BAB II PENDEKATAN TEORITIS

dokumen-dokumen yang mirip
DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN

BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

BAB I PENDAHULUAN. sawit. Petani tidak akan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan ini sehingga mereka

BAB I PENDAHULUAN. tanah juga mengandung nilai ekonomi bagi manusia, bisa digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

URBANISASI DAN TRANSMIGRASI

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan industri manufaktur dan sebagai sumber devisa negara. Pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

INDEKS. biofuel 63, ceteris paribus 164 constant return to scale 156, 166

2015 PERBANDINGAN KONDISI SOSIAL EKONOMI ANTARA PETANI PLASMA DENGAN PETANI NON PLASMA DI KECAMATAN KERUMUTAN

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. pemerintah serta ditetapkan melalui undang-undang. Berdasarkan undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok selalu terjadi, baik secara

Reforma Agraria Di Bidang Pertanian : Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten 1

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan (palawija), merupakan makanan pokok bagi masyarakat. total pendapatan domestik bruto (id.wikipedia.org).

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Tidak perlu di ragukan lagi

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dan membangun pertanian. Kedudukan Indonesia sebagai negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

KAJIAN TENTANG HUBUNGAN STRATEGIS PRODUSEN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU. Henny Indrawati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

PERATURAN DAERAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN BARAT NOMOR: 18 TAHUN 2002 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN INTI RAKYAT PERKEBUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan wilayah di berbagai daerah melalui. melalui program revitalisasi perkebunan mendorong para pengusaha/ pekebun untuk

BAB I PENDAHULUAN. petani identik dengan kehidupan pedesaan. Sebagian besar petani yang ada di

Delapan puluh persen penduduk Indonesia, hidup di. ikut serta mengolah informasi guna berpartisipasi dalam

M. Fadhil Hasan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, salah satunya adalah dalam bidang

TINJAUAN PUSTAKA Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah

DAMPAK INDUSTRI TERHADAP PERKONOMIAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

I. PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lahan Sawah Bukaan Baru EPILOG. Fahmuddin Agus dan Neneng L. Nurida

BAB I PENDAHULUAN. petani ikan dan sebagainya. Menurut Loekman (1993:3) Besarnya fungsi sektor pertanian bagi masyarakat Indonesia tentu saja harus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Perkebunan mempunyai kedudukan yang penting di dalam pengembangan

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari. pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi nyata.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi adalah mempelajari gejala-gejala di permukaan bumi secara keseluruhan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

Unsur-unsur subsistem agribisnis (usaha tani)

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung. perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sektor pertanian

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

X. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam hayati yang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Kegiatan usaha ini harus diiringi oleh perhatian terhadap keseimbangan

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembahasan mengenai transmigrasi merupakan pembahasan yang dirasa

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang agraris artinya pertanian memegang peranan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Pertanian yang berkelanjutan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

Transkripsi:

6 BAB II 2.1 Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan 2 dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pendekatan pengembangan komoditas perkebunan di Indonesia adalah perkebunan rakyat yang diusahakan oleh petani dan perkebunan besar yang diusahakan oleh perusahaan (Fadjar 2009). Pada proses pembukaan maupun pengembangan, pengusaha perkebunan akan melakukan ekspansi. Secara harfiah ekspansi berarti tindakan aktif untuk memperluas dan memperbesar cakupan usaha yang telah ada. Ekspansi dalam bidang perkebunan besar dapat berarti perluasan areal atau lahan perkebunan baik yang dikelola oleh perusahaan sebagai kebun inti maupun lahan yang akan di plasmakan. Pada perkebunan rakyat proses ekspansi dapat dilihat pada peningkatan jumlah lahan yang dikonversi menjadi areal perkebunan. Pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai tahun 1900 dan perkebunan diusahakan berorientasi pada pasar ekspor. Pada tahun 1978, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengalokasikan sebagian besar produksi minyak sawit ke pasar domestik karena adanya kekurangan penawaran minyak nabati yang disebabkan turunnya produksi kelapa. Pemerintah mengembangkan usaha perkebunan rakyat di daerah baru dengan menggunakan jasa perkebunan besar atau negara dalam bentuk keterkaitan antara kedua usaha tersebut pada tahun 1974/1975. Bentuk kerjasama macam ini 2 http://www.yousaytoo.com/pengertian-perkebunan-menurut-undang-undang/338977, diakses pada 18 November 2010

7 disebut Perusahaan inti Rakyat Perkebunan Besar (PIR BUN) yang merupakan terjemahan dari Nucleus Estate Smallholder Development Project (NES Project). Pola inti rakyat ini tercipta berdasarkan Keppres Nomor 11 tahun 1974, yang merupakan suatu pola unuk mewujudkan sistem kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan besar dengan usahatani yang berada di sekitarnya. Khusus untuk pengembangan kelapa sawit, pola pengembangannya adalah pola PIR (Ahmad 1998). Sampai saat ini terdapat 4 jenis PIR: 1. PIR-BUN lokal: PIRBUN tersebut dilaksanakan disekitar perkebunan yang telah ada sebagai inti, sumber dana dari dalam negeri dan petani pesertanya dari petani setempat (lokal); 2. PIR Bun khusus: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana dalam negeri dan petani peserta sebagian besar transmigran dan petani lokal; 3. PIR-BUN Berbantuan: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman kredit luarnegeri, dengan petani pesertanya dari transmigrasi dan petani local; dan 4. PIR-TRANS: Pir BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman bank oleh perusahaan inti, petani peserta dari transmigrasi dan penduduk lokal. Di masa mendatang semua pembangunan PIR BUN diarahkan pada pola PIR TRANS, sesuai INPRES tahun 1986. 2.1.2 Konsep Transmigrasi Transmigrasi 3 merupakan suatu program pemerintah untuk memindahkan penduduk dari suatu wilayah yang padat penduduk ke wilayah yang lebih jarang penduduknya. Tujuan awal dari program transmigrasi adalah mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di Pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indoensia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru, yakni: 3 http://dinsosnakertransmgt.wordpress.com/2010/07/05/sejarah-transmigrasi/ diakses pada 26 Juli 2011

8 1. mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan; 2. mendukung kebijakan energi alternatif (bio-fuel); 3. mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia; 4. mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan; dan 5. menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan. Paradigma baru program transmigrasi semakin memperjelas bentuk dukungan pemerintah terhadap pengembangan perkebunan kelapa sawit seperti di jelaskan dalam sebelumnya. Program-program PIR pemerintah baik PIR-BUN khusus, PIR-BUN berbantuan, maupun PIR Trans adalah program yang melibatkan warga transmigran sebagai pelakunya. Program transmigrasi ditujukan kepada masyarakat dari golongan menengah ke bawah biasanya petani berlahan sempit atau tak berlahan dengan pendidikan yang umumnya rendah. Jenis-jenis transmigrasi adalah: 1. Transmigrasi Umum, yakni program transmigrasi yang disponsori dan dibiayai secara keseluruhan oleh pihak pemerintah melalui pemerintah melalui depnakertrans (departemen tenaga kerja dan transmigrasi); 2. Transmigrasi Spontan / Swakarsa, yakni perpindahan penduduk dari daerah padat ke pulau baru sepi penduduk yang didorong oleh keinginan diri sendiri namun masih mendapatkan bimbingan serta fasilitas penunjang dari pemerintah; dan 3. Transmigrasi Bedol Desa, yakni transmigrasi yang dilakukan secara massal dan kolektif terhadap satu atau beberapa desa beserta aparatur desanya pindah ke pulau yang jarang penduduk. Biasanya transmigrasi bedol desa terjadi karena bencana alam yang merusak desa tempat asalnya. 2.1.3 Perubahan Produksi Pertanian Perubahan produksi pertanian masyarakat dari komoditas non-kebun menjadi komoditas perkebunan merupakan proses perubahan dalam skala yang besar. Perubahan tersebut tidak hanya dilakukan oleh perseorangan, namun dilakukan oleh sekelompok orang. Kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan produksi pertanian masyarakat dari komoditas non-perkebunan yang menjadi komoditas perkebunan yang lebih bersifat modern dan kapitalis. Keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit sebagai hal baru

9 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006) menjelaskan bahwa terdapat lima ciri-ciri inovasi berdasarkan penerimaan atau persepsi unit pengambil keputusan inovasi terhadap inovasi. Ciriciri tersebut adalah: 1. keuntungan relatif, yakni derajat dimana suatu inovasi dipandang sebagai jauh lebih baik dibanding gagasan/teknologi yang sebelumnya atau terdahulu; 2. kesesuaian, yakni derajat dimana suatu inovasi dipandang sebagai konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan-kebutuhan partisipan (subyek) penyuluhan terhadap inovasi; 3. kerumitan, yakni suatu derajat atau tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan; 4. kemungkinan dicoba, yakni suatu derajat dimana suatu inovasi dapat dicobakan dalam skala kecil; dan 5. kemungkinan diamati, yakni derajat dimana hasil-hasil penerapan suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Widiono (2008) menjelaskan bahwa keputusan masyarakat untuk membuka kebun kelapa sawit dan bergabung dengan program KKPA (Koperasi Kelompok Petani Anggota) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: a. pengetahuan yang cukup. Pengetahuan tersebut diperoleh dari hasil interaksi dengan buruh perusahaan dan migran etnis Batak; b. ketersediaan modal untuk membuka dan merawat kebun kelapa sawit; dan c. jaminan pembelian dari perusahaan. 2.1.4 Konsep Agraria Sitorus (2002) menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar tanah pertanian atau pertanian, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau dapat disebut juga sebagai sumber-

10 sumber agraria dalam bentuk fisik. Sumber-sumber agraria ini sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria sangat erat kaitannya dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi, sosial). Struktur agraria merupakan hal yang selalu berubah. Perubahan-perubahan tersebut terkait dengan perubahan pola penguasaan dan pemilikan lahan. Sedangkan unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumbersumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan (tenure institutions). Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu; kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Proporsi pertama menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan proporsi kedua menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan. Wiradi (1984) menjelaskan bahwa kata penguasaan menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan pemilikan tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan pemilik dengan pemilik, pemilik dengan pembagi - hasil, pemilik dengan penyewa, pemilik dengan pemakai dan lain-lain (Sihaloho 2004). Kata

11 pengusahaan menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif (Wiradi 1984). Hubungan-hubungan sosial agraria antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur. Hubungan pemanfaatan antara subjek-subjek agraria dengan sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi teknis atau lebih spesifik dimensi kerja. Hubungan antar subjek agraria menghasilkan aturan-aturan penguasaan dan pengusahaan lahan. Aturan-aturan tersebut berlaku secara turun menurun dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. 2.1.5 Konsep Dinamika Struktur Agraria Pengertian dinamika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai dengan momentum tertentu. Dinamika dalam kaitannya dengan struktur agraria adalah gerak perubahan struktur agraria masyarakat yang terdiri dari kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan lahan. Wiradi (2002) menyebutkan bahwa tranformasi struktur agraria yang berlangsung dalam suatu masyarakat berkaitan dengan hal-hal berkut: 1) dinamika internal masyarakat, 2) intervensi pemerintah melalui berbagai kebijakan, 3) intervensi pihak lain atau pengaruh eksternal, dan 4) warisan sejarah. Struktur agraria terkait dengan tingkat penguasaan, dan pemilikan lahan merupakan hal yang dinamis. Struktur agraria dalam masyarakat akan terus berubah seiring dengan pertambahan waktu dan fenomena sosial yang terjadi. Pada awal terbentuknya masyarakat, sebagian besar wilayah di Indonesia dikuasai secara kolektif terlebih untuk daerah luar Jawa, karena pada masa kolonial di Jawa seluruh wilayah adalah milik raja. Pola penguasaan kolektif membuat masyarakat memiliki akses yang sama terhadap lahan (Fadjar 2009). Seiring dengan masuknya moda produksi modern, terjadi perubahan pola kepemilikan lahan dari yang bersifat kolektif menjadi perseorangan. Perubahan ini berakibat pada perubahan akses masyarakat terhadap lahan yang awalnya terbuka menjadi tertutup. Masyarakat dengan pola kepemilikan kolektif memiliki hak untuk menggarap lahan yang diatur oleh lembaga adat. Status kepemilikan lahan berada di tangan lembaga adat dan yang menjadi hak milik penggarap hanyalah tanaman

12 yang tumbuh di atas tanah tersebut. Pola penguasaan perseorangan yang dikuatkan oleh kebijakan pemerintah tentang pengakuan pemilikan tanah melalui sertifikasi membuat masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tidak dapat mengakses lahan. Pola petani pemilik-buruh tani menjadi pilihan masyarakat dalam menghadapi keadaan ini. Kepemilikan lahan yang relatif sempit membuat petani lebih rentan untuk mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain dengan cara menjualnya (Indrizal 1997). Transfer kepemilikan melalui jual-beli merupakan hal yang wajar pada masyarakat dengan pola pemilikan perseorangan. Karena tanah memiliki nilai yang tinggi di mata masyarakat. Namun masyarakat yang pernah mengalami masa pemilikan kolektif memiliki kesulitan dalam menjalankan jual beli sebagai proses transfer kepemilikan. Karena tidak semua masyarakat memiliki cukup modal untuk membeli lahan. Masyarakat yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli lahan akan menjadi penggarap dengan sistem sewa dan bagi hasil ataupun menjadi buruh tani di lahan-lahan yang telah dimiliki secara perseorangan. Perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan pemilikan tanah membuat pola struktur agraria menjadi terstratifikasi oleh banyak lapisan bahkan dalam beberapa kasus menunjukkan gejala polarisasi, seperti dijelaskan oleh Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A (2009) dalam penelitiannya di dua desa perkebunan di Banten. Gejala polarisasi terlihat dari timpangnya tingkat kepemilikan lahan pada masyarakat. Ketersediaan lahan yang semakin sempit membuat masyarakat perkebunan memiliki peran ganda dalam penguasaan lahan baik permanen maupun sementara. Proses masuknya moda produksi modern ke dalam sistem pertanian masyarakat memunculkan peran-peran baru dalam masyarakat. Peran-peran baru ini terkait dengan penyediaan alat-alat/sarana produksi pertanian. Bertambahnya jenis lapisan masyarakat pada struktur agraris masyarakat menunjukkan diferensiasi sosial. Perubahan yang terjadi pada struktur agraria menyebabkan pergerakan pada pelaku didalamnya. Banyak pihak yang masuk ke dalam struktur yang ada, tetapi juga banyak pihak yang kemudian keluar dari struktur masyarakat karena akses terhadap lahan yang hilang. Penelitian Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A (2009) menyebutkan

13 lapisan-lapisan yang terbentuk setelah adanya proses pembukaan dan pengembangan perkebunan menjadi semakin beragam yakni petani pemilik, petani pemilik + penggarap, petani pemilik + buruh tani, petani penggarap, petani penggarap + buruh tani, dan buruh tani. 2.2 Kerangka Pemikiran Faktor Eksternal Masyarakat: Kebijakan Pemerintah Perubahan Produksi Pertanian: - Keputusan membuka Kebun - Keberlanjutan Kebun Faktor Internal Masyarakat: -Tingkat Pengetahuan -Tingkat Kepemilikan Modal Dinamika Struktur Agraria: - Perubahan Kepemilikan - Perubahan Penguasaan - Perubahan Pengusahaan Keterangan: : Berhubungan : Berhubungan bolak balik : Kuantitatif Gambar 1. Kerangka Pemikiran Komoditas yang ditanam masyarakat UPT Simpang Nungki pada awal kedatangannya beragam seperti padi, palawija, buah-buahan (jeruk), dan lain lain. Petani yang mengusahakan tanaman padi sawah pada umumnya lebih bersifat subsisten. Komoditas lain seperti palawija, sayur, dan jeruk lebih bersifat komersil. Perubahan produksi pertanian menjadi kelapa sawit yang merupakan komoditas baru dipengaruhi oleh beberapa hal yang dikelompokkan dalam dua aspek yakni faktor eksternal masyarakat yang terdiri dari kebijakan pemerintah terkait perluasan perkebunan kelapa sawit dan faktor internal masyarakat yang terdiri dari tingkat pengetahuan masyarakat dan tingkat pemilikan modal masyarakat untuk membangun maupun merawat kebun kelapa sawit. Tingkat pengetahuan ini ditinjau dari beberapa aspek yakni pengetahuan tentang

14 penanaman, perawatan, keuntungan serta kerugian menanam kelapa sawit, dan proses pasca produksi atau pasca kebun kelapa sawit. Perubahan produksi pertanian masyarakat dilihat dari dua hal yakni keputusan untuk membuka kebun kelapa sawit dan keberlanjutannya. Seiring dengan berlangsungnya proses perubahan komoditas pertanian masyarakat, berlangsung pula gerak perubahan dalam bidang struktur agraria masyarakat. Hal tersebut seperti di gambarkan pada kerangka pemikiran (Gambar 1). 2.3 HIPOTESIS PENELITIAN 1. faktor internal memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian; 2. faktor eksternal masyarakat memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian masyarakat; dan 3. dinamika struktur agraria memiliki hubungan dengan perubahan produksi pertanian masyarakat. 2.4 Definisi Operasional dan Konseptual 1. Perubahan produksi pertanian adalah proses perubahan komoditas pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit. Pengukuran: a. tinggi (skor 3) jika responden memutuskan untuk membuka kebun kelapa sawit dan kebunnya bertahan sampai sekarang; b. sedang (skor 2) jika responden memutuskan membuka kebun tetapi kebunnya tidak bertahan sampai sekarang; dan c. rendah (skor 1) jika responden memutuskan untuk tidak membuka kebun kelapa sawit. 2. Faktor internal masyarakat adalah keadaan responden yang mempengaruhi keputusan responden membuka kebun kelapa sawit dan keberlanjutan kebunnya. Faktor internal terdiri dari:

15 - tingkat pengetahuan adalah pengetahuan responden yang terdiri dari pengetahuan tentang tata cara pembangunan kebun, perawatan kebun, pengetahuan tentang pasca kebun (pasca produksi) dan keuntungan serta kerugian dari kebun kelapa sawit, Pengukuran: a. tinggi (skor 3) jika responden dapat menjawab dan menjelaskan jawaban dengan sangat baik dan memiliki pandangan positif terhadap kebun dan komoditas kelapa sawit; b. sedang (skor 2) jika responden dapat menjawab dan menjelaskan jawaban dengan baik dan memiliki pandangan negatif terhadap kebun kelapa sawit atau responden memiliki pandangan positif tentang kebun kelapa sawit namun tidak dapat menjawab pertanyaan tentang pengetahuan tatacara pembukaan dan perawatan kebun dengan baik; dan c. rendah (skor 1) jika responden tidak dapat menjawab pertanyaan terkait pengetahuan tatacara pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit serta memiliki pandangan negatif tentang kebun kelapa sawit. - tingkat kepemilikan modal adalah jumlah uang yang dimiliki dan dialokasikan responden baik untuk membuka maupun merewat kebun kelapa sawit. Pengukuran: a. tinggi (skor 3) jika responden memiliki modal untuk membuka dan merawat kebun kelapa sawit; b. sedang (skor 2) jika responden hanya memiliki modal untuk membuka kebun kelapa sawit; dan c. rendah (skor 1) jika responden tidak memiliki modal untuk membuka maupun merawat kebun kelapa sawit.

16 3 Faktor eksternal masyarakat adalah faktor yang memengaruhi keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit yang berasal dari luar masyarakat. Faktor tersebut ditinjau dari kebijakan pemerintah yang memengaruhi keputusan masyarakat. 4. Dinamika adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai dengan momentum tertentu. - Struktur agraria adalah pola hubungan secara teknis dengan objek agraria (lahan) dan pola hubungan sosial(antar subjek agraria). Struktur agraria di sini dimaknai sebagai pola hubungan dalam pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan. Dinamika struktur agraria akan dilihat dari: a. tingkat perubahan penguasaan lahan adalah perbandingan penguasaan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit.penguasaan lahan adalah penguasaan dan atau pemilikan atas dasar milik yang hanya terbatas pada akses terhadap lahan berupa lahan pribadi, sewa,bagi hasil, dan gadai; b. tingkat perubahan kepemilikan adalah perbandingan pemilikan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit. Pemilikan lahan adalah penguasaan dan atau pemilikan lahan meliputi kemampuan akses dan kontrol secara formal meliputi lahan pribadi, sewa, bagi hasil dan gadai; dan c. tingkat perubahan pemanfaatan lahan adalah perbandingan pemanfaatan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit. Status dan bentuk pemanfaatan adalah berupa pemanfaatan sendiri dan dimanfaatkan orang lain. Bentuk pemanfaatan lahan diantaranya berupa budidaya tanaman pangan, budidaya holtikultura, budidaya tanaman buah,dan lainnya.