lebih cepat dan lebih mudah dan akan memberi dampak positif terhadap kondisi jaringan irigasi tersier pada DI Koto Lalang. Hal ini menyebabkan modal sosial akan menjadi bagian penting dalam pengelolaan jaringan irigasi tersier pada DI Koto Lalang. Modal sosial itulah yang menghubungkan P3A Kola Jaya dalam mengelola modal-modal yang dimiliki, yaitu anggota P3A Kola Jaya (modal sdm), air dan tanah (modal sda), jaringan irigasi tersier pada DI Koto Lalang (modal fisik) dan keuangan yang dimiliki (modal finansial). Sehingga, modal sosial dalam pengelolaan jaringan irigasi tersier pada DI Koto Lalang yang dilakukan oleh P3A Kola Jaya menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Suatu kelompok masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah. Hal ini memungkinkan terjadi terutama pada masyarakat yang terbiasa hidup dengan rasa saling mempercayai yang tinggi (Hasbullah, 2006:38). Adanya institusi formal dan informal yang menjamin trust agar berfungsi secara operasional. Pada kelembagaan informal dalam hal ini yaitu hubungan antar anggota yang telah terbina sejak lama yakni interpersonal relations, yakni hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang telah terbina sejak lama dan terbukti handal karena teruji oleh pengalaman-pengalaman. Pada sisi kelembagaan formal dalam hal ini adalah P3A, trust bisa tumbuh bila fungsi-fungsi organisasi ikut menyumbang energi bagi tumbuh dan berkembangnya moralitas trust dalam masyarakat (Field, 2010:67). Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan oleh penulis adalah : 1. Bagaimana pengelolaan jaringan irigasi tersier pada Daerah Irigasi (DI) Koto Lalang? 2. Bagaimana modal sosial dalam pengelolaan jaringan irigasi tersier pada Daerah Irigasi (DI) Koto Lalang?

7 Maka, berdasarkan uraian diatas penulis melakukan penelitian dengan judul: Analisis Modal Sosial dalam Pengelolaan Jaringan Irigasi Tersier oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Kola Jaya pada Daerah Irigasi Koto Lalang di Kelurahan Koto Lalang Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan pengelolaan jaringan irigasi tersier pada Daerah Irigasi (DI) Koto Lalang. 2. Menganalisis modal sosial dalam pengelolaan jaringan irigasi tersier pada Daerah Irigasi (DI) Koto Lalang. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Kola Jaya dan P3A lainnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan agar P3A dapat terus berkelanjutan. 2. Bagi penulis dan pihak akademisi, penelitian ini dapat menjadi sebagai sarana dalam menerapkan teori dan ilmu yang telah penulis terima dan juga agar dapat bermanfaat untuk pembelajaran dan bahan referensi untuk penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.