BAB II STUDI LITERATUR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II SOFT HANDOFF. bergerak. Mobilitas menyebabkan variasi yang dinamis pada kualitas link dan tingkat

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

ANALISIS PENINGKATAN KINERJA SOFT HANDOFF TIGA BTS DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PROPAGASI OKUMURA

BAB I PENDAHULUAN. handoff pada jaringan 3G (third generation), para pengguna sudah dapat merasakan

BAB I PENDAHULUAN. Code Division Multiple Access (CDMA) merupakan metode akses kanal

BAB 2 DASAR TEORI. Sistem telekomunikasi yang cocok untuk mendukung sistem komunikasi

BAB II PROPAGASI SINYAL. kondisi dari komunikasi seluler yaitu path loss, shadowing dan multipath fading.

BAB III PROPAGASI GELOMBANG RADIO GSM. Saluran transmisi antara pemancar ( Transmitter / Tx ) dan penerima

UNJUK KERJA ALGORITMA HARD HANDOFF TERHADAP VARIASI KECEPATAN MOBILE STATION

EVALUASI KINERJA ALGORITMA HISTERESIS HARD HANDOFF PADA SISTEM SELULER

ANALISIS KEGAGALAN SOFT HANDOFF PADA JARINGAN CDMA2000 1xRTT

Dalam hal ini jarak minimum frequency reuse dapat dicari dengan rumus pendekatan teori sel hexsagonal, yaitu : dimana :

ANALISA PERBANDINGAN PEMODELAN PROPAGASI PADA SISTEM DCS 1800 DI KOTA SEMARANG

BAB III PERANCANGAN DAN SIMULASI LEVEL DAYATERIMA DAN SIGNAL INTERFERENSI RATIO (SIR) UE MENGGUNAKAN RPS 5.3

Perencanaan Transmisi. Pengajar Muhammad Febrianto

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

ANALISIS KINERJA ALGORITMA SUBOPTIMAL HANDOVER PADA SISTEM KOMUNIKASI WIRELESS

BAB II SISTEM KOMUNIKASI SELULER. Komponen fundamental dari suatu sistem GSM (Global System for Mobile

BAB II LANDASAN TEORI

Objective PT3163-HANDOUT-SISK OMBER

BAB I PENDAHULUAN. sinyal paling tinggi. Metode ini memperlihatkan banyaknya handover yang tidak

ANALISIS LINK BUDGET PADA PEMBANGUNAN BTS ROOFTOP CEMARA IV SISTEM TELEKOMUNIKASI SELULER BERBASIS GSM

ANALISIS HANDOFF JARINGAN UMTS DENGAN MODEL PENYISIPAN WLAN PADA PERBATASAN DUA BASE STATION UMTS

BAB II CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (CDMA) CDMA merupakan singkatan dari Code Division Multiple Access yaitu teknik

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SIMULASI LINK BUDGET PADA KOMUNIKASI SELULAR DI DAERAH URBAN DENGAN METODE WALFISCH IKEGAMI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 PERENCANAAN CAKUPAN

I. Pembahasan. reuse. Inti dari konsep selular adalah konsep frekuensi reuse.

PERHITUNGAN PATHLOSS TEKNOLOGI 4G

BAB II KOMUNIKASI BERGERAK SELULAR GSM

Pengaruh Pilot Pollution terhadap Performansi

PENGARUH STANDAR DEVIASI SHADOW FADING TERHADAP KINERJA ALGORITMA SUBOPTIMAL SIGNAL DEGRADATION HANDOFF (SDH)

MEKANISME HANDOVER PADA SISTEM TELEKOMUNIKASI CDMA

ANALISIS PENGARUH SLOPE TERRAIN TERHADAP PATHLOSS PADA DAERAH SUBURBAN UNTUK MODE POINT TO POINT PADA SISTEM GSM 900

BAB 2 DASAR TEORI. Selain istilah sel, pada sistem seluler dikenal pula istilah cluster yaitu kumpulan

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

ANALISIS PENGARUH SLOPE TERRAIN TERHADAP PATHLOSS PADA DAERAH SUBURBAN UNTUK MODE POINT TO POINT PADA SISTEM GSM 900

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Topologi Sistem Komunikasi Selular

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS MODEL PROPAGASI PATH LOSS SEMI- DETERMINISTIK UNTUK APLIKASI TRIPLE BAND DI DAERAH URBAN METROPOLITAN CENTRE

BAB I PENDAHULUAN. ke lokasi B data bisa dikirim dan diterima melalui media wireless, atau dari suatu

ANALISIS PENYEBAB BLOCKING CALL DAN DROPPED CALL PADA HARI RAYA IDUL FITRI 2012 TERHADAP UNJUK KERJA CDMA X

KARAKTERISASI KANAL PROPAGASI VHF BERGERAK DI ATAS PERMUKAAN LAUT

BAB III METODE PENELITIAN

STUDI SISTEM VERTICAL HANDOVER PADA JARINGAN WIRELESS HETEROGEN MENGGUNAKAN ALGORITMA ADAPTIVE LIFETIME BASED

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PROPAGASI GELOMBANG RADIO DALAM PERENCANAAN JARINGAN SISTEM SELULAR

ANALISIS PERBANDINGAN MODEL PROPAGASI UNTUK KOMUNIKASI BERGERAK PADA SISTEM GSM 900. pendidikan sarjana (S-1) pada Departemen Teknik Elektro.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SIMULASI MODEL EMPIRIS OKUMURA-HATA DAN MODEL COST 231 UNTUK RUGI-RUGI SALURAN PADA KOMUNIKASI SELULAR

BAB I PENDAHULUAN. teknologi 3G yang menawarkan kecepatan data lebih cepat dibanding GSM.

Radio Propagation. 2

Modul 2 Konsep Dasar Sistem Seluler

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Aspek-Aspek Perencanaan BTS pada Sistem Telekomunikasi Selular Berbasis CDMA

Modul 7 EE 4712 Sistem Komunikasi Bergerak Prediksi Redaman Propagasi Oleh : Nachwan Mufti A, ST 7. Prediksi Redaman Propagasi

Lisa Adriana Siregar Dosen Tetap Program Studi Teknik Elektro Sekolah Tinggi Teknik Harapan

Optimasi BTS Untuk Peningkatan Kualitas Jaringan CDMA 2000

fading konstan untuk setiap user dengan asumsi perpindahan mobile station relatif

Analisa Sistem DVB-T2 di Lingkungan Hujan Tropis

TEKNOLOGI SELULER ( GSM )

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

ANALISA IMPLEMENTASI GREEN COMMUNICATIONS PADA JARINGAN LTE UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI ENERGI JARINGAN

ANALISIS EKSPONEN PATH LOSS DENGAN MEMBANDINGKAN METODE HISTERESIS ADAPTIF DAN METODE HISTERESIS TETAP

BAB II KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Pemancar dan Penerima Sistem MC-CDMA [1].

PERHITUNGAN PATHLOSS TEKNOLOGI LONG TERM EVOLUTION (LTE) BERDASARKAN PARAMETER JARAK E Node-B TERHADAP MOBILE STATION DI BALIKPAPAN

ANALISIS COVERAGE AREA WIRELESS LOCAL AREA NETWORK (WLAN) b DENGAN MENGGUNAKAN SIMULATOR RADIO MOBILE

ANALISIS DAN PERBANDINGAN HASIL PENGUKURAN PROPAGASI RADIO DVB-T DAN DVB-H DI WILAYAH JAKARTA PUSAT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Hasil Perhitungan Link Budget

Universitas Kristen Maranatha

BAB IV ANALISA PERFORMANSI BWA

Wireless Communication Systems. Faculty of Electrical Engineering Bandung Modul 14 - Perencanaan Jaringan Seluler

BAB III PERANCANGAN SIMULASI INTERFERENSI DVB-T/H TERHADAP SISTEM ANALOG PAL G

PERENCANAAN ANALISIS UNJUK KERJA WIDEBAND CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (WCDMA)PADA KANAL MULTIPATH FADING

Soft Handover Sistem CDMA X Area Manado

BAB II KOMUNIKASI SELULER INDOOR. dalam gedung untuk mendukung sistem luar gedung (makrosel dan mikrosel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TUGAS AKHIR ANALISA PERFORMANSI JARINGAN TELEKOMUNIKASI GSM. Diajukan guna melengkapi sebagian syarat Dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Estimasi Luas Coverage Area dan Jumlah Sel 3G pada Teknologi WCDMA (Wideband Code Division Multiple Access)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG

SINGUDA ENSIKOM VOL. 7 NO. 2/Mei 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PERENCANAAN KEBUTUHAN NODE B PADA SISTEM UNIVERSAL MOBILE TELECOMMUNICATION SYSTEM (UMTS) DI WILAYAH UBUD

BAB II ARSITEKTUR SISTEM CDMA. depan. Code Division Multiple Access (CDMA) merupakan salah satu teknik

STUDI KELAYAKAN MIGRASI TV DIGITAL BERBASIS CAKUPAN AREA SIARAN DI BEKASI

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bab 3 ini akan dibahas mengenai metode penelitian yang dilakukan pada BTS-

Optimasi Single Frequency Network pada Layanan TV Digital DVB-T dengan Menggunakan Metode Simulated Annealing L/O/G/O

BAB III PERANCANGAN MODEL KANAL DAN SIMULASI POWER CONTROL DENGAN MENGGUNAKAN DIVERSITAS ANTENA

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

Transkripsi:

BAB II STUDI LITERATUR 2.1 Propagasi Sinyal Dikarenakan mobilitas yang tinggi dari MS yang bergerak dari satu sel ke sel yang lain, mengakibatkan kondisi propagasi sinyal pada komunikasi selular sangat sulit untuk diprediksi. Rugi propagasi (Propagation Loss) mencakup semua pelemahan yang diperkirakan akan dialami sinyal ketika berjalan dari base transceiver station ke mobile station. Secara umum terdapat 3 komponen propagasi yang menggambarkan kondisi dari komunikasi seluler yaitu pathloss, shadowing (slow fading) dan multipath fading (fast fading) (Mahmood, M., Z.1996). Adanya pemantulan dari beberapa objek dan pergerakan mobile station menyebabkan kuat sinyal yang diterima oleh mobile station bervariasi dan sinyal yang diterima tersebut mengalami path loss. Pathloss adalah fenomena menurunnya daya yang diterima terhadap jarak karena refleksi dan difraksi disekitar lintasan. Path loss akan membatasi kinerja dari sistem komunikasi bergerak sehingga memprediksikan path loss merupakan bagian yang penting dalam perencanaan sistem komunikasi bergerak. Shadowing disebabkan oleh halangan terhadap jalur garis pandang (LOS) antara pemancar dan penerima, seperti terhalang oleh bangunan perumahan, gedunggedung, pohon dan sebagainya. Multipath fading (fast fading) timbul karena pantulan multipath dari sebuah gelombang yang dipancarkan oleh benda-benda seperti rumah, bangunan, strukturstruktur lain buatan manusia, atau benda-benda alam seperti hutan yang berada di sekitar MS. Perbedaan panjang saluran propagasi dari sinyal multipath memberikan peningkatan untuk waktu delay propagasi yang berbeda. Multipath fading atau fast fading dapat diabaikan untuk korelasi jarak yang pendek dan diasumsikan penerima

dapat mengatasinya dengan efektif. Kondisi propagasi dapat diilustrasikan seperti gambar 2.1 (Chen, Y., 2003). Gambar 2.1 Komponen Propagasi 2.1.1 Propagasi Lintasan Bebas (free space loss) Propagasi gelombang radio sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Gambar 2.2 menunjukkan parameter-parameter propagasi radio. Gambar 2.2 Parameter dasar propagasi radio Base transceiver station mentransmisikan daya sebesar P t dari suatu antena dengan gain G t pada jarak d, receiver menerima daya sebesar P r dari antena dengan gain G r. Daya yang diterima diberikan oleh persamaan 2.1, dengan variable berupa

daya yang dipancarkan, jarak, gain antena, kecepatan cahaya dan frekuensi (Seybold, John S., 2005). P r = P t 4πd 2 G rg t ( c2 4πf2) (2.1) Dimana P t /4πd 2, menunjukkan daya yang dipancarkan oleh base transceiver station dengan daerah sebar seluas 4πd 2. G t G r, menunjukkan gain dari antena pemancar dan antena penerima. Semakin besar gain, semakin besar pula daya yang diterima dan c 2 /4πf 2, menunjukkan bahwa daya yang diterima akan berkurang seiring dengan meningkatnya kuadrat frekuensi. Persamaan (2.1) dapat ditulis kembali dalam bentuk: P r = (P t G t G r )/L 0 (2.2) dengan: Free space loss = L 0 = (4πdf/c) 2 (2.3) dalam bentuk db, persamaan (2.3) menjadi: dimana: L 0 L 0 (db)= 32 + 20 log f MHz + 20 log d Km (2.4) = rugi-rugi lintasan bebas (db) f = frekuensi (MHz) d = panjang lintasan propagasi (Km) 2.1.2 Model Propagasi Model propagasi menjelaskan perambatan rata-rata sinyal pada suatu daerah. Besarnya rugi-rugi propagasi tersebut bervariasi sesuai spektrum dan kondisi alam serta lingkungan sekitarnya. Memperkirakan rugi-rugi yang akan dilalui sinyal adalah hal yang sangat penting. Salah satunya adalah rugi-rugi yang dihasilkan oleh propagasi sinyal. Rugi propagasi adalah rugi-rugi yang cukup sulit untuk diperkirakan. Rugi ini dipengaruhi langsung oleh keadaan lingkungan sekitar yang dilalui oleh sinyal. Para ahli telah menghasilkan beberapa model matematis yang dapat memberikan nilai yang cukup baik untuk mendekati keadaan lingkungan nyata.

Model dari rugi-rugi propagasi dapat dibagi dalam 3 jenis yaitu: Model Teoritis, Model Empiris dan Model Stokastik. Secara empiris telah ditentukan beberapa model propagasi, diantaranya adalah model propagasi Okumura, Hata dan W.C.Y. Lee (atau yang sering dikenal sebagai model Lee) (Mohammad, S., and Hes-Shafi, A. Q. M. A., 2009) (Sizun, H. 2005). 2.1.2.1 Model Okumura Model Okumura adalah model yang cocok untuk range frekuensi antara 150-1920 MHz dan pada jarak antara 1-100 km dengan ketinggian antena base transceiver station (BTS) berkisar 30 sampai 100 m. Untuk menentukan redaman lintasan dengan model Okumura, pertama kita harus menghitung dahulu rugi-rugi lintasan bebas (free space path loss), kemudian nilai A mu (f,d) dari kurva Okumura ditambahkan kedalam faktor koreksi untuk menentukan tipe daerah. Model Okumura dapat ditulis dengan persamaan berikut (Rappaport, T. S.,1995) (Goldsmith, A. 2005) (Pinem,M.2012). L (db) = L F + A mu (f,d) G(h te ) G(h re ) - G AREA (2.5) dimana: L F = Rugi-rugi lintasan bebas yang dapat dihitung dengan persamaan (2.4): Amu = rata-rata redaman relatif terhadap rugi-rugi lintasan bebas (db) G(h te ) = gain antena BTS (db) G(h re ) = gain antena MS (db) GAREA = gain tipe daerah (db) Gain antena berkaitan dengan tinggi antena dan tidak ada hubungannya dengan pola antena. Kurva A mu (f,d) untuk range frekuensi 100-3000 MHz ditunjukkan oleh Gambar 2.3a, sedangkan nilai G AREA untuk berbagai tipe daerah dan frekuensi diperlihatkan pada Gambar 2.3b.

a Kurva A mu (f,d) b Nilai G AREA Gambar 2.3 Perbandingan frekuensi terhadap gain dimana: G(h re ) = 20log(h te /200) 100 m > h te > 10 m (2.6) G(hre) = 20log(h re /3) 10 m > h re > 3 m (2.7) G(hre) = 10 log(h re /3) h te h re = tinggi antena BTS (m) hre = tinggi antena MS (m) 3 m (2.8) Model Okumura merupakan model yang sederhana tetapi memberikan akurasi yang bagus untuk melakukan prediksi redaman lintasan pada sistem komunikasi radio bergerak untuk daerah yang tidak teratur. Kelemahan utama dari model ini adalah respon yang lambat terhadap perubahan permukaan tanah yang cepat. Karena itu model ini sangat cocok diterapkan pada daerah urban dan suburban, tetapi kurang bagus jika untuk daerah rural (pedesaan).

2.1.2.2 Model Hata Model Hata merupakan bentuk persamaan empiris dari kurva redaman lintasan yang dibuat oleh Okumura, karena itu model ini lebih sering disebut sebagai model Okumura-Hata. Model ini cocok untuk daerah frekuensi antara 150-1500 MHz. Hata membuat persamaan standar untuk menghitung redaman lintasan di daerah urban, sedangkan untuk menghitung redaman lintasan di tipe daerah lain (suburban, open area, dll), Hata memberikan persamaan koreksinya. Persamaan prediksi Hata untuk daerah urban adalah (Parsons,J.D,.2000) (Goldsmith, A. 2005) ( William, C. Y. L,. 2006). L(urban)(dB) = 69,55+26,16logf c 13,82logh te a(h re )+(44,9 6,55logh re )log (2.9) Dimana: f c h h d te re = frekuensi kerja antara 150-1500 MHz, = tinggi efektif antena transmitter (BTS), 30-200 m, = tinggi efektif antena receiver (MS), 1-10 m, = jarak antara Tx-Rx (km), a(h re ) = faktor koreksi untuk tinggi efektif antena MS sebagai fungsi dari luas daerah yang dilayani. Untuk kota kecil sampai sedang, faktor koreksi a(hre) atau a(hms) diberikan oleh persamaan: a(h re ) = (1,1logf c 0,7) h re (1,56logf c 0,8) db (2.10) sedangkan untuk kota besar: a(h re ) = 8,29 (log1,54h re ) 2 1,1 db untuk f c < 300 MHz (2.11a) a(hre) = 3,2 (log11,75h re ) 2 4,97 db untuk f c > 300 MHz (2.12b)

Walaupun model Hata tidak memiliki koreksi lintasan spesifik seperti yang disediakan model Okumura, tetapi persamaan-persamaan diatas sangat praktis untuk digunakan dan memiliki akurasi yang sangat baik. Hasil prediksi dengan model Hata hampir mendekati hasil dengan model Okumura, untuk jarak d lebih dari 1 km. Model ini sangat baik untuk sistem komunikasi bergerak dengan ukuran sel besar, tetapi kurang cocok untuk sistem dengan radius sel kurang dari 1 km. 2.1.2.3 Model Lee Model propagasi Lee diturunkan dari data eksperimen di beberapa kota besar di dunia. Parameter referensi 900 MHz, pada tinggi antena 30.5 m, dengan daya transmisi 10 W. Persamaan matematika model Lee ini ditunjukkan persamaan berikut ini (Seybold, John S., 2005),( William, C. Y. L,. 2006). L 50 = L 0 + γ log d F 0 (2.13) Dengan: L 50 = rugi-rugi propagasi model Lee (db) L0 = rugi-rugi transmisi pada jarak 1 km (db) γ = slope dari path loss (db/decade) d = jarak dari base transceiver station (m) F 0 = faktor penyesuaian Nilai L0 dan γ diperoleh dari data eksperimen, yaitu seperti ditunjukkan oleh Tabel 2.1(Seybold, John S., 2005). Tabel 2.1 Parameter Model Propagasi Lee Environment L 0 (db) Γ Free space 93.3 20.0 Open (rural) 91.3 43.5 Suburban 104.0 38.0 Urban Tokyo 128.0 30.0 Philadelphia 11.8 36.8

Newark 106.3 43.1 Sedangkan nilai F 0 diberikan oleh persamaan: F0 = F 1 F 2 F 3 F 4 F 5 Dengan: (2.14) F 1 = [actual base station antenna height (m)]2 (30.5 m) 2 (2.15) F 2 = F 3 = [actual transmitter power (W)] 10 W [actual gain of bus station antenna] 4 (2.16) (2.17) F 4 = [actual mobile antenna height (m)]2 (3 m) 2 (2.18) F 5 = [f c ]2 [f 0 ] 2 dimana f 0 = 1800 MHz (2.19) 2.2 Soft Handover Handover adalah komponen yang esensial dalam sistem komunikasi selular bergerak. Mobilitas menyebabkan variasi yang dinamis pada kualitas link dan tingkat interferensi pada sistem seluler, terkadang sebuah user (mobile station; MS) tertentu harus mengganti base transceiver station (BTS) yang melayaninya. Pergantian ini dikenal sebagai handover. Disebut soft handover karena untuk membedakannya dari proses handoff lainnya (hard handover). Pada hard handover beberapa keputusan dibuat apakah handover perlu dilakukan atau tidak. Pada keputusan positif, handover diinisiasikan dan dieksekusi tanpa memerlukan pemakaian kanal secara simultan dengan dua base transceiver station. Pada soft handover, sebuah keputusan yang dikondisikan dibuat apakah handover perlu atau tidak. Dipengaruhi oleh perubahan dari kuat sinyal pilot dari dua atau lebih base transceiver station yang terlibat, dan akhirnya keputusan

handover dibuat untuk berkomunikasi hanya dengan satu BTS. Hal ini normal terjadi setelah diperoleh jelas bahwa sinyal dari satu BTS lebih kuat dari yang lainnya. Pada prosesnya MS menggunakan kanal secara simultan rerhadap setiap BTS yang terlibat. 2.2.1 Prosedur Handover Prosedur handover dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: pengukuran, pengambilan keputusan dan eksekusi seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.4 (Chen, Y., 2003). Mengukur informasi yang dibutuhkan untuk keputusan handover (contoh: E c /I 0, dan RSS) Fase Pengukuran Tidak Kriteria handoverterp enuhi? Ya Fase Pengambilan Keputusan Selesaikan proses handover Meng-update parameter Fase Eksekusi Gambar 2.4 Prosedur Handover 2.2.2 Konsep Soft handover Soft handover memungkinkan kedua sel, baik sel asal ataupun sel baru untuk melayani user (mobile station) secara bersama-sama selama transisi handover. Transisinya adalah ketika MS bergerak dari sel asal ke sel baru dan akhirnya berada di sel baru. Hal ini dimungkinkan karena semua sel memakai frekuensi kerja yang sama. Soft handover selain mengurangi kemungkinan putusnya pembicaraan juga

menyebabkan proses handover berjalan dengan halus sehingga tidak mengganggu pengguna. Dalam sistem analog dan digital TDMA dilakukan pemutusan hubungan sebelum fungsi switching berhasil dilakukan (break-before-make) sementara pada CDMA hubungan dengan sel lama tidak diputuskan sampai MS benar-benar mantap dilayani oleh sel baru (make-before-break). Setelah sebuah panggilan dilakukan, MS selalu mencek sel-sel tetangga untuk menentukan apakah sinyal dari sel yang lain cukup besar jika dibandingkan dengan sinyal dari sel asal. Jika hal ini terjadi, ini merupakan indikasi bahwa MS (Mobile station) telah memasuki daerah cakupan sel yang baru dan handover dapat mulai dilakukan. Mobile station mengirim pesan kendali (control message) ke MTSO yang menunjukkan sinyal dari sel baru semakin menguat. MTSO melakukan handover dengan menyediakan sebuah link kepada mobile station melalui sel baru tetapi link yang lama tetap dipertahankan. Sementara mobile station berada pada daerah perbatasan antara kedua sel, panggilan dilayani oleh kedua sel site, hal ini menyebabkan berkurangnya efek ping-pong atau mengulang permohonan untuk menangani kembali panggilan diantara kedua sel site. Sel asal akan memutuskan hubungan jika mobile station sudah sungguh-sungguh mantap dilayani oleh sel yang baru. Gambar 2.5 memperlihatkan perbandingan proses dasar dari hard dan soft handover (Chen, Y., 2003). Gambar 2.5 (a) Hard Handover, (b) Soft handover

Jika dibandingkan dengan hard handover tradisional, soft handover memperlihatkan banyak keuntungan, contohnya menghilangkan efek ping-pong dan menghaluskan transmisi (tidak ada break point pada soft handover). Tidak ada efek ping-pong berarti beban signaling diakibatkan oleh pemutusan transmisi yang mana terjadi pada hard handover. Terpisah dari masalah mobilitas, ada alasan lain kenapa soft handover diimplementasikan pada CDMA. Alasannya adalah soft handover bersama dengan kendali daya (power control) juga menggunakan mekanisme pengurangan interfensi. Gambar 2.6 memperlihatkan dua skenario (Chen, Y., 2003). Pada bagian (a) hanya power control yang diaplikasikan. Pada bagian (b) power control dan soft handover diaplikasikan. Misalkan mobile station (MS) bergerak dari BTS1 menuju BTS2. Pada posisinya seperti pada gambar, sinyal pilot yang diterima dari BTS2 sudah lebih kuat dari pada dari BTS1. Ini berarti BTS2 lebih baik dari BTS1. (a) Tanpa SHO (b) Dengan SHO

Gambar 2.6 Pengurangan interferensi dengan soft handover pada uplink Pada (a), power control meningkatkan kuat sinyal kirim mobile station untuk menjamin QoS pada uplink ketika mobile station bergerak menjauhi BTS yang melayaninya, yaitu BTS1. Pada (b) mobile station ada dalam status soft handover, yaitu BTS1 dan BTS2 terhubung dengan mobile station secara simultan. Sinyal yang diterima dikirimkan ke RNC. Pada arah uplink, pemilihan dilakukan pada soft handover. Yang paling kuat akan dipilih dan yang lebih lemah akan diputuskan. Karena BTS2 lebih baik dari BTS1 dan untuk mencapai QoS yang diharapkan maka kuat sinyal kirim lebih rendah dibandingkan dengan skenario (a). Melalui hal diatas diperoleh bahwa interferensi yang dihasilkan oleh mobile station pada arah uplink lebih rendah pada soft handover karena soft handover selalu menjaga agar mobile station terhubung dengan BTS yang terbaik. Pada arah downlink, situasinya jauh lebih rumit. Meskipun kombinasi rasio maksimum memberikan penguatan makrodiversitas, dibutuhkan kanal downlink tambahan untuk mendukung soft handover. 2.2.3 Inisiasi Soft handover Inisiasi soft handover yang digunakan akan menentukan penentuan handover dan nilai dari active set. Ada beberapa inisiasi handover yang digunakan ( William, C. Y. L,. 2006). Berikut ini adalah penjelasannya. 1. MCHO (Mobile Control Handover): Mobile station (MS) melakukan pengukuran kualitas, memilih BTS (Base transceiver station) yang terbaik, dan melakukan switch melalui koordinasi dengan jaringan (network). Handover jenis ini biasanya dipicu oleh kualitas link yang rendah yang diukur oleh MS. 2. NCHO (Network Control Handover): BTS melakukan pengukuran dan memberi laporan kepada RNC, yang mana akan membuat keputusan untuk handover atau tidak. Handover jenis ini dilakukan bukan hanya untuk kendali link radio tetapi juga untuk mengatur distribusi trafik diantara sel-sel. Contohnya adalah TRHO

(Traffic Reason Handover). TRHO adalah algoritma berbasis beban yang mengubah nilai ambang (threshold) dari handover untuk satu atau lebih sel yang berdampingan bergantung pada beban sel itu. Jika beban dari suatu sel melebihi level yang ditentukan dan beban sel tetangga dibawah level yang telah ditentukan, maka sel tersebut akan mengecilkan area cakupannya (coverage) kemudian menyerahkan sebagian trafik (handover) kepada sel tetangga. Oleh karenanya, blocking rate dapat dikurangi dan meningkatkan utilisasi sel. 3. NCHO/ MAHO (Network Control Handover/ Mobile Assist Handover): Jaringan dan MS melakukan pengukuran. MS memberikan laporan pengukuran terkait BTS disekitarnya dan kemudian jaringan yang mengambil keputusan apakah handover diperlukan atau tidak. Pada penelitian ini, parameter yang digunakan untuk menginisiasi handover adalah kuat sinyal pilot itu sendiri (RSS, Received Signal Strength). 2.2.4 Parameter Algoritma Soft handover Soft handover lebih sulit dan kompleks untuk diimplementasikan dibandingkan dengan hard handover. Salah satu alasannya adalah sulitnya menentukan nilai yang optimal untuk masing-masing parameter soft handover. Beberapa parameter yang mempengaruhi kinerja dari soft handover yang berkaitan juga dengan algoritmanya adalah sebagai berikut (Wong, D., et al, 1997) 1. Add threshold (Hyst_add): batas selisih level sinyal yang digunakan untuk penambahan active set. 2. Drop threshold (Hyst_drop): batas selisih level sinyalyang digunakan untuk pengurangan active set. 3. T drop : untuk keluar dari active set, maka kuat sinyal harus dibawah drop threshold untuk jangka waktu selama T drop. 4. Soft handoff Window (SHW): adalah perbedaan antara add dan dropthreshold.

5. Rasio a (rasio SHR) didefeninsikan sebagai perbandingan antara area soft handoff dengan area sel. 2.2.5 Algoritma Soft handover Algoritma handover yang berbasis pada kuat sinyal pilot, biasanya akan membandingkan kuat sinyal pilot yang diterima dengan batas (threshold) yang telah ditentukan. Kinerja dari soft handover sangat berhubungan dengan algoritmanya. Gambar 2.7 memperlihatkan algoritma soft handover berdasarkan IS-95A (sering disebut algoritma dasar cdma one) (Chen, Y., 2003). Pilot E c /I o TAdd T_Drop (5) (6) (1) (2) (3) (4) (7) Waktu Neighbor set Candidate set Active set Neighbor set (1) Pilot Ec/Io Melewati T_ADD, mobile mengirim sebuah Pilot Strength Measurement Message (PSMM) dan mentransfer menjadi candidate set. (2) BTS mengirim pesan Handover Direction (Handover Direction Message, HDM) (3) Mobile mentransfer pilot ke active set dan mengirim pesan Handover Completion (Handover Completion Message, HCM) (4) Pilot Eb/Io dibawah T_DROP, mobile memulai handover drop timer. (5) Handover drop timer selesai, mobile mengirim sebuah PSMM. (6) BTS mengirim sebuah HDM (7) Mobile mentransfer pilot dari active set ke neighbor set dan mengirim sebuah Gambar 2.7 Algoritma Soft handover IS-95A Active set adalah daftar dari sel-sel (BTS) yang terhubung dengan Mobile station; Candidate set adalah daftar dari sel-sel (BTS) yang awalnya tidak memiliki hubungan, namun memiliki pilot Ec/Io yang cukup kuat untuk dimasukkan ke dalam

active set; Neighbouring set adalah daftar dari sel-sel (BTS) dimana pilot diukur secara kontinu tetapi nilainya tidak cukup kuat untuk dimasukkan ke dalam active set. Pada IS-95A, nilai ambang (threshold) adalah nilai yang tetap (fixed) dari kuat sinyal pilot E c /I 0 yang diterima. Sistem ini mudah untuk diimplementasikan, tetapi memiliki kesulitan jika berhadapan dengan perubahan beban yang dinamis. Berdasarkan pada algoritma IS-95A, beberapa algoritma cdma One yang telah dimodifikasi telah diajukan untuk IS-95B dan sistem cdma2000 dengan nilai threshold yang dinamis. Pada penelitian ini, parameter acuan yang digunakan dalam menginisiasi handover adalah kuat sinyal terima rata-rata RSS (Received Signal Strength) dari sinyal pilot. Jenis inisiasi yang digunakan adalah NCHO/MAHO dengan parameter algoritma yang digunakan adalah Threshold, Hyst_ADD, dan Hyst_DROP. Sebagai ilustrasi, konsep soft handover untuk 2 BTS dapat dijelaskan melalui gambar 2.8 ( Singh,N.P. and Singh, B., 2010). KuatSinyal Pilot (db) S 1(d) S 2(d) HYST_ADD HYST_DROP S min BTS 1 BTS 1 +BTS 2 BTS 2 Jarak Gambar 2.8 Skema algoritma soft handover. Algoritma tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Jika active set berisi BTS 1 dan S 1(d) >S min dan selisih absolut dari S 1(d) dan S 2(d) lebih besar dari HYST_ADD maka active set tetap berisi BTS 1. b. Jika S 1(d) dan S 2(d) >S min dan selisih absolut dari S 1(d) dan S 2(d) lebih kecil dari HYST_ADD maka active set berisi BTS1 dan BTS 2. c. Jika S 1(d) dan S 2(d) >S min dan selisih absolut dari S 1(d) dan S 2(d) lebih besar dari HYST_DROP maka active set berisi BTS d. Jika S 1(d) dan S 2(d) <S min maka active set tidak berisi BTS1 maupun BTS 2. MS tidak akan memiliki koneksi dengan BTS 1 dan BTS 2. Kondisi ini disebut sebagai outage (kegagalan). 2 (Terjadi soft handover). 2.3 Locally Optimal Locally optimal merupakan solusi praktis sebagai pendekatan dari algoritma handover yang optimal. Strategi global yang optimal di lokasi tertentu tergantung pada lintasan pada waktu berikutnya. Persyaratan tersebut menunjukkan bahwa masalah harus ditata ulang secara khusus untuk mengabaikan lintasan pada waktu berikutnya. Sebuah solusi lokal optimal dapat diperoleh dengan membatasi lintasan di bawah pertimbangan pada titik k dan k+1. Artinya, kita mengabaikan konsekuensi dari keputusan handover pada waktu k+2 dan seterusnya, dan dasar keputusan pada semua informasi yang tersedia sampai dengan waktu k. Membatasi (2.20 dan 2.21) untuk n = 2 menghasilkan aturan keputusan φ k yang memilih tradeoff terbaik diantara biaya handover dan probabilitas bahwa X k+1 turun di bawah Δ2T, memberikan informasi I k. Oleh karena itu fungsi keputusan locally optimal φ k lo pada waktu k memiliki struktur dan (Veeravalli, V.V., and Kelly,E.K., 1997) {B c P X n 1 n Dimana k=1,2,...,n-2 } {B c < n 1 Xn 1 } + c Un 1=0 c B E J k Xk+1 (1) k+1, X (2) k+1 X (1) k, X (2) k + c > < Un 1=1 {B P X n } {B n < n 1 } Xn 1 (2.20) U k =0 > < U k =1 (B E J k ) (1) k+1 Xk+1, X (2) k+1 X (1) k, X (2) k

adalah n=2, maka c B P X k k+1 < Ik + c (2.21) U k =0 > {B < P X k } k+1 < Ik (2.22) U k =1 dan c H 3T. Parameter Fungsi biaya untuk soft handover memiliki dua parameter biaya (relatif) c A 3T c A 3T biaya pemeliharaan satu anggota ekstra di active set, sedangkan c H 3Tadalah biaya handover (Prakash,.R., and Veeravalli,. V.V., 2003). Biaya-biaya tersebut relatif terhadap biaya dari satu unit kejadian penurunan link. Biaya Bayes berdasarkan parameter kebijakan Φ 3Tdan sistem S diberikan oleh J(Φ, S) = λ LD (Φ, S) + c H λ H (Φ, S) + c A λ A (Φ, S) (2.23) Algoritma optimal soft handover adalah salah satu yang meminimalkan fungsi biaya Bayes dan dapat diperoleh dengan menggunakan Dinamic Programming (DP). Untuk mengatasi masalah DP, active set pada waktu k harus dipilih untuk meminimalkan biaya yang dikeluarkan beberapa langkah waktu ke depan berikutnya. Karena fungsi biaya tergantung pada lintasan perhitungan mobile, dari solusi DP memerlukan model (stokastik atau deterministik) untuk lintasan mobile waktu ke depan berikutnya (Veeravalli, V.V., and Kelly,E.K., 1997). Model seperti itu mungkin tidak tersedia di sistem. Selanjutnya, solusi numerik dari masalah DP sulit karena ukuran vektor keadaan yang besar (sama dengan jumlah entri dalam set kandidat). Untuk alasan ini, algoritma optimal tidak praktis, sehingga digunakanlah metode locally optimal. 2.4 Kinerja Soft Handover Kinerja soft handover merupakan ukuran penting yang menjadi acuan baik tidaknya suatu proses handover. Indikator kinerja soft handover terdiri atas dua jenis yaitu (Wong, D., and Lim, T. J.,1997): 1. Indikator Kualitas Link a. Rata-rata level E c /I 0 downlink untuk beban sistem yang diberikan. b. Rata-rata level Ec/I 0 uplink untuk beban sistem yang diberikan.

2. Idikator Alokasi Sumber daya a. Trafik sel; jumlah kanal yang digunakan pada masing-masing sel. b. Probabilitas blocking panggilan baru. c. Probabilitas semua kanal sedang penuh pada sel baru pada sebuah handover. d. Jumlah BTS yang diharapkan pada active set. e. Trunking resource efficiency; efisiensi sistem dimana efisiensinya adalah 1/(ukuran active set). f. Nilai pergantian yang diharapkan pada active set. Namun tidak semua indikator kinerja tersebut dapat digunakan dalam model analisa pendekatan. Hal ini bergantung kepada model sistem yang digunakan. Mengacu pada (Singh, N.P. and Singh, B., 2010), (Prakash,.R., and Veeravalli,. V.V., 2003), diantara indikator kinerja soft handover adalah: 1. Laju Handover (λ H ) λ H (Φ, S) = E 1 N I N k=1 {A k A k 1 } (2.24) dimana A k adalah ukuran active set pada waktu k, I adalah fungsi indikator, bernilai 1 atau 0 tergantung apakah argumennya benar atau salah. Soft handover dikatakan telah terjadi pada waktu k jika A k+1 A k. Ukuran λ H menunjukkan pemindahan beban berhubungan dengan perubahan pada active set. 2. Rata-rata ukuran active set (λ ) A λ A (Φ, S) = E 1 N A N k=1 k (2.26) λ A menunjukkan kanal tambahan dan jaringan backbone yang dibutuhkan oleh MS pada soft handover. Selama soft handover, sinyal ditansmisikan oleh BTS dalam active set, menyebabkan trafik tambahan pada jaringan backbone. 3. Laju penurunan link (λ LD ) λ LD (Φ, S) = E 1 N I N k=1 {Degradasi Link pada waktu k} (2.27)

λ LD mengukur kualitas sinyal saat waktu k pada link yang berada dalam suatu keadaan terpenurunan. Keadaan penurunan link (LD) terjadi jika RSS X k,i berada di bawah ambang batas. max i Ak X k,i < (2.28) Karena sinyal yang diterima pada jarak d adalah variabel acak, fungsi analitis Q atau error function (erf) dapat digunakan untuk menentukan probabilitas outage. Dimana Probabilitas outage ini sesuai dengan definisi dari probabilitas link degradation (LD). Probabilitas outage pada jarak d diberikan oleh ( Singh,N.P. and Singh, B., 2010). P X k,i < = Q X best (2.29) σ dimana X best adalah kekuatan sinyal terbesar di antara yang tersedia rata-rata sinyal dari BTS pada jarak d, Δ adalah threshold, dan σ adalah standar deviasi.