PEMBAGIAN KEWENANGAN DAN PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA YANG PARTISIPATIF Imam Indratno Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transformasi sistem pemerintahan dari sentralisasi ke dalam desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kerja finansial Pemerintah Daerah kepada pihak pihak yang berkepentingan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

Desentralisasi fiskal merupakan kewenangan yang diberikan pemerintah. pusat kepada daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pelayanannya

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

3. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

I. PENDAHULUAN. dengan negara-negara lain (open economy),konsekuensinya adalah lemahnya posisi negara

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. maka daerah akan lebih paham dan lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 11 Tahun 2007 Seri E Nomor 11 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 11 TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

Transkripsi:

PEMBAGIAN KEWENANGAN DAN PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA YANG PARTISIPATIF Imam Indratno Abstrak Analog dengan pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan, menuntut adanya pelimpahan baik wewenang maupun perimbangan fiskal dari daerah kabupaten ke desa. Artinya, desa akan memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi untuk kesejahteraan warganya. Konsekuensi dari hal tersebut, perlu adanya kejelasan pelimpahan kewenangan dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa sehingga dapat dirumuskan sistem perimbangan atau hubungan fiskal antara pemerintahan kabupaten dan pemerintah desa. Beberapa kriteria yang digunakan dalam pembagian kewenangan dari pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa adalah : pertama barang publik lokal yang barang publik yang manfaatnya tidak terdapat persaingan dengan daerah lain yang merupakan bagian geografis nasional; kedua variasi geografis dan preferensi dengan mobilitas tidak sempurna; ketiga eksternalitas atau dampak spasial yang ditimbulkan dari penyediaan barang dan jasa publik; keempat skala ekonomi atau efisiensi ekonomi; kelima biaya administratif dan pemenuhan pelayanan sesuai dengan kapasitas atau kemampuan desa; keenam analogi dengan kewenangan kabupaten dan kecamatan yang dapat menjadi kewenangan desa. Prinsip utama yang dilakukan dalam pengembangan model perimbangan atau hubungan keuangan antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa adalah : pertama mencukupi urusan pemerintahan desa; kedua memenuhi pelayanan penyediaan barang dan jasa publik; ketiga pemerataan pembangunan antar desa; keempat efisien dan efektif dalam manajemen perimbangan keuangan; kelima sustainabilitas atau keberlanjutan pelaksanaan sistem; keenam pendekatan partisipatif,; ketujuh insentif dalam pemilihan variabel model; kedelapan keseimbangan antara kewajiban dan hak. Kata kunci : pelimpahan kewenangan, perimbangan keuangan, partisipatif. Imam Idratno, Ir., adalah dosen Fakultas Teknik, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, UNISBA. 78

1 Pendahuluan Peraturan perundangan yang mengatur tentang desa dari UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah diubah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang No 22 Tahun 1999 merupakan pedoman yang memandu upaya penguatan dan pengakuan otonomi masyarakat desa berdasarkan nilai-nilai setempat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Konsekuensi dari hal di atas maka konsep ideal mengenai desa adalah memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi untuk kesejahteraan warganya dan mendistribusikannya secara adil kepada semua kelompok, termasuk kelompok marginal. Untuk mewujudkan kondisi desa yang ideal maka perlu kejelasan tentang hubungan kewenangan antara pemerintahan kabupaten dengan desa, dan desa harus memiliki pendapatan asli desa yang bersumber pada pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi setempat ataupun perlu ada pengembangan perimbangan keuangan antara kabupaten dengan desa. Sejalan dengan perspektif federalisasi keuangan (fiscal federalism) atau kenegaraan maka penyediaan barang dan jasa publik bersifat berjenjang dari tingkat nasional sampai lokal. Penyediaan barang dan jasa publik pada tingkat lokal harus disediakan oleh pemerintahan lokal. Oleh karena itu kewenangan maupun fiskal akan diletakkan pada tingkat pemerintahan yang paling rendah. Dalam tatanan kenegaraan di Indonesia maka pemerintahan yang terendah adalah pemerintahan desa yang memegang otoritas kewenangan yang sebenarnya. Perspektif federalisasi fiskal perlu dilakukan mengingat terdapat tiga alasan sebagai berikut. Pertama, adanya distorsi vertikal akibat adanya pemusatan kewenangan. Akibat pemusatan kewenangan tersebut maka pemerintah pusat tidak mampu atau tidak tepat lagi mengalokasikan penerimaan publik. Sebagai contoh dalam penarikan pajak pendapatan maka pemerintah pusat tidak mungkin mendistribusikan secara tepat sehingga perlu penerapan kebijakan penarikan secara berjenjang. Kedua, distorsi horisontal yang tampak dari adanya ketimpangan pertumbuhan antara daerah. Kondisi ketimpangan ini membutuhkan intervensi pemerintah yang lebih atas untuk melakukan subsidi silang dalam penyediaan barang dan jasa publik. Ketiga, adanya eksternalitas baik positif maupun negatif antar daerah. Adanya eksternalitas yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya alam menyebabkan perlu adanya penarikan pajak yang lebih tinggi bagi daerah yang memperoleh manfaat lebih tinggi. Pembagian Kewenangan Dan Perimbangan Keuangan Kabupaten Dan Desa Yang Partisipatif (Imam Indratno) 79

Perimbangan keuangan selain merupakan langkah penyelesaian dalam penyediaan barang dan jasa publik juga lebih memeratakan standar layanan publik (Gramlich, 1977). Penyediaan barang dan jasa publik merupakan wujud dari penerapan otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah (pemberian kewenangan) dengan memberikan perimbangan keuangan antara pemerintah kabupaten dan desa dapat dipandang sebagai upaya desentralisasi otoritas maupun desentralisasi fiskal yang akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan efesiensi penyediaan barang dan jasa publik di tingkat desa sesuai dengan kebutuhan nyata, preferensi maupun prioritas masyarakat desa. Artinya pemerintah desa diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerja yang lebih baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan. 2 Permasalahan Penerapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berimplikasi pada pergeseran paradigma tatanan kepemerintahan dari yang bersifat sentralistik menuju pada desentralistik dimana daerah diberikan wewenang yang lebih besar (daerah otonom). Tatanan kepemerintahan yang desentralistik dimanifestasikan pada pelimpahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke daerah kabupaten. Pelimpahan kewenangan tersebut berimplikasi terhadap perlunya mengembangkan pelimpahan kewenangan dari kabupaten ke desa. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah kabupaten ke desa membutuhkan penafsiran yang lebih lengkap. Artinya, masih terdapat permasalahan yang cukup signifikan dalam menentukan berbagai urusan dalam penyediaan barang dan jasa publik pada tingkat lokal yang menjadi kewenangan pemerintah yang paling rendah (desa). Oleh karena itu, pertanyaan pertama dalam penulisan adalah bagaimana menentukan pembagian kewenangan antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa? Implikasi adanya pelimpahan wewenang yang notabene merupakan tanggung jawab atau kewajiban pemerintah desa maka diperlukan adanya perimbangan keuangan kabupaten dan desa. Perimbangan keuangan merupakan manifestasi dari adanya hak yang semestinya diperoleh oleh pemerintahan desa sebagai sumberdaya untuk melaksanakan penyediaan barang dan jasa publik pada tingkat desa. Adanya pergeseran pada sektor keuangan yang semula didasarkan pada kebutuhan lalu menjadi tuntutan terhadap upaya peningkatan keadilan 80

alokasi menurut potensi daerah (desa). Akibat kemampuan daerah yang berbeda pada gilirannya akan menggeser dana perimbangan yang akan dialokasikan ke desa baik perolehan dari bagi hasil pajak dan hak atas tanah, DAU, dan DAK. Kondisi tersebut dapat terjadi mengingat masih terdapat fenomena sebagai berikut : adanya ketidakmerataan fiskal antar desa bila terdapat kondisi pertumbuhan antar desa yang berbeda, akan berkembang pandangan bahwa desa yang tumbuh dengan pesat dipandang lebih sehat dibandingkan desa yang tumbuh lambat; harus diikuti oleh pergeseran cara pandang birokrat terhadap bantuan yang semula bersifat sektoral menjadi komprehensif; DAU merupakan salah satu dari tiga dana perimbangan desa (hasil pajak dan DAK) sehingga persoalan DAU bukanlah persoalan perimbangan keuangan tetapi ketiga jenis diatas harus saling melengkapi sebagai faktor penyeimbang kemampuan keuangan desa. Fenomena diatas pada hakekatnya merupakan permasalahan yang dihadapi dalam pengimplementasian perimbangan keuangan desa. Oleh karena itu, pertanyaan kedua dalam penulisan adalah bagaimana menentukan kriteria dalam perimbangan keuangan antar pemerintah kabupaten dan desa? Karena karakteristik masing-masing desa dalam sebuah kabupaten atau kabupaten yang lain saling berbeda maka dalam penerapan pelimpahan wewenang dan desentralisasi fiskal sangat bergantung pada konteks daerah sehingga dalam penelitian harus mempertimbangkan aspek teknis maupun strategis dari pelaksanaan kebijakan. 3 Tujuan Penulisan Hal yang perlu diperhatikan sebagai tujuan penulisan mengenai prinsip pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan kabupaten dan desa adalah : Merumuskan kriteria pembagian kewenangan antara pemerintah kabupaten dan desa yang merupakan upaya mengaktualisaikan otonomi masyarakat desa. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan dan kemauan pemerintah desa (masyarakat) melaksanakan berbagai urusan yang dilimpahkan dari pemerintah kabupaten. Pembagian Kewenangan Dan Perimbangan Keuangan Kabupaten Dan Desa Yang Partisipatif (Imam Indratno) 81

Mengembangkan prinsip dan kriteria perimbangan keuangan kabupaten desa dengan memperhatikan berbagai potensi fiskal pemerintahan desa, kebutuhan anggaran pengeluaran desa, maupun jenis penerimaan dana perimbangan lainnya (bagi hasil pajak, sumberdaya alam, dan dana alokasi khusus). 4 Asumsi Dasar Asumsi dasar yang perlu diperhatikan dalam melihat pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan, yaitu : penduduk desa merupakan masyarakat yang mampu mengemban otonomi desa sehingga masyarakat mampu untuk menyelesaikan urusan rumah tangganya sendiri; pemberian wewenang yang lebih luas akan menjamin kebebasan warga masyarakat untuk mengorganisir diri, mengembangkan inisiatif dan partisipasi, serta mengembangkan konvensi masyarakat; terdapat kemampuan keuangan pemerintah kabupaten/kota untuk mengalokasi keuangan sebagai penyeimbang keuangan desa; adanya jaminan terhadap stabilitas desentralisasi fiskal pemerintah kabupaten untuk melaksanakan secara kontinu; perimbangan keuangan harus dilakukan secara transparan sehingga rumusan atau kriteria perimbangan keuangan dapat diakses oleh semua pihak; besarnya perimbangan keuangan pemerintah kabupaten/kota ke desa bukan merupakan tolok ukur kinerja pelaksanaan pembangunan desa. 5 Kriteria Pembagian Kewenangan dan Perimbangan Keuangan 5.1 Kriteria Pembagian Kewenangan Pertimbangan utama dalam pembagian kewenangan antara pemerintah kabupaten dan desa berdasarkan pemanfaatan dan pengunaan barang dan jasa publik. Adapun beberapa kriteria yang digunakan dalam pembagian kewenangan dari pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa adalah : 1. Barang publik lokal yaitu barang publik yang manfaatnya tidak terdapat persaingan dengan daerah lain yang merupakan bagian geografis nasional. Bila barang publik bersifat lokal maka penyediaan barang 82

publik tersebut menjadi kewenangan desa. Demikian sebaliknya, bila barang publik tersebut tidak lokal maka tidak mungkin barang publik tersebut didesentralisasi ke desa misalkan jalan jaringan jalan kabupaten, jembatan pada jaringan jalan kabupaten, program dari sektor strategis (pendidikan, kesehatan, dsb); 2. Variasi geografis dan perferensi dengan mobilitas tidak sempurna. Bila terdapat mobilitas tidak sempurna maka pelaksanaan urusan didesentralisasi ke desa menjadi kewenangan desa. Sebaliknya, bila terdapat mobilitas sempurna maka pelaksanaan kewenangan tidak didesentralisasi ke desa misalkan pengelolaan sungai yang melintasi inter juridiksi desa bahkan kabupaten; 3. Eksternalitas atau dampak spasial yang ditimbulkan dari penyediaan barang dan jasa publik. Bila eksternalitas atau dampak akibat penyediaan muncul pada wilayah inter juridiksi desa maka kewenangan tersebut tidak didesentralisasi ke desa misalkan percemaran air sungai oleh kegiatan industri yang menyebabkan wabah di wilayah atau desa lain; 4. Skala ekonomi atau efisiensi ekonomi. Pelayanan yang membutuhkan area pelayanan lebih luas dari juridiksi desa untuk penyediaan barang publik yang lebih efisien misalkan penyediaan pupuk oleh koperasi membutuhkan area pelayanan yang lebih luas dari juridiksi desa sehingga kewenangan tidak disentralisasi ke desa; 5. Biaya administratif dan pemenuhan pelayanan sesuai dengan kapasitas atau kemampuan desa. Biaya administrasi dan pemenuhan pelayanan seringkali lebih besar bila didesentralisasi misalkan penyediaan prasarana listrik sehingga urusan tersebut tidak didesentralisasi ke desa. Demikian pula apabila sebuah urusan dapat ditangani oleh desa maka urusan tersebut menjadi kewenangan desa; 6. Disamping kelima kriteria yang telah disusun di atas masih terdapat satu pertimbangan lain yaitu kesamaan atau analogi dengan kewenangan kabupaten atau kecamatan yang dapat menjadi kewenangan desa dimana kewenangan bersifat lebih lokal seperti urusan perencanaan dapat dilakukan pada setiap tingkat pemerintahan. Secara konseptual kewenangan kabupaten merupakan sisa dari kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah propinsi. Sebagian kewenangan pemerintah kabupaten akan dilimpahkan sebagai wujud dari adanya tuntutan sistem pemerintahan yang lebih desentralistik berdasarkan beberapa kriteria pelimpahan wewenang yang telah disusun dipertimbangkan berdasarkan pendekatan pelayanan barang dan jasa publik pada masyarakat. Pembagian Kewenangan Dan Perimbangan Keuangan Kabupaten Dan Desa Yang Partisipatif (Imam Indratno) 83

Kewenangan desa merupakan hasil devolusi atau pelimpahan beberapa kewenangan kabupaten, kewenangan kabupaten yang telah dilimpahkan pada pemerintah kecamatan. Kewenangan yang diemban oleh pemerintah desa merupakan kewajiban pemerintah desa yang harus diimbangi dengan pemberian hak pemerintah desa dalam wujud besaran prosentase Dana Alokasi Umum yang harus diberikan pada pemerintah desa. Konsep pelimpahan kewenangan dari pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa dapat dilihat pada Gambar 1. Kewenangan Kabupaten dan Urusan Lain Kewenangan Desa Prosentase DAU untuk Desa Kriteria Pelimpahan Wewenang Gambar 1. Konseptual Pelimpahan Kewenangan 5.2 Prinsip Perimbangan Keuangan Pendekatan Barang dan Jasa Publik Prinsip utama yang perlu diperhatikan dalam perimbangan atau hubungan keuangan antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa adalah : mencukupi urusan pemerintahan desa, artinya perimbangan keuangan atau pemberian dana alokasi umum dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa minimal harus memenuhi kebutuhan rutin pemerintah desa seperti gaji pegawai dan biaya penyelenggaraan administrasi perkantoran bagi pelayanan kepada masyarakat; memenuhi pelayanan penyediaan barang dan jasa publik, artinya perimbangan keuangan atau pemberian dana alokasi umum dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa mampu menyediakan alokasi dana yang diperuntukkan bagi dana kebutuhan pelaksanaan pembangunan barang dan jasa publik seperti sarana dan prasarana lingkungan; pemerataan pembangunan antar desa, artinya perimbangan keuangan atau pemberian dana alokasi umum dari pemerintah desa harus mempertimbangkan azaz keadilan dalam wujud perhatian tehadap desa- 84

desa yang mempunyai perkembangan lambat yang diberikan dalam bentuk subsidi silang antar desa; efisien dan efektif dalam manajemen perimbangan keuangan, artinya perimbangan keuangan atau pemberian dana alokasi umum dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa menyadari bahwa sistem yang dibangun merupakan sistem baru dimana perlu adanya monitoring terhadap pelaksanaan perimbangan keuangan sebagai langkah umpan balik sistem yang dibangun; sustainabilitas atau keberlanjutan pelaksanaan sistem, artinya perimbangan keuangan atau pemberian dana alokasi umum dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa harus memperhatikan kesiapan masyarakat dalam pelaksanaan sistem perimbangan keuangan yang baru dibangun; pendekatan partisipatif, artinya perimbangan keuangan atau pemberian dana alokasi umum dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa harus dibangun berdasarkan semangat partisipasi warga dimana warga diberikan ruang gerak menentukan berbagai keputusan publik seperti menentukan dana subsidi silang antar desa dan sebagainya; insentif dalam pemilihan variabel model, artinya dalam memilih variabel penentu model yang akan dikembangkan harus menghindari variabel yang mengakibatkan disinsentif dalam pelaksanaan sistem misalkan variabel jumlah orang miskin. Variabel ini dapat mendorong desa membesarkan angka kemiskinan yang sebenarnya merupakan proses disinsentif dalam pelaksanaan pembangunan. Variabel yang sebaiknya digunakan adalah kemampuan pemerintah desa mengatasi kemiskinan; keseimbangan antara kewajiban dan hak, artinya pengembangan model harus memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa. Hal ini tercermin dari besarnya kewenangan desa yang bersifat beban pemerintah desa dengan hak yang diperoleh oleh pemerintah desa dari besarnya dana perimbangan yang diperoleh oleh pemerintah desa. Konsep perimbangan atau hubungan fiskal pemerintah kepada pemerintah desa didasarkan pada besar prosentase Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima oleh pemerintah desa. Besar prosentase DAU akan didistribusikan kepada masing-masing pemerintah desa berdasarkan beberapa kriteria atau prinsip perimbangan fiskal pemerintah kabupaten dan desa. Prinsip-prinsip ini yang akan menjadi dasar pertimbangan dalam mengembangkan berbagai variabel yang digunakan untuk menentukan Pembagian Kewenangan Dan Perimbangan Keuangan Kabupaten Dan Desa Yang Partisipatif (Imam Indratno) 85

besaran pembagian dana tersebut. DAU untuk desa dikategorikan menjadi tiga bentuk pendanaan yaitu : dana yang dialokasikan untuk kebutuhan operasional desa dalam bentuk pagu dana tertentu berdasarkan prinsip mencukupi urusan pemerintahan desa; dana yang akan dialokasikan berdasarkan variabel penentu yang membedakan penerimaan DAU antar desa berdasarkan prinsip pemenuhan pelayanan publik, pemerataan pembangunan wilayah dan pemberian insentif pada desa tertentu berdasarkan pendekatan partisipatif; dana yang akan dialokasikan untuk efisiensi sistem maupun proses kesiapan masyarakat yang juga didasarkan pada pendekatan partisipatif. Konsep perimbangan keuangan dapat dilihat pada gambar 2. Prosentase DAU untuk Desa Pembagian DAU Desa : Pagu Dana Desa Dana Berdasarkan variabel penentu Dana Inisiasi Awal Sistem Dana Kesiapan Masyarakat Prinsip dan Kriteria Perimbangan Keuangan Gambar 2 Konsep Perimbangan Keuangan Kriteria perimbangan keuangan disusun berdasarkan prinsip-prinsip yang dikembangkan diatas. Kriteria perimbangan keuangan selanjutnya digunakan untuk menentukan komposisi dana alokasi umum yang akan diterima oleh masing-masing desa berdasarkan kondisi desa yang bersangkutan. Adapun variabel yang disusun pada dasarnya dikategorikan menjadi dua variabel yaitu : Variabel yang besifat umum (given), yaitu karakteristik variabel yang umum dimiliki masing-masing desa seperti jumlah penduduk, luas 86

wilayah, pendapatan per kapita, dan sebagainya. Dana perimbangan keuangan dari pemerintah kabupaten akan diberikan sesuai dengan kondisi atau karakteristik desa yang bersangkutan; dan Variabel yang bersifat khusus, yaitu karakteristik variabel yang tidak semua desa memilikinya seperti tingkat kemiskinan, jarak desa ke ibukota, rasio panjang jalan terhadap lahan terbangun atau budidaya, dan sebagainya. Dana perimbangan keuangan dari pemerintah kabupaten akan diberikan melalui mekanisme subsidi silang melalui pendekatan partisipatif berdasarkan kesepakatan wakil desa atau Badan Perwakilan Desa sebagai wujud dari asas keadilan (pemerataan pembangunan). Berdasarkan dua kategori variabel diatas maka variabel yang digunakan dalam menyusun perimbangan keuangan adalah sebagai berikut : Tabel 1 Variabel Penentu Perimbangan Keuangan No Variabel Laten Variabel7 Manifes Keterangan 1 Karakteristik administratif dan geografis Luas hutan lindung Luas areal pertanian Luas permukiman Jarak ke ibukota kecamatan **) 2 Karakteristik sosial Jumlah penduduk Kepadatan penduduk Pertumbuhan Penduduk Jumlah penduduk perdesaan Angka kematian bayi Harapan hidup Jumlah anak balita Jumlah akseptor KB Jumlah usia lanjut Turunnya penduduk miskin Turunnya pengangguran Banyak dan tingkat masalah sosial **) Jumlah kegiatan olah raga dan kepemudaan Jumlah kegiatan kelompok tani 3 Karakteristik Pendapatan per kapita Pembagian Kewenangan Dan Perimbangan Keuangan Kabupaten Dan Desa Yang Partisipatif (Imam Indratno) Dapat jarak panjang ataupun waktu 87

ekonomi Jumlah industri Jumlah pekerja industri Banyak usaha perdagangan (toko, warung dan kios) Jumlah tenaga kerja di sektor informal Jumlah penciptaan tenaga kerja (usaha baru) 4 Karakteristik Fiskal Total pengeluaran Defisit belanja pembangunan (%) Besar tunggakan pajak (%) 5 Karakteristik sarana prasarana desa Panjang jalan desa Panjang irigasi desa Jumlah jembatan Panjang drainase desa Jumlah sarana dan prasarana kebersihan Jumlah MCK umum Jumlah ojek dan kendaraan tak bermotor 6 Proses perencanaan Intensitas kegiatan perencanaan pembangunan untuk semua bidang **) Keterangan : Bersifat disinsentif Bersifat disinsentif **) besarnya dana perimbangan untuk masing-masing desa ditentukan berdasarkan proses partisipatif bersifat disinsentif artinya variabel tersebut mengakibatkan penurunan penerimaan dana perimbangan untuk desa 6 Kesimpulan Berdasarkan enam kriteria diatas maka terdapat tiga kategori kewenangan desa yang dapat disusun yaitu : (1) kewenangan kabupaten dan kecamatan untuk setiap bidang seluruhnya yang dapat didesentralisasikan ke desa; (2) kewenangan kabupaten dan kecamatan untuk setiap bidang hanya sebagian yang dapat didesentralisai ke desa; 88

(3) kewenangan kabupaten dan kecamatan yang dapat dianalogikan menjadi kewenangan desa. Hasil devolusi kewenangan kabupaten kepada desa mempunyai sifat sebagai berikut : (1) hasil devolusi kewenangan yang bersifat beban bagi pemerintah desa seperti pelaksanaan pembangunan jalan, irigasi, drainase, dan sebagainya. Kewenangan desa yang bersangkutan harus didukung oleh perimbangan keuangan dari kabupaten baik dalam bentuk dana alokasi umum ataupun yang bersumber dari dana alokasi khusus; (2) hasil devolusi kewenangan yang bersifat menjadi sumber pendapatan seperti pengelolaan pemakaman. Kewenangan desa ini merupakan bentuk insentif yang akan mendukung pelaksanaan pembangunan terhadap desa yang bersangkutan; (3) hasil devolusi kewenangan yang bersifat pembantuan terhadap program pemerintah kabupaten atau kecamatan seperti memfasilitasi penyuluhan pada masyarakat. Kewenangan desa ini tidak terlalu menjadi beban bagi pemerintah desa sehingga pendanaannya dapat bersumber dari dana operasional desa atau merupakan kewajiban aparat desa terhadap pelayanan pada masyarakat. Sifat masing-masing kewenangan tersebut selanjutnya dapat diterjemahkan ke dalam beberapa variabel penentu yang dapat membedakan besarnya dana alokasi umum yanag akan diterima setiap desa. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat dua kategori variabel yaitu variabel yang bersifat umum (given) dan variabel yang bersifat khusus dimana besarnya alokasi dana perimbangan perlu ditentukan berdasarkan proses partisipatif atau kesepakatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembagian dana perimbangan. ----------------------------- Pembagian Kewenangan Dan Perimbangan Keuangan Kabupaten Dan Desa Yang Partisipatif (Imam Indratno) 89

DAFTAR PUSTAKA Ahmadi H. Djamhir, Didi, 2001, Model Bobot Daerah Untuk Dana Alokasi Umum Sebagai Dasar Perimbangan Keuangan Kabupaten/Kota, Tesis Magister PWK-ITB, Mahi, Raksaka, 2000, Intergovermental Fiscal Transfer in Indonesia, Paper of converence of IRSA, M. Bird, Ricard and Crancois Vaillancourt, 1998, Fiscal Decentralisation in Developing Countries, Cambriedge University Pres, Sidik, Machfud, 1999, Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah : Studi Empiris dan Rekomendasi Kebijakan Bagi Indonesia Serta Implikasinya Pada Pembangunan Wilayah dan Kota, Makalah Kuliah/Ceramah pada FTSP ITB,, 2001, Simulasi Dana Perimbangan Untuk Desa Tahun 2002, Kabupaten Sumedang, 90